Grahita
Kadang ada hari-hari di mana kita mesti menali erat antara akal dan perasaan yang menggebu-gebu. Seringkali perasaan selalu dikedepankan daripada akal sehat yang arif, tanpa mafhum apa resiko dan konsekuensinya.
Sekian banyak topeng yang kita pakai untuk menyamakan frekuensi kita dengan orang lain, tetapi ketika orang lain tak kunjung memahami diri kita, sudah saatnya kita bertanya: sudahkah kita memahami orang lain?
Berapa banyak bualan dan alibi yang kita tambal lubangnya demi sepercik pujian mahafana? Semuanya agar orang lain mau mengerti kita. Namun nyatanya, sering menjadi buah simalakama. Atau bahkan senjata makan tuan.
Saat bicara selalu mengundang polemik, maka diam adalah pilihan terakhir yang ciamik. Diam, mendengarkan, dan memahami. Sebab kebanyakan dari kita selalu minta didengar tanpa mendengarkan orang lain.
Bagi orang yang hidup dalam lingkungan yang mahapengertian, beruntunglah. Sebab banyak yang masih terbata-bata, tersandung-sandung, tertimpa-timpa, tersayat-sayat, terluka-luka, saat mengangkat suaranya tinggi-tinggi kepada kumpulan yang mereka sebut khalayak. Bagi sebagian orang, khalayak adalah hakim bagi buah pikir mereka. Bagi sebagian lagi adalah penyakit yang harus dibasmi. Sebagian kecil lagi ialah tiran yang bertakhta.
Maka, kepada yang merasa kesepian di tengah keramaian; yang dianggap hanya ketika yang lain butuh; yang saat diam malah digunjing dan dicibir; yang saat angkat bicara masih dicampakkan; yang dikenal demi mendapat sesuatu.
Kuucapkan selamat padamu; yang telah menjadi manusia penuh cacat dan salah. Aku pun begitu adanya. Kita semua pun begitu adanya. Manusia menjadi benar dari skala dan definisi-definisi yang mereka ciptakan sendiri. Maka tinggalkanlah cerminmu barang sejenak, dan mulailah bercermin dengan cermin orang lain.
-----
Banyuwangi, 21/11/19.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro