Apa? Memendam segala rasa tiada tara dan memilih untuk mencumbu gemerlap layar yang membius mata hati. Hendak membuncahkan segala rasa di antara jarak dan waktu yang setia mengangkat kedua lengannya untuk memisahkan dua sejoli. Membiarkan air mata menjabat air hujan sambil mengulum senyum tipis di penghujung hari.

Kapan? Saat titik-titik hujan dan garis-garis bianglala memeluk suamnya cahaya fajar pertama. Kala purnama perlahan mencipta timangan untuk semua hati yang rapuh. Begitu segerombolan anak-anak kecil lewat di depan, tertawa menyambut derai hujan bulan Januari.

Di mana? Di sebuah rumah makan kecil yang ditanami anturium dan mawar putih. Di setiap untaian doa yang semalam suntuk kupanjatkan. Di bawah bayang-bayang gereja tua dan pohon rasberi yang buahnya berceceran di halaman belakang.

Bagaimana? Dulu pernah sekali kita bertukar nomor telepon di antara puluhan insan yang berdesak-desakkan. Sesudahnya tenggelam dalam indahnya jukstaposisi dan cakap suam sebelum larut malam. Sebelum percayaku dihempaskan warna asli yang kaucoba tutup dengan topeng-topeng bopeng.

Mengapa? Lantaran begitu lembutnya air mukamu saat kusapu dengan mata untuk yang pertama kali. Sebab adalah gila, kata mereka, untuk mencoba dua kali dan mengharap hasil sama. Karena antar dua rasa yang tak pernah sinkron, akan meresap rasa ketiga di lain tempat.

Siapa? Kita. Atau lebih tepatnya: aku, kau, dan dia.

-----

Banyuwangi, 13/03/20.