Hipoestesia
Jika aku terlahir kembali sebagai sebuah rumah reyot, engkau akan melihat sisa-sisa air keruh bertetesan dari sela-sela retakan kaca jendelaku yang berdebu. Suaka yang catnya tak pernah diganti, terkelupas senti demi senti, menyibakkan warna arang yang begitu kuat. Sebanding dengan halaman berbungakan duri dan belitan sulur, bukannya melati warna-warni yang dulu pernah terkenal di suatu kampung halaman.
Sungguh serba sederhana isinya. Jangankan lampu pijar, colokan listrik pun tak punya. Barangkali satu-satunya yang paling berharga dan takkan dimaling hanyalah suatu kamar di loteng yang berisi satu kasur kusut, meja rias dengan cerminnya yang retak, dan rak buku penuh debu.
Aku, ya Tuhan, tak pernah didatangi juru sensus sekalipun, dan anak-anak muda paling sering melempar bebatuan, sesampahan, bahkan petasan ke dalam pagarku, kadang nyaris menyambar salah sekian dari jendelaku.
Jika hujan tiba, kutumpahkan seluruh isi bejana pikiranku dalam tetes tirta netra yang sebelumnya terterungku dinding kaca berlapis kisi-kisi legam, seakan tak pernah tersentuh air sepanjang sangkala masih bergulir.
Tiap bata merah dan ubin yang kini keropos masih bersaksi dan mengamini agar suatu saat rembulan merah muda yang pernah dimabuk dan dicambuk asmara kembali mengetuk pintu rahimku. Oh rahimku, yang pernah dilalap jago merah begitu sang rembulan tergelincir menuju rahim lain.
"Apa salah jika manusia biasa diberikan lebih dari satu rasa untuk saling mencintai?" tanya rahimku yang kini mati rasa. Ya Samad, jika aku harus menanti dan menderita sepanjang usia-Mu, maka aku rela. Tapi untuk sekali saja, tautkanlah kembali orang-orang yang pernah merasakan cinta walau hanya sebersit sekalipun.
-----
Banyuwangi, 16/10/19.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro