Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | Hak Untuk Bermimpi

Jauh dari genggamannya,

Jauh dari jangkauannya,

Mimpi-mimpi itu berserakan,

Menunggu untuk dijemput olehnya.

•••

Ada tempat-tempat yang tidak pernah tidur. Tak peduli siang atau malam, terang atau gelap, tempat-tempat seperti itu akan selalu hidup tanpa mengenal waktu. Di antara semua tempat tersebut, rumah sakitlah yang menjadi tempat favorite Gemilang. Di gedung besar berbau cairan disinfektan itu orang-orang berlalu dengan raut serupa; lelah, sedih, dan sakit. Namun di sana pula, harapan-harapan tumbuh, doa-doa berterbangan, nyawa menjadi harga mutlak yang harus diperjuangkan. Dengan segenap ketulusan orang-orang berusaha menyelematkan satu sama lainnya. Tempat ini adalah ruang bagi para pekerja atas nama kemanusiaan.

Alasan-alasan tersebutlah yang membuat Gemilang rela menukar hari liburnya demi sebuah ranjang kecil di ruang istirahat dokter. Ia tak pernah keberatan jika harus tinggal lebih lama dari jam kerjanya.

Jam digital di kamar operasi menunjukan pukul 22:10, artinya sudah empat jam ia berusaha menyelamatkan nyawa seorang di dalam sana. Setelah melepas jubah hijaunya, Gemilang keluar menemui keluarga pasien yang menunggu dengan perasaan cemas.

Kelegaan tampak di wajah mereka saat Gemilang menjelaskan bahwa Bapak pengidap jantung kronis itu telah berhasil ia selamatkan. Hatinya menghangat kala melihat keluarga tersebut berulang kali mengucap syukur.

Rasa syukur itu, kelegaan itu, kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia dapatkan ketika Ayahnya di ambang kematian.

Gemilang memejamkan matanya di kursi putar, berusaha melepas lelah setelah bekerja begitu keras. Namun belum sepuluh menit berlalu, seorang suster masuk ke dalam ruangannya. Dengan raut tegang, suster tesebut mengatakan bahwa pasien yang baru saja mereka selamatkan mengalami komplikasi. Tanpa pikir panjang, Gemilang berlari menuju ruang ICU.

Di atas ranjang, tubuh pasien sudah melemah. Bed side monitor di sampingnya menunjukan diagram tidak beraturan dengan suara nyaring yang memekakan telinga.

Gemilang menekan tombol lift berulang kali, tapi kotak besi itu tak kunjung terbuka. Dengan tergesa ia berlari menaiki tangga.

Tubuh pasien mulai mengejang, sosok renta itu terlempar beberapa kali di atas ranjang. Suster-suster mendorong meja berisi alat medis, mendikte tanda vital pada seorang dokter jaga. Kepanikan menjalar dalam seketika.

Gemilang terus memperlekas langkahnya, ia bahkan tak peduli pada kakinya yang baru saja terantuk anak tangga. Dalam kepalanya terbayang wajah keluarga pasien yang tadi mengucapkan terima kasih padanya. Istri pasien yang rambutnya sudah memutih, dan dua anak gadis yang akan jadi yatim jika Gemilang gagal menyelamatkan beliau.

Setelah sekian menit terlewat namun CPR mau pun defibrilator tak kunjung membawa denyut pasien itu kembali, usaha itu akhirnya berhenti. Seketika ruangan tersebut dihuni oleh hening, kecuali dari suara monoton yang paling mereka benci. Seluruh gerakan dalam ruangan itu terhenti, termasuk langkah Gemilang yang muncul dari balik pintu.

Terlambat.

Gemilang tahu, ia terlambat.

Pasien ini tidak lagi terselamatkan.

Terseok-seok Gemilang menyeret langkah kakinya. Matanya nanar kala ia menemukan tangan pasien yang terkulai jatuh. Pria ini adalah pasiennya, Gemilang lah yang bertugas membacakan waktu kematiannya.

Tepat saat itulah, saat ia tiba di samping ranjang, Gemilang merasa sebuah balok es ditusuk tepat di ulu hatinya. Di sana, di atas ranjang yang dingin, dengan kulit sepucat salju, Ayahnya terbaring kaku.

Pasien ini. Pasien yang sejak tadi berusaha ia selamatkan adalah Ayahnya sendiri.

Gemilang tersekat. Tubuhnya otomatis melangkah mundur. Seluruh oksigen terasa dirampas paksa dari paru-parunya kala ia menyadari bahwa perempuan berambut putih yang menunggu di depan ruangan adalah Ibunya, dan dua anak gadis yang kini menjadi yatim adalah adik-adiknya.

Mereka adalah keluarganya.

Keluarga yang gagal Gemilang selamatkan.

Gemilang jatuh meluru, gravitasi menarik seluruh tubuhnya, juga air matanya. Di atas dinginnya lantai rumah sakit, pemuda itu terisak keras-keras. Dalam kesadarannya yang kian menipis, sesosok lain muncul di hadapannya. Seorang gadis dengan rambut dikuncir dua. Menatapnya dengan tatapan hampa.

Gemilang tahu gadis itu.

Anak kecil yang meninggal selepas tragedi kecelakaan yang Ayahnya sebabkan. Gadis yang kehilangan nyawa karena pria yang paling ia cintai. Gadis yang menjadi alasan mengapa Ayahnya meninggal di balik jeruji.

Gadis itu menggerakan bibirnya, mengatakan hal yang Gemilang hapal di luar kepala.

Anak pembunuh.

•••


"Ayah!"

Pemuda itu terlempar dari dasar mimpi menuju realita. Napasnya memburu, keringat sebesar biji jagung jatuh satu-persatu dari ujung keningnya. Di tengah keremangan ruangan, Gemilang berusaha menggapai gelas, lantas menenggak isinya hingga tandas. Butuh beberapa detik sampai akhirnya ia bisa kembali bernapas dengan normal.

Gemilang mengusap wajahnya letih. Bukunya yang masih terbuka menjelaskan bahwa ia tertidur tanpa sengaja saat tengah mengerjakan soal di meja belajar. Jam di dinding menunjukan pukul tiga pagi, artinya baru tiga jam ia terlelap, tapi mimpinya terasa begitu panjang dan melelahkan.

Ragu-ragu Gemilang membuka lacinya, lantas meraih berkas pengadilan terakhir Ayahnya. Bayangan mimpi tadi, serta ingatan tentang pertemuan terakhir pemuda itu dengan Ayahnya terputar dalam benak Gemilang. Tenggorokannya tersekat. Napasnya tertahan. Dari dimensi yang entah dimana keberadaannya, suara itu muncul lagi. Tangis seorang Ibu yang anaknya meninggal karena kelalaian Ayahnya.

"Ayah kamu bunuh anak saya! Anak saya mati karena ayah kamu!"

Gemilang mencengkram rambutnya kuat-kuat. Berbagai kenangan menyakitkan tiba-tiba menyerbu memorinya tanpa kenal ampun. Ketika Gemilang nyaris sampai pada puncak kemarahannya, sosok Ayahnya lah yang tiba-tiba hadir. Dalam bingkai kenangan pertemuan terakhir mereka. Di sebuah ruang kunjungan, dengan pakaian tahanan dan tangan yang di rantai oleh sepasang borgol.

"Gimana, nak? Apa kabar Ibu? Bagaimana sekolahmu? Apa semua baik-baik saja?"

Saat itu yang Gemilang lakukan adalah menganggukan kepala, tapi kini Gemilang menyesalinya. Ia seharusnya bilang pada Ayahnya.

Nggak Yah, nggak ada yang baik-baik saja. Kami berantakan, Yah. Kami kacau.

Gemilang menggigit bibirnya kuat-kuat saat bayangan dalam kenangannya itu melengkungkan seulas lengkungan. Senyum itu lebih tulus daripada senyum malaikat dan karenanya Gemilang merasa kian sesak.

Bagaimana Tuhan? Bagaimana ia harus menerima kenyataan bahwa orang setulus ini adalah orang yang sama yang merampas hidup seorang anak-anak?

Ayahnya meraih tangan Gemilang, menggenggamnya erat-erat.

"Sing sabar, yang kuat. Ayah minta maaf kalau Ayah ada salah, tapi kalau bukan sama kamu, Ayah nggak tahu lagi harus nitipin Ibu, Gisa sama Gita ke siapa." Ayahnya meremas tangan Gemilang, menatap putra sulungnya lekat-lekat. "Ayah tahu, kamu bisa."

Gemilang mendongakan kepalanya, sekuat mungkin menahan air mata yang mendesak untuk ditumpahkan.

Ayah salah.

Ayahnya salah.

Gemilang tidak setegar itu.

Namun Gemilang juga tahu, ia tidak punya hak untuk menolak. Tanggung jawab yang digantungkan Ayah pada pundaknya, adalah harapan untuk keluarga mereka. Jika Gemilang hancur maka rubuh jugalah masa depan keluarga mereka.

Dengan segenap sisa kekuatan, Gemilang meraih kembali ballpointnya, kembali menenggelamkan diri pada deretan soal di depannya.

Reza benar.

Ia bukan orang yang berhak memiliki mimpi.

----
A/n:

Bab ini ditulis jauh sebelum Covid-19 muncul pertama kali. Tapi mungkin dalam kondisi yang seperti ini aku dedikasikan paragraf pertama bab ini untuk mereka yang harus tetap bekerja, merawat pasien, walau tahu bahwa nyawa mereka sendiri yang mungkin kelak terancam.

Kalau ada di antara kalian yang pekerja medis, atau kerabatnya yang pekerja medis, aku sampaikan terima kasih setulus-tulusnya dari hati yang paling dalam.

Gimana bab ini?

Nggak panjang, sih.

Pendek banget malah wkwkwk

Tapi nggak papa lah ya...

Sampai sini sudah bisa lihat kan kalau mereka semua punya masalah masing-masing.

Tapi kayak yang aku bilang cerita ini konfliknya nggak berat, apalagi selama masih di Mencintaimu.

Ada yang minta spin-off Btari dan Gemilang ya kemarin?

Tenang aja...

Mereka nggak punya spin-off tersendiri wkwkwk

Soalnya cerita mereka juga sudah akan termasuk dalam trilogi Mencintaimu ini.

Pokoknya trilogi ini bakal ceritain tentang mereka berempat Nadine x Rae x Gemilang x Btari.

Ceritanya nanti gimana? Tungguin aja wkwkwkk

Yaudah deh itu aja, anyway terima kasih banyak buat dukungannya, jaga kesehatan jangan lupa!

Tangsel, 09 April 2020
Lots of Love,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro