Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Satu Nama

Sekeras apapun aku menyangkal namamu akan selalu ada di sana,

hadir dalam ruang-ruang yang kuabaikan keberadaannya.

•••

Rae sudah tahu, jika perempuan adalah salah satu mahluk yang sulit dimengerti. Namun rupanya Nadine Wisesa berada dalam level kesulitan yang berbeda. Rae masih ingat betul bahwa semalam segalanya baik-baik saja. Nadine menangis di pelukannya, Rae berhasil memaksa Nadine makan sate ayam di dalam mobil, lantas mengantar gadis itu sampai ke kamar hotel. Nadine bahkan menggenggam tangannya saat gadis itu tertidur sepanjang perjalanan pulang. Tapi entah mengapa, hari ini gadis itu sudah kembali berubah seratus delapan puluh derajat.

Jangankan menemuinya, Nadine bahkan tak menjawab satu pun pesan dari Rae. Pagi tadi, Rae sengaja berangkat pagi-pagi untuk menjemput Nadine di hotel, tapi meski sudah menunggu selama hampir dua jam, gadis itu tak kunjung menemuinya. Rae baru meninggalkan lobby hotel setelah Btari menghubunginya dan mengatakan bahwa Nadine sudah di sekolah sejak pukul setengah enam. Hukuman keterlambatan dan ceramah panjang lebar di ruangan Bu Maryam membuatnya harus kembali menahan diri untuk menemui Nadine. Akhirnya, ia baru bisa bebas pada jam pulang sekolah.

Tinggal sepuluh menit lagi sebelum bel pulang berbunyi, tapi di balik mejanya, Rae jelas sudah gelisah. Bu Tarina—guru sosiologi kelas XII—masih menerangkan teori strata sosial di depan kelas, tapi meja sudah rapi dari semua alat tulis. Berani taruhan, jika Bu Maryam tidak mengancam akan menarik pemuda itu dari kepanitiaan dan menggantinya dengan hukuman yang lebih berat, Rae pasti lah sudah duduk manis di samping Nadine di kelas gadis itu, bukan di balik mejanya sendiri.

Sepuluh menit yang rasanya seperti dua belas jam itu akhirnya berakhir juga. Tepat ketika bel pertama berdering, Rae langsung melompat dari atas kursinya. Pemuda itu menyalimi tangan Bu Tarina, membiarkan guru dan seluruh teman sekelasnya kebingungan karena mereka bahkan belum menutup kelas dengan doa.

Dalam bayangannya Rae sudah menyiapkan seratus pertanyaan dan lebih banyak lagi sanggahan jika kelak ia dan Nadine berdebat panjang. Nadine setidaknya harus punya alasan untuk mengabaikannya setelah apa yang mereka lewati malam tadi. Jarak antara kelasnya dan kelas Nadine hanya terpisah dua kelas. Tentu saja, kelas gadis itu belum bubar ketika Rae sampai di sana. Ia hendak mengintip lewat pintu mau pun jendela, namun sayang dua akses tersebut tertutup rapat.

Akhirnya, Rae hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Sebisa mungkin mengatur napasnya yang sejak tadi memburu. Tak sampai lima menit kemudian pintu terbuka, satu persatu siswa kelas XII IPS 1 melewati Rae dengan tatapan heran. Meski begitu mereka semua tentu sudah tahu, hanya dua orang yang bisa menarik pemuda itu ke sini dengan air muka kalut; Btari dan Nadine.

Rae baru sadar bahwa baik Btari mau pun Nadine tidak ada di kelas setelah seisi kelas nyaris habis.

"Rae? Ngapain lo di sini?" Vira yang terakhir keluar menghentikan langkahnya saat melihat Rae yang melongok kelas kebingungan.

"Nadine sama Btari—"

"Loh, nggak tahu? Tadi abis istirahat Nadine sakit,jadi ditemenin Btari di UKS, nggak tahu deh sekarang udah balik apa belum."

"Oke thanks, Vir." Tanpa menunggu balasan Vira, Rae melangkahkan kakinya, tubuh tingginya dengan mudah membelah lautan siswa yang memang baru dimuntahkan dari pintu kelas. Beberapa kali Rae harus meminta maaf karena menabrak tubuh orang lain.

UKS SMA Paramitha berada di gedung yang sama dengan Perpustakaan dan deretan sekretariat ekskul. Untuk pergi ke sana, Rae setidaknya harus melewati lobby utama dan selasar yang diisi dengan koperasi dan ruang guru.  Langkahnya yang besar memangkas habis jarak tersebut dalam kurun waktu kurang dari delapan menit. Namun sayang, tak sampai seratus meter dari UKS langkah Rae justru memelan. Alih-alih Nadine dan Btari, Rae justru mendapati Oliv dan Btari di depan pintu UKS.

Keduanya menoleh ke arah Rae, menatapnya dengan sorot yang masing-masing berbeda.

"Udah aku duga, kamu akan ke sini," Oliv menegakan tubuhnya, menguraikan kedua lengan yang sejak tadi gadis itu lipat di depan dada. Sama seperti suaranya, Oliv juga gagal menyembunyikan raut kecewanya. Dengan jelas Rae telah menangkapnya. Sebut ia brengsek, tapi Rae benar-benar merasa dirinya tak punya waktu lebih untuk berdebat dengan Oliv.

"Nadine mana, Bi?"

Ragu-ragu Btari melirik ruangan yang tertutup rapat di hadapan mereka. "Di dalam... sama Gio."

Rae yang semula sudah ingin meraih handle pintu mengurungkan niatnya.

"See? Bahkan kalau kamu ninggalin aku, kamu juga nggak bisa milikin dia," Oliv berujar. Semua orang di sana dapat menangkap getar dari suaranya, tapi dengan keras kepala Oliv tetap berusaha melindungi harga dirinya.

"Kayaknya kalian juga perlu waktu buat bicara, aku duluan ya?" Btari yang sadar posisinya akan membuat canggung atau justru menambah masalah hendak pamit dari sana. Tapi belum sempat ia bangkit, Rae sudah menentang niatnya.

"Jangan kemana-mana Bi, kamu tetap di sini," Rae menahan pergelangan tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Oliv. "Walau bukan sama dia, aku juga nggak bisa terus sama kamu."

"Kenapa?" ada napas yang tertahan kala tanya itu Oliv ajukan.

Karena bukan kamu orangnya, Liv. Jawaban tersebut tentu hanya dapat dikatakan Rae dalam hatinya.

"Karena Nadine? Iya?"

"Kita beda, Liv."

"Kalau begitu gimana caranya biar kita sama? Gimana caranya biar kita nggak harus pisah? Aku harus naik gunung sama kamu? Harus punya cita-cita jadi tim SAR kayak kamu? Harus sering bolos kayak kamu? Harus deket sama semua temen kamu? Harus gitu? Iya?!" Napas Oliv mulai memburu, gadis itu bahkan tak peduli lagi dengan keberadaan Btari di sana.

"Aku nggak mau merubah kamu dan kamu nggak akan bisa ngerubah aku, kita nggak seharusnya berubah jadi sesuatu yang sama sekali nggak kita ingin. Dunia aku sama dunia kamu beda, Liv." Rasa bersalah itu sarat dalam suara Rae, tapi tak ada sesal di sana, Rae mengatakannya dengan sepenuh keyakinan. "Sejak awal kita mulai hubungan kita, kita sepakat kalau ini cuma simbiosis mutualisme, kita cuma berusaha melindungi diri kita dari apa yang orang tua kita mau, kamu pikir sama aku semuanya akan aman, orang tua kamu setuju, kita juga udah saling kenal, aku pun sama, hubungan ini cuma hubungan hitung-hitungan, kamu sendiri yang dulu bilang begitu, but i'm sorry, i can't do this anymore, Olivia, you deserve better."

Oliv otomatis memundurkan langkahnya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dadanya sesak. Napasnya tersendat. Ia tak menduga, perasaan tidak diinginkan ternyata bisa sebegini menyiksanya.

"But I do, Rae," Oliv berujar lirih, kepalanya tertunduk berusaha menyembunyikan genangan yang akhirnya luruh di pipinya. "I do really love you, buat kamu apa yang kita punya mungkin nggak berarti apa-apa, tapi buat aku..."

Oliv tidak dapat melanjutkan kata-katanya, begitu pula Raesangga. Ia mematung menatap gadis yang hatinya baru saja ia patahkan. Btari juga tidak dapat berbuat apa-apa, ia sadar, ia tidak dalam posisi yang tepat untuk menghibur Olivia.

Selama beberapa lama, hening merajai di antara mereka, sampai pintu di samping Rae disentak dengan keras. Nadine berdiri di sana, gadis itu turut bergeming kala menemukan Oliv dan Rae berdiri di depan UKS. Mata Nadine masih basah, ada jejak garis lurus di pipinya yang pucat. Sama seperti ia dan Oliv, di dalam sana Gio dan Nadine mungkin baru bertengkar hebat.

Gio yang berdiri tepat di belakang Nadine mendengus keras. Pemuda nyaris berdecih ketika mendapati penyebab utama rusaknya hubungannya dengan Nadine kini berdiri di depan mereka.

"Ternyata memang benar," Gio berujar dengan nada meremehkan. "Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."

Kini perhatian empat orang di sana teralih pada Gio, menunggu pemuda itu melanjutkan kalimatnya.

"Pantas aja anaknya tukang selingkuh, orang Ibunya juga tukang seling—" Gio tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya terlanjur terpelanting dihantam pukulan Rae.

Btari dan Oliv otomatis memekik, berusaha menahan Rae, sementara Nadine hanya membatu. Kalimat Gio menusuknya tepat di inti jantungnya.

"Jaga mulut lo ya, brengsek!"

"Rae udah!" Btari berusaha menahan tubuh sahabatnya, tapi tenaganya tidak seberapa. Alih-alih berhenti Rae justru semakin menggila. Pukulan itu mungkin tidak akan berhenti kalau saja Btari tidak melompat ke depan Gio dan merentangkan tangannya, menjadi tembok antara Rae dengan Gio. Baik Rae, Oliv, maupun Gio kontan terhenyak. Tidak menyangka Btari akan bersikap seimplusif barusan.

"Ini ada apa?!" Gemilang yang baru sampai di sana langsung bisa menangkap atmosfer panas yang tercipta di sana. Dengan sigap, ia langsung menarik tubuh Rae menjauh dari Gio.

"Bilang sama itu bangsat, suruh jaga mulutnya!"

"Sadar oy! Jangan kalap, bego!" Gemilang memukul kepala Rae, berusaha meraih kesadaran sahabatnya.

"Dia benar," di luar dugaan, Nadine yang sejak tadi diam tiba-tiba ikut bersuara. Mata gadis itu kosong dan rautnya sedatar papan. Seolah-olah tak ada lagi yang bisa menyakitinya lebih dari apa yang terjadi barusan.

"Nad?"

"Dia benar nyokap gue selingkuh, thanks Gio udah diingatkan," Nadine mengulangi kalimatnya dan seperti sebelumnya, tak ada emosi dalam nada bicaranya. Dingin dan tak terbaca. "Dan Rae, mulai sekarang please jauh-jauh dari gue, lo cuma nambah beban gue."

Tanpa menunggu respon dari kelima orang yang ada di sana, Nadine melangkahkan kakinya menjauh. Butuh beberapa detik bagi Rae untuk sadar bahwa Nadine baru saja meninggalkan mereka. Tepat ketika ia ingin mengejar Nadine, Oliv menahan pergelangan tangannya. Tanpa mengangkat kepala, Oliv berujar lirih, nyaris seperti permohonan.

"Biarin dia pergi."

Rae menatap tangan Oliv lama, lantas membaginya ke punggung Nadine yang makin lama, semakin hilang ditelan jarak.

"Please... biarin dia pergi," kali ini Oliv tidak menyembunyikan isakannya. Meski tipis, semua orang bisa mendengar betapa putus asa gadis itu saat ini.

Dengan sangat perlahan, Rae melepaskan pegangan Oliv dari tangannya. "I'm sorry, Liv, i'm really sorry."

Tanpa berpikir dua kali Rae berlari kecil, meninggalkan mereka tanpa tahu, bahwa di belakangnya tubuh Oliv ikut limbung. Nyaris tumbang jika dinding tidak menahannya.

"You are so heartless, Raesangga."

Bersama dengannya Oliv biarkan setitik air sebening kristal yang semula meluncur lembut di pipinya berubah jadi isakan yang tidak sanggup ia hentikan.

***

Di antara semua hal yang ia lewati selama ini, hari ini mungkin titik lelahnya. Nadine merasa ia bahkan sudah tidak punya tenaga untuk sekadar menyeret langkahnya. Ia ingin tidur. Ia ingin hilang. Ia ingin pergi dan tidak ditemukan. Agar sesak ini tak perlu lagi menyiksanya, agar tak ada lagi ketakutan yang harus ia hadapi, agar ia bisa berhenti khawatir akan hal-hal yang kelak harus ia temui.

Namun rupanya Rae tidak membiarkannya begitu saja. Belum berapa jauh ia melangkah, pemuda itu sudah kembali menghadangnya.

"Gue udah capek banget, lo bisa cabut?"  tanya Nadine setengah mengesah.

"Enggak."

"Oke, kalau gitu cukup minggir sedikit, lo ngalangin jalan gue."

"Boleh, kalau lo mau pulang bareng gue."

"Lo nggak denger tadi gue bilang apa?"

"Denger, tapi gue tetap mau pulang sama lo, dan kalau lo tetap nolak artinya  kita berdua bisa kok begini sampai besok pagi."

"Jangan keras kepala Rae, please." Kali ini Nadine mengatakannya dengan penuh permohonan. Dengan jelas Rae dapat menangkap bahwa gadis ini sedang berusaha keras menahan tangis. "Gue udah capek banget."

"Karena itu gue ada, gue mau jadi orang yang lo cari setiap lo ngerasa capek, salah?"

"Salah Rae, salah," emosi yang semula mati seolah hidup lagi. Kini luka, kemarahan, kesedihan, keletihan dan segala pergolakan yang tak mampu mereka jabarkan kembali muncul di permukaan. "Sejak awal kita udah salah, lo punya Oliv, gue punya Gio, harusnya kita nggak ngelewatin batas-batas yang ada, harusnya kita nggak kayak sekarang."

"Terus kenapa? Sekarang nggak ada lagi yang salah? Dan sejak awal lo sama gue tau, waktu kita mulai, kita nggak akan bisa berhenti, bukan baru-baru ini, tapi dari dulu, dari lama, dari awal sebenarnya kita sama-sama tau, perasaan gue bukan buat Oliv dan perasaan lo bukan buat Gio, kita cuma harus berhenti nyangkal, Nad!"

"Tolong jangan bikin semua ini makin kacau, Rae, tolong jangan bikin semakin ngebutuhin lo..." Nadine memijat pelipisnya lelah. Semua kegilaan ini membuatnya sakit kepala.

Rae mengepalkan tangannya, napasnya tertahan, rahangnya mengeras. Jelas sekali ia tengah menahan emosi dalam dadanya. "Jangan maksa gue buat meluk lo."

Nadine kontan membelalakan matanya. "Jangan berani-bera—"

Kalimat itu tak sempat selesai karena pada detik selanjutnya Rae sudah menariknya dalam rangkuman lengan. Jarak mereka dengan Oliv dan Gio tentu belum seberapa jauh, masih ada pula segelintir siswa yang berlalu lalang di sekitar sekretariat. Nadine berusaha sekeras mungkin untuk melepaskan pelukan itu, walau sebenarnya jauh dalam hatinya, ia ingin Rae tetap mendekapnya. Ia ingin Rae terus membiarkannya merasa aman. Ia ingin bersadar pada seseorang, dan hanya Rae lah orang yang tepat. Lantas seperti dapat mendengar permohonannya, Rae tetap memeluknya. Tak peduli seberapa keras pun Nadine berusaha membebaskan diri, Rae tak sekalipun membiarkan rengkuhannya merenggang. Tak peduli seberapa keras pun usaha Nadine menjauhkan diri, Rae akan tetap mengejar.

Dan tak peduli seberapa keras pun Nadine berusaha menyangkal apa yang mereka miliki, hatinya akan tetap di sana, membawanya pada satu nama; Raesangga Danureja.

"Rae, please," pada akhirnya Nadine hanya akan berhenti berusaha. Di tengah-tengah isakannya, ia ajukan permohonan yang sebenarnya adalah permintaan agar Rae tetap tinggal di sisinya, agar Rae tidak pergi meninggalkannya, agar ia tak perlu lagi kehilangan Rae sebagaimana ia kehilangan orang tuanya.

"It's okay, i'm here."

Dan Rae menangkapnya.

Rae memahami anomali dalam kalimatnya.

Rae mendapati pertentangan dalam gerak tubuhnya.

Rae menyadari seberapa rapuh Nadine sebenarnya.

Dekapan Rae tak lagi sekuat sebelumnya, karena ia tahu, kali ini Nadine tidak akan melarikan diri lagi darinya.

Tepat pada saat itu, Nadine merasa bahwa akhirnya ia temukan sebuah bahu untuk bersandar, sebuah tangan untuk genggam, dan sebuah tempat yang terasa seperti rumah. Tempat di mana ia boleh merasa lelah dan ingin menyerah. Tempat di mana ia bisa berhenti berpura-pura. Tempat di mana rasanya ia boleh bernaas lega. Detik seolah melambat, isakannya perlahan melemah, dan seolah ingin membiarkannya istirahat, dengan sangat perlahan, gelap menjemput Nadine dari kesadarannya.

Tak ada yang Nadine tahu selain pekikan Btari dan suara sepatu yang berlari ke arahnya.

Seandainya Rae tidak menyanggahnya, tubuhnya pasti sudah jatuh, tertarik patuh oleh gravitasi bumi. Namun kali ini, Nadine tidak menolaknya, karena ia tahu ada seseorang yang akan selalu menopangnya. Ada seseorang yang tak akan membiarkannya runtuh. Ada seseorang yang akan tetap ada di sisinya, meski seisi dunia mengacuhkannya.

Kali ini Nadine tahu, ia tidak sendirian.

Tidak benar-benar sendirian.

—————
A/n:

Memang kamu itu brengski Rae 🙂

Udah punya pacar bisa-bisanya milih cewek lain, cewek lainnya udah punya pacar pula hade 🙂

Wkwkwk

Gimana bab ini?

Udah tuh udah, Oliv sama Rae fix putus ini mah.

Seneng kalian?

Tega yha, padahal kasian juga Oliv loh.

Mau tau sesuatu? Aku rencananya Mencintaimu kurang dari 30 bab, tapi kayaknya nggak kesampean wkwkwk

Yaudahlah mau gimana lagi.

Sehat-sehat kalian!

Met malam mingguan.

Tangerang, 02 Mei 2020.
Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro