Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 | Dua Tempat

Kompas ada di tangannya,

Langkahnya terarah pada satu tujuan.

Untuknya yang tidak punya apa-apa;

Hidup tidak memberinya banyak pilihan.

•••

"

Om ayolah, teman Om kan banyak di KPK, masa iya Om nggak bisa bantuin temenku ketemu Harun Wisesa?"

Sudah beberapa hari terakhir Rae merengek pada Reza untuk membantu Nadine bertemu Ayahnya. Meski sering mengelak, Rae tahu sekretaris pribadi Ayahnya ini punya akses yang luar biasa. Sebelum mengabdi sepenuhnya pada Janadi Danureja, Reza merupakan salah satu pengacara yang bekerja di bawah firma hukum nomor 1 di Indonesia. Pada tahun pertamanya, Reza mampu mengantongi presentase kemenangannya di pengadilan adalah tujuh puluh persen.

Sebelum sempat menjajaki karirnya lebih tinggi, Kuntoro Danureja—kakek Rae sekaligus pendiri Danureja Group—berhasil menariknya untuk menjadi legal officer di perusahaan mereka. Reza dipantau dan digenjot habis-habisan untuk memahami betul seluk-beluk kantor. Insting seorang Kuntoro tentu saja tidak meleset, Reza adalah orang gesit, cerdik, dan yang terpenting setia. Kemampuannya dalam bernegosiasi dan memahami situasi sungguh luar biasa. Tidak perlu waktu lama untuk menempatkan Reza di posisi khusus, pada sisi Janadi Danureja. Selama hidupnya, Rae tidak pernah mendengar ada satu pun masalah yang tidak bisa Reza selesaikan. Baik kesalahan ayahnya, bahkan kesalahannya. Reza bekerja tanpa satu pun cacat dalam sejarahnya.

"Kalau kamu minta Om untuk ketemu Menteri, Om bisa bantu Rae, Papa kamu bisa bantu, tapi kalau urusannya sama KPK, Om susah, buat tahu rutannya Harun Wisesa saja Om udah ikut dicurigain," jawab Reza setengah tertawa. Sikapnya yang profesional selalu luntur acap kali berhadapan dengan Raesangga. "Lagipula ada apa sih antara kamu sama Nadine Wisesa? Kok kayaknya dia penting banget sampai kamu bela-belain begini?"

Rae sontak membuang wajahnya, menyembunyikan pipinya yang entah kenapa terasa memanas. "Bukan siapa-siapa, nggak penting dan nggak dibela-belain juga, kok."

Meski tangannya sibuk membalik dokumen, tapi mata Reza tetap awas mengawasi Rae. Ia tentu menangkap raut canggung Rae. "Hati-hati, kalian masih muda, tapi nggak lupa kan, kalau kamu pacaran sama Olivia dan Nadine bukannya pacarnya Gio?"

Rae memberenggut sebal. "Aku udah putus sama Oliv, Nadine juga."

"Oh ya?" Reza menaikkan sebelah alisnya, berpura-pura terkejut. Walau sebenarnya, ia sudah tahu hal tersebut. Ia mengetahui nyaris seluruh langkah yang putra majikannya ambil. Menjaga penerus Danureja merupakan salah satu bentuk kesetiaannya pada Janadi Danureja. "Sayang sekali, padahal kamu dan Olivia tampak cocok."

"Cocok apanya, ribut terus sama dia, makan hati."

"Oh, kalau sama anaknya Harun berarti cocok?"

"Om!" Rae berseru, membuat tawa Reza kontan pecah. Ia mengenal anak ini sebaik mengenal dirinya sendiri, Reza tentu bisa membaca perasaan Rae dengan transparan.

"Oke oke, sorry, Om nggak akan komentar lagi, tapi gimana soal permintaan Papamu tadi?"

"Aku udah mau ujian Om, nggak sempetlah magang-magang di perusahaan Papa, katanya disuruh rajin belajar, gimana sih?" Rae berdecak kesal. "Om mau tanggung jawab kalau Mama beneran jadiin aku tukang fotocopy?"

"Not bad, kamu bisa juga belajar fotocopy di sana."

"Ah, Om, beneran mau musuhan sama aku ya?"

Reza tertawa, ia mengeluarkan selembar kartu nama, lantas menyerahkannya pada Raesangga. "Salah satu lawyer terbaik yang Om kenal, kalau kamu setuju untuk magang, Om akan buat dia setuju untuk mengambil alih kasus Harun Wisesa."

Mata Rae membulat sesaat, lalu menatap Reza penuh pertimbangan. "Cuma dua minggu, kan?"

"Satu minggu pun nggak masalah."

"Oke!" Rae langsung menyarukan benda tipis itu ke dalam sakunya, lalu bangkit dan menyampirkan tasnya di bahu. Minimal ia tidak pulang dengan tangan kosong. "Rae balik dulu ya, mau belajar bareng!"

Reza hanya menggelengkan kepala seraya terkekeh geli. Tahu betul maksudnya belajar bersama dalam kamus Raesangga adalah tidur siang di rumah Btari atau Gemilang.

Tepat saat kakinya melewati pintu ruangan Reza, Rae menghentikan langkahnya. Ia kontan teringat pada nama Reza di layar handphone Gemilang beberapa waktu yang lalu.

"Om?" Rae memanggil Reza.

"Ya? Kenapa Rae?"

Sesaat Rae merasa ragu sebelum akhirnya mengurungkan niatnya untuk bertanya. "Nggak jadi deh Om, bye."

Reza tersenyum. "Hati-hati, Rae."

Sayangnya Rae tidak tahu, tepat setelah ia menutup pintu, Reza meraih telepon di mejanya.

"Posisi spesial yang saya bicarakan kemarin, siapkan untuk minggu depan, untuk dua orang."

•••

Sudah tiga hari sejak drama UKS itu berlalu. Tidak banyak hal yang berubah, tapi rasanya pelan-pelan hidup Nadine di sekolah berangsur normal. Tidak sepenuhnya normal sebenarnya. Ia masih tidur sendiri di kamar hotel yang Mamanya sewa, masih mendapati orang yang menatapnya penuh penghakiman, masih kerap menyadari bahwa di tempat yang seharusnya jadi rumah keduanya ini ia tidak diterima. Namun hanya sampai di sana. Nadine tidak pernah lagi mendapat pertanyaan mengenai orang tuanya, atau gunjingan secara terang-terangan. Peringatan Rae rupanya berhasil memukul mundur orang-orang yang ingin melihat kejatuhannya.

Yang Nadine tidak tahu adalah selain peringatan yang dilakukan Rae pada insiden wawancara tempo hari, Rae juga menghampiri satu-persatu panitia Paramitha Festival yang membolos rapat. Tidak perlu ancaman keras, dengan kunjungan khusus yang Rae lakukan saja sudah berhasil membawa mereka kembali ke ruang rapat tanpa kurang satu pun personil.

"Nih."

Nadine mengernyit kala Rae menyodorkan sebuah kartu nama kepadanya. "Apaan, nih?"

"Pengacara buat bokap lo."

"Bokap gue udah punya pengacara, kok."

"Dia berpengalaman."

"Pengacara bokap gue juga berpengalaman."

"Ck," Rae berdecak kesal. "Bisa nggak sih, terima aja nggak usah banyak komentar? Lo nggak tau pengorbanan gue buat dapet kartu nama ini!"

"Emang gue minta lo berkorban?"

"Demi Tuhan Nadine Wisesa, bisa nggak sih, lo nggak ngajakin perang sehari aja?!" Rae berseru jengkel. "Yaudah, sini kalau nggak mau, balikin!"

Sebelum sempat Rae merebutnya kembali, Nadine sudah memasukan benda itu ke dalam saku kemejanya. Membuat Rae tidak bisa berkutik. "Mau! Siapa bilang sih nggak mau?!"

Rae mengembuskan napas kesal. "Terserah!"

Btari dan Gemilang yang semula sibuk dengan tugas masing-masing mau tak mau menggelengkan kepala mereka melihat kelakuan Nadine dan Rae. Ini dia alasan Gemilang dan Btari menyeret Nadine dan Rae untuk belajar di sekretariat OSIS, alih-alih Perpustakaan. Pertengkaran keduanya bisa membuat Bu Tini—penjaga perpus yang terkenal super galak naik pitam.

Menjelang Ujian Akhir Semester memang siswa SMA Paramitha jauh lebih sibuk daripada bulan-bulan lainnya. Entah penyakit ini memang ada di seluruh sekolah atau hanya berlaku di SMA Paramitha, tapi yang jelas, guru-guru mereka punya kebiasaan membebankan tugas dua kali lipat sebulan sebelum ujian dilaksanakan. Nadine bisa bernapas lega, karena setidaknya Paramitha Festival yang akan terselenggara selepas UAS tersebut persiapannya sudah mencapai angka 85%. Jadi mereka bisa mengambil jeda sejenak dari keruwetan kepanitiaan.

Gadis itu juga bersyukur karena setidaknya ada satu bagian dari hidupnya yang masih berjalan dengan benar. Nadine memang belum bisa bertemu Papanya, Mamanya juga belum kelihatan sejak terakhir kali mengantarnya ke hotel hari pertama badai itu menerpa keluarga mereka, tapi sampai sejauh ini nyatanya ia masih sanggup bertahan. Malah bisa dibilang, akhir-akhir ini Nadine sudah mulai terbiasa.

"Memang kamu ngorbanin apa biar dapat kartu nama itu? Uang jajan satu bulan?" tanya Btari tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop di hadapannya.

"Lebih buruk dari itu."

Sebelah alis Gemilang kontan naik. "Izin naik gunung dicabut?"

"Emang lo pernah lihat nyokap bokap gue ngizinin gue nanjak dengan segenap keikhlasan dan ketulusan?"

"Ah iya nggak pernah, diizinin nggak diizinin juga lo bakal tetep cabut," komentar Gemilang panjang. Pemuda itu merapikan letak kacamatanya, meneliti lagi rumus di hadapannya. Lalu kembali bertanya tanpa mengalihkan fokusnya. "Terus apaan?"

"Magang."

"Hah?"

Baik Gemilang, Btari, mau pun Nadine kontan menoleh ke arah Rae nyaris di detik yang bersamaan. Ditatap seperti itu membuat Rae semakin nelangsa.

"Iya, magang, di Danureja Karya, mampus nggak tuh?!" Rae mengacak rambutnya frustrasi. Dibanding sebagai seseorang yang kelak akan menerima warisan besar, Rae lebih mirip hewan yang ingin disembelih. "Katanya sih perkenalan aja dan cuma sebentar, tapi rasanya gue kayak lagi mau disiksa."

Tanpa Rae sadari saat itu juga tubuh Gemilang kontan menegang. Dengan nyaris tergagap, ia ajukan sebuah pertanyaan. "Kapan...?"

"Senin, sekalian rapat direksi."

Sebuah peringatan seperti baru saja dinyalakan di alam bawah sadar Gemilang. Tepat pada saat itu, sebuah pesan sampai di ponselnya.

From: Reza Himawan

Gemilang, hari senin, sebelum makan siang. Silakan datang ke Kantor. Izin kamu sudah saya urus. Tks.


———
A/n:

Kya!

Harusnya update sebelum maghrib tadi, tapi karena satu dua hal akhirnya ngaret sampai jam segini. Semoga masih ada yang baca wkwkwk

Aku nggak mau ngomong banyak kecuali; terima kasih.

Terima kasih untuk support yang kalian kasih, terutama yang udah jadi pembacaku dari zaman-zaman baheula.

Terima kasih udah sabar nunggu aku balik nulis waktu aku hiatus dalam waktu yang lama.

Terima kasih karena nggak pergi walau aku sempat take down Mencintaimu dan udah jadi penulis yang super nggak jelas.

Terima kasih karena terus nyemangatin aku, karena udah ngeracunin orang-orang buat baca ceritaku.

Kadang bingung kalian kenapa pada baik-baik banget deh, padahal akunya nggak bisa kasih apa-apa.

Yaudah terakhir; sehat-sehat ya kalian!

Tangerang, 10 Mei 2020.
Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro