24 | Mantra-Mantra
Mungkin sebenarnya, selama ini mereka bukan berharap.
Mereka hanya menyangkal, karena sebenarnya mereka sadar, di masa depan, angan mereka tidak akan jadi kenyataan.
•••
Raesangga: Kabur apa jangan?
Raesangga: Gue itung sampe 5 kalo nggak dijawab jadi pacar gue ya?
Raesangga: 5.
Raesangga: 4.
Raesangga: 3.
Raesangga: 2.
Nadine Wisesa: Najis.
Raesangga: Yah kok dijawab :(
Raesangga: Dah dijawab, kasar lagi. -____-
Raesangga: Nakal ya km, papa pukul nih.
Raesangga:
Nadine Wisesa: Jangan bikin geli.
Nadine Wisesa:
Raesangga: Galak banget, atut.
Raesangga:
Nadine Wisesa: Km beneran maw aku injek batang lehernya y? 🙂
Nadine Wisesa:
Raesangga: Cieee manggilnya udah aku kamu. Ikiw.
Raesangga: Jimayu uuu
Raesangga:
Raesangga:
Nadine Wisesa: Minta diblok?:)))
Raesangga: Ok.
Raesangga: Ampun.
Raesangga: Peace love and gawl.
Nadine Wisesa: wkwkwk udah sana lo, bukannya kerja hari pertama magang jg.
Raesangga: Makanya gue bilang kabur apa jangan?
Nadine Wisesa: Jangan.
Nadine Wisesa: Hadepin lah jangan cupu.
Raesangga: Hhhhh
Raesangga: Nanti jadi jenguk bokap?
Nadine Wisesa: Jadi, ini udah di rutan, degdegan abis :(
Raesangga: Kalau lo berhasil balik tanpa nangis, dan gue berhasil selesaiin semua tugas hari ini dengan baik, abis ujian kita ngedate gimana?:)
Nadine Wisesa: Sibuk Paramitha Festival.
Raesangga: Oke. Abis ParFest. No excuse ya princess.
Nadine Wisesa: Pemaksaan.
Raesangga: Biarin.
Raesangga: Wleee
Raesangga:
Nadine Wisesa: Sok lucu amat sih anda.
Raesangga: Emang udah lucu kok, nggak ngerasa emang?
Nadine Wisesa: Nggak samsek!
Rae masih terkekeh geli membaca pesan dari Nadine kala Om Reza membuka pintu ruangannya. Alih-alih ke ruangan HRD, Rae memang langsung menghampiri ruang sekretaris pribadi Ayahnya. Melewatkan semua prosedur normal yang seharusnya dijalani oleh anak magang.
"Senyum-senyum aja, chatingan sama siapa, sih?" tanya Reza seraya meletakan tasnya di atas meja.
"Calon pacar," sahut Rae ringan.
Reza hanya menanggapi Rae dengan kekehan geli. Pria itu mengambil iPadnya, lantas kembali bangkit dari kursi kebesarannya. "Yuk Rae, sebagian karyawan dan jajaran direksi sudah menunggu kamu."
Rae mengembuskan napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya, ia mengekor Reza seraya mengirimkan pesan pada Nadine.
Raesangga: Udah dipanggil nih.
Raesangga: Do'ain ya keluar masih punya nyawa.
Raesangga: Kalo ternyata ini hari terakhir gue, plis, jangan terlalu sedih. Kita masih bisa jodoh di akhirat, kok.
Raesangga:
Raesangga: Semangat ketemu bokapnya!
Raesangga: *kirim semangat dengan kekuatan cinta* fufufufu
Raesangga:
Nadine Wisesa: Sebelum lo dimatiin orang lain, mending gue aja sini yang matiin.
Nadine Wisesa:
Nadine Wisesa: Semangat juga btw!
Sudut bibir Rae otomatis tertarik kala membaca pesan terakhir dari Nadine. Ia bahkan tak bisa menahan diri untuk memekik. "Ini anak kenapa bisa jadi gemes banget gini, sih?!"
"Hm, Raesangga," Reza menegurnya, membuat Rae mengangkat kepalanya. Ia menelan salivanya kala mendapati semua pasang mata mengarah padanya. Rupanya ia tak sadar, bahwa sejak tadi mereka sudah sampai di ruang rapat yang dituju. Sebuah meja panjang terletak di tengah ruangan tersebut. Beberapa jajaran petinggi yang sudah beberapa kali Rae temui berdiri mengelilingi meja tersebut, termasuk Papanya yang duduk di kursi utama.
Rae merapikan jasnya, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku. Ia tidak mau benda tipis ini disita Papanya karena mengacaukan hari pertama perkenalan resminya sebagai penerus Danureja.
"Selamat siang, perkenalkan saya—"
"Selamat datang, Raesangga!" Entah Rae harus merasa tersinggung atau bersyukur karena Papanya memotong perkenalannya. Beliau menepuk bahu Rae, membuat Rae semakin gugup. "Ya, Bapak-Bapak sekalian perkenalkan, ini putra semata wayang saya, Raesangga, mulai hari ini ia akan mulai belajar di Danureja Karya, Raesangga tentu masih sangat amatir dan butuh bantuan, jadi besar harapan saya agar Bapak-Bapak sekalian membantu untuk mendidik anak ini, tanpa melihat latar belakangnya sebagai putra saya."
Rae tersenyum kikuk. Ia kini sadar maksud Janadi Danureja memotong kalimatnya adalah untuk membuatnya merasa powerless.
"Silakan beri salam, Raesangga."
"Mohon bantuannya." Rae menundukan kepalanya, lalu mengedarkan pandangan pada seluruh orang yang berada di meja tersebut, namun ketika matanya berhenti di ujung meja, tubuhnya kontan membeku.
Sendiri. Gemilang berdiri dengan senyum rikuh. Di antara semua orang yang ada di sini, jelas Gemilang tampak rapuh dan lusuh. Kemeja bergarisnya kontras dengan jas mengilap yang dikenakan olehnya dan sebagian besar orang di ruangan ini.
Tatapan Rae menyorot Reza tajam, menuntut penjelasan terhadap keberadaan sahabatnya di ruangan ini.
"Ah ya, saya hampir lupa, ada satu orang lagi yang harus saya kenalkan, Gemilang boleh ke sini," seolah bisa membaca isi pikirannya, Papanya memanggil Gemilang ke depan. Semakin timpanglah penampilan mereka saat ini. Papanya menepuk pundak Gemilang, persis seperti yang beliau lakukan padanya tadi. "Gemilang adalah siswa terbaik di SMA Paramitha sekaligus penerima beasiswa berprestasi terbaik di Yayasan Danureja Grup, Gemilang yang akan menemani Raesangga selama belajar di Danureja Karya."
Kalimat Papanya seperti petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. Pertama, apa yang Papanya lakukan jelas merendahkan harga diri sahabatnya. Papanya memperkenalkan Gemilang bukan sebagai rekannya, melainkan pembantunya, penopangnya, orang yang akan bekerja untuknya sedangkan ia yang akan menikmati hasilnya. Kedua, semua orang di ruangan ini tahu, penerima beasiswa dari Yayasan Danureja Grup berasal dari kalangan menengah ke bawah. Papanya tengah memberi garis antara ia dan Gemilang di hadapan orang-orang, memperjelas perbedaan kasta di antara mereka. Ketiga, selama tiga belas tahun persahabatan mereka, Raesangga tahu Gemilang tidak pernah bermimpi untuk bekerja di bawah naungan Danureja Grup. Gemilang seharusnya fokus pada mimpinya untuk menjadi dokter, bukan bergabung dengan perusahaan kapitalis milik Papanya!
Rae mengepal tangannya, ia nyaris menyentak Papanya seandainya Gemilang tidak terlanjur menarik tubuhnya mundur. Lewat kode yang hanya bisa mereka pahami, Rae tahu, Gemilang memintanya menahan diri.
Gemilang lantas maju ke depan, membungkukan tubuhnya hingga sembilan puluh derajat. "Saya masih harus banyak belajar, mohon bimbingannya."
Dada Rae terasa sesak, ia mengalihkan wajahnya. Gemilang bahkan menundukan tubuh lebih rendah daripada ia tadi. Senyum sedih terbit di bibirnya.
Rupanya ia kalah.
Rae tahu, ia tidak akan bisa menyelesaikan hari ini dengan baik-baik saja.
•••
Raesangga: Semangat ketemu bokapnya!
Raesangga: *kirim semangat dengan kekuatan cinta* fufufufu
Raesangga:
Nadine berulang kali membaca pesan Rae pada bagian tersebut, tidak peduli bahwa pada situasi normal ia akan menjulurkan lidah geli. Rae tidak lagi membalas pesannya, dalam bayangannya pemuda itu pasti sudah mulai dieksekusi. Saat ini, ia membutuhkan dukungan dari seseorang, dan lagi-lagi Raelah yang melakukannya.
"Nadine?" Nadine mengangkat kepala saat mendengar suara Mamanya. Katreena Wisesa kini berdiri di hadapannya dengan raut lelah dan lingkaran di bawah mata. Beberapa waktu tidak bertemu, pagi tadi Nadine harus terkejut ketika Mamanya menjemputnya dengan mata tertutup sunglasses dan wajah pusat pasi. Bukan untuk gaya, Nadine tahu kacamata tersebut untuk menutupi mata Mamanya yang sembab. Tidak hanya itu, dalam sekali lihat Nadine bisa menebak bahwa Mamanya sudah kehilangan beberapa kilogram bobot tubuhnya.
Ia ingin bertanya apa yang terjadi, tapi sayangnya ia tidak memiliki nyali untuk melakukannya. Jadilah mereka tetap sedingin pertemuan terakhir mereka.
"Kamu udah boleh masuk," ujar Mamanya merujuk pada pintu ruang kunjungan. "Cuma boleh satu orang, jadi biar Mama yang tunggu di sini."
Nadine menghela napas tipis, tidak menyangka bahwa hatinya masih berdenyut ngilu melihat Mamanya. "Memang cuma aku kayaknya yang keluarga Papa di sini."
Mamanya tidak membalas, Nadine pun berniat menunggu jawaban. Gadis itu melangkah tanpa tahu bahwa di belakangnya Mamanya menahan tangis dengan tubuh gemetar.
•••
Nadine kuat. Nadine kuat. Nadine kuat. Jangan nangis. Jangan nangis. Jangan nangis!
Entah sudah berapa kali Nadine merapal mantra tersebut dalam benaknya. Menyihir dirinya sendiri agar tidak tumbang ketika bertemu Papanya. Namun kenyataannya, ia tetap merasa jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik kala kali pertama ia menemukan pria itu dalam balutan baju tahanan.
Jangan nangis Nadine. Jangan nangis. Jangan berani-berani nangis!
Nadine memaksakan senyumnya. "Papa apa kabar? Kok kurusan sih? Makanan di sini nggak enak ya?"
Papanya tersenyum lebar, tapi Nadine tahu beliau hanya berpura-pura. Nadine bisa melihat kegelisahan di sepasang mata Papanya. "Papa baik kok, makanannya juga enak, di sini malah Papa banyak istirahatnya tahu, jadi nggak kerja terus. Kamu jangan khawatir."
"Ih, siapa bilang Nadine khawatir, Nadine tahu kok kalau Papa nggak salah, Nadine nggak perlu takut apa-apa, kan?" Nadine tertawa hambar, berharap dengan begitu ia bisa mencairkan suasana, atau setidaknya menguatkan hatinya sendiri.
Namun rupanya ia salah.
Kalimatnya salah.
Kala sinar mata Papanya meredup, Nadine tahu kalimat yang ia ucapkan melukai Papanya.
"Maafin Papa ya, udah ngecewain kamu sama Mama, karena Papa kalian harus—"
"Enggak, enggak apa-apa, kalau pun Papa salah, Nadine nggak apa-apa," Nadine buru-buru memotong kalimat Papanya, matanya mulai terasa panas, tapi sebisa mungkin gadis itu melebarkan senyumnya. "Papa nggak perlu minta maaf sama Nadine, Papa mungkin salah sama orang lain, tapi Papa nggak punya salah sama Nadine."
Jangan nangis, Nadine. Jangan nangis!
"Nadine bisa majuan?" Papanya meminta Nadine untuk memajukan tubuhnya. Meja berukuran tiga petak lantai memisahkan mereka, sehingga butuh usaha lebih untuk kulit mereka saling bersentuhan. Dengan tangan yang terancam oleh borgol Papanya mengusap rambut Nadine, lantas turun ke pipinya. "Nadine kurusan, sakit ya?"
"Enggak Pa, Nadine baik-baik aja, Papa tahu kan Nadine kuat, dari dulu kan Nadine jarang sakit." Suaranya mulai sumbang dan jelas sekali napasnya sudah tersekat, tapi tentu saja Papanya tidak boleh mendapati keresahannya.
Sudah cukup semua masalah yang dihadapi Papanya selama ini, Nadine tidak boleh membuat beliau ikut menanggung beban karena kesedihan yang ia rasakan.
Kuat Nadine! Kuat! Jangan nangis! Jangan cengeng!
"Papa kangen sama Nadine."
"Nadine juga kangen sama Papa."
Tapi ini terlalu sakit Ya Tuhan, ini terlalu sakit.
"Nadine, maafin Papa sama Mama ya, nggak bisa jadi orang tua yang baik untuk Nadine." Papanya mengambil jeda sejenak, lalu menatap Nadine lekat-lekat. Beberapa detik terlewat, dan Nadine tidak ingin menebak ke mana pembicaraan ini akan bermuara. Namun entah kenapa, kala ia lihat sendu di mata tua Papanya, sorot bersalah yang pekat di sinar matanya, serta suara beliau yang sumbang tengah menahan segunung beban, Nadine bisa menduga apa yang akan ia dengar selanjutnya.
Nadine ingin memundurkan tubuhnya dan pergi dari sana. Ia tak ingin mendengar kalimat apapun lagi yang kelak akan keluar dari bibir Papanya, tapi ia tak sanggup. Seluruh syarafnya seakan mengkhianati perintah otaknya. Tubuhnya kehilangan fungsinya.
"Papa sama Mama nggak bisa lagi lanjut sama-sama..."
Dan akhirnya, kalimat itu meluncur dari bibir Papanya. Bagai anak panah, melesat menuju inti jantungnya.
"... kami memutuskan untuk bercerai."
Cairan sebening kristal itu akhirnya jatuh dari sudut matanya, lantas pecah di lekukan ibu jari Papanya.
Setelahnya tak ada lagi kalimat yang sanggup Nadine katakan, penjelasan panjang lebar yang berusaha Papa berikan sama sekali tidak mengurangi lukanya. Sebaliknya ia justru merasa ada pisau yang tertancap semakin dalam di dadanya.
Mantranya mengkhianatinya.
Isakan Nadine terus menghebat, tak bisa ia hentikan sekeras apapun ia mencobanya.
Nadine ternyata tidak sekuat itu. Nadine menangis karena akhirnya harapannya musnah, pada akhirnya Papanya memiliki keberanian untuk melepaskan Mamanya.
Melepaskan keluarga mereka.
-----
A/n:
Hi!
Gimana bab ini?
Sticker-sticker itu... Apakah mengingatkan kalian pada seseorang? Atau sesetokoh? Wkwkek
Apa banget sih gue.
Ini sebenarnya panjangnya standar, tapi dari kemaren banyak yang bilang dikit padahal ini satu bab 1500-2000an woi.
Tapi yaudalah ya gapapa.
Berhubung uploadnya udah mau lebaran. Insya Allah.
Aku ngucapinnya duluan aja ya?
Minal Aidzin wal Faizin teman-teman.
Maapin ya Innayah Putri banyak salahnya.
Udah deh itu aja...
Ah ya, cuma mau bilang ada aku punya kejutan di bab berikutnya. Ada yang bisa nebak?
See you when i see you.
Tangsel, 22 Mei 2020.
Lots of Love,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro