Elegi Metempsikosis
I. Prelude
Aku menutup mata pada:
Nyala api yang tiba-tiba mati
Bisunya burung-burung kota
Juga pada jari-jemari mati rasa
Di depan napas mayat dini hari
Aku menutup mata rapat-rapat
Dengan langkah begitu lambat
Kaki berpijak mencari tempat
Mau ke mana aku menyipat?
Ayah, aku menggigil di rumah sendiri
Dari bawah gunduk tanah kemerahan
Ada tangan cilik yang melambai-lambai
Dan air mata yang tak sempat lebur
II. Adagio
Belum fajar. Minda terantuk-antuk
Cangkir-cangkir tergeletak di meja
Begitu saja. Nafsi terkantuk-kantuk
Cakrawala meremangkan angkasa
Sisa anggur merah tua itu masih ada
Darahnya meresap ke roti bulan sabit
Di piring perak bersama daging sapi
Lengkap dengan garpu tiga gigi
Pukul dua lebih tiga puluh dua menit
Di luar, seorang wanita meninabobokan
Anak dan dirinya yang ditinggal minggat
Lewat gemerencing uang logam berkarat
Ibunda, lidahku rasanya hendak berpuisi
Tapi aku tak tahu bagaimana caranya
Ia terkunci rapat di antara dua bibir
Benar-benar biru, beku, dan kelu
III. Nocturne
Seorang penyintas pernah berkata,
"Dunia dan seisinya sebelum fajar
Laiknya gelas setengah kosong
Menanti keringat dan air mata."
Lantas mengapa gelasku tak kunjung penuh?
Kuhibur diri dengan memeras asa tiap menitis
Dan berkata balik, "Mungkin ini belum cukup."
Tapi apa daya, aku tak bisa melihat dasarnya
Sebagaimana ujungnya belum kasatmata
Pada ulat-ulat yang melilit tekak lambungku:
Amat beruntunglah nyawa yang tak pernah lahir
Untuk melihat wajah dunia dalam pusaran zulmat
Maka bacakanlah syairku dan jadilah ketiadaan!
IV. Threnody
Aku di sana. Saat roh sekian rudal dihitung mundur
Bersamaan dengan nyawa insan yang didekap Mair
Aku di sana. Begitu raga tinggal abu di mata dunia
Dan insan merangkak dari balik puing kemegahan
Lalu kudengar sisa-sisa suara itu di pojok ingatan,
"Bila usia daku berbilang, sediakah tuan pulang?
Mendaki kepala Jawadwipa, kota matahari terbit
Kutulis sajak ini saat dermaga belum bersungkit
Di bawah birunya langit tanpa pokok melintang."
Lamat-lamat air mukaku menjawab dalam sunyi,
"Akankah kau setia menanti hadirnya hamba?
Di malam bersekatkan gedek dan gemintang
Ingatlah hamba, wahai puan yang membujang
Sebab dulu di sinilah kita berdendang bersama."
Selamat tinggal, lambaiku
Untuk kekasih ke-entah keberapa
Meski akhirnya kaulupa siapa diriku
Begitu langkah ketujuhmu menggema
Inginku agar kautahu, bintangku
Aku tetap bertahan pada ingatan itu
Selama aku dikutuk untuk terus hidup
Hidup dan dilupakan dalam ingar bingar
V. Fermata
Pernahkah sebuah untaian kata-kata indah
Tersangkut di kepalamu selama berhari-hari
Tapi kau tak tahu dari mana asalnya?
Akulah untaian kata-kata itu.
VI. Crescendo
Fajar! Fajar! Bangkit bersama semburat arunika
Siapa gerangan yang bisa menahan murkanya?
Diusapkan jemarinya pada mayat-mayat di trotoar
Mengadu cahayanya dengan api dan kepulan asap
Bulu kudukku meremang mendengar sesuatu:
Pagi-pagi sekali di rumah yang nyaris bobrok
Seorang anak berlari-lari ke pangkuan ibunya
"Masih ada! Masih ada selesa!" tangisnya
Menunjuk butir-butir cahaya di ufuk timur
Satu per satu tetes air berjatuhan dari dirgantara
Laiknya berdiri di ujung Jawadwipa, menanti arunika
Menyembunyikan senyum di dalam birunya air mata
Menjadi saksi di bawah pokok-pokok kelapa nan tua
Tentang sorak-sorai insan yang sukses menebus diri
Di antara napas yang berdarah-darah
Ibunya memeluknya erat dan bertutur,
"Ya, nak. Selesa masih bersama kita
Bahkan di kehidupan selanjutnya."
VII. Diminuendo
Katakanlah, sesungguhnya akulah Nirnama, putera Adam dan Lilith, saudara tua Habil dan Qabil, jembatan antara kesadikan dan nafsu nafsi. Barangsiapa yang hendak mencari dan mengingatku, sia-sialah usahanya. Tiap ingatan tentangku akan tergerus usia, tiap jejak langkahku akan terhapus secepat angin berembus, dan tiap huruf yang kutulis akan berguguran seiring waktu berjalan. Jika aku tak mampu membuktikan keberadaanku, maka biar kata-kataku yang akan menemukan jalannya ke kalbumu.
-----
Banyuwangi, 18/05/19.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro