Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 | Akan Selalu Ada

Ada masanya di mana kehadiran ribuan orang tak berarti apa-apa,

sedangkan kehadiran satu sosok melengkapkan segalanya.

•••

"Terus sekarang berarti Mas Rae udah putus sama pacarnya?" suara Gisa terdengar nyaring diantara kucuran air, tangannya sibuk mencuci tumpukan sawi, namun telinganya dengan aktif mencerna percakapan Gemilang, Gita dan Btari. Berbeda dengan Gita yang sekarang duduk di kelas X SMA Paramitha, Gisa masih duduk di kelas VIII di salah satu SMP Negeri dekat rumah. Jadi, cerita-cerita semacam ini hanya bisa ia dengar dari kedua kakaknya.

"Ho'oh kayaknya, memang luar biasa banget ya kak Oliv tuh, mutusinnya aja depan anak satu sekolahan kayak di film-film," Gita berdecak pelan, tak habis pikir dengan sepak terjang Rae dan Olivia. "Aku sama temen-temenku malah jadi mikir loh, Mas, kalau kejadiannya kayak tadi, yang jadinya malu yang diputusin apa yang mutusin ya?"

"Yang malu harusnya kamu, urusan orang kok ikut diurusin, potong wortel aja yang bener."

Gita otomatis mencebikan bibir mendengar hardikkan kakaknya, sedangkan Btari hanya terkekeh kecil melihat interaksi mereka.

"Loh, aku tuh ngomongin soalnya peduli sama Mas Rae, gitu-gitu Mas Rae kan udah kayak Masku juga, ya kan Mbak?" seperti biasa, setiap merasa terpojok oleh Gemilang, Gita berusaha mencari pembelaan lewat Btari.

"Iya, terserah Gita aja, deh."

"Tuh denger! Mas nggak usah marah-marah terus!"

"Nyari pembelaan terooos," Gemilang meraup wajah adiknya, membuat Gita mengomel dan Btari tertawa geli.

Saat ini mereka berempat tengah berada di dapur rumahnya, menyiapkan pesanan masakan untuk rapat RT nanti malam. Tidak seberapa memang, tapi ini adalah usaha mereka untuk menyambung hidup. Sejak Ibu sakit, Gemilang, Gita, dan Gisa melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghasilkan uang. Setahun terakhir mereka mulai menerima pesanan kue dan masakan jadi. Biasanya selain Btari, Rae juga akan ada di sini, meskipun tugas cowok itu tidak jauh dari mencuci piring atau menjahili Gita dan Gisa.

"Ngomong-ngomong, berita tentang kak Nadine itu bener ya Mas?" tanya Gita hati-hati. Ia tahu, untuk masalah yang ini sebenarnya cukup sensitif. Sejak berita itu tersebar kemarin ia sudah menahan diri mati-matian untuk bertanya, tapi kali ini ia sudah tidak bisa membendung rasa penasarannya lagi. Berita simpang siur yang beredar soal Nadine seharian ini sejujurnya cukup membuatnya gelisah. Meski tidak sedekat dengan Btari, Nadine sudah cukup dekat untuk menjenguk Ibu beberapa kali, baik di rumah mau pun rumah sakit.

"Berita yang mana?" tanya Btari lembut seraya mengupas kulit kentang.

"Yang papanya masuk penjara karena korupsi?"

"Hah? Siapa? Bapaknya kak Nadine yang cantik itu? Korupsi?" bukannya Gemilang atau Btari, justru Gisa yang bereaksi. Gadis itu sampai tergesa menghampiri mereka, membuat sisa air dari sawi yang dibawa menyebar kemana-mana.

"Hati-hati, Gis, nanti kamu yang jatuh," Gemilang memperingatkan, lantas mengela napas berat. "Masih diperiksa, kita kan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, jangan nyimpulin apa-apa."

"Ng... kalau berita yang satu lagi?" tanya Gita takut-takut.

"Berita yang mana lagi?"

"Berita kalau mamanya kak Nadine selingkuh?"

Pertanyaan Gita otomatis membuat gerakan Btari dan Gemilang terhenti. Keduanya saling berpandangan bingung. Mereka bahkan belum mendengar cerita itu sama sekali.

"Kamu denger dari mana, Git?" kali ini Btari yang  mengajukan pertanyaan, sementara Gemilang menunggu dengan sabar.

"Gosipnya udah nyebar di sekolah kak, bahkan sampai angkatan aku, katanya ada yang liat mamanya kak Nadine jalan sama laki-laki lain."

"Salah lihat kali?"

"Nggak mungkin salah Mas, di sekolah kita siapa sih yang nggak tahu muka orang tuanya kak Nadine? Yang satu mantan artis terkenal, yang satu pejabat," Gita menggerutu dianggap salah informasi. "Cuma yang kuper kayak Mas aja nih yang nggak update soal ginian."

"Mungkin temen kerjanya, Tante Katreena kan designer, temennya pasti banyak."

"Ng... memang temen ada yang check in di hotel ya?"

Btari dan Gemilang kontan membatu. Keduanya lantas menatap Gita, berusaha mencari kesungguhan dalam kalimat gadis itu.

"Kamu kata siapa? Hati-hati fitnah," Gemilang memperingatkan.

"Ih, orang ada fotonya, kok!" Gita meraih ponselnya lantas menunjukan salah satu room chat group Whatsapp-nya. Gemilang dan Btari kontan terhenyak. Mereka memang sudah lama tidak bertemu dengan Tante Katreena, tapi mereka juga tidak mungkin salah mengenali sosok yang ada di foto tersebut. Pada layar datar tersebut dapat mereka temukan Tante Katreena dalam rangkulan seorang pria yang mereka tidak kenali.

Bukan orang tua mereka yang berselingkuh dan tentu saja masalah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan mereka. Namun entah kenapa baik Btari mau pun Gemilang merasakan sesak yang sama.

Gemilang meraih ponsel Gita, lalu menghapus foto itu dari sana. "Minta sama temen kamu untuk hapus foto itu, itu bukan Tante Katreena."

"Masa sih ini bukan Mamanya kak Nad—"

"Git," nada suara Gemilang yang mendadak berat membuat Gita langsung mengerti bahwa perintah barusan bukan sesuatu yang bisa ia bantah.

"Oke, tapi aku nggak bisa janji apa-apa ya."

Atmosfer canggung masih berkuasa di antara mereka saat suara ketukan terdengar dari pintu depan.

"Siapa, Mas?" tanya Gisa heran. Selain teman-teman mereka, jarang ada orang yang berkunjung ke rumah.

"Sebentar biar Mas yang periksa." Gemilang bangkit dari posisinya, lantas membuka pintu depan rumahnya. Tubuhnya kontan mengkaku saat mengenali siapa tamu istimewanya hari ini. Reza berdiri di depan rumahnya, dengan setelan dan tas kantornya yang mengilap, lengkap dengan sekeranjang parsel berisi buah-buahan.

"Sore Gemilang, saya sengaja berkunjung ke rumah bukan ke kafe biar sekalian menjenguk Ibu kamu, nggak mengganggu kan?"

Butuh beberapa detik bagi Gemilang untuk meraih kesadarannya, sebelum akhirnya memiringkan tubuh, mempersilakan Reza masuk ke dalam rumah kumuhnya.

"Nggak ganggu Om, silakan masuk," seandainya Reza lebih peka, mungkin ia bisa mendengar geletar dalam suara pemuda tanggung di depannya. Tapi sayangnya pria itu sudah menulikan telinganya, atau mungkin sebenarnya Reza mengetahuinya dengan pasti, tapi tetap bersikap seolah-olah kedatangannya adalah kunjungan penuh ramah-tamah, bukan upaya untuk merampas mimpi pemuda di hadapannya.

"Wah, lagi rame ya? Maaf ya saya ganggu."

Rumah Gemilang yang mungil memungkinkan Reza untuk langsung menangkap keberadaan Btari, Gita dan Gisa. Tentu saja ini moment tepat untuk Reza. Pria itu selalu tahu, demi ketiga gadis ini dan seorang wanita di dalam kamar sana, Gemilang bisa jadi mahluk paling tidak berdaya.

"Bi?" Gemilang memanggil Btari pelan. "Tolong minta Gita siapin minum, terus ajak Gita sama Gisa masuk kamar Ibu."

Banyak kejanggalan dari suara Gemilang. Namun seolah paham bahwa pemuda itu sama sekali tidak membutuhkan pertanyaan tambahan, Btari hanya mengelus lengan Gemilang lembut. Seperti pelukan yang tempo hari ia berikan pada Gemilang di dapur rumahnya, kali ini Btari pun memahami Gemilang tanpa perlu penjelasan.

Gemilang hanya perlu tahu, bahwa untuknya Btari akan selalu ada.

Akan selalu ada.

•••

Air conditioner di kamar itu sudah di matikan sejak beberapa jam lalu, tubuhnya pun sudah terbalut oleh selimut tebal. Namun entah kenapa, Nadine merasa sekujur tubuhnya masih saja menggigil kedinginan. Ia tak yakin apa yang ia rasakan, hanya saja ia merasa ujung kaki sampai ujung kepalanya tengah ditusuk oleh balok es tak kasat mata.

Sejak diantar ke hotel sepulang sekolah tadi, yang Nadine lakukan hanya meringkuk di dalam selimutnya. Seragam bahkan kaus kakinya belum ia tanggalkan. Ia merasa terlalu lelah untuk bangkit dari sana.

Dering ponsel kontan memecahkan keheningan yang sejak tadi ia ciptakan. Nadine melepaskan napas kecewa saat menemukan Rae lah yang menghubunginya, bukan Mamanya. Nadine tersenyum sedih saat sadar bahwa Mamanya bahkan tidak menghubunginya setelah mengantarnya ke kamar kemarin malam. Nadine memang marah pada Mamanya, ia berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa tanpa beliau pun hidupnya akan baik-baik saja. Tapi sejujurnya, jauh dalam sudut hatinya, Nadine juga sadar bahwa hal yang paling ia butuhkan saat ini adalah pelukan Mamanya. Jauh dalam sudut hatinya, Nadine berharap mereka bisa menggenggam telapak tangan satu sama lain.

Dering di ponselnya berhenti, lantas disusul dering lain, dan tentu saja berasal dari penelepon yang sama. Dengan setengah hati Nadine menswipe layar ponselnya.

"Mau gue jemput ke atas atau mau turun ke lobby?" tanpa salam pembuka, Rae langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

"Apa sih?"

"Gue udah di lobby, lo mau gue samper ke kamar lo, atau mau gue tungguin di lobby?"

"Gue mau tid—"

"Untuk kali ini gue nggak nerima penolakan, oke?"

Nadine mengembuskan napas,  lantas melirik jam digital yang tertera pada layar ponselnya. Jam 8 malam. Artinya sudah lebih dari 3 jam ia mengabdikan diri menjadi mayat bernapas, dan Nadine sadar berapa lama pun ia mengurung diri, keadaan tidak akan berubah.

"Yaudah, 15 menit lagi gue turun."

"Oke, sepuluh menit."

Tanpa membalas kalimat Rae, Nadine memutuskan sambungan telepon mereka. Nadine tidak mandi, ia hanya mencuci mukanya, lantas mengganti seragamnya dengan kaus, kardigan dan celana panjang.

Tak sampai lima belas menit kemudian gadis itu sudah meluncur menuju lobby hotel. Ketika Nadine sampai di sana, Rae tengah duduk di salah satu sofa. Tubuhnya dibalut kaos hitam dan celana panjang berwarna serupa. Rambutnya yang jatuh di kening dengan sempurna. Nadine tidak bisa tidak teringat dengan kejadian siang tadi. Entah kenapa, sekarang, ketika melihat Rae, Nadine merasa sesak sekaligus lega.

"Telat tiga menit," gumam Rae seraya menunjuk jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kecepatan dua menit maksudnya?"

"Ck, dasar keras kepala," Rae berdecak, lalu menyipitkan mata meneliti kondisi gadis di hadapannya. "Lo sakit ya?"

Rae hendak meletakan punggung tangannya di dahi Nadine, yang kontan ditepis oleh gadis itu. Nadine sudah menghadapi cukup banyak masalah, ia tidak mau debaran di jantungnya menimbulkan masalah lainnya. Rae mengembuskan napas, tapi tidak protes lebih jauh.

"Lo tunggu sini, gue ambil mobil dulu."

"Kita mau kemana, sih?"

Rae tersenyum tipis. "Nanti juga lo tau."

•••

Mobil yang mereka kendarai berhenti di samping sebuah bangunan berdinding tinggi. Tidak perlu bertanya, Nadine sudah tahu bahwa tembok tebal dengan kawat berduri di sampingnya adalah pagar rumah tahanan.

"Kita mau ngapain?" tanya Nadine kebingungan.

Rae memutar tubuhnya agar dapat menatap Nadine lekat-lekat. "Gue nggak bisa bawa lo masuk atau ketemu bokap lo, tapi berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, sementara ini bokap lo ada di sini, walau nggak bisa ketemu seenggaknya lo bisa ada di tempat yang dekat sama dia saat ini."

Nadine mengerjapkan matanya sekali, membagi tatapannya antara Rae dan dinding di samping mobil mereka. Sesak itu hadir lagi, datang lagi. Emosi yang sejak tadi berusaha ia redam mati-matian seeolah mendesak untuk dikeluarkan. Terutama kala Rae mengelus punggung tangannya.

"Apa yang terjadi saat ini, sama sekali bukan salah lo, jangan terlalu keras sama diri sendiri, Nad." Rae mengatakannya penuh kelembutan, seolah pemuda itu memahami segala sakitnya, semua lukanya, seluruh laranya. Seolah Rae begitu mengenal Nadine hingga partikel terkecil mengenai gadis itu. "It's okay not to be okay, nggak apa-apa kalau lo mau nangis, kalau lo mau marah, gue temenin lo seancur apapun keadaan lo, gue di sini Nad, gue nggak kemana-mana, nggak akan kemana-mana."

Nadine merasa sebuah gumpalan menyekat tenggorokannya, dadanya sesak, napasnya tertahan. Kala Rae meraihnya ke dalam pelukan saat itu juga Nadine melurukan seluruh pertahannya. Gadis itu menangis keras-keras, isakannya menggila. Pada pundak Rae lah akhirnya Nadine melepaskan baju zirahnya, ia tunjukan kerapuhannya. Ini adalah pertama kalinya ia menangis hebat di depan orang lain.

Selama ini Nadine seolah tengah berdiri di sebuah cermin tipis, berusaha sekuat mungkin tetap bertahan di sana, tapi Rae justru menyentuh pijakannya, membuat kaca tersebut pecah hingga keping terakhirnya.

Pada akhirnya, Rae telah berhasil menyentuh titik terlemahnya.

————
A/n:

Yay! Kali ini bisa beneran jadi temen ngabuburit kalian ya, semoga hahaha

Gimana bab ini?

Semoga nggak mengecewakan ya.

Ada banyak yang mau gue omongin tapi rasanya kayak lagi capek aja ngomong.

Jadi yaudah ya,

Semoga kalian suka.

Semoga bisa update tepat waktu (padahal ini aja telat sehari) Hahaha.

Semoga bisa ketemu di dua sequel Mencintaimu.

Ini sebenernya kayaknya udah pas gitu ya kalo Rae sama Nadine, terus Gem sama Btari?

Seru kali ya kalo dipisahin semuanya sekalian?

Hahaha

Nggak deng canda guys!

I love you.

Tangsel 26 April 2020,
Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro