①
Satu kesadaran yang Vianka rasa sepanjang enam bulan ini adalah hampa. Antara masih menjejak tanah dan melayang. Hari berlalu, waktu bergerak, cuaca berubah namun Vianka tetap patah hati. Begitulah perasaan yang dijalaninya selama enam bulan belakangan.
Kemana semua kepribadiaan ceria dan unik miliknya?
Masih ada. Hanya hatinya yang berubah. Andai sepuluh bulan lalu, dia tidak pernah menabrak seorang ibu-ibu tua gemuk di jalan, barangkali hatinya masih berupa utuh. Barangkali dia masih berpikir penghianatan Farrel adalah kisah terburuk percintaannya selama dua puluh tiga tahun kehidupannya.
Nyatanya, pengandaian itu tak pelak hanya mimpi yang dia sendiri tidak harapkan. Vianka tetap Vianka yang mensyukuri kisah pertemuannya dengan Mbok Semi, Kasyaf, dan pria yang mengubah kisah percintaannya beralur kelam, Pak bos galak.
"Papa," Vianka memanggil Tyo yang sekarang sudah berstatus suami Dewinta.
"Iya, Princess." Tyo membiasakan dirinya memanggil si sulung sesuai panggilan istrinya. Selain itu, baginya, mempunyai anak perempuan lebih menyenangkan. Anak laki-laki Dewinta terlalu cuek dan tidak minat bermanja-manja padanya yang rindu ingin memanjakan anak.
"Aku mau beli mobil ini." Vianka menunjukan foto mobil VW yang digunakan Lindsay Lohan pada suatu film. "Tapi warna dasarnya ungu dan striping line diganti pink, pa."
"Kenapa nggak putih saja, say." Dewinta ikut menimpali.
"Nggak mau, mi. Putih bukan warna aku." Itu warna mobil Pak bos.
"Ya sudah, nanti papa belikan. Tapi yakin mau mobil keluaran lama gitu?" Tyo masih belum terbiasa dengan pola pikir anak-anak Dewinta. Terutama Vianka.
"Nggak masalah. Aku yang mau begitu." Vianka mengendikan bahunya dan kembali melahap sarapannya.
Kegiatan sarapan selalu berlangsung ramai oleh celotehan Vianka dan Tyo. Werryn masih dalam gayanya yang tidak banyak bicara, sementara Xander seringkali menimpali jika ingin mengusili Vianka dan Tyo. Dewinta yang paling senang tiap sarapan anggota keluarganya komplit, membikin semangat masaknya meningkat.
"Oh ya, Xan, ini titipan lo. Gue takut lupa ngasih." Vianka mengulurkan plastik putih berlabel apotek terkenal di saat Xander menyelesaikan sarapannya.
Mata Dewinta membesar. Cepat saja dia merebut bungkusan itu. Pikiran pertamanya adalah khawatir Xander sakit tapi tidak mengabari. Namun wajah khawatirnya berubah murka seketika, tangannya mencomot tiga kotak testpack beda merek dagang.
"Ini apa?" Tanya Dewinta galak. Tangannya melempar ketiga kotak itu di atas meja makan. Tyo menyemburkan air minumnya saking terkejut. Xander terbelalak. Werryn melirik sekilas lalu balik menyuap nasi gorengnya.
Sementara Vianka memberikan jawaban dalam pose polos. "Testpack. Emang mami nggak bisa baca bungkusannya?"
"Bukan itu maksudnya. Buat apa benda-benda ini?" Dewinta sudah kesulitan menahan emosinya. Tudingan besar dia layangkan pada Xander dan Vianka.
"Xander minta aku beliin buat tes pacarnya hamil apa nggak. Tanya dia dong, mi. Bener buat pacarnya apa buat camilan sore."
"XANDERRR!!"
Dewinta sudah bersiap dengan garpu yang mengacung pada leher putera bungsunya. Bekal semasa kecil sering jadi anak nakal mengasah kelenturan tubuh Xander. Dengan cepat Xander menghindari acungan garpu maminya.
"Mi, aku bisa jelasin," kata Xander bernegosiasi. Tangannya terentang ke depan gemetaran.
"Jelasin kalo kamu tidur sama pacar kamu, hah?" Dewinta sudah tidak tahan ingin menusukan garpu ke anaknya yang paling nakal. Dia mengejar Xander yang duluan kabur keluar.
"Papa kejar mami ya. Kalian selesaikan makannya," kata Tyo.
Tersisa Vianka dan Werryn di meja makan, menikmati sarapan mereka dalam iringan pekikan Xander, Dewinta, dan Tyo di depan rumah.
"Kenapa lo sengaja ngasih barang itu di depan mami." Werryn menggunakan lirikannya menunjuk tiga kotak testpack yang tergeletak di tengah meja.
"Biar mami tau ulah anak bontotnya."
"Trus lo seneng?"
"Gue khawatir ama dia tapi gue tau omongan gue nggak bakal dia terima yaudah gue pake cara ini."
"Gue malah lebih khawatir sama lo," kata Werryn sebelum bangkit meninggalkan Vianka sendirian yang bingung memahami maksud ucapannya.
Lo kenapa masih bertahan di rumah ini kalo hati lo ada di rumah duda itu, suara hati Werryn.
***
Enam bulan ini menjadi waktu terpanjang dalam periode hidupnya yang sudah berumur. Kemana energinya mengerjakan pekerjaan, mengatur karyawan, berteman, bahkan menyisakan keriangan bersama puteranya. Tidak ada yang banyak tertinggal semenjak kenyataan besar rahasia pembantunya terkuak. Dia kembali belajar menjejak perasaan patah hati. Menyusun puing harapannya yang berserakan sejak gadis muda itu membalik keteraturan hidupnya. Begitulah Kenio kini.
Namun tidak sekali pun dia menyesali takdirnya yang sempat mengikat dirinya dan gadis muda itu. Melainkan kebahagiaan yang berharga walau sebentar.
"Ayah," panggil Kasyaf.
"Iya, nak." Kenio menghentikan kegiatan membaca koran paginya dan memfokuskan diri pada puteranya.
"Kasyaf hari Sabtu mau turnamen. Ayah ikut nonton kan?" Kasyaf menaruh harapan ayahnya akan menyisakan waktu menyaksikan pertandingan perdananya. Jika ada mbaknya, Kasyaf tentu tidak akan sedemikian berharap. Mbaknya saja sudah cukup menyemangati tapi kini Kasyaf harus berpuas pada perkataan ayahnya yang mengatakan mbaknya harus pergi karena urusan keluarga.
"Ayah usahakan ya," jawab Kenio.
"Makasih, yah."
"Ayah berangkat kerja. Kamu habiskan makanan kamu. Oke?"
"Oke, yah!" Kasyaf mengacungkan jempolnya semangat.
"Titip rumah, mbok," kata Kenio saat si mbok masuk membawakan susu hangat untuk Kasyaf.
"Iya, pak," jawab Mbok Semi sambil lirik-lirikan dengan Kasyaf yang sempat ditangkap indera penglihatan Kenio.
Mereka ngapain lirik-lirikan?
Kenio mengendikan bahu tidak acuh lalu pergi menuju mobilnya yang sudah dia panasi sebelum sarapan.
Kasyaf berlari ke jendela ruang tamu, mengintip mobil ayahnya yang sudah melaju keluar. Dia cepat kembali ke ruang makan.
"Mbok, ayah udah pergi. Kita jadi jalan kan?" Tanya Kasyaf memastikan.
"Yakin aman mas? Mbok khawatir ketahuan bapak," kata Mbok Semi agak ketakutan. Takut diomeli majikannya jika ketahuan lalu dipotong gajinya atau amit-amit dipecat.
"Tenang mbok. Kasyaf udah cek jurnal kerja ayah. Pokoknya ayah sibuk seharian ini. Nggak bakal ketauan kok. Yakin deh." Kasyaf mengedipkan sebelah matanya yang membikin si mbok tertawa terpingkal-pingkal.
"Kamu pasti niru mbakmu ya, mas?"
"Emang nggak imut ya?" Tanya Kasyaf kikuk sembari garuk kepala saking malu.
"Imut piye. Kamu cah guanteng tapi matamu kayak orang kelilipan, lek!"
Setelah membereskan meja makan, Mbok Semi dan Kasyaf bersama-sama keluar rumah. Mereka akan pergi menuju tempat yang sudah mereka rundingkan beberapa minggu ini.
Tbc
Happy Reading (*δωδ*)」
25/09/2017
Maaf lama nunggu!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro