12 (Revisi)
Halo! Aku putusin buat revisi dari bagian ini karena ada alur yang sedikit berubah. Jadinya Dhira sama Putra gak satu kampus yaa, alesannya sih karena satu: biar lebih kayak cerita aslinya, hehehe. dan biar lebih kerasa feel Dhira yang mengagumi Putra dari jauuuuhh sekali. Semoga gak keberatan yaa dengan pergantian ini, terima kasih, selamat membaca!
(Telah direvisi 1 Oktober 2021)
"Terima kasih, Kak Putra. Terharu di-chat duluan sama Kakak @_@"
Hai! Masih ingat dengan isi pesan Putra saat itu? Yah, tentang bagaimana ia menyelamati Dhira yang baru saja lolos SNMPTN. Setelah hampir satu jam Dhira tak membalas pesan istimewa itu, dengan luwes jarinya mengetikkan balasan yang sangat memalukan tersebut. Bahkan, lihatlah emoji yang digunakan! Apa-apaan itu? Mengapa seperti menunjukkan bahwa Dhira sedang pusing tujuh keliling begitu? Ada-ada saja.
Dhira terus saja menatap ponsel yang terus ia genggam, berulang kali mengecek pesan yang telah ia kirim pada Putra untuk melihat apakah sudah dibaca atau belum. Dan saat gerakan ke-50 kali itu dilakukan, mata Dhira membola. Ia segera keluar dari room chat tersebut karena ternyata Putra sudah membacanya. Dhira menggigiti kukunya, kebiasaan dari lahir jika ia sedang gugup dan gelisah.
Jantungnya mencelos seketika ketika melihat balasan dari Putra.
"😅😅😅"
Apa?
Apa-apaan itu?
Dhira dengan sabar menanti jawaban dari pujaan hati sambil menahan ledakan jantungnya, dan balasannya hanya satu emoji yang diulang sebanyak tiga kali?
Dhira melempar ponselnya ke atas kasur, kemudian langsung keluar dari kamar untuk menghampiri ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Sekarang masih jam setengah enam, belum malam memang. Namun, keluarga Dhira itu selalu makan malam setelah shalat maghrib, tepat setelah ayahnya pulang kerja. Sambil melupakan kekesalannya pada orang yang didamba, Dhira membantu ibunya untuk menata makan malam di meja. Ia jadi tak sabar menunggu ayahnya pulang. Kabar baik tentang ia diterima SNMPTN pastinya akan menghibur rasa penat ayahnya, kan?
"Bu, ibu belum kasih tau ayah kalau aku lolos, kan?"
Ningrum menggeleng, tangannya masih sibuk menumis sayur yang mulai mengharum di atas wajan. "Belum, sengaja biar kamu aja yang langsung kasih tau."
"Yeay! Sayang Ibu!" Dhira menghampiri Ningrum, kemudian mencium pipi kirinya. Ningrum hanya tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya. Ia bisa melihat bahwa anak semata wayangnya sedang dalam mood yang bagus, tanpa ia tahu bahwa beberapa menit sebelumnya, Dhira sudah seperti ingin memecah belah tembok yang ada di depannya karena balasan singkat dari seorang Putra.
Adzan Maghrib berkumandang, tepat setelah Dhira dan ibunya selesai menyiapkan makan malam di meja. Begitu pun dengan suara pintu dibuka, yang menandakan bahwa ayahnya telah pulang kerja. Dhira bergegas menghampiri ayahnya, menyambut dengan senyum lebar dan menyaliminya. Bahkan ayahnya sampai terheran, tak biasanya Dhira menyambut kepulangannya sebegitu senangnya.
"Sini aku bawakan tasnya. Ayah langsung mandi dan salat, habis itu kita makan, ya ...."
"Hei, itu kan memang sudah biasa, gak usah diingetin lagi dong, Nadhira ...."
Dhira lagi-lagi hanya tersenyum lebar, kali ini disertai dengan cengiran khasnya. Dhira mengangguk, kemudian membawa tas ayahnya untuk menuju kamar orang tuanya. Dan setelah itu, ia segera ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan mulai melaksanakan salat maghrib.
Tak henti-hentinya Dhira mengucap syukur atas harinya, begitu indah dan tenang, Allah sangat baik karena telah mengabulkan permohonannya. Permohonan besarnya agar diterima di universitas idaman dengan jurusan yang juga ia idam-idamkan. Tak lupa ia juga lagi-lagi bersyukur karena telah dilahirkan dari keluarga yang sangat mencintainya, pun karena telah dititipkan seorang sahabat yang begitu peduli padanya, Rara. Ia menangis terharu, hatinya begitu menghangat, bahkan ia sampai berpikir, bahwa hidupnya telah lengkap hanya karena diisi oleh tiga orang berharga di hidupnya.
Namun, setelah itu ia kembali sadar. Ia masih mempunyai satu permintaan besar yang cukup merepotkan. Yaitu, meminta Putra untuk melengkapi hidupnya yang nyaris sempurna. Meminta Putra untuk menjadi penggenap imannya. Meminta Putra, untuk menjadi kekasih hatinya, kekasih halalnya.
"Hamba ingin Kak Putra. Kalau bukan Kak Putra, ya pokoknya harus Kak Putra. Kalau memang tak bisa, maka biarkan aku mendapatkan pengganti yang mirip Kak Putra 99,9%. Kalau memang tak ada yang mirip dengannya, maka biarkan Kak Putra yang asli saja."
Yah, memang terdengar sangat memaksa. Tapi, tak ada yang tahu dengan kekuatan doa, kan? Dhira benar-benar meminta dengan sungguh-sungguh, ia berucap dengan yakin bahwa hanya Putra yang ia inginkan untuk menjadi suaminya kelak. Mungkin, nanti ia bisa bertanya pada Rara, apakah doa seperti itu diperkenankan?
Setelah memanjatkan doa yang sangat panjang, ibadah Dhira ditutup dengan sujud syukur sebelum ia melipat sajadah dan menggantungkan mukenanya di balik pintu kamar. Ia sempatkan bercermin sebentar, sebelum ia melangkahkan kakinya menuju meja makan, yang ternyata sudah diisi oleh kedua orang tuanya.
"Tumben lama banget salatnya? Abis minta yang macem-macem ya sama Allah?" tuding Ningrum sambil tertawa kecil.
Dhira mengangguk. "Iya, dong. Kalau bisa macem-macem, kenapa mesti berdoa cuma satu macem?"
Ruang makan itu dipenuhi dengan suara tawa, sebelum suara sendok dan piring yang beradu mulai memenuhi gendang telinga. Mereka makan dengan hening, sudah biasa karena peraturan yang memang telah diterapkan oleh keluarga kecil tersebut, yaitu dilarang berbicara sampai makanan di piring habis tak bersisa.
Setelah kurang lebih lima menit lamanya, piring dari mereka sudah bersih, menandakan bahwa obrolan hangat mulai dapat dibicarakan. Dhira tak henti-henti senyum dari tadi, membuat Ningrum gemas karena tak sabar memberikan kabar bahagia pada suaminya tersebut, satu-satunya orang yang tak mengetahuinya.
"Mas, Dhira mau menyampaikan kabar gembira," ujar Ningrum yang memulai obrolan.
"Apa itu? Ayah selalu gak sabar untuk dengar yang namanya kabar gembira."
Dhira tersenyum lebar sambil menatap ayahnya yang juga sedang menatapnya. "Ayah, Dhira lolos SNMPTN di pilihan pertama. Dhira bisa kuliah di universitas negeri yang Ayah cita-citakan itu."
Iya, selain Dhira yang memang menginginkan universitas tersebut, ternyata ayahnya pun mempunyai keinginan serupa. Dan mendengarnya, ayahnya sampai mengeluarkan air mata. Begitu senang melihat anak semata wayangnya yang selalu membanggakan dirinya. Ia langsung bangkit dari kursi dan memeluk Dhira hangat, kemudian menarik tangan istrinya untuk ikut dalam kegiatan berpelukan seperti teletubbies tersebut.
Keluarga kecil Dhira, adalah bentuk keluarga bahagia yang selalu diidam-idamkan oleh setiap anak di belahan dunia mana saja.
Dhira masih terhanyut dengan kegiatan manis bersama keluarganya, tanpa ia tahu bahwa ponsel yang sedang berada di sakunya telah menyala. Menampilkan sebuah notifikasi masuk dari aplikasi Instagram.
"Kalau boleh tau, kamu sewa kost di sana, Dhira? Ah, tapi kalau tidak berkenan jawab pun tak apa, maaf ya saya lancang..."
Jangan beri tahu Dhira dulu tentang isi pesan tersebut. Bisa-bisa ia kejang-kejang tak elit di depan orang tuanya karena mendapat balasan pesan lagi dari sang pujangga yang sebelumnya sangat bertingkah menyebalkan itu.
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro