08. Ayo Ngobrol
"Sasa, Please. Jangan bilang kalau kamu berniat membatalkan rencana pernikahan kita. Ini sudah separuh jalan, Sa." Rafael mengerang. Ia bangkit dari kursi lalu bergerak mendekatiku.
Aku mendelik. "Siapa yang mau membatalkan pernikahan? Aku cuma nanya, kali aja keputusan kita untuk menikah tuh terlalu cepet. Terlalu mendadak, gitu," semprotku.
Rafael tertegun. Ia mengerjap beberapa kali lalu menatapkku bingung. "Oh ya?"
"Iya. Maksudku tuh, apa nggak sebaiknya kita pacaran dulu? Setahun atau dua tahun gitu, baru kemudian memutuskan untuk menikah." Aku mulai sewot. Urung mengambil makanan ke piring.
"Buat apa pacaran lama-lama kalau ujungnya menikah? Mending prosesnya aja dibalik. Nikah dulu, baru pacaran. Sama aja 'kan hasilnya?" Pria itu memotong.
Aku terdiam sejenak. Sampai akhirnya Rafael kembali memperpendek jarak di antara kami, berdiri menjulang di hadapanku, menunduk, kemudian menangkup wajahku dengan kedua tangan. Aku melengos, "Please, jangan drama. Kita bukan sepasang kekasih." Aku protes karena merasa kelakuannya kelewat romantis. Pakai nunduk, pegang-pegang pipi lagi. Duh. Iya, tahu, kami ini calon suami istri. Tapi kan hubungan kami nggak berawal dari sepasang kekasih.
Bukannya urung, Rafael kembali melakukan hal serupa. Menangkup wajahku dengan kedua tangan lalu menatapku dalam, lagi. "Ya, kan calon suami istri. Belajar romantis, dong." Ia tersenyum.
"Tapi ...." Kalimatku terhenti. Bukan karena kehabisan ide untuk merangkai kalimat, masalahnya, aku nggak bisa berdiskusi kalau Rafael bersikap kayak gini. Ya, gini, ngelus pipi.
"Aku juga sempat ragu, kok, Sa. Serius." Pria itu membuka suara lagi. Please, kedua tangannya masih di sini, di wajahku.
"Walau sudah merenung lama, mempertimbangkan banyak hal untuk mengajakmu nikah, tetap saja, aku merasa langkahku lumayan ... geblek." Ia melanjutkan.
Nah, itu tahu.
"Terlalu buru-buru? Ya. Terlalu mendadak? Iya juga. Aku bahkan nggak menyangka akan respon yang bakal kudapat darimu. Maksudku, awalnya aku mengira kamu bakal menganggapku sinting, lalu menolak lamaranku---"
"Oh, jadi awalnya mau main-main doang, gitu?" potongku sengit.
"Ssttt, nggak gitu." Ia menjawab. "Sudah kubilang, aku sudah berpikir matang untuk menikah denganmu, dan aku serius dengan langkah tersebut. Walau sempat ragu karena kita ... sudah punya hubungan baik sebelumnya sebagai sahabat." Rafael menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. "Kata orang, merubah hubungan persahabatan ke percintaan bukan hal mudah. Bagus jika berjalan lancar, tapi jika tidak, maka kita akan kehilangan dua-duanya. Yang kekasih, ya sahabat. And ... it sounds so horrible." Ia mengangkat bahu. Mau tak mau, aku pun menatap wajahnya dengan saksama. Mata coklat yang rupawan. Dagu belah yang juga indah. Dan ... gigi taring yang juga menawan.
Eh?
"Sampai akhirnya ...." Ia menggigit bibir. "Sampai akhirnya aku menciummu di kebun stroberi beberapa waktu lalu. Merasakan bahwa ... kamu memang begitu pas di pelukanku, keyakinanku untuk menjadikanmu istrikku tumbuh berkali lipat. Jika ada yang wanita yang begitu pas untuk kunikahi, maka orang itu adalah ... kamu." Kalimatnya mengalun lembut. Aku mengerjap. Jadi, pernikahan ini sebaiknya ditunda apa tidak?
Menelengkan kepala sejenak, tatapannya tetap tak berpindah dari diriku. "Aku paham kegundahan yang kamu rasakan. Masalah yang datang bertubi-tubi menjelang hari pernikahan kita. Tapi, semua bisa kok dicarikan solusi. Ayo kita duduk bareng, ngobrol, bicara dari hati ke hati, lagi. Pasti ntar ketemu jalan keluarnya."
"Walaupun Ibundamu dan Mamiku punya banyak perbedaan?" tanyaku tak yakin.
Rafael mengangguk. "Ya, walaupun ada banyak perbedaan pendapat, tapi kalau semua dibicarakan dengan baik, pasti teratasi. Sekarang ---" Ia melirik arloji di pergelangan tangannya. "Ayo selesaikan sarapanmu. Masih ada waktu untuk bicara sebelum kita berangkat ke kantor bareng-bareng."
Sebelum beranjak, Ia kembali menyentuh pipiku lembut. Meninggalkan sensasi tersendiri yang tak mampu kujabarkan dengan kata-kata.
Duh, yang disentuh pipi, yang kerasa hangat kok hati?
***
Pagi itu, akhirnya kami memutuskan mengobrol lagi di sofa depan tivi. Menyilangkan kaki, dan kaca mata yang sudah bertengger di pangkal hidung, Rafael serius menatap buku kecil di genggamannya.
Ia membawa catatan kecil berisi hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan menjelang pernikahan berikut solusinya. Padahal selama ini Rafael bukan tipe pria yang terlalu rapi, apalagi sampai melakukan pembukuan berupa catatan-catatan kecil yang bisa dikatakan remeh. Ya, kali ini dia memang segitunya.
"Perihal konsep pernikahan sudah teratasi. Ibuku pengen pernikahan dengan tema adat, sementara Mamimu pengen konsep yang modern. Ya udah, kita laksanakan saja dua-duanya." Ia menatap catatan di tangan, memberikan tanda centang.
"Perihal hari baik pun sudah terselesaikan. Dilaksanakan dua kali saja nggak apa-apa, sesuai tema pernikahan yang beda." Ia kembali melakukan centang.
"Lalu ...." Rafael memainkan ujung pulpen di pipi sambil menatap catatannya. Dari kalimatnya, ia terdengar ragu.
"Tempat tinggal." Aku membuka suara. Pria itu manggut-manggut lalu mengalihkan pandangan, ke arahku. Membenahi posisi duduk, ia berdehem.
"Well---" Ia menyeringai ragu. "Sudah sempat kita bahas kan tadi. Kelak, jika ayah dan ibuku menghendaki aku pulang ke Magelang, maka akan kulakukan. Ada banyak hal yang harus kuurus di sana. Perkebunan, dan juga kesehatan Marta. Jadi, jika waktu itu telah datang, aku akan resign dari pekerjaanku yang sekarang lalu pulang. Tapi, percayalah, walaupun begitu, penghasilanku dari perkebunan lebih dari cukup untuk menghidupimu." Ia menatapku yakin.
"Masalahnya, Mami pengen aku di sini saja, Raf." Aku berucap lirih. Pria itu mematung sejenak. Bibirnya bergerak-gerak, hendak memberikan respon, namun akhirnya urung ia lakukan. Yang ia lakukan selanjutnya kembali berdehem beberapa kali.
"Nggak masalah," jawabnya kemudian. "Kita bisa ke sana, ke sini. Bergantian. Kamu tetap bisa bekerja di sini, tinggal di rumah ini, lalu sering-sering mengunjungi Mamimu. Sementara aku, andai posisiku sudah di Magelang, aku juga akan ke sini, seminggu sekali, atau dua kali. Bukan hal yang sulit. Lewat tol kan cepet. Banyak kok pasangan suami istri di luar sana yang menjalani pernikahan seperti ini. LDR kecil-kecilan lah." Ia memberikan ulasan panjang, gamblang sekali kedengarannya.
"Tapi ...." Kalimatnya terjeda. "Aku tetap berharap kamu bisa ikut kemanapun aku pergi, Sa. Cuma, nggak harus sih. Andai bisa ya syukur, kalau enggak pun, bisa kita laksanakan seperti rencana tadi." Ia menambahkan.
Ketika aku tak kunjung memberikan jawaban, ia kembali bertanya, "Bagaimana? Terselesaikan, kan?"
Entah kenapa, membicarakan tentang tempat tinggal, membuatku tiba-tiba diserang vertigo. Aku pengen bahas yang lain saja, bukan yang ini. Bisakah yang ini diselesaikan sambil jalan saja? Aku belum mampu membuat keputusan sekarang. Lagipula, rencana yang Rafael paparkan perihal LDR kecil-kecilan tadi sepertinya juga tak begitu buruk. Walau, kedengarannya cukup berat untuk dijalani.
"Next?" pintaku kemudian, berharap kalau Rafael akan membahas hal yang lain saja. "Mau apa dulu? Pengaturan keuangan?" Ia menawarkan.
Aku menyeruput tehku lalu menjawab, "Boleh."
"Kamu yang atur keuangan rumah tangga kita. Jadi setiap gajian, seluruh gajiku akan kuberikan padamu. Bilamana aku butuh sesuatu yang sifatnya urgent, aku akan bilang padamu."
Mendengar penuturan Rafael, aku tersenyum semringah. "Sepakat." Aku menjawab tanpa ragu lalu kembali menyeruput minuman hangatku dengan penuh semangat.
"Oke, sekarang soal anak. Aku bukan childfree. Kamu?" Pria itu terbatuk, tanpa melihat ke arahku.
"Bukan juga." Aku menjawab, nyaris saja ikut terbatuk.
"Syukurlah. Pengen punya anak berapa?" Lagi-lagi ia tak mengalihkan pandangannya dari buku catatan.
Aku menelan ludah. Berhubungan badan saja belum, ini sudah ngomongin anak.
"Satu aja," jawabku asal. Rafael mengangguk lalu memberikan respon, "Oke."
Aku melongo. "Serius? Satu aja nggak apa-apa? Kamu nggak pengen dua gitu? Laki sama perempuan, kan pas. Kayak rumah tangga yang lain, gitu." Aku menawarkan.
Rafael menggeleng. Kali ini ia mendongak dan menatapku lembut. "Kamu yang hamil, Sa. Kamu yang melahirkan, kamu yang ngerasain sakit. Jadi kamu yang tentukan mau anak berapa. Satu, atau dua, terserah kamu." Ia berucap enteng.
Aku tercengang. Walau sudah lama bersahabat, aku baru tahu akan pemikiran Rafael yang ini. Lagipula, ngapain sahabat bahas soal anak? Kan nggak mungkin.
"Soal pekerjaan rumah. Aku tahu kamu nggak suka setrika dan memasak, jadi I'll do it." Ia melanjutkan. Ia tahu betul bahwa dua pekerjaan domestik itu yang selalu kubenci. Aku lebih suka cuci piring atau cuci baju daripada setrika ataupun memasak.
"Baiklah, aku bagian cuci piring, cuci baju, bersih-bersih rumah, ngepel---"
"Bersih-bersih rumah kita lakukan bareng-bareng aja." Rafael memotong. "Tanpa ada ART, kan?" Ia memastikan. Kami sepakat dengan satu hal tersebut. Tidak ada ART, baik itu yang menginap, ataupun yang datang pagi dan pulang sore. Entah kenapa, ada rasa tak nyaman jika ada orang lain berada di rumah ini.
Rafael kembali melirih arloji di tangannya lalu menyudahi diskusi kami. "Kayaknya pagi ini cukup ini saja, ya, Sa. Ayo berangkat dulu. Ntar aja dibahas lagi kalau emang ada yang perlu dibahas." Ia bangkit.
Aku ikut bangkit lalu bergerak ke kamarku untuk berganti baju kerja. Setelahnya, kami berangkat bersama ke kantor dengan mengendarai mobil Rafael. SUV tua yang usianya sudah hampir 15 tahun, tapi tetap tampak gagah karena rajin dirawat. Dulu aku sempat takjub karena baru beberapa bulan bekerja, ia sudah mampu membeli mobil sendiri yang boleh dibilang, harganya lumayan. Sekarang, setelah tahu kondisi keuangan keluarga, ya pantes aja. Wong asetnya dimana-mana.
Teman-teman kantor pun sudah biasa kok melihat kami berangkat dan pulang bareng. Cuma, andai mereka tahu bahwa sebentar lagi kami akan menjadi suami istri, entah akan bagaimana reaksi mereka? Di perusahaan kami tidak ada larangan menikah dengan teman sekantor, asal beda divisi. Tapi, apa perlu mereka diberitahu?
"Ngomong-ngomong, apa kita perlu memberitahu teman-teman kantor kalau sebentar lagi kita akan menikah? Toh nggak ada larangan, kan?" Seolah mampu membaca isi hatiku, pria di belakang kemudi itu bertanya. Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Nggak usah dulu, Raf. Nanti saja kalau segalanya sudah berjalan lancar."
Ia mengangguk setuju. "Oke," jawabnya pendek.
***
Aku baru saja meletakkan tas di meja kubikel-ku dan menjatuhkan tubuh ke kursi ketika ponsel berbunyi. Mengobrak-abrik isi tas dan menemukan benda itu di bagian paling bawah, sebuah nama tertera di layar. Kak Mona.
"Halo, Kak Mona," sapaku. Agak was-was karena tak biasanya dia menelponku di jam segini.
"Sa, sedang di mana?" Ia menjawab sapaanku dengan pertanyaan.
"Di kantor. Ada apa?"
"Sama Rafael juga?"
"Iya lah. Ada apa?" tanyaku heran.
"Mami bilang ke kamu gak kalau hari ini beliau mau ke Magelang?"
Pertanyaan itu sukses menciptakan kerutan di dahiku. "Ke Magelang? Ngapain? Enggak ngomong-ngomong, tuh."
"Pagi tadi, Mami sudah berangkat ke Magelang. Sama Papi, dan sopir. Katanya sih, mau menemui calon besan." Ia menjelaskan.
"What? Calon besan? Orangtuanya Rafael? Calon mertuaku, dong?" Aku nyaris saja berteriak.
"Ya iya lah. Emang anaknya Mami yang mau nikah sama orang Magelang siapa lagi kalo bukan kamu? Kayak punya anak lain lagi aja." Kak Mona terdengar sewot.
"Ngapain?"
"Ya mana kutahu. Makanya aku telpon kamu. Kali aja Mami cerita kalo hari ini mau ada pertemuan keluarga lagi." Tambah sewot dia.
"Ya udah, aku ngomong sama Rafael dulu, Kak. Nanti kutelpon." Buru-buru pembicaraan kuakhiri lalu beranjak. Melangkah cepat menuju lift yang akan membawaku ke lantai atas, tempat Rafael berada. Setelah memencet tombol dengan tak sabaran, aku pun masuk dengan perasaan tak jenak. Mencoba memikirkan kemungkinan kenapa Mami sampai nekat pergi ke Magelang? Apa sudah bicara dengan Rafel terlebih dahulu? Atau mendadak? Atau ... apa?
Setelah sampai di ruangan Rafael, aku segera bergegas menuju kubikel-nya. Tak lupa aku membalas terlebih dahulu sapaan dari teman-temannya.
"Ada apa?" Rafael menatapku bingung ketika menyadari raut mukaku yang nampak kalut.
"Keluar dulu bentar, ada yang mau kubicarakan." Aku berujar lirih. Rafael mengangguk lalu beranjak mengikuti langkahkku yang sudah berderap duluan. Ketika sudah sampai luar dan dirasa aman, aku pun mengutarakan perihal telpon Kak Mona, bahwa Mami dan Papi tiba-tiba melakukan perjalanan ke Magelang untuk menemui orang tuanya. Dan eskpresi syok juga terlihat di wajah Rafael, bahkan ketika aku belum sempat menyelesaikan ceritaku.
"Nggak tuh. Aku nggak dikasih tahu kalau Mamimu akan berkunjung. Ibu nggak ngasih kabar apa-apa. Marta juga enggak." Ia menjawab.
Buru-buru kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku mencoba menelpon Mami tapi nggak diangkat, Rafael mencoba menelpon Ibundanya, tapi juga nihil.
"Jadi kenapa mereka melakukan pertemuan mendadak gini, sih? Diem-diem lagi," gerutuku.
"Sa, jangan-jangan ---"
Teringat dengan pengalaman pertemuan keluarga yang pertama dulu, di mana mereka sempat terlibat adu argumen tentang konsep pernikahan, kami saling pandang lalu membelalak, "Mereka bakal---"
"Cekcok lagi?"
"Adu argumen?"
"Saling ngeyel?"
"Lalu ... berantem?!"
What?!
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro