Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 | Bagaimana Jika?

Di tempat itu, aku pahami sebuah paradoksal.

Saat dunia memaksa kami menyerah, dan menuntut kami untuk lapang, aku paham bahwa semesta tak melulu bekerja dengan cara yang masuk di logika.

Bagaimana bisa ikhlas menjadi sebuah keharusan ketika sebenarnya mengikhlaskan sendiri adalah kata kerja yang patutnya terjadi dengan penuh kerelaan.

•••

Entah ia memang sedingin itu, atau hatinya terbuat dari batu. Pasca berita yang menggegerkan—bukan hanya satu SMA Paramitha, tapi juga satu Indonesia. Siapa yang menyangka bahwa Nadine Wisesa Putri, anak dari Harun Wisesa yang seharian kemarin berdengung di televisi sebagai mafia pajak, hari ini tetap masuk ke sekolah. Gadis itu bersikap seolah-olah badai yang baru menghantam keluarganya hanya seringan hembusan angin di sore hari.

"Aku nggak nyangka mental dia kuat juga," ujar Oliv seraya melirik Nadine di antara sela-sela kerumunan. Tubuh mungilnya membuatnya leluasa berdiri di samping Rae yang bertubuh besar. Saat ini, mereka berdua tengah mengantre di salah satu konter bento. Atas permintaan Oliv, Rae akhirnya bersedia menghabiskan waktu istirahat mereka di sana. "Aku saranin, mulai dari sekarang kamu mulai jaga jarak sama dia Rae, demi nama baik Papa kamu juga."

"Dia bodoh atau apa, sih?" gumam Rae pada dirinya sendiri.

"Hah?" Oliv mengerutkan dahi bingung, lantas mengerti siapa objek yang jadi pembicaraan Rae. "Jangan dilihatin, kamu perlu jaga jarak sama dia Rae."

Rae tidak menjawab Oliv, matanya justru terpatri pada punggung Nadine yang tegap di salah satu kursi kantin. Rae tidak habis pikir kenapa gadis itu harus memaksakan diri masuk sekolah dan makan di kantin, sedangkan jelas-jelas ia tengah menjadi pusat perhatian. Beberapa kali Rae bahkan mendengar para siswa membicarakan Nadine degan terang-terangan.

"Nggak nyangka gue, kita satu sekolah sama anak mafia pajak."

"Gue bilang apa, jangan percaya sama pejabat, lo liat bokapnya Nadine kurang malaikat apa? Tahunya busuk juga."

"Udah gitu muka tembok banget lagi anaknya tuh, sok berkuasa, sok galak, sok disiplin, anak pensi aja tuh udah gerah sebenernya dipimpin sama dia."

"Jangan-jangan duit pensi dia tilep juga lagi."

"Eh, udah denger belum sih, nyokapnya kan juga selingkuh, si Saskia pernah mergokin nyokapnya jalan sama cowok lain."

"Eh sumpah lo? Nyokapnya yang mantan model itu?"

"Pantas sih, keluarganya hancur, anaknya dikasih makan uang haram."

"Nih, makanan kamu, ayo kita makan di tempat lain aja," Oliv menyerahkan sekotak bento pada Rae, lalu mengamit lengan pemuda itu. Berniat membawanya pergi dari sini.

Rae mengembuskan napas pelan lalu melepaskan tangan Oliv lembut. "Kamu makan sendiri dulu, aku ada urusan."

Mata Oliv memicing, ia sadar betul urusan apa yang Rae maksud. "Jangan bilang kalau kamu mau—"

"Sorry kalau memang nyakitin, tapi aku memang mau nemenin Nadine makan siang."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Rae meninggalkan Oliv di tempatnya. Dengan langkah-langkah besar, ia membabat jarak antara ia dengan Nadine, tanpa tahu bahwa ada hati yang retak di belakang sana.

Tanpa peduli, bahwa di tempatnya Oliv mematung, menyaksikan Rae dengan mudah mematahkan hatinya sekali lagi.

•••

Nadine terlonjak saat seseorang tiba-tiba menempelkan headset di sebelah telinganya. Gadis itu mengembuskan napas tak ketara kala menemukan Rae yang duduk di sampingnya. Nadine menatap Rae datar, lalu mengangkat ujung kabel yang tidak tersambung dengan audio stuff mana pun. Ia baru ingin melepas benda mungil tersebut, tapi suara Rae telanjur menahannya.

"Jangan dilepas,"  Rae bergumam tanpa menoleh ke arahnya. Pemuda itu justru kelihatan fokus dengan sekotak bento di hadapannya. "Jangan dilepas, pura-pura aja lo nggak dengar apa-apa."

Nadine terhenyak, lantas memerhatikan sekeliling. Orang-orang kini menatapnya dengan sorot yang tidak mampu—atau mungkin tidak ingin—Nadine definisikan. Sorot penghakiman, kemarahan, serta tatapan meremehkan itu mereka tujukan padanya dengan terang-terangan.

Tanpa sadar, Nadine meremas ujung roknya. Sejenak, ia memejamkan matanya, berusaha meredam degup jantungnya yang meliar.

"Pacar lo mana?" tanya Rae, lagi-lagi tanpa menoleh ke arahnya. "Untuk sementara ini, jangan jauh-jauh dari gue, Btari, Gemilang, atau Gio—kalau terpaksa. Liburin rapat, jangan nonton tv, baca berita atau buka-buka sosmed lo, tenangin diri lo sampai masalah ini selesai."

Nadine akhirnya mengembuskan napas pelan. Rae mungkin berusaha melindunginya, tapi Nadine tahu ia tidak bisa menghindari masalah ini. Segala konsekuensi tentang penghakiman dari teman-temannya sama sekali bukan apa-apa dibanding rasa khawatirnya terhadap keadaan Papa. Dengan gerak luwes, gadis itu melepaskan headset dari sebelah telinganya, lalu meletakannya di atas telapak tangan Raesangga.

Hal tersebut berhasil menarik perhatian Rae, pemuda itu berdecak, menyadari seberapa keras kepala gadis di sampingnya.

"Pertama, terima kasih untuk perhatiannya, tapi gue sama sekali nggak apa-apa," ujar Nadine seraya menarik tangannya dari atas telapak tangan Rae. Gadis itu menarik senyum, lalu melirik Oliv yang masih berdiri kaku beberapa meter di belakang mereka. "Kedua, kayak yang kemarin gue bilang, gue nggak mau punya masalah yang lainnya, terutama untuk saat ini."

"Tapi Nad—"

Tanpa memedulikan Rae, Nadine bangkit dari kursinya, mengambil barang-barangnya lalu melangkah membelah kerumunan. Ia biarkan semua mata menatapnya dan semua mulut membicarakannya. Jika itu bisa menebus kesalahan Ayahnya, dengan senang hati Nadine akan menerimanya.

•••

Sesaat setelah Btari melangkahkan kakinya keluar ruangan, gadis itu mengembuskan napas berat. Mata cokelat terangnya mengerjap, menatap lembar pidato yang kini sia-sia. Kalimat yang Bu Dian katakan padanya 10 menit yang lalu kini bergaung di tempurung kepalanya.

"Maaf Btari, Ibu tahu kamu sudah berusaha sangat keras, kamu dan Freya memiliki kualitas yang sama, tapi Kepala Sekolah ingin Freya yang maju sebagai perwakilan sekolah," dengan sorot bersalah Bu Dian mengelus punggung tangannya lembut. "Freya dilatih oleh public speaker profesional di rumahnya, Kepala Sekolah menilai hal itu bisa membantu pidatonya lebih baik lagi. Kamu berpotensi Btari, Ibu yakin kamu punya kesempatan yang lebih baik di waktu lainnya."

Btari berusaha menarik kedua sudut bibirnya kala ia menemukan Freya dan kedua orang tuanya keluar dari ruang kepala sekolah. Wajah Freya tampak begitu cerah, begitu pun dengan kedua orang tuanya. Mereka pasti bangga, anaknya bisa menjadi perwakilan sekolah di kancah Asia. Btari ingin mengucapkan selamat pada Freya, ingin ikut bahagia atas pencapaian teman seangkatannya tersebut. Namun rupanya ia tidak bisa.

Ada sesuatu yang rasanya mengikat di dadanya. Gadis itu tersenyum sedih, saat sadar rupanya hatinya tidak selapang yang ia duga.

"It's okay Btari, ini cuma belum jadi rejeki kamu." Btari menepuk-nepuk dadanya, bermonolog dengan dirinya sendiri. Setelah yakin bahwa ia baik-baik saja, Btari meraih ponselnya, menemukan satu pesan yang dikirimkan oleh Nadine beberapa menit yang lalu.

Nadine Wisesa: Aku lagi ketemu Bu Maryam, kamu ke Perpus duluan aja, Bi.

Selepas mengetikan balasan, gadis itu berjalan menuju Perpustakaan. Tetap dengan dada yang sesesak sebelumnya.

•••

Perpustakaan SMA Paramitha terletak di sisi gedung yang berbeda dengan kelas-kelas, tepatnya di lantai dua dekat laboratorium dan fasilitas ekskul lainnya. Btari selalu suka mengunjungi tempat ini, ruangannya tiga kali lebih luas daripada kelas biasa, rak-rak kayu berbaris di sepanjang ruangan, sedangkan meja dan kursi disusun pada tengah dan sudut-sudut ruangan.

Wangi buku lama menyentuh penciuman Btari tepat setelah kakinya melangkah masuk ke dalam Perpustakaan. Setelah melepas sepatu serta mendaftarkan presensi, Btari menyusuri rak-rak, memilih buku yang hendak ia baca seraya menunggu Nadine datang.

Btari meraih salah satu buku bersampul merah muda. Membuka isinya secara acak, lantas terhenti pada satu halaman.

Bagaimana jika kita tidak pernah dicintai, dengan cara yang kita ingin?

Lembaran itu hanya terisi satu kalimat, tidak ada pengantar atau pun penutupnya. Btari hendak membalik halaman buku tersebut, saat matanya tidak sengaja menangkap sosok seseorang. Lewat celah tipis yang tersedia berkat buku merah muda ini, Btari menemukan Gemilang tengah terlelap di atas buku yang terbuka.

Btari menutup buku di tangannya, lantas duduk di samping Gemilang. Ia merapikan buku-buku yang berserakan di atas meja, tapi terdiam saat tersadar bahwa buku-buku ini adalah buku-buku Ilmu Sosial. Mulai dari bank soal, hingga buku teori mengenai manajemen dan bisnis.

Gadis itu membagi tatapannya antara pemuda di sampingnya, dan buku-buku di tangannya. Btari tahu nyaris seluruh hal tentang Gemilang. Ia mengenal pemuda itu sebaik ia mengenal punggung tangannya sendiri dan Btari hapal betul, tidak ada mimpi lain yang ingin Gemilang capai selain menjadi seorang dokter.

Maka dari itu, Ilmu Sosial dan Gemilang tentu bukan hal yang Btari bayangkan bisa ia temukan dalam satu bingkai yang sama.

Btari turut meletakan kepalanya di atas meja, menatap wajah terlelap Gemilang lamat-lamat. Saat itulah perasaan sesak tadi hadir kembali. Btari tidak tahu, apa yang membuat Gemilang menyerah atas mimpinya, tapi Btari tahu, bahwa mereka mungkin menghadapi situasi yang serupa.

Terpaksa kalah karena bukan orang berada.

Katanya usaha tidak akan mengkhianati hasil, tapi mungkin untuk orang-orang seperti mereka hal tersebut tidak berlaku. Sekeras apapun mereka berusaha, sekeras apapun mereka mencoba, mereka tetap harus menerima kekalahan.

Tenggorokan Btari tersekat, mata lentiknya mengerjap pelan, berusaha menerjemahkan segala hal yang tersirat dari raut lelah pemuda di hadapannya.

Berapa banyak sebenarnya beban yang Gemilang tanggung?

Mengapa Gemilang tidak pernah membaginya pada yang lain?

Sejauh mana lagi Gemilang harus menyimpan segalanya sendirian?

Btari merasa dadanya kian sesak saat ia sadar, ia tidak akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Masih melekat dalam benaknya, mimpi-mimpi masa kecil mereka. Sebagai yang pernah merasakan betapa mewahnya pengobatan dan pendidikan bagi orang-orang seperti mereka, Btari dan Gemilang punya mimpi untuk memberikan segalanya secara cuma-cuma.

Mereka pernah membayangkan, bahwa suatu hari nanti mereka akan tinggal di sebuah desa terpencil. Rumah sederhana mereka berwarna putih dengan halaman dan saung kecil. Setiap hari, Btari akan pergi ke sekolah dasar terdekat, mengajar anak-anak bukan hanya soal akademik tapi juga pentingnya budi pekerti. Sore harinya, ia akan membuka kelas gratis di saung rumah mereka, mengajar anak-anak jalanan dan anak pemulung yang tidak mampu bersekolah.

Sedangkan di samping rumah mereka, Gemilang akan membuka sebuah klinik kecil. Dengan jas dokternya, ia akan berkeliling, memberi pelayanan tanpa tarif pasti. Sehingga, tidak perlu lagi ada anak-anak yang mati dan tidak punya mimpi hanya karena keterbatasan ekonomi.

Tatapan Btari pada Gemilang mulai mengabur, lensanya diselimuti oleh lapisan bening. Gemilang dengan segala buku-buku ini membuat Btari kembali bertanya-tanya;

Mengapa mimpi terasa begitu jauh dari orang-orang seperti mereka?

Tapi kali ini Btari tahu jawabannya, karena bagi mereka bertahan hidup jauh lebih penting daripada merawat mimpi. Bahwa angan-angan masa kecil mereka, kelak juga akan terkikis karena mereka harus bersikap realistis.

Btari membiarkan air matanya jatuh begitu saja, seperti kita yang tak selalu bisa dicintai dengan cara yang kita ingin, rupanya kita juga tak selalu bisa hidup dengan cara yang kita ingin.

————
A/n:

Hi!!!

Iya omelin aja aku kemaren skip update sekali wkwkwk

Gimana bab ini?

Semoga nggak mengecewakan ya!

Kemarin ada yang minta Btari sama Gemilang dibuat novelnya sendiri di antara sequel Mencintaimu...

Tapi mohon maaf sebesar-besarnya teman-teman, kayaknya nggak akan bisa wkwk

Outline kasar cerita ini di otak aku udah merangkum cerita mereka berempat, bukan cuma soal Nadine x Rae.

Ya, semoga aja bisa kesampaian sampai buku terakhir wkwkwk

Makanya aku bilang kan, ini cerita bakal ringaaan banget. Masuk ke general fiction karena memang tiga buku ini emang bakal umum.

Anyway, sedih ya, pertama kalinya di hari pertama teraweh masjid bakal sepi. Semoga semuanya cepet selesai, dan semoga kalian dan orang terdekat kalian sehat selalu.

Selamat berpuasa untuk yang menjalankan Ibadah puasa!

Doain aja biar bisa rajin update buat nemenin ngabuburit kalian di rumah hahaha

Tangerang, 23 April 2020.

Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro