Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Jangan ada mantan di antara kita

"Ciuman?" Kuulangi kata tersebut sembari bersedekap cuek. Dan Rafael mengangguk yakin.

"Yang beberapa waktu lalu kita lakukan, bukan ciuman namanya. Itu cuma ... salam tempel. Jadi wajar aja kalo rasanya aneh. Makanya, mungkin bisa kita coba lagi dengan lebih serius dan mendalami. Mungkin aja, kali ini kita bakal nemu sensasi lain." Pria itu kembali melangkah, memperpendek jarak di antara kami. Ketika ia membungkuk, aku menyentuh dadanya yang telanjang lalu mendorongnya pelan.

"Jangan macam-macam, ya. Bundamu ada di luar. Ntar kalau ketahuan, habis kamu.” Aku memperingatkannnya. Rafael menyeringai, tapi tubuhnya hanya mampu bergerak beberapa inci.

Pria itu baru saja akan membuka mulut ketiba tiba-tiba pintu terbuka dan Bu Salma muncul dari sana. “RAFAEEEL!” teriaknya. Perempuan yang mengenakan daster panjang semata kaki itu berjengit, berjalan dengan langkah tergopoh lalu mendorong tubuh putranya menjauh dariku.

“Apa yang kamu lakukan sama Sasa?” teriaknya gemas.

Rafael mengernyitkan dahi, menatap ibundanya dengan ekspresi bingung. “Aku? Emang … aku ngapain, Bu?”

“Tuh, kamu deket-deket ke mukanya Sasa, mana nggak pakai baju lagi. Ya Gusti, sudah dibilangin, kalau belum sah nggak boleh deket-deket.” Bu Salma ngomel-ngomel panjang lebar, membuat Rafael semakin kebingungan.

“Lah, kok marahnya sama aku sih, Bu? Lihat dong, Sasa sendiri yang datang kemari. Bukan aku yang datang ke kamarnya. Gimana, sih?” Ia membela diri.

“Tapi ibu tahu kamu menggodanya. Ya, kan? Tuh lihat.” Perempuan tersebut kembali menunjuk dada Rafael yang masih telanjang. "Auratmu, Raf! Aurat!"

Menyaksikan perdebatan mereka yang lucu, aku mengulum senyum, lalu turun perlahan dari ranjang. Kutatap calon suamiku tersebut dengan ekspresi puas. Senang aja melihat pria yang umurnya nyaris kepala tiga diomeli ibunya sendiri.

“Nggak ngapa-ngapain, kok. Lagian selama ini kami sudah bertahun-tahun ting—gal--” Kalimat Rafael seketika terhenti ketika aku melotot ke arahnya. Nyaris saja sosok itu mengungkapkan rahasia kalau selama ini kami sudah bertahun-tahun tinggal bersama. “Uhm, maksudnya, selama bertahun-bertahun bersama, kami belum pernah ngapa-ngapain, Bu.” Pria itu segera meralat kalimatnya.

Aku buru-buru menghampiri Bu Salma lalu menggamit lengannya. “Ayo, Bu. Saya mau melihat-lihat taman belakang.” Dan aku berusaha mengalihkan perhatinnya sebelum beliau sempat mengomel-ngomel lagi. Melirik kembali ke arah Rafael, pria tersebut cuma menatap kepergian kami dengan wajah manyun.

°°°

Pukul tujuh malam aku masih menghabiskan waktuku di rumah joglo. Didampingi dengan seluruh keluarga besar Rafael, termasuk tetangga-tetangga dekatnya, persis seperti suasana  kemarin malam.

Kami mengobrol, bersenda gurau, bertukar cerita, lalu sama-sama menertawakan cerita tersebut.
Obrolan malam itu didominasi cerita tentang Rafael di masa kecil hingga remaja. Bahwa sosoknya memang pintar, berprestasi, dan sering dikirim lomba. Pembawaannya memang kalem dan tenang seperti sekarang. Tipikal anak lelaki pertama yang bijak, mengayomi dan dapat diandalkan.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa ... dia keren.

"Rafael hampir nggak pernah terlibat keributan dengan orang lain. Hubungannya dengan keluarga, sahabat, bahkan tetangga pun, semua baik-baik saja. Dia nggak suka bikin onar, nggak suka bikin huru hara. Pokoknya, Ayah dan ibunya tuh nggak pernah direpotin.” Mbah Bulik bercerita dengan bangga.

“Tahu nggak? Waktu masih duduk di bangku SMA, yang naksir Rafael tuh buanyak. Selalu ada aja yang datang ke rumah. Sekadar mampir, ngasih kue, pinjam buku, nitip catatan, duh … pokoknya fans-nya banyak, Sa.” Perempuan itu kembali bercerita dengan menggebu-nggebu. Membuatku ikut tersenyum dan merasa antusias.

Sejak kuliah, aku tahu kalau Rafael tampan. Aku juga tahu bahwa dia dikejar-kejar begitu banyak perempuan. Untungnya ia bukan pria ganjen yang akan menanggapi setiap godaan yang datang. Selama kami bersahabat, aku tahu bahwa ia hanya punya satu mantan, Nina.

“Kamu juga cantik, Nak Sa. Mbah Bulik yakin kamu pasti juga banyak yang ngejar-ngejar. Ya, nggak? Ah, Mbah jadi ingat jaman muda dulu. Cantiknya nggak kalah sama kamu.” Mendengar ucapan perempuan tersebut, joglo ramai dengan gelak tawa. Sampai akhirnya Rafael bergabung dan mengahampiriku, “Aku mau ngajak Sasa jalan-jalan bentar. Yuk, Sa.”

“Kemana?” Bu Salma dan Mbah Bulik bertanyaan hampir bersamaan.

“Keliling-keliling saja, Bu. Besok sudah kembali, jadi malam ini pengen nunjukkin kota Magelang di malam hari.” Ia menjatuhkan pandangannya ke arahku. Menyetujui ajakannya tanpa ragu, aku mengangguk lalu bangkit. Pamit pada semua orang yang ada di joglo, aku mengikuti langkah Rafael ke mobilnya. Tak berapa lama, kendaraan itu berjalan pelan. Membuatku leluasa menikmati setiap pemandangan.

Wilayah Kebupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi yang berbentuk cekungan dengan dikelilingi gunung-gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing dan pegunungan Menoreh. Dua sungai besar mengalir di tengah, yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo. Maka tak heran bila kota ini akan terlihat luar biasa indah di malam hari.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Sebenarnya aku pengen ngajak kamu ke Punthuk Setumbu, kawasan bukit di belakang Candi Borobudur. Tempat favoritku itu. Tapi ---” Sekilas, Ia menatap arloji di tangan. “Butuh effort yang lumayan untuk pergi ke puncaknya. Terlebih sudah jam segini, kayaknya nggak bakal asyik. Atau mau ke alun-alun saja?” Ia menawarkan.

Aku pernah mendengar tentang tempat yang Rafael sebutkan. Punthuk Setumbu, salah satu bukit yang berada di kawasan gunung Menoreh. Punthuk Setumbu artinya bukit yang berbentuk seperti tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Orang bilang, momen yang tak boleh terlewatkan dari tempat tersebut adalah manakala matahari terbit. Berdasarkan gambar-gambar yang pernah kulihat di internet, memang luar biasa menakjubkan.

“Atau mau ke kebun stroberi aja?” Rafael kembali menawarkan ketika aku tak memberikan jawaban.

“Malam-malam begini?” tanyaku balik. Pria itu mengangguk. “Banyak lampu penerangan, kok. Sekalian bisa melihat kelap-kelip lampu di kota.” Ia menjawab.

“Kebunnya … punyamu?”

Rafael menatapku lalu menyeringai, “Iya,” jawabnya kemudian. Akhirnya aku mengangguk tanpa ragu. “Asyik, aku bisa makan stroberi sepuasnya,” seruku.

Sekitar limat belas menit kemudian kami sampai. Setelah memarkir mobil, kami bergegas menyeberangi kebun stroberi yang sedang berbuah. Dengan langkah ringan, kami bergerak menuju gubuk yang nyaris berada di ujung. Beberapa kali aku berhasil memetik buah stroberi matang dan melahapnya tanpa ragu.

“Ih, nggak dicuci dulu.” Rafael berkomentar. Aku cuma mengangkat bahu, lalu mengusap buah tersebut pada bagian bawah kaos yang kukenakan. “Beres,” jawabku enteng.
Kami duduk berdampingan di gubuk kayu. Kuayunkan tungkai kakiku dengan riang, sambil sesekali kembali melahap stroberi yang tadi berhasil kupetik.

“Mbah Bulik bilang, sewaktu sekolah, kamu punya banyak fans.” Aku membuka percakapan.

“Begitulah. Namanya juga orang cakep.” Rafael menjawab asal. Dih. Aku mencebik.

“Pernah pacaran?” tanyaku lagi.

“Enggak.”

“Jadi, pacaranmu cuma sama Nina?”

Lelaki itu menjawab pendek. “Hu-um.” Lalu ia kembali berujar, “Jangan khawatir, mantanku cuma satu. Beda sama kamu, putus, dapat pacar baru, putus lagi, eh, dapat pacar baru lagi. Coba kuhitung ada berapa mantan-mantanmu.” Ia menggerakkan jemarinya dengan gesture menghitung. “Astaga, enam, Sa! Ini mantan apa club futsal?” Ia berseru.

Aku mencebik lagi. “Baru juga enam, belum tujuh.”

Kami berpandangan, dan pria itu tampak sewot. “Enam itu banyak, Sa. Ngomong-ngomong soal mantan pacar, aku nggak mau mantan-mantanmu bikin drama setelah kita menikah nanti. Kalau perlu, kita bikin perjanjian, agar mereka nggak rese, nggak coba nyari-nyari kamu lagi, menghubungi kamu, lalu mencoba masuk ke kehidupan rumah tangga kita. Najis.” Ia bergidik.

“Sepakat.” Aku menjawab tanpa ragu sedikitpun. “Emang seharusnya begitu, kan? Termasuk mantan pacarmu itu. Aku nggak mau Nina hadir lagi di kehidupanmu.”

“Beres. Yang perlu dikhawatirkan mantan-mantanmu yang seabrek itu. Aku kan cuma satu.” Dan pria bermata bening ini tak berhenti mengolokku.

“Iya, kamu cuma punya satu mantan. Tapi bapermu nggak ketulungan.” Akhirnya aku rada emosi. “Aku tahu kok kalau kamu masih sering mikirin dia, ngelamunin dia. Nina, oh Nina. Nina bobok kali.” Kali ini aku sewot.

“Halah, sama aja. Terakhir kali kamu putus, kamu juga nangis-nangis gitu, kok.” Ia membalas tak kalah sewot.

“Tapi aku ‘kan orangnya gampang move-on, Raf. Mantanku emang banyak, tapi secepat aku jatuh cinta, secepat itu pula aku lupa. Bagiku, jatuh cinta lagi itu hal yang mudah.” Aku urung memakan kembali sebuah stroberi di tanganku. Harus diakui, walau tampan, kadang calon suamiku ini menyebalkan.

“Berarti … jatuh cinta sama aku juga hal yang mudah, kan?” Kalimat yang meluncur dari mulut Rafael, membuatku tertegun. Pertanyaan mudah, sekilas, tapi sempat membuatku gundah.

"Ya, kan?" ulangnya.

Pandangan kami beradu. Ketika keadaan sempat hening, aku menjawab, “Gampang-gampang aja. Sepertinya bukan hal yang sulit. Lalu bagaimana denganmu? Jangan bilang kalau semua relung hatimu sudah terisi dengan nama satu wanita saja dan nggak ada kesempatan untuk perempuan lain? Dih, drama banget.” Aku mencebik lagi. Membayangkan lelaki ini akan senantiasa menaruh hati pada sosok Nina, kok aku jadi jengkel tiada tara. Kayak nggak ada perempuan lain aja.

Pria itu menatapku tanpa ekspresi berlebih, enggan  menjawab omelanku. Ketika ia mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahnya ke arahku, aku buru-buru melengos. Aku bisa menebak hal apa yang ingin ia lakukan.

“Nggak. Aku nggak mau ciuman di sini. Ntar kena gerebek orang. Mana di tempat terbuka lagi, ogah. Nggak mau---”

Diem,” bisiknya lembut, tepat di dekat telinga. Aku merasakan tangan Rafael menyentuh daguku, membawaku menghadap wajahnya. Di antara temaram lampu, sosok itu menatapku dalam. “Biarkan aku mencari jawaban atas pertanyaanmu tadi.” Ia berbisik lalu kembali mendekat. Kali ini mempertemukan bibir kami tanpa ragu.

Awalnya seperti yang sudah-sudah. Hanya salam tempel, lalu berakhir aneh. Sampai akhirnya ketika ia menyesap bibirku lembut, memagutnya perlahan, ada sensasi lain yang menjalar tubuh.

Masih terasa aneh. Tapi … manakala kedua tangan Rafael menangkup wajahku hingga membuat ciuman itu berlanjut lebih dalam, rasanya … lumayan.

“Stroberi.” Rafael bersuara di atas bibirku. Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu tersenyum. “Rasanya stroberi,” ia melanjutkan. “Manis.”

Dan adegan itu kembali terulang, lebih intim. Tanpa melepas ciuman kami, pria itu mengangkat tubuhku dengan mudah lalu menempatkanku di pangkuannya.

Hm, memang … manis.

***

Henry Cavill

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro