10 | Janji
Selama kamu baik-baik saja.
Aku pun demikian.
Selamanya seperti itu.
•••
Seminggu berlalu sejak Rae mempertemukan Nadine dengan Aisyah. Artinya, sudah seminggu juga berlalu sejak Rae melihat Tante Katreena keluar dari sebuah Pajero hitam malam itu. Namun, tidak ada yang berubah. Nadine masih tetap ketus, mereka tetap sering bertengkar, dan Gio—entah bagaimana, Rae bahkan tidak ingat—dan tidak ingin mengingat—eksistensi cowok itu—tetap jadi pacar yang super posesif.
Rae menyipitkan mata, mengikuti tubuh Nadine yang mondar-mandir di depan papan tulis. Saat ini, mereka sedang mengadakan rapat Paramitha Festival. Persiapan mereka setidaknya sudah sampai pada angka 50%, hanya tersendat perkara sponsor dan publikasi.
"Berarti masih banyak juga ya, yang belum selesai?" Nadine mengetukan spidol pada dagunya, berusaha memilah list tugas yang sudah ia petakan pada permukaan putih di hadapannya. Cewek itu berbalik, lalu menatap Ricky yang bertugas sebagai kepala divisi publikasi dan dokumentasi. "Medpart kita harusnya berapa sih, Rick?"
"Target minimal dua belas, Nad, tapi gue sama Siska sama Vira baru bisa ke dua radio, dari kemarin kami masih bagi-bagi undangan sama pamflet," Ricky menerangkan seraya merujuk ke arah dua teman setimnya.
Nadine menganggukan kepala, lalu menoleh pada Ersa yang mengepalai divisi dana usaha dan sponsorship. "Kalo lo Sa, udah coba kemana aja?"
"Proposal udah gue sebar lebih ke lima puluh perusahaan Nad, tapi belum kumpul juga, lo sadar sendiri target kita sama sekali nggak kecil apalagi buat ukuran pensi anak SMA." Ersa mengesah, keluhan itu seperti sudah lama dipendamnya.
Di meja baris kedua, Btari juga mengangkat tangan. "Bu Mega juga protes, katanya dana kita terlalu besar Nad."
Nadine menganggukan kepala. Memainkan ujung spidol, tampak berpikir. Tak lama kemudian senyum terbit di bibirnya.
"Oke, gini aja, Rick, lo Vira sama Siska cukup fokus ke sekolah-sekolah, sisa media biar gue yang handle," ujar Nadine tegas, yang langsung disambut anggukan penuh syukur oleh Ricky. Selanjutnya Nadine beralih pada Btari dan Nina—yang bertugas sebagai bendahara. "Btari sama Nina coba tolong potong dana yang kurang krusial, ajuin lagi ke bu Mega, bawa Bu Maryam sama Gemilang, Bu Maryam yang janji bakal mulusin proposal kita, dan Gemilang pasti bisa ngambil hati guru."
Btari dan Gemilang menahan senyum. Nadine pasti masih dendam perkara bergabungnya Raesangga dalam kru mereka.
Di ujung ruangan Ersa mengangkat tangannya tampak keberatan. "Nad, yang bener aja, dengan dana segini aja udah susah, kalo proposal direvisi nambel dananya dari mana?"
Nadine tersenyum licik. "Proposal kreatif nggak usah direvisi, tengok belakang lo, apa gunanya ada anak pemilik yayasan kalo soal dana aja kita masih pusing?"
Mereka serentak menoleh ke Raesangga dengan wajah dan senyum sumringah, membuat pemuda itu menegakan tubuhnya. "Gila apa nih, kalian mau coba belajar korupsi?"
Senyum Nadine melebar. "Rae, just please use your privilege, kita nggak korup kok, cuma memanfaatkan kesempatan."
Ersa mengangguk mengaminkan. "Iya, Rae, nggak masuk korup ini mah, kan nggak ada sogokan, kita cuma minta dana, dan lo yang minta."
"Nyokap lo juga sempet bilang kok Rae, kalau kita kesusahan bisa minta tolong nyokap lo, dia bakal bantu secara personal bukan dari dana yayasan," ujar Gemilang tenang membuat setengah ruangan memekik girang.
"Ah, lo kenapa nggak bilang dari kemarin, Lang! Tau gitu gue nggak usah pusing-pusing!" Ersa membanting tubuh pada sandaran kayu di belakangnya. Wajahnya lega luar biasa, sebuah beban seolah baru terangkat dari pundaknya.
"Jadi gimana Raesangga?" Nadine tersenyum kecil, manis dan penuh muslihat.
Jika ini untuk orang lain, Rae tentu saja akan menolak mentah-metah ide tersebut, tapi kali ini Nadine lah yang memintanya. Entah kenapa senyum licik cewek itu membuat Rae hanya bisa meganggukan kepalanya. "Dengan syarat, lo yang ikut gue ngadep nyokap sekalian gue yang antar lo keliling media."
"Deal!" bukan Nadine tapi seisi ruanganlah yang menyahut. Di tempatnya Nadine hanya mengerjapkan mata bingung.
Sayangnya euforia mereka tidak bisa bertahan lama, sebuah suara yang sudah mereka hapal di luar kepala menginterupsi mereka.
"Aku nggak setuju," Oliv berdiri di ambang kusen. Pintu yang sejak tadi tertutup sudah dalam keadaan terbuka, entah sejak kapan. "Sorry lancang, tapi gue ke sini buat nyamper Rae."
Kelas yang semula ramai perlahan hening ketika cewek yang menjadi wajah sekolah mereka melangkah memasuki ruangan. Yang laki-laki menahan napas, sementara sebagian siswi justru melengos tak ketara.
"Sorry Nad, tapi gue nggak setuju, kerjaan Rae tuh di sini nggak jelas, lo kayak manfaatin Rae, bukan cuma soal ini tapi juga soal lo yang harus diantar Rae kemana-mana." Dengan percaya diri Oliv berdiri berhadapan dengan Nadine, di depan puluhan pasang mata yang menghadap ke arah mereka. "Kenapa harus Rae? Nggak ada yang lain memang?"
"Dan gue nggak merasa keberatan dimanfaatin," kursi berderak dari arah belakang, Rae tampak berdiri dengan dua tangan yang dimasukan ke dalam saku.
Atmosfer ruangan ini mulai menegang, kalimat Oliv dan nada suara Rae menandakan bahwa mereka tengah terlibat perang dingin. Perdebatan ini sama sekali bukan tentang pensi, melainkan hal-hal yang sifatnya lebih pribadi.
"Aku nggak setuju Rae, kamu nggak sadar apa semua waktu kamu habis buat ke sana ke mari nggak jelas, di sini kamu bukan panitia cuma volunter!" seru Oliv keras kepala.
"Kamu mau ikut aku keluar apa mau berantem di sini dilihatin semua orang?"
"Aku nggak mau keluar kalau kamu nggak bilang, kamu nggak akan ikut Nadine," Oliv berdiri tegak, tidak goyah sedikitpun. Ia bahkan tak peduli pada mata-mata di sekitar mereka.
"Gue nggak akan bawa Rae kemana-mana lagi, kalau itu yang lo mau, oke?" Nadine yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Cewek itu bersidekap menatap dua orang di depannya dengan tatapan heran. "Kalian nggak malu apa berantem di depan umum?"
"Tuh, dengar, Nadine sendiri yang bilang dia nggak perlu kamu antar."
"Nggak!" Rae menjawab tegas. Tangannya kini terkepal dengan tatapan yang mendingin. Cowok itu memusatkan perhatiannya pada Oliv. "Kalau gue bilang gue bakal antar Nadine, gue yang bakal antar Nadine."
Kalimat Rae penuh penekanan pada setiap suku katanya. Cowok itu kemudian mengalihkan wajahnya pada Nadine. "Nanti pulang sekolah, gue yang antar lo, dan lo juga yang harus bawa proposal ngadep nyokap gue, end of discussion."
Setelah mengatakan hal tersebut Rae melangkah keluar ruangan, tidak peduli dengan tatapan-tatapan ingin tahu, atau Oliv yang mengepalkan tangannya menahan tangis.
•••
Seperti dugaannya, tempat terbaik untuk menemukan Rae pada saat-saat seperti ini adalah lapangan basket indoor sekolah mereka. Btari duduk di tribun terdepan, memperhatikan Rae yang tengah memantulkan bola. Rae tentu saja tidak menyadari kehadiran Btari, cowok itu selalu butuh pelarian pada saat-saat tertentu, dan karena Rae tidak mungkin melakukan climbing di sekolah, bola basket menjadi satu-satunya benda yang bisa Rae gunakan untuk mengalihkan perhatiannya.
Setelah tiga kali tembakan Rae baru menyadari kehadiran orang lain di sana. Btari melambaikan tangannya membuat senyum Rae otomatis melebar. Begitulah Raesangga, secepat Btari memanggil namanya selekas itu pula Rae meninggalkan lapangan untuk berlari ke arahnya.
"Thank you, Bi," Rae menerima sebotol air mineral dari tangan Btari, meneguknya dan menyiramkan seperempat minuman itu ke wajahnya.
"Sama-sama," Btari menjawab seraya memperhatikan profil Rae dari samping. Bertahun-tahun mengenal Rae, Btari menyadari bahwa beberapa waktu belakangan ada hal yang membuat Rae gelisah, dan kejadian tadi mungkin akumulasi dari kebimbangannya. "Rae, kamu baik-baik aja?"
Kalimat Btari sontak menghentikan gerakan tangan Rae. Cowok itu menganggukan kepalanya bingung. "I'm okay, Bi, kenapa memangnya?"
Rae mengulurkan tangannya ke belakang, berusaha meraih kerah bajunya.
"Kamu tadi sadar nggak, kamu terlalu kasar sama Oliv? Dia pasti malu banget karena kejadian tadi," ujar Btari sambil membantu Rae merapikan kerahnya, Btari kemudian menyadari bahwa masih ada label pada kerah seragam Rae. "Seragam baru ya? Tunggu sebentar biar aku cabutin mereknya."
Btari mengambil silet tipis dalam dompetnya, lalu memotong label merek dalam seragam Rae dengan cekatan. Ada benda-benda tertentu yang selalu Btari bawa kemana-mana, silet ini adalah salah satunya. Alasannya sederhana, Rae membenci label merek yang menggesek di tengkuknya, namun sering lupa mencabut label tersebut dari pakaian barunya.
"Makasih Bibi," Rae menyengir lega lalu memgembalikan pembicaraan mereka pada topik sebelumnya. "Oliv yang bikin malu dirinya sendiri Bi, ngapain coba dia masuk ke ruang rapat kayak tadi, terus juga makin ke sini dia makin sensi apalagi soal Nadine."
"Mungkin memang ada sesuatu antara kamu sama Nadine yang bikin Oliv nggak tenang?" kalimat Btari tepat sasaran, cowok itu kontan terdiam.
"Sejujurnya, aku memang lagi mikir mau putus sama Oliv, Bi."
"Kenapa?"
Rae mengembuskan napas berat teringat peristiwa di kamarnya pada makan malam bersama keluarga mereka. "Aku sama dia nggak sejalan."
"Bukannya kamu udah tahu itu dari awal ngejalanin? Bukannya kamu udah tahu sifatnya Oliv?"
"Aku cuma pilih dia karena mungkin dia yang paling sedikit risikonya Bi, kamu tau Papa, dari dulu aku udah tahu walau Papa ngebiarin aku main-main tapi sebenarnya Papa udah nyiapin masa depan terbaik versi Papaku, kalau bukan Oliv bakal ada cewek lain lagi yang akan dikenalin aku di masa depan, kalau sama Oliv seenggaknya aku udah kenal dia, tapi ternyata tetap aja susah."
Btari mengelus pundak Rae. Semua orang mungkin mengira bahwa Rae hidup dalam dunia yang serba mudah, tapi Gemilang dan Btari tahu bahwa itu sama sekali tidak benar. Sejak kecil, Gemilang dan Btari tahu bahwa Rae tidak pernah bebas. Nama Danureja bukan hanya memberinya sayap tapi juga mematahkan kakinya.
Hal yang biasa terjadi pada para pewaris tunggal.
Btari harus merasa bersyukur karena setidaknya orang tua Rae tidak membatasi pergaulan mereka.
"Murni karena itu? Bukan karena kamu bimbang gara-gara ada Nadine?"
Rae memandang Btari ngeri. "Ngaco aja kamu Bi, aku kalau sama Nadine yang ada setiap hari ribut pasti."
Ada lebih dari tiga detik jeda antara pertanyaan Btari dengan jawaban Nadine. Tiga detik yang ditangkap Btari sebagai keragu-raguan. Btari hanya tertawa renyah. "Hati-hati kemakan omongan sendiri."
"Iya nggak mungkin, nggak mungkin," Rae merapal kalimat itu berulang kali seolah berusaha meyakinkan dirii sendiri. Di tengah-tengah perdebatan dalam kepalanya, ingatannya menyorot pada malam dimana ia mengantar Nadine pulang.
Malam itu sebenarnya Rae tidak langsung pulang, ia berdiri di bawah pohon yang berdiri tepat di tikungan. Meski tidak mendengar apa-apa, Rae tahu Nadine dan Gio bertengkar hebat, dan Rae dapat melihat setiap kejadian yang mengikutinya. Mulai dari Nadine yang membanting pintu mobil, Pajero hitam yang meluncur ke depan rumah Nadine, kedatangan Tante Katreena bersama laki-laki lain seolah memperjelas apa yang terjadi di meja makan keluarga Nadine saat ia sarapan beberapa bulan yang lalu.
Malam itu Rae tahu, Nadine tidak baik-baik saja. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Rae menunggu reaksi Nadine besoknya, tapi Nadine tetap mengenakan topengnya bersikap seolah tak ada yang terjadi padanya.
"Bi?" Rae memanggil Btari ragu-ragu.
"Hm?"
"Nadine ada cerita nggak dia lagi ada masalah apa gitu?"
Btari tampak berpikir sesaat lalu menggelengkan kepalanya. "Selain sama Gio sih enggak ada ya, kenapa memang, Rae?"
Rae kontan menggelengkan kepalanya cepat. Terlalu cepat. Sampai Btari sadar bahwa ada yang Rae sembunyikan.
"Nggak, nggak apa-apa," suara Rae terdengar mengawang.
Btari memperhatikan Rae dengan seksama, kegelisahan itu hadir lagi di lensa mata Rae dan akhirnya Btari bisa menebak siapa yang membuat Rae gelisah.
"Sebentar lagi masuk, kamu mau aku anter ke kelas?" Rae berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Selain Nadine dan Btari, mereka memang terpencar di kelas yang berbeda. Nadine dan Btari di kelas XII IPS 1, Rae di kelas XII IPS 3 dan Gemilang di kelas XII IPA 1.
Btari tersenyum menangkap maksud Rae. "Aku mau ke Bu Dian, nyerahin naskah pidato."
"Kalau gitu, ayo aku temenin," Rae mengulurkan tangan membantu Btari untuk berdiri.
Namun bukannya langsung bangkit, Btari justru menahan tangannya lebih dahulu.
"Rae kamu mau tau sesuatu nggak?" tanya Btari lembut. "Kelebihan kamu yang paling aku suka adalah sifat kamu yang perhatian sama orang lain, tapi itu juga yang bikin aku khawatir."
Alis Rae menyatu heran. "Maksudnya, Bi?"
"Janji sama aku, jangan pernah ngejaga dan mikirin masalah orang lain sampai nyakitin diri sediri, oke?"
Rae masih tidak mengerti maksud kalimat Btari tapi tidak menolak ketika Btari mengaitkan jari mereka.
Rae tidak sadar, bahwa seumur hidupnya janji itulah yang tidak akan pernah sanggup ia penuhi.
-----
A/n:
Yay! Bisa update lagi! HAHAHAHA!
Gimana part ini?
Ada yang masih nungguin?
Aku yakin banyak yang tambah sebel sama Oliv wkwkwk
Padahal Raenya juga nyebelin ya.
Btw, kalian shipernya siapa?
1. Nadine x Rae?
2. Rae x Oliv?
3. Oliv x Gio?
4. Gemilang x Btari?
Atau...
5. Rae x Btari?
HAHAHA.
MARI KITA LIHAT DIBAWA KEMANA CERITA INI.
Jangan lupa jaga kesehatan semuanya! ❤
See you when i see you!
Love,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro