Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 | Mencintaimu

Tak ada yang sempurna, begitu pun soal cinta.

Namun satu yang kutahu; sekeras yang kumampu, sekuat yang kusanggup, aku tetaplah aku.

Yang mencintaimu tanpa pernah ragu.

•••

Sekali sebuah kaca pecah, maka tak ada hal yang bisa mengembalikan keutuhannya. Raden telah mendengar kalimat tersebut ratusan kali sepanjang hidupnya. Jika memang benar demikian, apa artinya ia tak punya lagi kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarganya?

"Jadi, besok lo yang nganter Bapak check up?" suara Alex di sampingnya kontan memecah lamunan Raden. Sahabatnya itu kini tengah mengelap meja konter.

"Iya, sorry ya jadi banyak izinnya gue," ujar Raden merasa tak enak hati. Tiga hari yang lalu Bapak akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau memang sudah jauh lebih baik, tapi tetap saja masih perlu pemantauan lanjutan. Berhubung Dinda harus kerja, dan Btari masih ujian. Jadilah, Raden yang berinisiatif untuk menemani Ibu mengatar Bapak.

"Santai, take your time," Alex menyengir lalu menyenderkan tubuhnya pada konter. Pemuda gondrong itu memerhatikan sahabatnya sejenak, sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang selama ini sudah ia tahan. "Hubungan lo sama Bokap gimana? Udah mendingan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Alex membuat tubuh Raden mengkaku sejenak, sebelum pemuda itu kembali menyusun gelas dengan luwes.

"Ya gitu, nggak ada perubahan signifikan, dari di rumah sakit, sampai sekarang masih belum ngobrol sama sekali," balas Raden seraya meletakan cup terakhir. "Sebenarnya nggak ada bedanya sama gue tinggal di sini, toh gue ketemu bokap juga cuma setiap sarapan."

"Ada bedanya."

"Hah?" Raden menoleh, menatap Alex bingung.

"Lo di rumah dan di sini pasti ada bedanya buat bokap lo, dengan lo di rumah, seenggaknya dia punya kesempatan ketemu lo setiap hari walau cuma semenit-dua menit, seenggaknya dia bisa mastiin kalo lo baik-baik aja, seenggaknya wujud lo itu ada."

Raden terdiam tak membalas kalimat Alex.

"Lo pernah dengar nggak sih, kalimat kalau satu orang tua bisa ngerawat sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa ngerawat satu orang tua?" Alex bertanya retoris. "Gue rasa, gue ngerti kenapa ada bisa kalimat kayak gitu, bukan semata-mata karena anak yang nggak sayang sama orang tua, tapi memang seluar biasa itu cara orang tua mencintai anak-anaknya. Makin dewasa, semakin kita merasa nggak butuh perhatian dari orang tua, merasa sanggup ngapa-ngapain sendiri, kadang perhatian orang tua jadi terkesan annoying, padahal udah jadi hukum alam orang tua punya hati yang kayak gitu; yang selalu khawatir sama anak-anaknya, selalu perhatian sama anak-anaknya, selalu mau merawat anak-anaknya, nggak peduli berapa pun umur mereka."

Raden mengela napas berat. Seolah ratusan ton beban terletak pada pundaknya.

"Dan yang orang tua nggak tahu juga, sometimes anak-anak menghindar karena nggak mau buat orang tua khawatir, anak-anak menghindar karena nggak mau ngecewain, kalau anak-anak juga merasa bertanggung jawab buat melindungi perasaan orang tua mereka," ujar Raden melanjutkan kalimat Alex, kini ia ikut menyandarkan tubuhnya di sebelah Alex. "Kadang gue merasa apa yang gue lakukan sekarang useless, kayak... gue nggak tahu lagi apa yang harus gue lakuin buat minta maaf sama Bapak."

Alex beranjak dari posisinya, lalu menepuk pundak sahabatnya. "Pelan-pelan Den, everything will get better."

"I hope so."

•••

Hari ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Semester diadakan di SMA Paramitha. Jika siswa lain sudah bisa bernapas lega, maka kru Paramitha Festival justru sebaliknya. H-2 perhelatan akbar itu digelar dan mereka baru bisa kembali rapat dengan laporan setiap divisi di tangan.

"Oke, berarti acara aman, danus aman, humas aman, K3, tinggal pudok ya kurang satu kamera?" ujar Nadine mendikte catatannya.

"Sama gue butuh satu orang lagi Nad, buat megang ngerepost sama Instastory di akun OSIS," jawab Ricky kepala divisi publikasi dan dokumentasi.

"Loh, katanya mau lewat akun Paramitha Festival aja? Biar satu pintu?"

"Request khusus dari Bu Maryam, jadi Instagram Paramitha Festival cuma bakal buat live," Nadine bantu menjawab, gadis itu lantas mengalihkan wajahnya pada seseorang yang sejak tadi memainkan ballpoint di ujung ruangan. "Pakai Rae aja."

Raesangga yang merasa terpanggil kontan mengangkat kepalanya. Menatap Nadine tak setuju. "Apaan lagi? Gue udah disuruh bantuin anak K3."

"Kan bisa sambil."

"Nggak ah, cari yang lain aja, suruh siapa kek gitu, sibuk gue."

"Jadi Rae nggak mau?"

"Oke, fineee!!!" Rae berseru keras, tak repot-repot menutupi kejengkelannya. Ia benar-benar berharap event ini cepat selesai, agar ia bisa bebas dari segala perbudakan ini. "Apa lagi? Apa lagi? Siapa lagi yang tugasnya harus gue take over? Kasih gua sini semuanya! Kasiiih!"

Seluruh ruangan menyengir lebar, dari wajahnya jelas mereka sudah punya 1001 akal bulus.

"Rae, jemput gue dong hari Minggu, gue meger nyetir subuh-subuh gitu." Benar kan, belum apa-apa Ersa sudah menyeletuk.

"Ih, apaan lo Sa, Rae jemput gue, repot nih gue bawa konsum, mau makan siang lo pada nanti gue tahan?" Okta yang merupakan ketua divisi konsumsi menyela Ersa.

"Gue nggak minta apa-apa deh, cukup tanggung sarapan sama makan malem aja Rae, payah banget ini Parfest nyediain konsumnya cuma makan siang, padahal kan kita lagi mengharumkan nama nyokap lo, Rae!" Rizal ikut menambahkan.

Rae menggelengkan kepala melihat teman-temannya. "Nggak ada, nggak ada, jalan sendiri lo semua, gue jemput Nadine pas hari H."

Hening sejenak, sebelum akhirnya...

"Cieee!" seruan kontan berterbangan di seluruh ruangan.

"Bubar guys bubar, memang benar tak ada proker yang tak cinlok."

"Susah emang susah kalo baru jadian, jatah konsum makan siang lo nggak gue keluarin, liat ajaaa!"

"Uwuphobia gue kalo gini caranya."

"Pajak jadian dong!"

Berbeda dengan Rae yang kelihatan santai menanggapi teman-teman mereka, wajah Nadine memerah karena malu. Ia memang tak pernah terbiasa dengan ledekan semacam ini. Dan lagi... Kenapa Rae tidak membantah? Memangnya kapan mereka jadian?

"Oke guys tenang tenang, Nadine masih mau ngomong di depan, nanti urusan traktir, abis Parfest Rae traktir kita semua kok." Melihat Nadine yang wajahnya sudah persis tomat, Gemilang pun berinisiatif mengambil alih. "Ya kan Rae? Kemarin lo bilang mau traktir satu kepanitiaan?"

"Hah?" Wajah Rae sekarang adalah kombinasi dari kebingungan dan salah tingkah. Kesibukan ujian memang membuat Rae dan Gemilang belum banyak mengobrol selama seminggu terakhir, tapi ia sama sekali menyangka bahwa sahabatnya itu akan memulai percakapan mereka terlebih dahulu.

"Kintan Buffet, lo bilang mau traktir anak-anak di Kintan."

Bukan percakapan. Gemilang bahkan sudah mengerjainya. Sahabatnya ini bertekad menguras uang jajannya selama sebulan.

Ada senang sekaligus haru yang pecah di dada Rae, dengan cengiran lebar, ia pun akhirnya hanya menganggukan kepala. "Iya, gue traktir Kintan lo semua!"

Sekarang justru Gemilang dan anak-anak lain yang melongo.

"Seriusan?!" Ricky mewakilkan tanya di atas kepala mereka semua.

"Iya serius!"

Sorakan langsung bergema di seluruh ruangan, sedangkan Gemilang, Nadine, dan Btari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka.

"Yay! Kalo gini gua ikhlas nggak jadi lo jemput!"

"Ya Allah, alhamdulillah, nggak sia-sia hamba jadi budak proker."

"Akhirnya guys, Tuhan mendengar doa kita semua."

Dari tempatnya Rae melemparkan cengiran lebar ke arah Gemilang. Mata pemuda itu berbinar cemerlang, sama sekali tak terlihat bahwa baru saja dikerjai.

Gemilang pun tak bisa menahan lengkungan bibirnya. Meski luka itu masih menganga di dadanya, tapi ia tahu pilihannya kali ini benar. Rae tak bersalah, tak ada alasan baginya untuk menghukum sahabatnya.

Tanpa keduanya sadari, di tempatnya Btari diam-diam tersenyum lega.

Gadis itu tahu, mereka akan selalu seperti itu.

Mereka selamanya akan seperti itu.

Semoga.

•••

Katanya, kita bisa memaafkan seseorang, tapi akan sulit melupakan luka yang mereka sebabkan. Namun, bagi Gemilang, kata 'memaafkan' pun rasanya masih terlalu jauh darinya.

Gemilang belum bisa ikhlas atas apa yang Janadi Danureja lakukan pada keluarganya, dan mungkin selamanya tidak akan pernah bisa. Tetapi, Gemilang sadar, kemarahannya tetap tak akan mengubah apa-apa jika bukan dirinya yang bergegas. Ayahnya tidak akan hidup lagi, dan ia tak punya kekuatan apapun untuk menyeret Janadi mendekam di penjara.

Alasan itulah yang membuat Gemilang berada di Danureja Karya siang ini. Bukan lagi melewati Reza, Gemilang ingin berhadapan langsung dengan orang itu. Orang yang mencoreng nama Ayahnya.

Masih dengan seragam sekolahnya, Gemilang duduk di depan ruangan Janadi Danureja. Tangannya menggenggam satu dokumen yang seminggu lalu diberikan Raesangga secara cuma-cuma.

"Mas, silakan masuk, Pak Janadi sudah ada di dalam." Seorang perempuan-yang Gemilang ketahui sebagai sekretaris Janadi di Danureja Karya-mempersilakan Gemilang. Gemilang tahu kehadirannya menimbulkan pertanyaan di kepala perempuan itu, tapi ia berusaha membuat dirinya senormal mungkin.

Gemilang tak lagi ingin merasa rendah diri karena keadaannya.

Ruangan kerja Janadi di Danureja Karya mungkin mungkin merupakan ruang kerja terbesar yang pernah Gemilang masuki. Di dominasi oleh warna cokelat tua, dan interior berbahan jati dan marmer, ruangan itu tampak mewah sekaligus angkuh. Eksklusif dan mengintimidasi.

Di atas sebuah kursi kulit, Janadi duduk. Pria itu langsung bangkit ketika menemukan Gemilang yang berdiri di tengah ruangan.

"Gemilang, apa kabar? Saya terkejut sekali waktu mendengar kamu ingin menemui saya," nada bicara yang Janadi gunakan masih sama seperti yang ada diingatannya. Tegas, ramah, tapi mendominasi. Terasa seperti sebuah paradoksal. "Duduk duduk."

Janadi mengarahkan mereka untuk menempati sofa yang terletak di ujung ruangan. Setelah menghubungi sekretarisnya untuk membawa dua cangkir teh, Janadi ikut bergabung bersamanya.

"Jadi, apa kabar Gemilang?"

"Om sepertinya lebih tahu kabar saya bagaimana." Gemilang sama sekali tak berniat mengonfrontasi, tapi tentu saja kalimatnya barusan terdengar sinis. Ia sendiri juga tak menyangka akan berani bersikap demikian.

Janadi tersenyum sama sekali tak terkejut atau merasa tersinggung. Pria itu sepertinya sudah membaca maksud Gemilang.

"Saya dengar sedikit dari Reza, sering juga dengar kabar kamu dari Raesangga, sayangnya akhir-akhir ini hubungan saya dengan Raesangga kurang baik."

"Saya tahu."

"Tentu saja kamu tahu, anak saya memang lebih dekat dengan sahabatnya daripada orang tuanya," Janadi tertawa sedikit, tapi tetap saja kesan mendominasi itu tak hilang dari dirinya. "Jadi, apa yang membuat kamu repot-repot menghampiri saya daripada menitip pesanmu lewat Reza?"

Gemilang mengambil napas sekali sebelum meletakan dokumen yang sejak tadi ia pegang ke hadapan Janadi. Tanpa perlu membuka amplop cokelat tersebut, Janadi tentu sudah tahu apa isinya.

"Om Reza benar, saya nggak bisa mengembalikan apa yang telah Om ambil dari kami, tapi saya pikir, saya masih punya kesempatan untuk mempertahankan apa yang saya miliki."

Janadi menautkan jari-jarinya. Terkesan dengan keberanian anak kecil di hadapannya. Senyumnya tak hilang sedetik pun dari bibirnya. "Jadi, kamu tetap mau jadi dokter?"

"Nggak, saya tidak akan jadi dokter, dan Om masih bisa memanfaatkan saya untuk bekerja di Danureja Karya," ujar Gemilang tegas. "Tapi saya tidak akan belajar manajemen."

Kerutan muncul sedikit di kening Janadi. "Lalu?"

"Biayai saya untuk ambil kuliah jurusan hukum."

Senyum Janadi terkembang kian lebar, tak butuh waktu lama untuknya meluluskan permintaan Gemilang. Anak ini cerdas, pekerja keras, dan punya pemikiran yang menarik. Gemilang jauh lebih kompleks dan rumit daripada putranya yang tanpa ambisi. Apapun yang ada di dalam diri Gemilang bisa jadi pedang atau pun boomerang untuk dirinya sendiri.

"Oke, ada lagi?"

"Pengobatan Ibu saya, dan masa depan adik saya, tolong biayai dan biarkan mereka memilih apa yang mereka inginkan," kata Gemilang lagi. "Saya sudah cukup kan jadi jaminan? Jangan ganggu adik-adik saya."

Menyenangkan rasanya melihat seorang anak kecil yang berusaha keras terlihat seperti seorang dewasa yang siap melawan dunia. Sayangnya, anak ini juga akan belajar, bahwa untuk menggenggam dunia, ia tak bisa melawannya. Ia harus merengkuhnya.

"Baik, semua permintaan kamu akan diproses oleh Reza, kamu bisa minta apapun lewat Reza, karena sepertinya kamu tidak berniat menemui saya secara pribadi seperti ini di waktu lain, bukan?"

Gemilang menganggukan kepala lantas bangkit dari tempatnya. Ia tak ingin lebih lama lagi berada di ruangan yang sama dengan Janadi Danureja. "Terima kasih atas waktu Om, tapi saya harus pergi."

"Hati-hati." Janadi ikut bangkit dari tempatnya. Mereka tak berjabat tangan atau melakukan hal lain yang biasa dilakukan oleh orang yang hendak berpamitan.

Dadanya masih sesak oleh kemarahan, tangannya masih terkepal di samping paha. Tepat ketika kakinya sampai di depan pintu, suara Janadi menahan langkahnya.

"Gemilang?"

Gemilang tak menjawab, hanya diam di tempat.

"Saya tidak berniat meminta maaf sebagai Janadi Danureja, tapi sebagai orang tua dari Raesangga, saya harap kamu tahu bahwa saya benar-benar ikut prihatin atas apa yang terjadi pada keluarga kamu."

Beberapa detik terlewat, sampai akhirnya Gemilang keluar dari ruangan tersebut.

Tetap tanpa menjawab kalimat yang Janadi katakan.

•••

"Kamu udah pacaran sama Rae?" pertanyaan dari Mamanya nyaris membuat Nadine tersedak nasi goreng yang ia kunyah. Nadine buru-buru meraih gelas yang mamanya sodorkan, dan menghabiskan airnya dalam sekali tegukan.

Katreena menggelengkan kepala lalu menyuap makanannya dengan gaya anggun.

"Aku nggak jadian sama Rae," jawab Nadine setelah yakin tak ada lagi sisa makanan yang akan membunuhnya di dalam mulut. Hubungannya dengan Mamanya memang sudah membaik, tapi tetap saja mereka tak seakrab itu untuk membicarakan orang yang sedang dekat dengannya.

Katreena mengangguk paham, perempuan itu menyesap minumannya, lalu menyapu bibirnya. "Soal yang kita bicarakan kemarin, bagaimana? Kamu sudah pikirkan? Mau ikut Mama ke Singapore atau mau tetap tinggal di sini?"

Nadine terdiam sejenak sebelum mengangkat bahunya. Kemarin, Mama dan Papanya sudah berbicara pada Nadine. Setelah urusan perceraian mereka selesai, Mamanya akan terbang ke Singapore, membangun Katreena Fashion House di sana. Nadine dibolehkan memilih untuk tinggal di Indonesia dekat Papanya, atau ikut Mamanya berkuliah di sana.

Singapore tidak terlalu jauh sebenarnya, mereka masih bisa mengunjungi Papanya setiap minggu. Mama pun berjanji akan membebaskan Nadine pulang ke Indonesia kapan pun ia ingin. Nadine tahu, ini adalah kesempatan untuk dirinya dan keluarganya memulai kehidupan baru, meski tak lagi dengan formasi utuh.

Namun meninggalkan Indonesia bukan perihal mudah baginya. Biar bagaimana, ia tak ingin meninggalkan Papanya sendirian di balik sel tahanan.

"Kasih tahu Mama saja kalau kamu sudah memutuskan ya, Nadine? Kamu tahu kan apapun pilihan kamu, Mama dan Papa akan menghargainya? Kami cuma mau kamu hidup dengan lebih layak, dan tanpa tekanan."

"Thanks, Ma."

Mereka baru ingin beranjak dari kursi, ketika seseorang berdiri di samping meja mereka. Alam bawah sadar Nadine kontan menyala, ia membagi tatapannya antara pria berkemeja gelap tersebut, dengan Mamanya yang menunjukan raut terkejut yang serupa.

"Kat, aku bisa bicara sebentar?" suara pria itu parau, selaras dengan raut wajahnya yang tampak kacau dan kelelahan.

Katreena membasahi bibirnya, menundukan kepala. Kehadiran Primus di restoran hotel tempat ia dan Nadine menginap, tentu bukan sesuatu yang ia harapkan. Hubungannya dengan Nadine baru membaik, masih rapuh, dan butuh kehati-hatian. Kedatangan Primus tentu bisa menghancurkan semua usahanya.

Nadine melipat tangannya di depan dada, berusaha membaca raut wajah Mamanya, sebelum akhirnya memutuskan untuk mempercayai beliau.

"Mama bicara aja dulu sama dia, aku tunggu di kamar," ujar Nadine sambil menggeser kursinya. Ada raut terima kasih di wajah Primus yang ia abaikan begitu saja.

Tidak. Ini semua bukan semata-mata demi Mamanya atau demi Primus. Namun juga demi dirinya sendiri. Nadine ingin meyakinkan dirinya, bahwa Mamanya akan tetap memilihnya, meskipun Primus datang lagi ke dalam kehidupan mereka. Nadine ingin percaya bahwa ia bisa berhenti khawatir seseorang akan merampas Mamanya dari pelukannya.

Nadine tidak benar-benar pergi dari sana, di balik meja reservasi, ia bersandar pada dinding. Menjaga jarak dengan meja Mamanya, agar dapat mendengar pembicaraan mereka, tapi tetap dalam titik buta.

Ada hening yang mencekam untuk beberapa lama, dan Nadine tahu kenapa. Bahkan dari jarak sejauh ini, Nadine dapat merasakan kesedihan yang dirasakan Mamanya, juga pria yang selama ini ia benci mati-matian.

Primus menatap Katreena lama, seakan-akan, jika sekali saja ia berkedip, Kat akan kembali hilang dari pandangannya. "Kat..."

Cukup satu penggalan nama keluar dari bibir Primus, lolos jugalah air mata dari sudut mata Kat.

"I miss you..." suara parau Primus kembali terdengar, matanya menatap Kat dengan sorot yang membuat hati siapapun yang melihatnya ikut merasa patah. "I really miss you."

"Me too, aku juga, tapi aku nggak bisa..."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kenapa," Kat bergumam, setengah terisak. "Aku nggak mau menyakiti Nadine lebih daripada kemarin, aku mau belajar jadi Ibu yang lebih baik untuk dia."

"Aku bisa berusaha dekat sama Nadine." Kalimat Primus seharusnya terdengar sangat kurang ajar, dan tidak tahu malu di telinga Nadine. Namun entah kenapa dadanya justru merasa sebaliknya, Nadine merasa ada keputus-asaan dalam suara itu.

Seolah-olah Primus rela menggantungkan seluruh hidupnya pada harapan paling mustahil sekali pun.

"Aku yang nggak bisa," Kat menjawab Primus tanpa ragu. Meski isakan tetap tak hilang dari sana. "Kehadiran kamu aja mungkin udah nyakitin Nadine, nggak usah kamu, kadang aku pun merasa dia terluka cuma karena melihat aku, dia akan selalu ingat kalau aku Ibu yang ngecewain dia."

"Terus aku harus apa, Kat? Aku harus apa?"

Kat mengangkat kepalanya, menatap Primus dengan hati yang sama terlukanya.

"Lepasin aku..." ujar Kat, membuat Primus merasa dunia runtuh di atas kepalanya. "Lepasin aku, Primus, we're not belong to each other."

Primus mengangkat kepalanya, sesanggup mungkin menahan air mata yang hendak luruh, walau pada akhirnya usahanya tetap gagal. Hatinya terlalu patah. Luka ini terlalu pekat. Kehilangan yang menantinya di depan sana, sama sekali tak sanggup ia tanggung rasanya.

Ia mencintai Kat. Teramat mencintainya. Meski dengan cara yang salah, dan dunia menentangnya, tak ada satu pun orang yang sanggup mengubah kenyataan yang satu itu; Primus mencintai Katreena dengan segenap hati yang ia punya.

Cinta tetaplah cinta, bagaimana pun bentuknya.

Dan salah tetaplah salah, apapun alasannya.

Keduanya bergeming. Hati mereka seolah sengaja dibunuh oleh senyap yang mereka ciptakan sendiri. Pada akhirnya, inilah ujung dari perjalanan cinta pertama mereka. Tak peduli sekeras kepala apapun mereka berusaha, mereka tetap harus melepas.

Primus mengusap wajahnya, lalu memaksakan seulas senyum. Itu pilihan Katreena, dan ia harus menghormatinya. Ia tak ingin cinta yang ia punya justru menyiksa perempuan yang ia cintai setengah mati. Ia ingin cinta mereka hidup sebagai sesuatu yang indah, meski tak berada dalam bingkai cerita yang sama.

Untuk terakhir kalinya, Primus bangkit dari tempatnya. Ia mengecup puncak kepala Katreena lama.

Seolah kecupan itu mampu menerjemahkan seluruh perasaannya, menguraikan semua padanan kata-katanya. Seakan-akan, kecupan itu adalah perwakilan paling sempurna atas cinta yang mereka punya.

"I'm leave, Kat, kamu baik-baik ya."

Setelah Primus berlalu, Kat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menangis tersedu-sedu tanpa peduli mata-mata yang menatapnya ingin tahu. Tanpa tahu, bahwa di balik meja reservasi, seorang gadis juga menatapnya nanar.

Dua tangan gadis itu ingin memeluknya. Namun tak bisa.

Tangan Nadine tak sanggup merengkuh Mamanya.

•••

Bulan berbentuk bulat sempurna malam ini. Padahal mereka sudah sampai di ujung tahun, namun langit malam ini sama sekali tak menunjukan tanda-tanda bahwa hujan akan turun.

Keluarga Btari baru saja selesai makan malam, Dinda dan Btari tengah mencuci piring, sementara Raden sibuk mengembalikan gelas dan piring ke dalam rak.

"Mas, bawain obat ke kamar Bapak, gih." Btari tiba-tiba menyodorkan nampan berisi segelas air putih, dan piring berisi butiran obat Bapak.

"Kamu aja gih, Bi, Mas kerjain yang lain."

"Ih, aku mau belajar!"

Dahi Raden mengernyit. "Jangan bohong, ujian kamu kan udah selesai."

"Aku sibuk, masih ada yang harus dikerjain."

"Kalau gitu Dinda aj-"

"Nggak bisa, gue mau ngerjain kerjaan kantor!" Dinda buru-buru menyela, tidak ingin dijadikan tumbal.

Raden berdecak sebal, tapi akhirnya menerima juga nampan yang Btari sodorkan. "Punya adek nggak ada yang sopan, bisa-bisanya nyuruh abang tertua."

Dinda dan Btari tidak menyahut, hanya menyengir di tempat mereka. Ini sebenarnya salah satu usaha mereka untuk membantu Raden memulihkan hubungannya dengan Bapak. Baik Dinda mau pun Btari sepakat, bahwa keduanya sebenarnya sudah berusaha untuk mengambil perhatian satu sama lain. Seperti Bapak yang tak pernah alpa mengingatkan Btari membersihkan kamar Raden, atau Raden yang rajin membeli buah-buahan yang konon katanya baik untuk penderita penyakit jantung. Namun mereka berdua tetaplah Raden dan Bapak yang penuh gengsi, mereka perlu alasan lebih untuk bertemu dan berbicara.

Raden mengembuskan napas beberapa kali, sebelum mengetuk dan membuka pintu kamar Bapaknya. Ibu yang sedang menyiapkan baju untuk Bapak besok, dan Bapak yang tengah duduk di atas dipan tak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka.

"Obat Bapak, Bu," kata Raden seraya menyodorkan nampan berisi obat yang ia pegang. Ibunya mau tak mau tersenyum melihat kecanggungan putra dan suaminya.

"Ah iya, tolong dibantu Bapak biar minum ya Mas, Ibu mau ke depan dulu sebentar."

"Bu, tapi-" Raden tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena Ibu sudah menghilang dari balik pintu.

Dengan canggung Raden pun akhirnya menyiapkan obat untuk Bapaknya. Membuka satu-persatu bungkusnya, lantas menyerahkan pada beliau, bersamaan dengan segelas air.

Sama seperti Raden, Bapak pun tak banyak bicara. Hanya meminum obatnya dengan patuh. Semula, Raden berniat langsung keluar setelah memastikan Bapak menelan semua obatnya. Namun kala melihat kemeja yang tadi Ibu siapkan, Raden pun berinisiatif meneruskan pekerjaan Ibu. Ini tidak akan memakan waktu lama. Ia hanya harus menggantung kemeja, menyusun celana panjang, kaus dalam, dan...

Raden tersekat ketika benda itu terletak di samping celana yang Bapak kenakan besok. Kotak hitam berisi jam tangan pemberiannya. Bungkusnya sudah dibuka, artinya Bapak sudah menerima kadonya.

Ada perasaan senang, haru, dan bangga yang meledak dalam dadanya. Namun, Raden sediri tak tahu bagaimana harus mengekspresikannya. Jadi, satu-satunya hal yang ia lakukan adalah menyelesaikan pekerjaannya dan meletakan kotak itu hati-hati di samping pakaian yang besok Bapak kenakan.

Tepat sebelum Raden keluar dari kamar, Bapaknya akhirnya berbicara. Kalimat pertama yang Bapaknya tujukan padanya setelah perang mereka, di meja makan, malam itu.

"Terima kasih Mas Raden," kata Bapak canggung. "Untuk jam tangan dan obatnya."

Dan karena sudah pulang ke rumah ini.

"Sama-sama Pak, Raden keluar dulu, besok Raden yang antar Bapak ke rumah sakit."

Bapak tersenyum, begitu juga Raden.

Setelah sekian lama, akhirnya Raden kembali bisa merasa pulang.

•••

Kamar yang mereka tempati berada di ketinggian 17 lantai dari lantai dasar. Sebagaimana kamar hotel lainnya, tak banyak hal berbeda di sini. Hanya dua tempat tidur berukuran single, lemari besar, televisi, satu set sofa, dan mini pantry yang terletak dekat kamar mandi. Semula, Nadine tak terlalu menyukai tempat ini. Toh, ia memang hanya menginap di sini sementara karena rumahnya disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan ia tak ingin tinggal di butik tempat Mamanya biasa bertemu dengan Primus.

Namun kalau boleh jujur, lama-lama tempat ini terasa jauh lebih nyaman. Kamar yang tak terlalu besar dan tak banyak memiliki sekat ini, membuat Nadine lebih sering bertemu Mamanya, dan ada satu spot di tempat ini yang selalu menjadi favorite mereka berdua; balkon.

Selepas pertemuan mereka dengan Primus tadi, Mamanya langsung masuk ke dalam kamar mandi dan merendam diri di air hangat selama lebih dari setengah jam. Selain untuk merilekskan otot-ototnya, Nadine tahu betul Mamanya melakukannya demi memperpanjang jarak, agar Nadine tak memergoki mata merahnya.

Nadine mengaduk cairan cokelat di tangannya, lalu melirik jam di ponsel yang menunjukan angka 21.15 WIB. Matanya pun beralih pada Mamanya yang kini masih duduk sendirian di balkon. Hanya dengan melihat punggungnya, Nadine seolah bisa merasakan betapa kesepian Mamanya.

Setelah yakin cokelatnya teraduk, Nadine menambahkan beberapa butir marshmallow, lalu membawa cangkir-cangkir tersebut ke balkon.

"Nadine? Kamu belum tidur?" tanya Kat terkejut karena putrinya tiba-tiba berdiri di sampingnya.

Nadine menyerahkan segelas cokelat untuk Mamanya, sementara menggenggam yang satu untuk dirinya sendiri.

"Nggak bisa tidur, deg-degan Parfest sebentar lagi," ujar Nadine jujur. Ini bukan sebuah informasi yang biasa ia bagi dengan Mamanya, namun mungkin ia bisa memulainya dari hal-hal seperti ini.

Mungkin, sama seperti Mamanya yang berusaha keras menjauh dari Primus, Nadine juga harus belajar membuka tangannya untuk Mamanya.

Sesaat, Kat kembali terkejut. Kehadiran Nadine di sampingnya saja sudah merupakan hal yang di luar kebiasaan, lantas kenyataan Nadine bercerita mengenai kegiatannya, membuat Kat tak bisa menyembunyikan ketertarikannya.

"Masa sih? Tapi kata Bu Maryam, persiapan Paramitha Festival di bawah tangan kamu paling matang kok? Guest starsnya pun bagus-bagus kan katanya?"

Nadine menganggukan kepalanya bangga. "Sheila on 7, Raisa, oh iya ada yang namanya Nadin juga loh Ma, Nadin Amizah!"

"Mama baru dengar namanya, penyanyi baru?"

Nadine menganggukan kepala, lalu mengeluarkan earphone dan ponselnya. "Mama mau dengar?"

Kat menerima sebelah aerphone di telinganya, sementara Nadine memasang sisi lainnya di telinganya sendiri. Lagu Bertaut pun terputar pada benda mungil tersebut.

Sesaat mereka biarkan suara lembut gadis itu mengisi gendang telinga mereka. Sudah lama sekali sejak Kat mendengarkan lagu-lagu terbaru, khususnya lagu Indonesia. Namun sepertinya lagu ini akan jadi salah satu lagu favoritenya. Lagu ini akan selalu membawanya kembali pada momen ini, momen di mana ia bersama putrinya

"Ma?"

"Ya, Nadine?"

"Kalau aku nggak ikut Mama ke Singapore nggak apa-apa?" tanya Nadine hati-hati. "Tapi aku janji, aku akan sering ke sana, kapan pun Mama minta aku datang."

Kat terdiam, lalu seulas senyum terkembang di bibirnya. Ia mengelus rambut putrinya penuh sayang. "Boleh, Mama juga akan sering jenguk kamu sama Papa."

Kelegaan luar biasa membanjiri wajah Nadine. Lantas entah bagaimana, ceritanya berlanjut, pada teman-teman sekolahnya. Pada Gemilang yang tadi siang mengerjai Rae. Tentang Btari yang Ayahnya akhirnya sembuh. Pada Rae... yang mungkin akhirnya memenangkan hatinya.

Sedikit ku jelaskan tentangku dan kamu...

Agar seisi dunia tahu...

•••

Keras kepalaku sama denganmu,
Caraku marah, caraku tersenyum.

Jauh dari tempat Nadine, tepatnya di rumah mungil milik keluarga Btari. Btari dan Dinda hanya bisa menggelengkan kepala mereka, melihat Raden yang tak henti-henti menyiapkan pakaian yang orang tua mereka kenakan besok ke rumah sakit.

Sejak keluar dari kamar Bapak, Mas mereka itu memang tampak 100 kali lebih bahagia.

"Din, udah licin belom?" tanya Raden seraya memamerkan kemeja Bapak dan blus Ibu.

"Udah, semut aja kepeleset," kata Dinda bosan. "Lo dari tadi nyetrika kemeja Bapak sama Ibu, nggak sekalian nyetrikain baju kerja gue?"

"Boleh! Mana sini?"

Dinda dan Btari kontan melongo, tapi melihat tak ada tanda-tanda bahwa Masnya tengah bercanda, Dinda langsung berlari ke kamar, mengeluarkan seluruh pakaian kerjanya yang butuh disetrika.

Sementara Btari hanya tertawa di tempatnya.

Mereka tak tahu, bahwa dari dalam kamar, Bapak dan Ibu tersenyum mendengar keributan di luar. Dada mereka menghangat. Bersyukur luar biasa atas tiga anak yang mereka miliki.

•••

Seperti detak jantung yang bertaut, nyawaku nyala karena denganmu...

Di dalam sebuah kamar, di sebuah kompleks perumahan elit, Raesangga sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Buku-buku bekas belajarnya seminggu ini bertebaran di sekitar kasur.

Paramitha hanya menggelengkan kepalanya, sambil memunguti satu-persatu buku tersebut. Beberapa jam lalu, wali kelas Raesangga meneleponnya, memberikan laporan bahwa Rae berhasil meningkatkan nilainya.

Tak sampai membuatnya jadi juara kelas, tapi tentu saja siapapun yang mengenal Rae cukup sadar, bahwa hanya dua hal yang memungkinkan Rae meraih angka 86 di pelajaran Matematika.

Yang pertama, Rae mencontek.

Yang kedua, anak itu belajar habis-habisan.

Namun melihat keadaan kamar putranya, Paramitha dapat menyimpulkan bahwa opsi keduanya bisa ia percaya. Gerakan tangan Paramitha terhenti ketika melihat lock screen di ponsel Rae yang tergeletak di lantai.

Foto keluarga mereka.

Hangat menyebar dalam dadanya.

"Ma? Ngapain?" suara suaminya di ambang pintu menghentikan pergerakan Paramitha. Wanita itu menyimpan ponsel Rae di atas nakas, lalu beranjak dari sana.

"Rae dapat nilai delapan puluh enam di ujian Matematikanya! Kita harus syukuran!" Paramitha berbisik di telinga suaminya, matanya berbinar-binar cemerlang. Membuat kebahagiaan itu seketika juga menyebar di dada Janadi Danureja.

Pria kaku itu tersenyum, lalu mengecup puncak kepala istrinya. "Lakukan apa saja yang kamu mau."

Janadi menatap Rae lama, ada rasa bersalah yang menyela di sorot tersebut. Sebelum Janadi akhirnya mematikan lampu, dan menutup pintu kamar putranya.

Demi Paramitha, dan demi Raesangga. Apapun akan ia lakukan. Apapun...

•••

Aku masih ada sampai di sini, melihatmu kuat setengah mati...

Beberapa kilometer dari rumah Raesangga, Gemilang duduk di samping tempat tidur Ibunya. Seperti biasa, ia merapikan selimut yang sebenarnya sudah rapi, dan menghitung butir obat. Memastikan tak ada yang terlewat.

Ketika Gemilang ingin beranjak, tangannya tiba-tiba ditahan oleh Ibunya. Beliau terbangun.

"Mas?" suara Ibunya begitu lemah dan ringkih, membuat Gemilang harus mendekatkan telinga untuk mendengar lebih jelas.

"Iya Bu?"

"Ti... du... di si...ni... sa...ma Ibu..." lidah Ibu yang kelu, membuat beliau harus bicara terpatah-patah.

Gemilang tersenyum, lalu menganggukan kepala. Ingatannya ditarik pada masa-masa silam, di mana ia tertidur dalam rengkuhan Ibunya. Namun, kali ini berbeda. Bukan ia berada dalam pelukan, tapi tubuh kurus Ibunya lah yang ia rangkum dalam dekapan lengannya.

"Ma...s na...ngis?" tanya Ibu hati-hati. Beliau tak bisa melihat wajah Gemilang, karena posisi kepala Gemilang yang lebih tinggi.

Gemilang menggelengkan kepala, dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Ibu tak lagi berbicara, dengan pelan dan sisa fungsi syaraf yang beliau miliki, Ibunya mengusap punggung Gemilang lembut.

•••

Seperti detak jantung yang bertaut, nyawaku nyala karena denganmu...

Malam itu mereka terlelap dengan senyum di bibir masing-masing.

Luka masih menganga lebar, retakan masih jelas di hati mereka, kaki mereka masih pincang dan harus tetap dipaksa melangkah di jalan yang belum tentu mereka ingini.

Namun kali ini, mereka ingin percaya...

Bahwa meski melalui cara-cara paling menyakiti, bahwa meski tak dengan cara yang mereka ingin, meski dengan cara yang sulit mereka pahami, mereka tetap hidup di tengah cinta dari orang yang mereka cintai...

Kaca yang pecah memang tak akan pernah utuh kembali, namun dengan sisa-sisa cinta yang mereka punya, mereka tetap ingin menyatukannya...

Meski harus dengan hati-hati...

Meski harus dengan sangat perlahan...

Meski mungkin ada banyak lara menanti mereka di esok hari...

----
A/n:

Lebih dari 4000 kata.

Bab terakhir dari Mencintaimu...

Gimana rasanya baca ending cerita ini?

Butuh epilog tida?

Mau tanya dulu tapi, kira-kira sejauh ini apa pendapat kalian tentang Mencintaimu?

Anyway, cuma mau tanya nih, mau tanya aja sih, masih ada yang inget sama Kenandra Januar nggak, sih?

Semoga ada HAHAHAHA

ADUH SEBENARNYA AKU MAU BAWEL TAPI TAHAN AJA DEH SAMPE EPILOG, TAKUT GATEL MAU SPOILER MELUKAIMU! HAHAHAHA

I LOVE YOU!

SEHAT-SEHAT SEMUANYA!!!

Tangsel, 08 Agustus 2020.

Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro