16 | Kenangan Usang
Ada saat-saat,
di mana ingatan paling indah
berubah jadi kenangan paling menyakitkan.
•••
Rumah besar itu tampak jauh lebih sibuk dari biasanya. Mobil-mobil van terparkir secara pararel di halaman depan. kompleks yang biasanya lowong, kini dipenuhi oleh warga sekitar, mereka berkerumun di depan rumah bercat putih itu dengan tatapan ingin tahu.
Nadine mengerjapkan matanya sekali. Dari balik kaca mobil, gadis itu menatap ke sekeliling rumahnya yang kini tengah menjadi pusat perhatian. Berbagai pertanyaan timbul tenggelam dalam kepalanya, segala informasi yang baru ia terima seolah mengacak-acak seluruh koridor memorinya, membuat Nadine bahkan tak mampu bepikir apa-apa.
"Lo yakin?" suara di sampingnya membuyarkan lamunan Nadine. Rae menatapnya dengan khawatir, lantas melemparkan pandangan ke arah van berlogo media massa di seberang jalan. "Udah ada reporter di sini."
Nadine menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya, Nadine sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan, sejak menerima telepon dari Gio, Nadine merasa seluruh kemampuan pikirnya lenyap entah kemana. Nadine terdiam sebentar, lalu menganggukan kepala pelan. "Gue harus, Rae."
Rae menatapnya prihatin, lalu menarik jaket dan topi dari jok belakang. "Pakai ini, seenggaknya biar muka lo nggak masuk tv, tunggu sebentar biar gue yang temenin."
Rae hendak membukakan pintu untuk Nadine, tapi gadis itu tampak tak peduli. Nadine melompat turun dari dalam mobil, lalu melangkah masuk dengan tergesa. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari orang sekitarnya. Satu-satunya yang menjadi fokusnya adalah keberadaan Papanya.
Situasi di dalam rumah tidak jauh berbeda dengan apa yang ia lihat di luar. Para petugas dengan rompi berlogo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlalu lalang dengan kotak-kotak berisi barang sitaan. Beberapa lainnya sibuk menempelkan label berwarna pada funiture yang masih terpajang sesuai tempatnya.
Sebuah benda persegi jatuh dari dalam kotak saat salah satu petugas melewatinya. Nadine terhenyak saat mengenali benda tersebut. Kotak beludu berwarna biru tersebut berisi kalung yang Papanya hendak berikan padanya di ulang tahunnya ke 18 nanti. Nadine ingin memohon agar mereka tidak membawa benda itu pergi, tapi satu-satunya hal yang ia lakukan adalah menahan napasnya saat petugas tersebut memungutnya dan membawanya menjauh.
Suara pembawa berita dari televisi 43 inch berhasil mengambil alih perhatian Nadine. Perempuan dalam layar datar itu membawakan berita mengenai Operasi Tangkap Tangan yang melibatkan sejumlah pegawai Pajak dan Direktur Perusahaan. Mata Nadine mengerjap saat layar tersebut berubah tampilan. Insert dari berita di lapangan menampilkan wajah seseorang yang tidak pernah Nadine duga akan berada di sana dalam keadaan menyedihkan.
Bukan mimpi.
Ternyata apa yang dialaminya dalam kurun waktu satu jam terakhir sama sekali bukan mimpi.
Papanya.
Papa yang paling ia banggakan.
Laki-laki yang menjadi titik sandarnya tengah menjadi tersangka dalam kasus penyuapan.
Nadine merasa seluruh aliran darahnya terhenti lantas menyurut hingga telapak kakinya. Ia limbung seketika. Nadine bisa saja terjatuh seandainya lengan seseorang tidak menahannya.
"Kita duduk dulu, oke?" Rae berujar lembut. Dengan hati-hati pemuda itu membopong Nadine menjauh dari kerumunan. "Nad, bisa dengar gue?"
Nadine memejamkan matanya, lalu menggeleng pelan. Bukan jawaban untuk pertanyaan Rae. Gelengan tersebut adalah sebentuk pertahanan diri dari gadis itu. Penyangkalan dari kenyataan bahwa ia tidak baik-baik saja. "Nyokap gue Rae... Nyokap gue dimana?"
Rae memiringkan tubuhnya sedikit, memberi Nadine cukup ruang untuk melihat Mamanya yang berdiri di sekat ruang tamu. Nadine sempat khawatir Mamanya akan hancur, terguncang, jatuh seperti dirinya. Namun Nadine salah. Kala ia lihat wanita itu masih berdiri anggun dengan setelan berwarna ungu muda, Nadine tahu bahwa ia lah satu-satunya sosok yang tumbang. Ekspetasinya terlampau besar. Tak ada bekas kesedihan dalam sorot Mamanya, wanita itu sungguh tidak merasakan apa-apa. Keluarga mereka memang sudah tidak terselamatkan.
Sesaat setelah mata mereka bertemu, Mamanya menghampirinya dengan langkah tanpa beban. "Nadine?"
Kini Nadine tidak tahu apa yang ia rasakan ketika mendengar suara Mamanya. Alih-alih merasa lega, ia justru mulai merasa ketakutan. Tanpa sadar genggaman tangannya di lengan Rae kian mengerat.
"Kamu nanti ikut Mama ya say—," kalimat Mamanya terputus saat Nadine menepis sentuhan wanita itu. Nadine refleks menarik tubuh Rae, membiarkan pemuda itu menjadi tamengnya untuk saat ini.
"Jangan sentuh aku." Datar dan dingin. Rae bahkan tidak pernah mendengar suara Nadine dalam nada sebegitu kelamnya.
"Kalau bukan sama Mama, kamu mau sama siapa?" suara Mamanya melemah, dan Nadine tahu wanita itu sebisa mungkin menekan egonya.
"Jangan ngomong sama aku."
Mamanya terdiam sesaat. Saat mata hazel mereka bertemu, Nadine tahu bahwa terlalu banyak luka yang mereka sebabkan atas satu sama lain. Ada jarak yang mungkin tidak akan lagi bisa ditebus. Sebagai ibu dan anak, mereka sudah terlalu jauh untuk menyatu.
Rae meraih tangannya dengan lembut, lalu menyembunyikan Nadine dalam rangkuman lengannya. Dan untuk itu Nadine merasa amat bersyukur, karena tepat ketika wajahnya sampai pada dada Rae, air matanya tumpah tanpa sanggup ia kendalikan.
"Biar Rae yang antar Nadine nanti, Tante," ujar Rae penuh hormat. Sejenak Katreena tampak ragu, sebelum mengangguk.
"Tolong jangan lama-lama, Rae."
Di tengah isakannya yang tanpa suara, Nadine mendengar suara hak sepatu Mamanya yang menjauh, dan hal itu membuat hatinya kian remuk. Dua orang tuanya masih hidup, tapi di detik ini Nadine merasa ia benar-benar telah kehilangan mereka.
"Nad?" Rae berbisik lembut, sebelah tangan pemuda itu mengusap rambutnya. Seperti yang Papanya lakukan setiap kali mereka berpelukan. "Tenangin diri dulu, oke? Gue ada di sini."
"Gue nggak mau ikut nyokap gue, Rae," kalimat itu bukan pernyataan melainkan permohonan putus asa yang ia layangkan.
Rae melepaskan pelukan mereka, lalu memaksa Nadine untuk mengangkat wajahnya. Untuk seorang seperti Nadine Wisesa, Rae tidak pernah menyangka bahwa ia akan menemukan gadis itu dalam keadaan sebegini hancurnya.
"Listen to me, Nadine," intonasi suara Rae tetap lembut dan terkendali. "Gue tahu, lo mungkin marah sama nyokap lo, sama keadaan, tapi nggak ada yang bisa bantu lo ketemu bokap lo selain beliau."
Nadine menggigit bibir bawahnya, menggeleng keras kepala. Ia tahu Rae benar. Saat ini, Nadine benar-benar tengah kehilangan arah, Papa adalah satu-satunya tempat yang ingin ia tuju, dan hanya Mamanya yang sanggup membawanya. Namun setelah semua hal yang mereka lewati, Nadine tak lagi yakin ingin menjadikan wanita itu sebagai kompasnya. Mereka sudah terlalu asing untuk menjadi sebuah keluarga.
"Setelah semua proses ini berjalan, setelah lo bisa ketemu bokap lo dengan lebih bebas, gue janji, lo boleh pergi kemana aja, gue bisa bantu lo ketemu tempat baru atau lo bisa tinggal di tempat Btari, tapi untuk saat ini, ikut nyokap lo, oke?"
Cengkraman Nadine di kemeja Rae akhirnya merenggang. Nadine jelas tidak setuju, tapi ia juga tidak bisa membantah. Nadine hanya diam, bahkan ketika Rae membawanya menuju mobil Mamanya.
Sebelum masuk, Rae meremas bahu Nadine lembut. "Lo punya gue, Btari dan Gemilang, hubungin kami kapan pun lo butuh."
Tidak ada jawaban. Mata Nadine kosong seperti raga yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Setelah memastikan mobil Tante Katreena hilang di tikungan, barulah Rae meraih ponsel dari sakunya. Menghubungkannya langsung dengan nomor Btari.
"Rae gimana?!" Btari jelas khawatir, dari tempatnya Rae dapat mendengar latar suara berita yang tengah terputar di televisi.
"Nadine dibawa nyokapnya, mereka mungkin akan diperiksa sebagai saksi," Rae mengembuskan napas berat. Matanya menatap kosong ke titik tempat mobil Tante Katreena menghilang. "Semoga ini cepat selesai."
Semoga.
•••
Mobil yang mereka kendarai meluncur ke kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Lantas terhenti di depan sebuah butik bergaya minimalis. Nadine mematung menatap bagunan di sampingnya. Tanpa sanggup ia cegah, berbagai kenangan itu terputar kembali dalam benaknya.
Dulu.
Dulu sekali, saat keluarga mereka masih diselimuti oleh kebahagiaan yang tidak ada habisnya, Nadine sering datang ke tempat ini. Butik ini dibangun Papanya ketika ia berumur sembilan tahun. Kado ulang tahun untuk Mamanya. Dalam bayangannya, kini tergambar jelas bentuk bangunan ini bertahun-tahun silam. Warna putih susu yang menyelumuti seluruh dindingnya, ornamen rose gold yang menghiasi langit-langitnya, wallpaper bercorak bunga azalea yang mereka pilih bertiga. Nadine merasa tenggorokannya tercekik saat kamuflase matanya membentuk siluet mereka bertiga yang menanam bunga bougenville di pelataran.
Nadine mencengkram handle pintu kuat-kuat kala menyadari bahwa sudah terlalu banyak hal yang berubah dari tempat ini. Desain bangunan yang minimalis. Warna putih dan abu-abu yang mendominasi. Wallpaper garis lurus yang terkesan dingin dan kaku. Serta tanaman tropis pengganti bougenville mereka yang mengering.
Dan bagian paling menyakitkan dari semuanya adalah, karena tempat inilah yang mempertemukan kembali Mama dengan Primus. Butik inilah yang membawa Primus pada Mamanya. Di dalam bangunan ini pertama kali Nadine melihat pria itu masuk ke dalam keluarga mereka.
Tempat ini menyimpan terlalu banyak kenangan dan luka disaat yang bersamaan.
"Aku nggak mau turun," suara serak Nadine otomatis menghentikan gerak Mamanya. Wanita itu menoleh pada Nadine dengan sorot lelah.
"Mama tahu Nadine, kamu nggak mau lagi datang ke sini, tapi kita nggak punya tempat lain lagi, kamar untuk kamu sudah diberesin sama OB kok."
Nadine menggeleng tegas. Matanya melirik pada lampu lantai dua yang menyala dan mobil Pajero yang terparkir di sana. "Mama nggak segila itu kan, untuk nyuruh aku tidur di tempat Mama sama Primus?"
"Om Primus nggak tinggal di sini kalau itu yang kamu takutkan."
"Aku nggak mau berbagi udara sama orang itu, dimana pun itu, aku bahkan nggak sudi menginjakan kaki di tempat yang pernah kalian datangi berdua." Nadine mengeraskan rahangnya, menatap Mamanya dengan tatapan nyalang.
Mamanya mengerjapkan mata. Memijat kening dengan lelah. "Oke, kalau gitu malam ini kita nginap di hotel aja ya?"
"Drop aku di hotel, setelah itu terserah Mama mau pergi kemana." Nadine berujar tanpa mengalihkan wajahnya dari jendela. Sebisa mungkin ia sembunyikan air mata yang luruh di pipinya. "Aku cuma butuh Mama untuk nemuin aku sama Papa."
Mamanya menurunkan rem tangan, perlahan sedan putih tersebut meluncur meninggalkan Katreena's Fashion House. Nadine menatap bagunan itu sekali lagi, mengucapkan selamat tinggal pada kenangannya yang mulai usang dimakan usia.
-----
A/n:
Siapa yang kemarin nebak Papanya Nadine kena kasus korupsi?
100 buat kalian!
Btw kok bisa-bisanya banyak yang lebih dukung Rae x Nadine padahal mereka masing-masing punya pacar?
Yaudahlah lagi nggak pengen banyak ngomong wkwkwkwk
Thank you tetep baca cerita ini.
I love you.
Tangerang, 16 April 2020.
Lots of Love,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro