Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 | Pesawat Kertas

Aku membutuhkanmu.
Meski melalui cara tersulit yang tak mungkin orang lain sanggup pahami.

Aku membutuhkanmu.
Walau ternyata kebersamaan kita justru memperbanyak ruang yang tak boleh kulangkahi. 

Aku membutuhkanmu.
Kendati akhirnya harus banyak kehilangan-kehilangan yang kelak akan kulalui.

Aku membutuhkanmu.
Dua kata. Satu baris. Kukatakan dengan segenap tulus;

Aku membutuhkanmu.

•••

Dibanding membawa Nadine ke rumah sakit atau mengantar gadis itu kembali ke kamar hotelnya, mereka sepakat untuk membiarkan Nadine menginap di rumah Btari. Nadine saat ini bukan hanya butuh istirahat atau perawatan, ia butuh ditemani.

"Gimana?" tanya Gemilang ketika Rae melewati pintu kamar Btari. Seperti yang mereka duga, Rae hanya bisa menggelengkan kepala.

"Katanya masih ada meeting, Tante Katreena cuma bilang nitip Nadine untuk sementara waktu, nanti Tante Kat juga telepon Ibu, Bi." Rae menjelaskan dengan suara rendah, sebisa mungkin tidak mengganggu tidur Nadine. Gadis itu pasti kelelahan, dan kabar bahwa Ibunya lebih memilih rapat dibanding anaknya yang sedang sakit tentu tidak akan membuat keadaan membaik.

Btari mengembuskan napas pelan, ia meraih kompres Nadine, memerasnya, lalu menempelkannya kembali di kening gadis itu. "Iyaudah, Nadine demamnya juga udah turun, sebentar lagi mungkin bangun, aku mau bikin sop dulu biar dia bisa langsung makan."

Gemilang memilih mengekori Btari sedangkan Rae duduk di samping ranjang, menatap lekat pada gadis yang matanya kini tertutup rapat. Selama Rae mengenal Nadine, ia tak pernah membayangkan akan melihat Nadine dalam keadaan seringkih ini. Nadine selalu tampak kuat, berani, dan tegas. Gadis itu selalu bersikap seolah tidak ada hal yang bisa menghancurkannya. Namun ternyata tidak. Semakin Rae mengenal gadis itu, semakin Rae sadar, seberapa rapuh Nadine sebenarnya.

Rae baru ingin menyentuh kening Nadine kala tangan gadis itu menahannya. Tanpa membuka matanya, Nadine bergumam dalam suara selirih angin.

"Jangan pergi."

Rae membalas genggaman tangan itu lebih kuat.

"Nggak akan, gue nggak akan pergi. I promise."

•••

Hujan sudah berhenti mengetuk-ngetuk jendela besar tersebut sejak satu jam yang lalu, tapi titik-titik embun masih menjejak di sana. Katreena duduk di sisi jendela, jemari lentiknya menyusuri papan bening tersebut, membentuk garis-garis berpola serupa.

"Kat, kamu udah dua hari nggak makan, mau sampai kapan kayak gini?" Primus yang sejak semula ada di sana akhirnya angkat suara. Ia tidak tega melihat perempuan yang ia cintai terus seperti mayat bernapas. Jauh daripada sosok Katreena yang biasanya, beberapa hari terakhir perempuan itu tampak rapuh dan ringkih. Di lantai dua butiknya, Katrena hanya berlalu lalang disekitar kamar tidurnya. Wajahnya yang biasanya cemerlang, kini pucat tanpa warna. Lingkaran hitam menggantung tepat di bawa sepasang mata hazelnya, belum lagi bibirnya yang mulai berdarah karena dibiarkan kekeringan. Semua makanan yang dibawa ke kamarnya selalu keluar dengan porsi yang nyaris utuh atau bahkan tidak tersentuh.

Tentu saja tidak ada satu pun orang yang Kat biarkan menemukan kelemahannya kecuali Primus Yudhistira. Pria yang telah lama mengisi sudut-sudut hatinya. Cinta pertama yang entah bagaimana tidak pernah usang termakan usia. Sosok yang pada akhirnya tetap ia pilih, meski ia tahu ini bukan jalan yang benar. Meski Katreena tahu, cinta yang mereka miliki menghancurkan terlampau banyak hati.

"Nadine sakit, Mas," suara Kat serak, jelas sekali perempuan itu kesulitan menemukan kekuatan untuk berbicara. "Padahal anak itu jarang sekali sakit."

Primus mengela napas berat. Matanya menatap nanar pada Kat yang tetap memunggunginya. Sudah sejak lama, sejak awal mereka bertemu kembali dan memulai ini di jalan yang salah, hatinya selalu berperang. Ia tahu, pondasi hubungan mereka saat ini adalah keegoisan. Bagaimana caranya pun mereka mencari pembenaran, pada akhirnya mereka selalu dipaksa menerima bahwa ini adalah kesalahan. Cinta pertama, perasaan yang menahun, keinginan untuk bahagia tidak lantas bisa jadi pembenaran untuk menghancurkan hati orang lain dengan sengaja.

Mereka tahu itu dengan pasti. Namun, mereka sudah memutuskan untuk menutup mata mereka. Tidak peduli ini benar atau salah. Baik atau buruk. Satu-satunya yang mereka ingin adalah tetap menggenggam.

Karena rasanya, mereka tak sanggup melepaskan satu sama lain sekali lagi.

"Kalau gitu kenapa kamu nggak jemput Nadine? Kalian bisa tidur di hotel, kamu nggak perlu tidur di sini sendirian tiap malam juga, Kat, kalian bisa saling menguatkan."

Katreena menggeleng pelan. Perempuan itu menundukan kepala. Bahunya bergetar seperti tengah berusaha keras menahan tangis.

"Nadine benci aku Mas, lihat aku cuma akan bikin dia lebih sakit," lirih, suara Kat mungkin hanya satu oktaf lebih tinggi dari suara angin. Namun di sana, Primus dapat menemukannya. Ia dapat menemukan luka yang menganga, perih yang terjabar, rasa sesal dan bersalah yang tak ada habisnya.

Inilah ketakutan terbesarnya selama menjalani hubungan ini; kala akhirnya api yang mereka hidupkan mulai membakar diri mereka sendiri. Hubungan mereka lambat laun bukan hanya mematahkan hati orang lain, namun juga mulai menghancurkan diri mereka sendiri.

Dan Primus tak pernah siap melihat Kat terluka.

Primus bangkit menghampiri Kat, meraih tangan perempuan itu lalu menyimpan dalam genggamannya. "Kat?"

Katreena mengangkat kepalanya, menatap Primus tepat di manik matanya.

"Kamu tahu kan, sejauh apapun, sama-sama atau nggak, perasaan aku nggak akan berubah?"

Kat tidak menjawab, meski ia tahu kemana pembicaraan ini akan bermuara.

"Tapi saat ini, Nadine jauh lebih butuh kamu dibanding aku, dan kamu jauh lebih butuh Nadine dibanding aku." Primus menjeda sejenak, mengelus lembut punggung tangan perempuan yang selalu jadi cinta dalam hidupnya. "Aku nggak mau, karena aku, kamu justru kehilangan sesuatu yang sebenarnya jauh lebih penting daripada aku."

Katreena merapatkan bibirnya, dengan perlahan ia melepaskan tangannya dari genggaman Primus.

"Aku sama Mas Harun memang udah nggak bisa sama-sama, sama kamu atau bukan, kami udah nggak bisa diperbaiki."

"No, bukan aku mau lepas kamu gitu aja, tapi mungkin kamu butuh waktu buat berpikir." Primus menatap Kat lekat-lekat berusaha memberi wanita ini pemahaman akan maksudnya. "Aku nggak minta kamu pilih antara aku dengan Nadine, tapi Nadine begitu, dia pasti kamu pilih antara aku atau Nadine, dan aku tahu itu berat buat kamu, jadi sementara ini biar aku yang ngalah, ya?"

"Kamu mau pergi juga?"

"Aku selalu ada Kat, kamu tahu aku nggak pernah kemana-mana, dari dulu sampai detik ini, kapan pun kamu butuh aku ada di sini."

Katreena merasa dadanya kian sesak. Namun ia sudah lelah berpikir. Jadi satu-satunya hal yang Kat lakukan adalah menganggukan kepalanya. Primus mengecup puncak kepala Kat, lantas mengelus rambut perempuan itu sebagaimana yang selalu ia lakukan.

"Telepon aku kalau butuh sesuatu."

Primus melangkah keluar dari kamar tersebut. Tepat ketika pintu ditutup, Kat meluruhkan tubuhnya, air mata yang sejak tadi ia berusaha tahan, ia biarkan luruh begitu saja.

Seperti yang selama ini putrinya lakukan, Katreena juga menangis tanpa suara.

•••

"Rae sama Gemilang udah pulang?" suara di belakangnya otomatis membuat Btari menoleh. Dengan handuk yang masih membungkus kepalanya, Dinda menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, tepat di samping adiknya. Di pelukannya terdapat tas kerja yang mulai kusam.

"Udah, baru aja, Ibu sama Bapak juga udah pulang, tadi sempet ketemu Rae sama Gemilang sebentar."

Dinda menganggukan kepala, gadis itu melirik pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. "Nadine udah mendingan?"

"Tadi sih udah mau makan bareng sama Rae, demamnya juga udah turun," ujar Btari seraya melebarkan selimut tipis yang baru ia ambil dari kamar orang tua mereka. "Mbak Dinda tidur di kamar aja, nemenin Nadine, Btari di sini."

"Ngaco," Dinda mengibaskan tangannya. "Lo bisa masuk angin, masuk sana, gue masih ada kerjaan yang mau dikerjain juga."

Btari otomatis melirik ke benda-benda yang baru Dinda keluarkan dari tasnya. Selain sebuah laptop tebal keluaran lama, ada beberapa lembar file, dan sebuah tempat pensil. Tanpa sengaja mata Btari terantuk pada pesawat kertas yang mengintip dari resleting depan.

Berbeda dengan Raden yang sejak SMA memang tidak memiliki niat untuk menjutkan pendidikan, kakak perempuannya ini pernah begitu berambisi untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung. Dulu sekali, semasa mereka masih dalam kesulitan, Raden dan Dinda lah yang dengan sigap menjaga Btari setiap kali Bapak dan Ibu harus mencari nafkah. Mereka terbiasa menunggu Bapak dan Ibu pulang di taman dekat rumah, merebahkan tubuh di bawah langit malam. Tanpa peduli tanah akan menjejak di balik kaus mereka.

Rumah mereka tidak terlalu jauh dari pangkalan udara militer membuat mereka sesekali bisa melihat pesawat terbang tak begitu jauh di langit sana. Sewaktu kecil, mereka percaya, bahwa pesawat bisa mengabulkan keinginan. Maka dari itu mereka selalu bersemangat menunggu pesawat lewat. Mereka hanya punya satu permintaan; agar Bapak dan Ibu pulang bawa makanan. Tentu saja hal itu selalu terkabul, meski hanya sebuah nasi bungkus atau gorengan dingin, Bapak dan Ibu tidak pernah pulang dengan tangan kosong.

Sampai suatu malam, mereka merebahkan tubuh di sana, dengan perut kelaparan dan Bapak Ibu yang tidak kunjung pulang. Mereka bertiga menunggu pesawat, selama berjam-jam, tapi selama apapun mereka menunggu, pesawat itu tidak juga lewat. Padahal dibanding malam lainnya, mereka benar-benar berharap keajaiban bisa sampai pada mereka di malam tersebut.

"Mas, pesawatnya kemana?" umur Dinda baru 6 tahun, tapi ia sudah tahu bahwa menekan perut adalah caranya untuk menahan lapar.

"Sabar, nanti pesawatnya lewat."

Kala itu Btari kecil sudah terlelap di antara mereka, ia juga terlelap tanpa satu pun makanan yang masuk ke perutnya sejak siang tadi.

"Kalau pesawatnya nggak lewat? Bapak Ibu enggak pulang ya, Mas?"

"Pulang tapi nanti."

"Kalau pesawat nggak lewat, kita enggak makan kan? Dulu juga gitu, pesawat nggak lewat, Bapak Ibu pulangnya cuma bawa air putih."

Raden tampak berpikir, lalu meraih sebuah kertas tidak jauh dari mereka. Dengan terampil bocah berusia delapan tahun itu menyulap kertas bekas itu menjadi sebuah pesawat terbang.

"Kalau pesawatnya nggak lewat, Mas yang bikin pesawatnya, terus terbangin buat kamu."

Mata Dinda membulat. Itu bukan pertama kalinya ia tahu bahwa sebuah pesawat bisa diciptakan, tapi malam itu kala Raden menerbangkannya, Dinda tahu apa yang ingin ia lakukan di masa depan.

Seiring waktu berlalu, Dinda sadar bahwa bukan pesawat-pesawat itu yang membawakan makanan atau mengabulkan doa-doanya, namun tetap saja kenangan masa kecil itu tak pernah surut dari ingatannya. Pesawat-pesawat itulah yang menumbuhkan harapan dalam dadanya.

Dinda bertekad, bahwa suatu hari nanti, ia akan membuat sebuah pesawat terbang.

Institut Teknologi Bandung menjadi kampus utama yang Dinda tuju. Cara apapun ia lakukan agar bisa mendapat beasiswa.

Btari tentu masih ingat malam-malam panjang dimana kakaknya berusaha melahap sebanyak mungkin buku soal bekas, karena orang tua mereka tidak mampu untuk membayar bimbingan belajar atau sekadar bank soal baru.

Sayangnya, dalam hidup, tidak peduli sebesar apapun usaha kita, ada banyak hal yang rasanya terlalu jauh untuk digapai. Ketika ia dinyatakan gagal, Dinda otomatis harus siap menutup semua gerbang ke cita-citanya. Teknik dirgantara sama sekali tidak murah. Orang tuanya tidak sanggup untuk menyokong mimpinya.

Btari tidak pernah melihat Mbak Dinda menunjukan kekecewaannya secara terang-terangan. Namun pada malam dimana Dinda mendapat pengumuman bahwa beasiswanya ditolak, Btari menemukan kakaknya menangis dalam tidurnya.

"Kasus bokapnya Nadine belum selesai?" tanya Dinda seraya melirik layar televisi yang tengah menayangkan berita malam.

Btari menggeleng pelan. "Nadine bahkan belum bisa ketemu Papanya."

"Nyokapnya?"

Senyum Btari kian muram mengingat percakapan Ibu dengan Mamanya Nadine. "Katanya sibuk, jadi beberapa hari ini Nadine dititip sama kita."

Dinda ikut mengembuskan napas berat mendengar kalimat Btari. Btari mungkin tidak banyak cerita soal teman-temannya, tapi Dinda tahu bagaimana keadaan keluarga mereka. Rae—tipikal orang kaya yang orang tuanya selalu sibuk membeli kebahagiaan dengan uang, Gemilang—yang harus berusaha mati-matian untuk menjaga Ibu dan kedua adiknya, dan Nadine—yang lebih dekat dengan Ayahnya dibanding Ibunya. Dinda sendiri tidak bisa tersenyum manis mengingat keadaan keluarga mereka. Raden, Dinda dan Btari tidak pernah sekali pun kehilangan sosok Ayah atau Ibu dari kedua orang tua mereka, tapi sudah sejak lama Dinda merasa bahwa meski utuh, keluarga mereka punya dinding yang terlampau tebal untuk ditembus. Terutama sejak mereka beranjak dewasa dan Raden jadi seorang pembangkang.

"Miris ya, ada anak yang butuh orang tuanya, tapi orang tuanya nggak pernah ada, tapi ada juga yang orang tuanya masih ada, selalu ada, malah ditinggalin, disia-siain," Dinda bergumam seraya mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya, dan Btari langsung tahu siapa orang yang dimaksud kakaknya.

"Mas Raden bilang minggu ini pulang kok, Mbak," ujar Btari hati-hati. Ia tidak ingin menambah masalah apapun di keluarganya. Tidak, masalah antara Bapak dengan Raden atau antara kedua kakaknya.

"Buat apa? Bikin Bapak darah tingginya kambuh lagi? Tiap pulang isinya cuma ribut, kok."

"Mas Raden bilang—"

"Bilang sama Masmu nggak usah pulang aja, nggak ada dia juga kita baik-baik aja." Kalimat Dinda memutus kalimat Btari. Ia tidak bisa melanjutkan pembelaannya terhadap Raden.

Btari tahu bahwa Masnya mengecewakan banyak orang di rumah ini, namun lebih dari siapapun juga Btari tahu bahwa apa yang Raden lakukan saat ini juga demi menjaga mereka. Btari mungkin tak mengerti apa yang ada di pikiran Raden, apa maksud dan tujuan dari kakak laki-lakinya itu untuk pergi dari rumah ini dan bekerja di kafe temannya dibanding pekerjaan dengan gaji tetap yang Bapak Ibu harapkan dari Masnya tersebut. Namun kala Raden bilang, Raden melakukannya demi mereka, maka Btari percaya sepenuhnya pada Raden.

Btari percaya bahwa Raden menyayangi mereka sebesar mereka menyayanginya.

———
A/n:

Hi!

Kaget tiba-tiba udah bab 21 hahaha

Gimana?

Masih benci sama Mamanya Nadine?

Nggak apa-apa emang Tante Kateerina tuh salah, kok.

Tapi seperti yang aku bilang, di Mencintaimu tokoh aku mungkin lebih manusiawi.

Mereka nggak jahat, cuma egois.

Mereka punya sisi gelap dan sisi terang.

Sebagai penulisnya pun aku nggak membenarkan kelakuan Rae atau Tante Kat, tapi aku berusaha memahami motif mereka, aku berusaha melihat dari kacamata mereka, dari sudut pandang mereka.

Cinta memang kadang seegois itu sayangku.

Nadine tuh sebenarnya mirip banget sama Mamanya, tapi karena saking miripnya mereka sampai nggak bisa ngebaca bahasa cinta masing-masing.

Anyway, kayak yang aku janjikan, Mencintaimu bukan cuma soal Rae x Nadine, tapi juga Gem x Btari.

So yea, selamat datang di keluarga Btari.

Waktu itu udah ketemu Mas Raden, sekarang ketemu Mbak Dinda juga deh.

Udah deh itu aja.

Karena ini buat ngabuburit.

Met buka yang puasa.

Tangerang 06 Mei 2020,
Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro