Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01 | Awal Segalanya

Sekali kamu.

Akan selalu kamu.

•••


Sudah lima menit terlewat sejak suara terakhir di ruangan ini terdengar. Empat orang yang duduk di sana memilih bungkam atas alasan mereka masing-masing. Bu Maryam dan Gemilang karena menunggu, Nadine karena menolak, dan Raesangga karena tidak peduli.

"Pokoknya saya nggak setuju Bu, kalau Rae masuk ke dalam tim saya," Nadine berujar tegas. Suaranya keras dan tidak terbantah. "Acara sudah tinggal tiga bulan lagi, saya nggak mau ada yang mengacau di acara saya."

Semua orang di sana sebenarnya sudah bisa menebak bagaimana reaksi Nadine terhadap permintaan bu Maryam, tapi tetap saja mereka membiarkan cewek itu menyatakan perlawanannya.

"Loh, kenapa Nadine? Bukannya kalian teman dekat?" Bu Maryam pura-pura terkejut.

Pernah dekat, Nadine menggerutu dalam hati.

"Justru itu saya tahu, kalau Rae nggak akan bisa jadi panitia acara ini," kata Nadine tanpa tendeng aling. Ia membicarakan Rae, seolah-olah cowok itu tidak berada di sana. "Ibu lupa, berapa kali dia bolos ujian dengan alibi mau naik gunung? Dan jangan lupa juga, dari lima hari jadwal masuk sekolah, dia selalu terlambat selama tiga hari dan dua hari sisanya justru nggak masuk. Yang wajib aja nggak dia jalanin, gimana yang sifatnya cuma volunteer begini?"

Cowok berbadan tegap yang sejak tadi diam, akhirnya menyentakan tubuhnya kesal. Rambutnya yang mulai lebat jatuh begitu saja di dahinya. "Enak aja lo kalo ngomong! Gue udah dua minggu sekolah full ya!"

Rae memang sudah menduga, bahwa Nadine tidak akan setuju untuk memasukan namanya sebagai volunteer Paramitha Festival. Namun ia tak menyangka bahwa Nadine itu akan membeberkan daftar dosanya sebagai argumen penolakan.

"Iya, tapi lo dateng jam sepuluh pagi! Lo kira ini sekolah punya bokap lo?!" Nadine berseru kesal. Ia bahkan lupa keberadaan bu Maryam di ruangan ini.

"Loh? Emang iya kan?" Rae menyengir lebar, hingga lubang di tulang pipinya terbentuk. Dengan gaya santai, ia menyandarkan tubuhnya di sofa.

Nadine mengembuskan napas gusar. Ia lupa bahwa pemuda di depannya ini selalu pandai menggunakan privilese yang ia miliki. Status Rae sebagai pewaris tunggal Danureja Grup, seringkali membuat pemuda itu bersikap semena-mena. Termasuk dalam urusan sekolahan.

"Jadi anak pemilik yayasan nggak lantas membuat kamu otomatis bisa lulus Rae," Bu Maryam tiba-tiba berujar, mematahkan kesombongan yang baru Rae pamerkan. Perempuan awal empat puluh itu menunjuk deretan presensinya yang didominasi warna merah. "Orang tua kamu juga sudah setuju untuk memberikan kewenangan penuh pada sekolah untuk menghukum kamu, artinya beliau juga sudah setuju jika kami harus mengeluarkan kamu."

Rae nyaris tersedak air liurnya sendiri. Dikeluarkan dari sekolah yang didirikan oleh perusahaan Ayahnya dan menggunakan nama Ibunya tentu saja bukan hal yang lucu sama sekali. Rae mungkin slengean, tapi dia masih punya harga diri.

"Bu, yang benar aja, masa nasib ijazah saya benar-benar harus ditentuin dari acara ini, sih?" kini Rae yang ikut protes.

"Pede banget lo, memang siapa juga yang bakal izinin lo buat jadi volunteer acara ini?" Bukan Bu Maryam, justru Nadine yang membalas Rae sengit. Mereka bahkan sepertinya lupa dengan keberadaan guru mereka sendiri.

"Lo yang kepedean, siapa juga yang butuh izin lo? Lagian lo tuh harusnya bersyukur kalau seandainya gue bener ikut!"

"Apa yang harus disyukurin dari keberadaan orang yang lebih hapal jalan ke kantin daripada ke kelas?!"

"Nadine... Rae..." Gemilang berusaha menengahi mereka, tapi sepertinya usahanya percuma.

"Dari tadi gue lihat-lihat lo hapal banget sama kekurangan kelebihan gue, masih naksir lo?"

"Pede mampus!" Nadine membalas kejam. "Masih naksir lo bilang? Memang kapan gue pernah naksir sama lo? Bukannya dulu lo yang suka sama gue tapi nggak kesampean?"

"Nad..." Gemilang masih berupaya menarik perhatian Nadine, berharap agar cewek itu ingat, bahwa mampus bukanlah kata yang tepat diucapkan di ruang bimbingan konseling.

"Gila ini cewek ya? Perlu gue bahas di sini apa aja yang pernah kita lewatin sama-sama? Biar ketahuan yang naksir duluan siapa!"

"Raesangga..." Kali ini Bu Maryam yang ikut menegur.

"Hah? Apa? Apa? Apa? Nggak usah ngaco ya?! Yang pernah ujan-ujanan ke rumah gue bawain martabak itu lo, bukan gue!"

"Tapi abis itu lo yang ribet ngeringin rambut gue? Lo juga yang rewel ingetin gue makan sampe bawain paracetamol!"

"Hahaha so funny, seakan-akan gue lupa ya, lo juga yang sok-sok manja, ngerengek bilang demam padahal suhu lo cuma 37 derajat!"

"Wah, wah, wah, nggak nyangka gue lo masih ingat sam—"

"RAESANGGA! NADINE WISESA!" Bu Maryam akhirnya menjerit kesal. Menarik kesadaran Nadine dan Rae dalam seketika. Keduanya kontan bungkam, meski lewat ujung mata, jelas sekali mereka masih melirik tajam. "Urusan percintaan kalian bisa ditahan dulu sebentar, Ibu perlu bicara di sini, oke?"

"Nadinenya dulu—" Rae masih hendak membantah, tapi kala ia mendapati tatapan mengancam Bu Maryam, ia mau tak mau mengalah. "Baik Bu, saya diam."

Bu Maryam memijat pelipisnya lelah. Menghadapi anak seperti Raesangga rasanya bisa membuatnya menua lebih cepat.

"Kamu bukan orang yang punya pilihan di sini Rae, hukuman kamu itu mutlak, jadi jangan bikin masalah ini lebih rumit." Bu Maryam kini beralih pada Nadine yang tampaknya masih sulit digoyahkan. "Acara tinggal tiga bulan lagi, tapi bukannya proposal kalian belum mendapat persetujuan dari kesiswaan? Ini negosiasi Nadine, Ibu akan membantu kamu membujuk Bu Mega soal izin dan pendanaan dan Ibu hanya meminta kamu untuk memasukan Rae ke dalam kru. Tidak sulit, bukan?"

Nadine merapatkan bibirnya. Sejak awal Nadine tahu, bahwa Bu Maryam pasti sudah menyiapkan amunisi untuk melawannya.

"Saya tetap nggak setuju, Bu." Sekali lagi, gadis itu meggelengkan kepala tegas. Mata almondnya menyiratkan keteguhan dan Nadine berharap Bu Maryam dapat menangkapnya. "Seluruh divisi sudah terisi, kami nggak butuh tenaga tambahan."

"Begitu ya?" Bu Maryam mengerutkan pangkal hidungnya tanda tidak setuju, kini ia beralih pada cowok berkacamata yang duduk di samping Nadine. "Tapi kata Gemilang, kamu sering kerepotan, iya kan Gemilang?"

Nadine kontan menatap Gemilang nyalang. Ia mulai mengerti muara pembicaraan ini. Pasti Gemilang. Pasti ketua OSIS ini yang sudah mengatur pertemuan hari ini. Inilah fungsi Gemilang berada di ruangan ini, untuk menekan Nadine lewat jabatannya yang lebih tinggi.

Jangan lagi Gemilang, jangan lagi...

Gemilang berdeham sesaat, tampak menangkap peringatan di mata Nadine. Ini sudah kesekian kalinya mereka berada di posisi seperti ini. Saat-saat dimana Nadine menentang suatu gagasan dan Gemilang mematahkan segenap usahanya semudah membalikan telapak tangan.

Oh, Tuhan, tolong jangan lagi Gem

"Hm, gue setuju Nad sama Bu Maryam, menurut gue ini cara yang efektif untuk gantiin hukuman Rae."

Harapan dan doa-doa Nadine dibuat berserakan dalam sekejap.

"Iya, memang semua divisi udah keisi, tapi menurut gue lo butuh asisten," Gemilang melanjutkan. "Kita semua punya tugas masing-masing, tapi gue lihat lo sering keteteran karena harus memastikan segalanya sempurna. Lagi pula, kalau memang lo nggak mau jadiin dia asisten lo, kita bisa nempatin Rae di divisi apa saja, dia bisa jadi keamanan, transportasi atau buat tugas remeh kayak foto copy."

"Tapi Gem—"

"Gue yang akan jamin, kalau dia nggak macam-macam. Lo percaya kan, sama gue?"

Nadine menyentakan kepalanya keras, matanya memicing menatap Rae penuh dendam.

"Apa? Mau ribut lagi?" Rae membalas tatapan Nadine galak. "Tinggal masukin nama gue, apa susahnya, sih? Gini-gini gue juga bisa kerja kali, Pensi gitu aja, kicil~"

Nadine memilih mengacuhkan Rae, karena ia sadar meladeni cowok itu sama saja dengan menyia-nyiakan tenaganya. Rae tidak akan mengalah.

"Bagaimana Nadine? Kamu setuju?"

Nadine memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas gusar. Ia sudah kalah. Tiga lawan satu, ditambah senjata berupa proposal perizinan. Apa lagi yang bisa ia lakukan?

"Baik Bu, saya setuju tapi dengan satu syarat," Nadine berujar tanpa repot-repot menyembunyikan kekesalannya. "Rae harus bisa ikut aturan kerja saya dan aturan kerja organisasi. Sekali dia langgar, saya nggak mau tanggung jawab, saya nggak mau acara berantakan cuma gara-gara dia."

Bu Maryam tersenyum puas. "Tenang saja Nadine, nasib kelulusan Rae ada di tangan kamu."

•••

"Shit!" Rae menjerit tepat setelah melewati pintu ruang Bimbingan Konseling. Umpatan yang sejak tadi ditahannya akhirnya keluar begitu saja.

Nadine yang terpaut beberapa langkah di depannya lantas berbalik. Cewek bermata hazel itu mendelik galak ke arahnya. "Apa?!"

"Lo sengaja kan, mau ngejadiin gue babu lo?!" Rae merenggut kesal. Bagaimana tidak, setelah syarat pertama disebutkan, Nadine mendikte seluruh tugas yang harus Rae lakukan. Nadine tidak menempatkannya di divisi mana pun, sebaliknya cewek itu memberikan Rae tugas untuk semua divisi. Mulai dari membantu pencarian dana, mengantar anak acara bertemu guest star, mencari media partner, membeli alat dekorasi sampai hal-hal seperti menyebarkan brosur dan pamflet. Singkatnya, Rae sekarang resmi menyandang status bansur—bahan suruh.

Sialnya, Bu Maryam menyetujuinya tanpa protes dan katanya beliau tidak segan-segan mengeluarkan surat peringatan ketiga jika Rae nekat kabur atau membolos. Hukuman yang sungguh tidak adil.

"Lo yang nantangin gue, kan?" Nadine membalas, tak kalah keras.

Rae mengalihkan wajahnya, menatap Gemilang yang mengangkat bahu, tidak ingin ikut campur.

"G, ide siapa sih, sebenernya?" tanya Rae kesal.

"Ide Bu Maryam, kan, masukin lo jadi panitia buat gantiin absen lo yang bolong sana-sini?" Gemilang justru menatap Rae heran.

"Maksud gue, ide siapa ngejadiin si Bawang Merah ini project officer?" Rae menuding ke arah Nadine, membicarakannya seolah-olah cewek itu tidak ada di sana. "Siapa kek, jadiin PO, Btari gitu, atau lo aja sekalian daripada ini anak."

Nadine menatap Rae penuh permusuhan, tapi siapa peduli?

"Ada apa nih, nyebut-nyebut namaku?" tiba-tiba suara selembut beludu menyela di antara mereka. Seorang cewek bertubuh mungil berdiri di belakang Rae dan Gemilang, seraya memeluk buku erat-erat.

"Bibi!" Rae kontan merajuk ketika menemukan Btari. Bibirnya ditekuk dengan gaya berlebihan. "Tolongin aku! Aku terancam disiksa sama dua orang ini!"

Gemilang menggelengkan kepalanya, sedangkan Nadine memutar bola
matanya muak.

"Kamu habis darimana, Bi?" tanya Gemilang menyela rengekan Rae. Secara garis besar, sekolah mereka memang berbentuk letter U. Ruang guru, ruang BK dan ruang administrasi berada tepat di tengah antara ruang kelas dan sarana kesiswaan. Meski sudah lumrah, namun tetap saja selasar ini bukan jalan yang sering dilewati siswa.

"Nyerahin pidato ke Bu Dian," ujar Btari manis. Gadis itu membagi tatapan antara ketiga temannya dengan plang ruang BK yang berada di atas kepala mereka. "Kalian habis ngapain?"

"Yang kemarin aku ceritain, Bi." Gemilang tersenyum seraya melirik Rae dan Nadine.

"Jadi, kalian berdua udah tau?!" Nadine berseru keras.

Gemilang mengedikkan bahunya. "Rae juga udah tahu dari kemarin."

"Kenapa kalian nggak bilang dari kemarin, sih? Tahu gitu gue nggak bakal mau dipanggil Bu Maryam!" Nadine berdecak kesal. "Lo juga! Sok-sokan kesel, padahal udah tahu dari kemarin!"

"Ya memang, tapi mana gue tahu lo bakal jadiin gue budak proker?!" Rae membalas sengit.

"Kalo lo ngeluh terus, gue tendang tulang kering lo!"

"Coba aja kalo bera—aw!" Rae menjerit heboh, matanya melotot, sementara sebelah tangannya sibuk mengusap tulang kering yang baru Nadine tendang. "Lo gila, ya?!"

"Mau lagi?!" bukan merasa bersalah, Nadine justru melotot galak.

Menghindari pertengkaran yang lebih besar, Btari menyalip di antara keduanya. Gadis itu mengamit lengan Nadine lembut. "Udah yuk Nad, kita ke kelas aja."

"Yuk deh, daripada gue emosi di sini."

Rae tidak menahan dua gadis itu, bergitupun dengan Gemilang. Di tempatnya, Rae hanya menatap punggung Nadine dan Btari yang makin lama kian mengecil.

"Untung cewek," gumam Rae pada dirinya sendiri.

"Bukan cewek kali, tapi untung Nadine." Gemilang tersenyum jahil, lalu meletakan sikunya di bahu Rae. Dengan mats berkilat-kilat, ia bertanya dengan nada sedikit menggoda. "Jadi, kok gue baru dengar sih kalo diantara kalian ada drama martabak? Ceritain dong detailnya."

Telinga Rae kontan memerah. Cowok itu mendelik galak ke arah sahabatnya. "Sekali lagi lo bahas itu, gue bilangin Btari kalo lo udah naksir dia dari SD!"

Bukannya merasa terancam, Gemilang justru tertawa kian geli. Ia bahkan sudah tidak peduli pada Rae yang kini beranjak pergi. Gemilang tau pasti bahwa sahabatnya itu tengah salah tingkah.

"Rae, woy, mau kemana?"

"Ke kelas lah, kemana lagi?!" Rae menyahut tanpa menoleh. Langkahnya justru kian cepat. Jelas sekali berusaha menghindari Gemilang.

"Salah jalan! Kelas kita kan ke sana!" Gemilang menunjuk arah yang sama dengan yang tadi Nadine dan Btari tuju. Rae menggerutu menyadari kebodohannya, tapi bukannya putar balik ia justru lari ke arah lapangan. Membiarkan Gemilang yang tertawa geli di selasar ruang BK.

--------

A/n:

Sebelumnya dipublish 05 Okt 2019.

Gimana part 1?

Yang berubah cuma dikit kok wkwkwk

Tetap Rae, tetap Nadine, tetap Gemilang, tetap Btari.

Well, kita semua dapat kabar buruk belakangan ini. Tapi semoga kita bisa tetap waspada tanpa bikin panik ya!

Jangan lupa jaga kesehatan, minum air putih yang banyak, jaga kebersihan!

Stay safe everyone!

Yaudah deh itu aja.



Semoga suka ya, guys!

Part selanjutnya dipublish ASAP.

See you when i see you,

Tangerang, 02 Maret 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro