Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03 | Kedatangan Tengah Malam

Dari yang kudengar, cinta tak harus saling memiliki.

Maka jadi lumrah jika memiliki pun tak mesti mencintai.

•••

Malam sudah beranjak larut, namun lampu kamar Nadine belum terlelap. Pemiliknya sendiri masih berkutat di hadapan layar laptop dan setumpuk kertas. Nadine baru selesai memeriksa laporan divisi acara. Saat ini yang tersisa hanyalah proposal yang dikerjakan oleh Btari selaku sekretaris Paramitha Festival. Meski Nadine tahu Btari adalah pribadi yang teliti, tapi Nadine merasa bahwa sudah kewajibannya lah untuk memeriksa perkembangan setiap anggota timnya. Ia yang harus memastikan bahwa semua rencana mereka sesuai pada relnya.

Layar ponsel yang menyala menarik perhatian Nadine. Nama Raesangga tertera sebagai pengirimnya. Nadine lantas mengembuskan napasnya keras-keras. Belum apa-apa saja, sudah ada yang hal yang melenceng dari rencananya. Memasukan Raesangga ke dalam kru Paramitha Festival tentu saja sama sekali bukan sesuatu yang ia harapkan.

Dengan malas, Nadine menggeser layar ponsel dengan jari telunjuknya.

R sent a picture.

R : Apaan, nih? Lo mau nyuruh gue jadi volunteer pensi atau pekerja romusha?  🙂

R: Jawab oy, gue tahu lo masih bangun.

R: Kalo nggak balas, gue berisikin lo.

R: Nantangin?

R: P

R: P

R: P

R:

Nadine berdecak kesal, mengetikan pesan balasan dengan cepat.

Nadine Wisesa Putri: Bisa baca kan? Jangan sampe telat.

R: Siapa lo ngatur-ngatur?!

Nadine Wisesa Putri: Ruang OSIS, jam pulang sekolah.

R: ngajak ngedate maksudnya? :)

Nadine Wisesa Putri: blocked :)

You blocked R.

Tepat setelah itu Nadine melempar ponselnya menjauh. Cewek itu merentangkan tubuhnya, hingga membentuk pola bintang. Matanya terpejam, sebisa mungkin mengembuskan napas dengan teratur. Setelah beberapa detik terlewat Nadine membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya yang dilukis serupa langit malam. Sejujurnya, Nadine tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa gusar setiap kali berhadapan dengan Raesangga. Sesuatu yang membuat Nadine merasa kalah dan tidak berharga. Sesuatu yang Nadine enggan akui keberadaannya.

Pintu kamar yang diketuk, otomatis membuat Nadine terbangun. Di ambang kamar, Papanya tersenyum lebar dengan setelan lengkap dan kemeja kusut. "Tuan Putri belum tidur?"

"Papa!" Nadine kontan berseru. Cewek itu bahkan nyaris melompat dari posisinya. "Aku pikir Papa masih di Surabaya."

"Seharusnya," Papanya melenggang santai, lantas meletakan tubuhnya tepat disamping Nadine. "Tapi kasihan kalau anak Papa ditinggal kelamaan."

Senyuman Nadine otomatis terkembang. Jenis senyuman yang hanya ia tunjukan untuk orang-orang paling berharga dalam hidupnya dan sampai saat ini Papa masih satu-satunya.

"Seharusnya nggak apa-apa pulang besok aja kalau Papa capek, Nadine udah gede," ujar Nadine setengah protes, meski kalimatnya bertentangan dengan raut wajahnya. "Ditinggal seminggu-dua minggu aja nggak masalah, apalagi cuma tiga hari."

Papa tersenyum, mengusap kepalanya penuh sayang. Papanya adalah seorang pejabat di salah satu lembaga keuangan di Indonesia. Bertugas di luar kota sudah menjadi hal yang lumrah bagi beliau. Namun demi Nadine, Papanya kerap kali memotong hari, pulang dengan pesawat tercepat yang beliau dapat setelah pekerjaan di sana selesai.

Dan Nadine tahu tidak ada orang yang bisa melakukan hal-hal sehebat itu untuknya, selain Papanya.

"Papa buru-buru pulang, soalnya ada oleh-oleh buat kamu."

Nadine menaikan sebelah alisnya. "Kue lapis Surabaya?"

Papanya tertawa renyah. "Bukan yang itu, kue lapis ada di bawah, tapi yang Papa maksud hadiah lainnya."

"Apa?"

Papanya merogoh tas beliau, lantas mengeluarkan sebuah kotak beludu dari dalam sana. Nadine mengerjapkan matanya ketika membaca sebuah label perhiasaan ternama di kotak berukuran 7 x 15 centimeter tersebut, terutama ketika benda tersebut dibuka. Di dalamnya, terletak rapi seuntai kalung berwarna perak. Bukan. Nadine terheyak bukan hanya karena tahu itu adalah barang mahal, namun karena bandul berbentuk lingkaran yang berkilau ditempa cahaya kamarnya.

"Kamu suka?" tanya Papanya lembut.

Nadine terdiam sesaat, berusaha mencerna segala hal dalam benaknya. Mamanya yang seorang designer dan mantan model nasional pasti tidak akan berpikir dua kali untuk mengenakan benda ini, tapi Nadine tidak.

Bukan karena ia tidak suka.

Nadine merasa benda cantik ini tidak akan cocok untuknya.

"Papa kenapa beliin aku ini?" tanya Nadine hati-hati. Ia takut mengecewakan Papanya.

"Kenapa? Kamu nggak suka ya?"

"Bukan, bukan begitu." Nadine kontan menggelengkan kepalanya cepat. "Aku merasa ini terlalu mahal untuk aku."

Papanya tersenyum maklum, sejak awal beliau pasti sudah menduga reaksi Nadine. Anak gadisnya ini memang tidak terbiasa dengan barang-barang mewah semacam ini.

"Sejak kapan sih ada hadiah yang 'terlalu mahal' buat anak sendiri?."

"Tapi Pa—"

"Suatu hari nanti, kalau sudah ada waktunya laki-laki lain yang datang ke kamu dan ngasih kamu cincin, Papa mungkin nggak akan seleluasa ini lagi beliin kamu barang seperti ini." Papanya tersenyum teduh, membuat Nadine ikut terhanyut. "Jadi, sebelum itu biar Papa yang beliin kamu kalung ini, karena kalung ini nggak harus kamu lepas saat ada yang mau pakein kamu cincin nanti."

Nadine melotot tak setuju. "Ih, Papa, kok ngomongnya gitu, sih?!"

"Makanya terima ya?" sebelum sempat Nadine protes, Papanya sudah menambahkan. "Anggap aja ini hadiah ulang tahun kamu ke 18 yang lebih cepat."

Nadine menahan tangan Papanya, lalu melebarkan cengirannya. "Oke, kalau gitu tunggu sampai Nadine 18? Cuma beberapa bulan lagi dan Nadine maunya Papa yang pakein Nadine. Deal?"

Papanya tertawa renyah, lantas mengangkat kedua tangannya. "Nyerah Papa sama kamu, kamu memang keras kepala."

"Anaknya siapa coba?" ledek Nadine setengah menyindir.

Tak lama kemudian terdengar suara mobil dari halaman depan, membuat tawa Nadine dan Papanya otomatis terhenti. Tidak perlu mengintip, mereka sudah bisa menebak siapa yang pulang selarut ini.

"Mama baru pulang?" tanya Papa seraya melirik jam yang menunjukan angka setengah dua belas.

"Sejak beberapa hari yang lalu." Nadine terdiam sesaat, lalu bertanya dengan ragu-ragu. "Papa nggak apa-apa?"

Papanya terkekeh pelan. "Nggak lah, Papa nggak apa-apa, cuma capek aja sedikit."

Nadine tidak menyahut, meski ia tahu Papanya sebenarnya tidak baik-baik saja. Kesedihan itu terpantul jelas dalam mata tuanya.

Tak ingin memperpanjang percakapan mereka, Papanya mencium kening Nadine cepat. "Papa turun dulu ya, good night, Princess."

Tepat setelah pintu kamarnya di tutup, Nadine beranjak ke jendela. Dari tempatnya, ia bisa melihat sebuah Pajero hitam melaju pergi. Nadine mengembuskan napas berat. Beragam pertanyaan timbul tenggelam dalam benaknya.

Denting notifikasi berhasil mengambil alih perhatian Nadine. Lagi-lagi nama Rae tertera di layarnya. Setelah aksesnya diblokir di Line rupanya pemuda itu dengan gigih mengganggunya via Instagram.

@raedanureja: lo blok Line gue?

Tanpa berpikir dua kali, Nadine membuka akun cowok itu, lalu melakukan hal yang sama pada akun instagramnya.

raedanureja blocked.

•••

Selain menjadi guru les privat bahasa inggris dan matematika, Gemilang juga bekerja paruh waktu di kafe dekat rumahnya. Malam itu semua berjalan seperti biasanya, kafe ramai, pesanan menumpuk, Gemilang membuang sampah pada pukul sebelas malam.

Segalanya berjalan seperti  seharusnya, sampai Gemilang melihat seseorang yang menunggunya di tempat pembuangan. Gemilang terdiam saat melihat pria akhir tiga puluh tahunan tersebut. Gemilang mengenali pria itu, juga mobil mengilap yang terparkir di belakangnya. Mereka seperti paradoks dalam satu bingkai yang sama. Gemilang dengan plastik sampah dan segala kekumuhan dan pria itu dengan jas hitam dan mobil mewah.

"Om Reza?" Gemilang menyebut nama pria itu dengan terbata.

Pria itu tersenyum ramah di balik kacamatanya, beliau tampak menilai Gemilang dan tempat kerjanya. "Kamu memang pekerja keras, nggak salah Danureja Grup memberikan beasiswa terbaiknya pada kamu."

"Ada apa Om?" tanya Gemilang ragu. Pertanyaan yang tepat, mengingat selangka apa pertemuan mereka. Reza adalah orang kepercayaan Janadi Danureja. Reza hanya akan datang padanya saat ada hal-hal resmi yang harus disampaikan pada Gemilang.

Reza tersenyum sarat makna. "Mari kita bicara di dalam saja."

•••

Nadine tahu Raesangga bukanlah tipikal orang yang mau mengalah. Namun Nadine tidak menduga, bahwa gencatan senjata mereka harus dimulai pagi ini. Di meja makan rumahnya. Di depan orang tuanya.

"Good morning," Rae menyapa Nadine riang, matanya berkilat jahil. Cowok itu menarik kursi meja makan di sampingnya, lalu menepuk-nepuk bantalan kursi tersebut.

"Kok mahluk ini bisa ada di sini, Pa?" tanpa tendeng aling atau ramah tamah, Nadine bertanya pada Papanya.

"Pendekatan ke calon mertua, jaga-jaga siapa tahu di masa depan kita emang jodoh," Rae menyahut asal.

Alih-alih membela Nadine, Papanya ikut menimpali celetukan Rae. "Jadi, kapan memangnya siap bawa orang tua kamu, Rae?"

"Papa!" Nadine memberenggut kesal, namun Papanya justru tertawa kian geli.

"Udah, udah, kamu jangan marah-marah terus, nggak sopan sama tamu."

"Dia yang nggak sopan, pagi-pagi udah numpang sarapan di rumah orang," Nadine berujar ketus, tapi Rae sama sekali tidak tersinggung.

"Gitu memang Om, Nadine, di sekolah juga galak banget," Rae mencebikan bibir, sok memasang tampang terluka. "Padahal Rae udah bela-belain bangun subuh buat jemput Nadine karena dia bilang Rae nggak boleh terlambat."

Nadine menatap Rae penuh permusuhan, dan Rae hanya mengerjapkan matanya, memasang tampang tidak berdosa.

"Nadine ayo duduk, udah lama juga kita nggak sarapan sama-sama." Papanya menepuk meja di depannya, menyuruh putrinya duduk di samping Raesangga.

Rae tersenyum penuh kemenangan ketika Nadine mengalah, cewek itu menjatuhkan diri dengan wajah tertekuk.

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Rae sarapan di rumah Nadine. Dulu sekali, di awal kelas 10, Rae, Btari dan Gemilang kerap kali menjemputnya ke rumah. Sesekali mereka akan sarapan bersama di meja makan keluarga Nadine.

Namun sejak Nadine disibukan dengan kegiatan OSIS, dan Rae sering membolos karena kegiatan pecinta alamnya, kegiatan pagi tersebut perlahan menghilang. Kehadiran Gio dan Oliv memperluas jarak yang tercipta diantara mereka, hingga pada akhirnya mereka menjadi dua orang yang asing sama sekali.

Tak lama kemudian Mamanya keluar dari kamar, membuat Nadine otomatis menahan napasnya. Seperti biasa wanita itu tampak anggun dalam balutan blazer dan rok selutut bermotif tartan. Suara sepatu lancipnya menimbulkan gema yang berirama. Wanita itu berhenti saat hampir melewati ruang makan, seperti baru tersadar ada orang asing yang duduk di sana.

"Pagi Tante," Rae menyapa hormat. Tante Katreena masih sama seperti ingatannya dua tahun yang lalu, cantik dan memesona. Jejak-jejak dunia entertain yang membesarkan namanya tentu tidak mudah hilang dari sosoknya. Namun pagi itu Rae merasa ada sesuatu yang janggal.

Tante Katreena tampak tak berniat bergabung dengan mereka. Begitu pula dengan Nadine dan Om Harun yang tampak tidak bersahabat. Entah kenapa, Rae merasa bahwa mereka bertiga dipisahkan oleh dinding-dinding tidak kasat mata.

"Pagi Rae," Katreena membalas ramah. Wanita pertengahan empat puluh itu tersenyum, membiarkan bibirnya yang mengilap membentuk lengkung sempurna. "Tumben ke sini? Btari dan Gemilang mana? Nggak ikut?"

"Nggak Tante, Rae sengaja datang sendiri, mau jemput Nadine."

"Siapa yang minta lo jemput?" Nadine akhirnya kembali bersuara. "Gue bareng Gio."

"Gio udah gue chat."

"Chat?" Nadine kontan menolehkan kepalanya, perasaannya seketika memburuk saat melihat wajah tanpa dosa Raesangga.

"Iya, gue bilang hari ini gue yang jemput lo, jadi gue suruh dia jemput Oliv."

Nadine melongo, kali ini ia benar-benar kehilangan kata-kata. Begini ya teman-teman, perlu dijelaskan, sejelas-jelasnya. Pertama, Gio adalah pacar Nadine dan Oliv adalah pacar Rae. Kedua, mereka berdua sama-sama tahu bahwa pacar mereka masing-masing adalah tipikal pacar cemburuan dan super posesif. Ketiga, sudah bukan rahasia umum kalau Nadine adalah musuh Oliv nomor satu, sedangkan hubungan Gio dan Rae sangat jauh dari kata akrab.

Jadi, tolong jelaskan bagian mana logika berpikir Rae yang bisa diterima akal?

"Lo beneran lagi mau perang, ya?!" Nadine mengatupkan bibirnya kesal.

"Nggak, ini gue mau makan, nggak lihat?" Rae mengangkat sendok dan garpunya membuat Nadine semakin gusar.

Jika di depan mereka saat ini tidak ada kedua orang tuanya, Nadine sudah bisa memastikan bahwa ia akan menyeret Rae keluar dari rumahnya. Tidak lama, ponselnya bergetar, tanpa perlu mengintip layarnya Nadine sudah tahu siapa pengirimnya.

Giovano: Bilang sama cowok baru kamu, pacarnya udah aku jemput. :)

Giovano: Lain kali kalau mau bareng dia, bilang sendiri aja, nggak usah pake nyuruh dia yang bilang sama aku. Have fun!

Nadine menutup pesan tersebut tanpa membalasnya, ia memejamkan mata lantas menghela napas keras-keras. Namun belum sempat ia mengamuk, percakapan kedua orang tuanya sudah mengambil alih atensinya.

"Sarapan dulu, Kat," ujar Papanya tampak kaku.

Mamanya melirik arloji di pergelangan tangan, lantas menolak halus. "Nggak bisa, aku udah terlambat."

"Butik kamu buka jam 10, masih ada tiga jam lebih."

Tanpa menghiraukan Papanya, Mama Nadine mengecup pipi Nadine, lantas berpamitan dengan cepat.

"Mama berangkat dulu ya, sayang." Wanita itu beralih pada Rae lalu tersenyum. "Tante berangkat dulu Rae, kalian hati-hati."

"Eh?" Rae mengerjap kebingungan lalu buru-buru menjawab pamit Katreena. "Iya, Tante hati-hati."

Nadine meremas serbet di tangannya, Mamanya mengabaikan Papanya dan Rae baru saja melihat apa yang terjadi di keluarganya. Rae menyaksikan bahwa keluarganya tidak baik-baik saja.

"Nad?" panggil Rae pelan.

Nadine meraih sendoknya, berusaha mendapatkan kembali kendalinya. "Makan yang cepat, gue lagi malas berdebat."

-----------

A/n:

Yak, finally update lagi yak. Doain aja biar awet ya wkwkkwk

Rae tuh nyebelin guys, apalagi nanti di buku kedua 🙂

Semoga masih ada yang bersedia baca Mencintaimu ya walau kemaren sempet gue unpub wkwkwk.

Yaudah deh itu aja.

See you when i see you!

Tangsel, 09 Maret 2020.

Best regards,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro