Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 | Bukan Malaikat

Jika Tuhan memundurkan detik, lalu membiarkanku memilih; antara mencintaimu seraya menggenggam luka, atau tak mengenalmu lalu bahagia.

Maka akan tetap kupilih jalan yang sama.

Bertemu denganmu, mencintaimu, terluka karenamu, meski akhirnya harus melepaskanmu.

•••

“Kamu yang salah, minta maaf sana, kasihan si eneng, udah jauh-jauh ke sini malah dibikin nangis.”

Komentar Bu Sukma kontan membuyarkan lamunan Rae, pandangan mereka kini jatuh pada tempat yang sama; punggung Nadine yang duduk sendirian di bale depan rumah Bu Sukma.

“Gimana mau minta maaf Bu, Ibu nggak lihat tadi Rae ditonjok?” Rae menunjuk hidungnya yang berpotensi membiru karena pukulan Nadine tadi. “Anaknya juga tadi nangis kejer begitu, nanti kalo Rae deketin makin histeris gimana?”

“Ya terus gimana atuh? Mau biarin kitu si eneng di luar terus? Udah malem ini Rae, udah tiga jam juga dia diem aja di sana, mending kalo cuma masuk angin kalau masuknya yang aneh-aneh gimana? Tanggung jawab maneh?” berondong Bu Sukma galak, wanita itu berdecak lalu menggelengkan kepala kesal. “Nggak mungkin kamu tuh dipukul kalo nggak salah, udah buru samperin, ngapain juga cuma liatin dari sini, aya aya wae.”

Rae mencebikkan bibirnya, tapi tak pelak ia menurut juga. Tidak mungkin dia membiarkan Nadine semalaman di luar sendirian, dan sepertinya gadis itu tidak berniat masuk kalau tubuhnya tidak diseret.

Tadi, selepas adegan penonjokan sepihak yang dilakukan Nadine, gadis itu tiba-tiba saja menangis sesegukan. Tubuhnya sampai luruh menuju lantai. Baik Bu Sukma, Ipul, Aisyah sampai Raesangga dibuat terperangah karena reaksi yang gadis itu berikan.

Setelah Bu Sukma memeluk Nadine beberapa lama, barulah tangis gadis itu mereda. Rae yang saat itu masih dilanda shock jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Tangisan histeris dan Nadine Wisesa tentu bukan sesuatu yang Rae bayangkan dapat ia lihat di dalam satu frame yang sama. Selepasnya, Nadine menolak untuk berbicara. Gadis itu hanya keluar dari rumah Bu Sukma, duduk di bale berjam-jam dan menganggap Rae sebagai arca yang patut diabaikan keberadaannya.

Enggak Rae. Nadine nggak akan nangis lagi.

Rae berusaha meyakinkan dirinya sendiri, sebelum menempatkan diri di samping gadis itu. Sejenak hening menjadi raja di antara mereka.

“Nad?”

Hening. Tak ada jawaban. Rae menggaruk tengkuknya bingung, berusaha mencari topik yang bisa ia angkat untuk memecahkan kesunyian ini.

“Lo apa kabar deh?”

Tetap tidak ada jawaban.

Demi Tuhan, Rae sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berbasa-basi!

“Langitnya bagus ya? Bulan sama bintangnya—” Rae terdiam kala kepalanya terangkat. “Eh, nggak ada ya bulan sama bintangnya nggak kelihatan ehehe.”

Shit! Bego banget sih, Raesangga!

Rae meruntuk dirinya sendiri dalam hati. Orang tolol mana yang masih menganggap bahwa membicarakan langit dan cuaca bisa memecahkan kebekuan?!

Rae mengembuskan napas gusar, kehilangan kesabaran atas dirinya sendiri. Dia memang tidak bisa berbasa-basi.

“Oke, ini awkward banget, tapi serius kenapa lo bisa sampe ke sini? Dan serius juga Nadine Wisesa, hidung gue sakit ini!Gue tahu lo bar-bar tapi siapa sangka lo bakal bikin gue mimi—san.”

Rae meneguk salivanya ketika menyadari tatapan tajam Nadine yang menghunus manik matanya. Seandainya tatapan bisa membunuh, Rae yakin ia sudah menyandang gelar Almarhum saat ini.

Rae menggaruk tengkuknya tambah bingung. Sejujurnya, ia cukup berpengalaman dengan berbagai jenis perempuan. Namun sudah Rae katakan berulang kali bukan, bahwa Nadine punya tingkat kesulitan yang berbeda. Rae bahkan bisa percaya kalau macan nabrak Nadine, macannya yang minta maaf.

“Nad... lo marah ya sama gue?”

Nadine tidak menjawab. Tatapannya terlempar ke arah lainnya.

“Nad, gue lagi sakit tahu, masa malah dimarahin bukan diobatin,” Rae merubah strateginya. Ia berujar dengan nada merajuk. “Nih, lihat deh idung gue berdarah tadi gara-gara lo tonjok, kaki gue juga kapalan gara-gara kebanyakan main bola, atit banget tau.”

Thanks to Rangga dan segala keabsurdannya yang pernah memberikan Rae penyuluhan 1001 cara menghadapi cewek ngambek.

“Tapi tahu nggak sih, Nad, paling sakitnya di mana?” tanya Rae membuat Nadine melirik ke arahnya. Sedikit. Rae tersenyum lalu meraih telapak tangan gadis itu, lantas meletakannya di atas dada kirinya. “Di sini nih, sakit banget, kangen banget sama lo, kalau gue meluk lo, gue bakal ditonjok lagi nggak?”

Dalam hati Rae meringis, menyadari kebodohannya mengikuti saran menjijikan dari Rangga.

Jangankan dimaafin, kayaknya Rae bakal sujud syukur kalo nggak ada adegan ditonjok Nadine part 2.

Sedetik, dua detik, tiga detik tidak ada jawaban. Rae sudah nyaris menyerah sebelum Nadine akhirnya meloloskan suara pertamanya.

“Sepuluh detik,” ujar Nadine tanpa mengangkat kepalanya.

“Hah?”

“Peluk gue sepuluh detik aja.”

Rae mengerjapkan matanya tak percaya, tapi seolah tak ingin berhenti mengejutkannya, Nadine mulai menghitung mundur.

“Sepuluh...”

“Sembilan...”

“Dela—” kalimat Nadien terputus karena Rae buru-buru menarik gadis itu dalam rangkuman lengannya. Tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lebih lama lagi.

You made me insane, Wisesa,” bisik Rae parau, dan Nadine sama sekali tidak berniat menjawabnya. Gadis itu menepati janjinya, melepas rangkuman lengan Rae ketika hitungannya sampai pada angka satu.

“Sekali lagi lo ilang nggak ada kabar kayak gini, lo bakal bener-bener gue bunuh, ngerti?” bukan kalimat tanya, kata-kata tersebut tentu saja sarat akan ancaman. “Gue nggak bakal mau kenal sama lo lagi, dan gue bakal bilang sama Btari dan Gemilang buat ngelakuin hal yang sama, paham?”

Rae mengangguk dengan senyum yang terkembang lebar di bibirnya.

Sejenak Nadine ragu, sebelum mengajukan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya cemas. “Ng... hidung lo, nggak apa-apa?”

Rae mengangguk lagi, tetap dengan senyum yang sama sekali tak surut dari bibirnya. Mau ditonjok sepuluh—bukan, mau ditonjok seratus kali pun Rae rela kalau kompensasinya bisa meluk Nadine kayak barusan.

“Lo kenapa, sih, senyam-senyum gitu?” Nadine menatap Rae curiga. “Jangan-jangan otak lo geser gara-gara tadi gue tonjok ya?”

Kali ini Rae menggelengkan kepala, tapi tetap dengan cengiran selebar sebelumnya.

“Rae, seriously, you scary me.

“Bukan cuma gue yang kangen sama lo, kan?” tembak Rae tiba-tiba. “Lo juga sekangen itu sama gue? Bener kan?”

Mata Nadine membulat mendengar pernyatan superrr pede barusan. Wajahnya kontan memerah. “Enggak! Siapa bilang?!”

“Gue yang bilang! Buktinya lo sampe nangis-nangis, nggak nyangka gue bisa dikangenin sama Nadine Wisesa!”

“Rae, stop!”

“Cie, Nadine kangen gue!”

“Rae, stop nggak?!” Nadine menutup telinganya. Geli sendiri dengan ocehan pemuda di sebelahnya.

“Nadine kangen Rae, Nadine kangen Rae, Nadine kangen Rae.” Bukannya berhenti, Rae justru sengaja mengulangi kalimat tersebut di telinga Nadine. Tawanya pecah melihat seberapa panik gadis di sampingnya.

Ya Allah! Ini cewek kenapa gemesin banget, gini?!

Tidak tahan melihat reaksi Nadine yang super menggemaskan, Rae menakup wajah gadis itu, lalu mencubit kedua pipinya. “Gemesin banget, sih, ya ampun nggak kuat! Jadi pacar aku ya?”

“Bang Rae, kata Ibu jangan kelamaan di luarnya udah malem, berduaan ntar yang ketiga setan!”

Teriakan Ipul sontak menghentikan gerakan mereka. Rae melepaskan tangannya dari pipi Nadine lalu balas meneriaki Ipul.

“Lo setannya ya?”

Ipul hanya memutar bola matanya kesal. Dari tempat mereka, Nadine dan Rae dapat mendengar bocah itu mengoceh panjang lebar.

“Amit-amit amit-amit, anak orang kaya kelakuannya aneh-aneh semua.”

Rae hanya terkekeh kecil mendengar omelan tersebut. Berbeda dengan Nadine yang bahkan belum bisa menetralkan degup jantungnya, Rae tampak jauh lebih santai. Pemuda itu menolehkan kepalanya, tampak sama sekali tidak terganggu.

“Nggak usah didengerin dia mah emang agak nyebelin,” kata Rae seolah mengerti kegugupan gadis di sampingnya. Sebenarnya, diam-diam hatinya bersorak kegirangan. Akhirnya setelah bertahun-tahun mengenal Nadine Wisesa, ia bisa menjadi alasan gadis itu merasa gugup. “Oh ya, lo belum cerita gimana caranya bisa ketemu itu anak?”

“Eh?”

Rae tersenyum lembut. “Bu Sukma yang cerita, katanya lo tadinya nyasar, tapi untung ketemu Ipul.”

Nadine menolehkan kepalanya sejenak, memastikan tidak ada telinga yang mendengar mereka. “Hm, tapi lo jangan bilang siapa-siapa termasuk Bu Sukma sama Aisyah ya?”

Alis Rae bertaut, tapi tak pelak ia mengangguk juga.

“Tadi dia nyopet gue, terus ya begitu lah, ditolongin Ibu-Ibu dan akhirnya justru tuh anak yang nganter gue ke si—eh kenapa lo?” kening Nadine berkerut ketika menemukan Rae yang kini menatapnya serius.

“Dia nyopet lo? Terus lo nggak kenapa-napa tapi? Ada yang luka nggak?”

Nadine menelan salivanya. Sepertinya bercerita dengan Rae bukan pilihan yang tepat. Melihat dari nada suara dan aura kelam yang keluar dari mata pemuda itu saat ini, Nadine hampir yakin, Rae bisa saja menghajar Ipul kalau seandainya bocah itu bukan anak Bu Sukma.

“Nggak, sumpah gue nggak kenapa-napa! Malah gue bersyukur bisa ketemu dia, lo bisa bayangin kalau enggak gue nggak bakal di sini sekarang,” ujar Nadine buru-buru. “Malah sepanjang jalan gue banyak ngobrol sama dia, dan gue bisa nyimpulin kok anaknya sebenarnya baik, dia bahkan nggak mau sampe nyokapnya tau.”

“Syukur deh kalau gitu, kalau sampe lo luka, besok gue yang kasih perhitungan sama itu anak.”

Nadine tidak bisa tidak mengela napas lega melihat raut wajah Rae yang akhirnya melunak. Mengingat respon pemuda itu barusan, serta bagaimana Rae menghadapi Gio di UKS dan memberi peringatan pada anak Paramitha Pers, Nadine menambahkan catatan dalam hati untuk lebih menyaring ceritanya. Ia tidak ingin ada drama-drama lainnya dalam hidupnya yang sudah berantakan.

“Ipul emang nyebelin sih, tapi gue ngerasa dia sebenarnya baik dan pintar kok, cuma salah arah aja,” gumam Nadine teringat percakapan mereka tadi. “Am i right?

Rae menganggukan kepalanya setuju. “Lo ngobrol apa aja sama anak itu sampe  bisa narik kesimpulan kayak gitu?”

“Banyak, ngomongin lo, Aisyah, Bu Sukma, orang kaya, koruptor dan...” tanpa bisa dicegah nada suara Nadine mengecil di akhir kalimatnya. “kasus bokap gue.”

Rae terdiam sesaat. Ada rasa bersalah di iris gelapnya, ketika sadar, ia sudah meninggalkan gadis itu sendirian, ketika Nadine mungkin benar-benar membutuhkannya.

“Bokap lo... apa kabar?” tanya Rae lembut.

“Gue udah ketemu sama bokap gue, kelihatan kurusan, mungkin karena makanan penjara nggak enak kali ya?” Nadine tertawa sumbang, Rae dapat menangkap kepahitan dari suaranya. “Atau mungkin... karena pusing mikirin perceraian dia sama nyokap.”

Rae sudah menduga akan ada titik di mana ia harus mendengar cerita ini, tapi ia tidak menyangka Om Harun dan Tante Kateerina akan berpisah secepat ini. Tidak dalam kondisi seperti ini.

No, no, no, Rae, i'm okay! Seriously!” melihat tatapan Rae yang menyendu, Nadine buru-buru menggelengkan kepalanya. “Mungkin itu memang yang terbaik, kasihan bokap kalau terus-terusan harus bertahan di hubungan yang nggak sehat, kasihan juga nyokap kalau terus-terusan bikin dosa, gue nggak boleh egois. Iya kan?”

“Tanpa gue tanya ‘Are you okay?’, lo udah bilang ‘you're okay’,” Rae berujar penuh pemahaman membuat Nadine tersekat. “It means you're not okay, right?

Kadang Nadine membenci betapa pemuda di sebelahnya ini selalu berhasil melihatnya secara transparan. Nadine benci mengakui bahwa di hadapan Rae segala kelemahannya dapat terbaca dengan jelas.

Nadine mengalihkan tatapannya, lalu membiarkan setetes air mata lagi-lagi meluncur di pipinya, sebelum Nadine menyekanya dengan gerakan kasar.

I try my best, ok?” tukas Nadine dengan nada yang sebisa mungkin ia kendalikan. Kali ini ia benar-benar tidak ingin membahas hal tersebut. “Jadi plis, jangan mancing gue.”

Rae mangangkat kedua tangannya, lalu terkekeh kecil ketika Nadine menatapnya dengan tatapan penuh peringatan.

“Mending kita bahas lo aja,” Nadine tiba-tiba mengambil alih percakapan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, jelas sekali gadis ini akan mencoba menginterogasinya. “Kenapa lo sampe kabur ilang-ilangan gini? Mau nyoba ghosting lo?”

Binar mata Rae kontan lenyap, lengkungan bibirnya memang masih terkembang, tapi jelas sekali senyum itu kini menampakan kemuraman.

Something happen, right?” Nadine bertanya hati-hati, tidak menuntut tapi jelas ia mengharapkan  sebuah jawaban. “Mau cerita apa yang bikin lo sampe bener-bener lenyap begini?”

Selama beberapa saat, Rae biarkan tanya gadis itu menggantung di udara. Menimang-nimang sejauh mana harus ia bagi masalah yang kini tengah ia hadapi.

“Gemilang kerja di kantor bokap gue.”

Nadine tampak terkejut sesaat, sebelum menganggukan kepalanya mengerti. “Lalu?”

“Hari itu dia ada di rapat, gue sama dia dikenalin ke jajaran direksi, gue kaget banget sampe bener-bener nggak tahu harus ngomong apa. Om Reza, Bokap gue, Gemilang, bahkan mungkin Btari udah tau kalau hari itu kami bakal ketemu, cuma gue satu-satunya orang yang clueless waktu nemuin dia di ruang rapat yang sama dengan gue, dan bagian yang paling gue benci adalah...” Rae mengambil napas sesaat, seolah kalimat yang akan ia katakan akan menyedot seluruh udara yang ada di paru-parunya. “Bokap ngenalin Gemilang sebagai bawahan gue, bukan sahabat gue...”

Rae menundukan kepalanya dalam-dalam, senyum pahit itu tak hilang dari sana. “Buat Bokap gue bahkan pertemanan anaknya aja harus atas dasar bisnis, harus ada harganya, harus ada hitungan untung ruginya.”

Nadine terdiam, beberapa jenak ia biarkan hening mengisi di antara mereka. Nadine tahu berapa besar arti Gemilang dan Btari untuk pemuda di sampingnya. Nadine paham, keputusan Gemilang untuk bekerja di Danureja Karya bukan sekadar masalah Gemilang yang kelak akan jadi kaki tangan Rae, tapi itu sama artinya dengan Gemilang yang kelak harus melepas mimpinya. Bagi Rae yang terbiasa mementingkan kepentingan sahabatnya di atas keinginan dirinya tentu ini bukan perihal mudah. Terlebih lagi, Nadine juga tahu bahwa mahkota sebagai penerus Danureja Group bukanlah hal yang Rae inginkan.

Namun entah kenapa, Nadine merasa hal tersebut bukanlah faktor tunggal yang menggerakan sikap implusif pemuda di sampingnya. Ada alasan yang lebih kuat yang mendorong pelarian Raesangga. Sesaat Nadine menimang, sebelum akhirnya mengabaikan instingnya. Ia tidak ingin memaksa Rae bercerita, kalau memang hanya sejauh ini yang boleh ia dengar maka Nadine tidak apa-apa, selama pemuda di sampingnya ini baik-baik saja, maka Nadine yakin dirinya juga akan baik-baik saja.

“Gemilang sama Btari nggak pernah berniat ngebohongin atau nyakitin lo, lo tahu itu kan?”

Rae menganggukan kepalanya takzim. Ia tahu benar hal tersebut. Ada sedikit sesal dalam dadanya kala ia menyadari, bahwa ia sempat meragukan ketulusan kedua sahabatnya.

“Kalau ada alasan kenapa mereka nggak cerita, itu pasti karena mereka mau melindungi lo, karena pasti mereka nggak mau bikin lo khawatir atau mikir kejauhan,” Nadine berujar pelan-pelan, memilih kata perkata dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin menyakiti pemuda di sampingnya lebih dalam lagi. “Gemilang udah milih, apapun pilihan dia, lo nggak bertanggung jawab atas apapun pilihan dia, jadi jangan merasa bersalah. Tugas kita sebagai sahabat Gemilang cuma tinggal support dan percaya sama apapun pilihan yang Gemilang ambil.”

Rae tersenyum, meski kesan muram itu masih tidak juga musnah.

“Omongan lo persis Rangga, yah, mungkin kalian benar gue cuma harus percaya sama pilihan apapun yang dia ambil, thanks, Nad.” Rae mengacak rambut Nadine sambil menyengir lebar. Namun Nadine bisa menangkap beban yang masih berusaha Rae sembunyikan. Rae tidak selepas biasanya.

Nadine menangkap tangan Rae, lalu menyimpannya dalam takupan tangannya, membuat Rae otomatis tertegun dengan perlakuan Nadine barusan.

“Rae?”

“Ya?”

“Gue nggak tahu ada masalah apalagi yang lo simpan selain masalah ini, gue juga nggak bisa janjiin kalau gue bisa jadi orang yang selalu ada atau jadi orang yang super pengertian kayak Btari, tapi...” Nadine menjeda sejenak, mengusap punggung tangan Rae dengan ibu jarinya. “kayak yang selalu lo berusaha lakuin buat gue, gue juga akan berusaha untuk selalu ada buat lo... so, here i am, Raesangga Danureja.”

Susah payah Rae berusaha menemukan kesadarannya kembali. Bahkan dalam mimpinya bagian mana pun, ia tidak pernah menyangka bisa mendengar kalimat semacam ini dari Nadine. Ada kelegaan, rasa haru, kekhawatiran, ketakutan dan berbagai emosi lainnya yang berkecamuk dalam dadanya.

Rae tentu saja tidak bisa membagi cerita tentang Ayah Gemilang pada Nadine, tidak pada siapa pun, pada Btari sekali pun. Rae bahkan tidak yakin bagaimana ia harus menjelaskannya pada Gemilang nanti, tapi kalimat Nadine barusan menyadarkannya, bahwa Rae memang tidak bisa lari. Cepat atau lambat, ia harus kembali dan menghadapi kenyataan ini.

“Nad?” Rae berusaha meraih suaranya kembali. Nadine menolehkan kepalanya, tanpa perlu mengeluarkan suara, Rae tahu gadis itu tengah menunggu kelanjutan dari kalimatnya. “Gimana caranya... lo bisa maafin orang tua lo?”

Nadine termenung, berusaha memilah perasaannya sendiri. Sudah memaafkan rasanya tak bisa jadi padanan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya hari ini. Ia mungkin marah pada Mamanya, kecewa dengan perselingkuhan yang wanita itu lakukan di depan matanya, tapi Papanya?

Nadine bahkan sadar, tak sekali pun ia merasa marah atas apa yang beliau lakukan.

“Bukan memaafkan...” gumam Nadine pelan, dibanding dengan Rae, ia tampak tengah berbicara dengan dirinya sendiri. “gue rasa... gue hanya belajar untuk menerima.”

Nadine memberi jeda pada kalimatnya, berusaha memaknai setiap peristiwa yang menghantamnya bagai mimpi buruk beberapa waktu ini.

“Selain minta maaf karena harus bercerai, satu-satunya hal yang bokap gue minta sama gue dipertemuan kami kemarin adalah untuk maafin nyokap gue, untuk nggak membenci beliau, bokap gue nggak mikirin dirinya sendiri, beliau malah mikirin gue sama nyokap gue,” Nadine tersenyum pahit, sesak jelas menghimpit rongga dadanya. Gadis itu menundukan kepala, menatap lurus pada tanah tandus di bawah kakinya. “Waktu gue pulang, gue baru sadar kalau nyokap gue juga kelihatan kacau, seorang Katreena yang biasanya selalu keliatan fit dan charming, kemarin benar-benar kelihatan kayak mayat bernapas. Matanya berkantung, berat badannya menyusut, mukanya sama sekali nggak pakai make up,  outfitnya sama sekali nggak cemerlang.

Butuh waktu cukup lama sampai gue sadar, mungkin sama kayak gue, nyokap gue juga berantakan. Mungkin masalah di keluarga kami, juga berpengaruh di hidup nyokap gue, mungkin nyokap gue sebenarnya nggak sedingin itu.”

Nadine membasahi bibirnya, ingatan tentang kedua orang tuanya mengurung Nadine dalam kesedihan yang absolut. Kesadaran mutlak bahwa bagaimana pun Mamanya menyakitinya, Nadine juga sebenarnya tak pernah sekali pun berhenti mencintai beliau.

“Gue tahu, lo dan orang seluruh Indonesia mungkin akan mencap gue sebagai manusia nggak tahu diri, tapi jujur Rae, nggak sekali pun gue merasa marah sama bokap gue. Waktu pertama kali dengar kasus bokap, satu-satunya hal yang gue pikirin adalah gimana keadaan orang tua gue. Mungkin terdengar sangat egois, tapi gue sama sekali nggak peduli, bahkan nggak masalah kalau semua orang bakal nyalahin gue, satu-satunya hal yang gue ingin adalah; mereka baik-baik aja.

Beliau memang salah, beliau nggak amanah, beliau berdosa karena ngambil hak orang banyak, tapi buat gue beliau tetap Ayah terbaik yang bisa gue punya. Gue pernah bilang, kalau gue nggak pernah minta dilahirkan jadi anak nyokap gue yang selingkuh, tapi gue bohong, bahkan seandainya gue punya pilihan untuk memilih orang tua, gue akan tetap memilih bokap dan nyokap gue.” Nadine tersenyum pahit, tapi di sana pula Rae temukan ada cinta yang luar biasa besar, pemahaman yang luar biasa hebat, ketulusan yang luar biasa luas. “Dan gue tahu, mereka pun sama, kalau mereka dikasih pilihan mau milih punya anak yang kurang ajar kayak gue atau anak lainnya yang super baik, pintar, rajin, mereka akan tetap milih gue. Bahkan gue bertaruh, kalau kondisinya berbalik, gue yang bikin salah, mereka pun akan melakukan hal yang sama. Apapun kesalahan yang gue perbuat, sedalam apapun gue ngecewain mereka, mereka nggak akan pernah melepas gue dan ngebiarin gue sendirian.”

Kali ini Nadine mengangkat kepalanya, seulas senyum terbit di bibirnya, meski senyum itu tak pernah sampai pada matanya.

“Kadang gue mikir, mungkin sebagai anak kita selalu punya ekspetasi besar sama orang tua kita, kita menganggap bahwa mereka seharusnya nggak pernah melakukan kesalahan, mereka seharusnya yang paling paham apa mau kita, toh bukan kita kan yang minta dilahirkan ke dunia, tapi mungkin kita lupa, Rae,” Nadine mengambil napas sesaat, sedih itu masih terasa, tapi tak lagi mencekam. Ada keikhlasan yang membayangi suara gadis itu kali ini. “Kita lupa kalau mereka juga manusia biasa, kalau mereka nggak sempurna, kalau mereka juga bisa melakukan kesalahan, kalau mereka bukan malaikat.

Mereka cuma terus belajar mencintai kita dengan cara yang kadang di luar kemampuan nalar kita, mereka cuma berusaha untuk memberikan yang terbaik yang mereka sanggup berikan, walau kadang, itu bukan sesuatu yang kita ingin.” Kini, Nadine menolehkan kepalanya, menatap Rae lekat-lekat. “Jadi, kalau ditanya apakah gue udah memaafkan, gue nggak tahu jawabannya, tapi yang jelas gue sedang belajar menerima.”

Rae tak dapat langsung merespon Nadine. Senyum cemerlang gadis itu, keikhlasan di bola matanya, kalimat Nadine yang membuat Rae kehilang seluruh pembendaharaan katanya. Nadine telah membawanya menuju dimensi yang berbeda, menariknya pada sudut pandang yang tak pernah ia pikirkan, mengantarnya pada dunia yang luar biasa menakjubkan baginya.

Malam ini, Rae mengakui kekalahan sempurna atas pesona gadis di hadapannya.

Detik melambat, dunia seolah berhenti berputar, dalam semesta yang ia ciptakan dalam khayalnya sendiri akhirnya Rae menatap lurus pada profil gadis yang kini menatap ke arah lainnya. Dadanya menghangat, sehingga tanpa ia sadari, Rae menyuarakan satu-satumya tanya dalam kepalanya.

“Nad?”

“Hm?”

What should i do?”

Kini Nadine menoleh kan kepalanya, menatap Rae kebingungan.

What should i do, to make you love me?

———
A/n:

Ciat ciat ciat!

Gimana bab ini?

Udah puas yang dari kemaren nagih scene Nadine x Rae?

3000 kata lebih ini heyyy.

Maaf ya guys, aku nggak bisa up seminggu dua kali, aku lagi hectic banget.

Buat yang follow ig aku pasti tau kalau Mencintaimu sebenernya udah selesai di draft.

Dan aku lagi berusaha mulai di buku kedua...

Doain ya kita bisa ketemu lagi! Huhuhu

See you when i see you.
Tangsel, 10 Juli 2020.

Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro