Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11: Belajar Memasak, Menghadapi Perbedaan, Merencanakan Sandiwara


Nardho tidak saja membeli tanaman hias dari toko petani, dia juga membeli banyak bahan makanan organik segar untuk dimasak malam ini. Dia bilang dia ingin membuatkan Moira dan Tony hidangan istimewa dari budaya Papua Nuigini karena mereka sedikit bosan dengan makanan yang ada di kantin kampus. Moira membantu Nardho memasukkan bahan-bahan ke kulkas—ada daun pisang, ubi manis, daging babi, kacang panjang, beras, dan masih banyak lagi. Sementara itu, Tony menyalakan oven seperti yang diminta Nardho dan si koki dadakan mencuci tangannya. Mereka semua ada di dapur besar yang sama yang mereka gunakan untuk membuat kue mangkuk untuk acara penyambutan Rain kira-kira minggu lalu.

"Jadi, kalian sudah tahu aku punya darah Indonesia, tapi apakah kalian sudah tahu aku juga punya darah negara tetangganya? Leluhurku juga ada yang berasal dari Papua Nuigini, tepatnya dari provinsi bernama Oro. Papua Nuigini adalah negara yang cukup terpencil namun terkenal dengan burung cenderawasih, burung yang sama dengan tato di leherku. Oh, kalian ingin tahu kenapa Kak Johan tidak punya tato. Hm, jadi sebenarnya di budaya Oro cuma cewek-cewek yang diwajibkan mendapat tato saat mereka menginjak usia remaja, tapi aku tidak tega membiarkan Nardhia bikin tato sendirian, jadi aku juga bikin." Nardho bercerita.

"Menarik! Garis keturunan di keluargaku membosankan, aku setengah Irlandia dan setengah Wales. Omong-omong, oven sudah siap" kata Tony.

"Aku tidak setuju, menurutku tidak membosankan kok punya leluhur dari Inggris Raya. Bagus kamu tahu asal usul leluhur keluargamu. Aku tidak tahu leluhurku dari mana saja. Aku cuma tahu ada beberapa leluhurku orang-orang Amerika kulit hitam dari Cincinnati, Ohio." Moira mengakui.

"Oke, sekarang tolong bantu aku potong-potong daging babi. Tony, kamu yang bagian itu ya. Moira, kamu bisa merebus kacang panjang sementara aku mengoles mentega ke ubi manis dan menyiapkan nasi."

Satu setengah jam kemudian, masakan Nardho siap disajikan. Aroma makanan yang baru matang sangatlah menggiurkan dan air liur Moira terbit. Johan masuk dapur di saat yang tepat dan kaget menyadari ada aroma makanan yang familiar untuknya.

"Woah! Aku merasa seperti di rumah. Nardho, kamu mengajari teman-temanmu cara memasak mumu?"

"Iya! Teryata masak mumu itu makan lebih banyak waktu dari yang aku duga, tapi kami berhasil! Aku beli daun pisang juga dan aku yakin kalau Mama bisa lihat pasti Mama bangga!" Nardho membagi makanan jadi beberapa porsi yang sama banyak.

Johan memotret makanan tradisional tersebut dan mengirim foto ke Mama, kemudian dia memanggil Kenta dan anak-anak asrama untuk bergabung makan malam. Tidak butuh waktu lama sampai dapur menjadi penuh sesak, jadi mereka akhirnya berpiknik di padang rumput yang terhampar di belakang asrama, tidak jauh dari lapangan basket yang sering disinggahi Tony.

"Aku sangat senang kamu menggunakan daun pisang. Daun pisang ramah lingkungan dan kita tidak perlu mencuci piring!" Moira berkata dengan semangat sambil makan nasi. Nardho tertawa pahit karena tentu saja masih ada wajan dan panic yang harus dicuci, tapi Tony bilang dia mau membantu supaya si koki tidak harus melakukan semuanya sendirian. Johan juga menawarkan diri untuk membantu mencuci perlatan masak, bagaimana pun dia yang bertugas mengurus asrama.

"Kamu harus gabung Forum Antar Budaya, Dho. Forum itu tiap tahun mengadakan jamuan makan malam untuk para anggota dan juga malam pembacaan puisi untuk seluruh kampus, jadi pastinya mereka akan senang kalau kamu juga mengajari mereka resep mumu." Kenta memberitahu cowok hobi masak itu.

"Betulkah? Aku akan merasa terhormat bisa mewakili Papua Nuigini dan Indonesia!" cowok itu berseru senang.

"Err, karena semuanya di sini, akum au mina tolong sesuatu, kalau tidak mengganggu." Nardhia mengangkat tangan perlahan. Johan meyakinkannya semua orang pasti mau membantu, tidak perlu malu-malu.

Ternyata Nardhia punya tugas serupa dengan tugas yang membuat Rain mewawancarai Kenta dan Johan tempo hari, tapi Nardhia lebih memilih mewawancarai Vannie, Moira, dan Nardho.

"Moira, kamu duluan ya. Aku ingin tahu apakah kamu punya pengalaman buruk di mana orang-orang melihat disabilitas yang kamu punya dan melupakan kepribadianmu, pribadi yang periang dan penuh semangat." Nardhia memulai.

"Oh, ya ampun, kalau aku cerita panjang lebar bisa sampai berlembar-lembar esai nih. Ya tentu saja ada pengalaman macam itu. Waktu masih SD, aku butuh waktu lebih untuk bisa mewarnai gambar tidak keluar garis dan aku selalu mewarnai dengan berantakan karena aku tidak mengerti garis itu apa. Aku tidak paham di mana garis satu berakhir dan garis lain dimulai. Ada satu orang guru yang menyerah mengajariku dan alat gambarku diambil paksa. Saat itu aku sangat frustrasi dan aku merobek gambar yang sudah kuwarnai."

"Waduh, maaf aku membuatmu mengingat hal buruk seperti itu. Kok bisa pengalaman buruk itu tidak menghambat kamu menyukai kesenian?"

"Paman Martin mengamuk pada guru-guru di SD aku dan beliau memindahkanku ke SD yang baru. Tak lama kemudian, beliau mulai mengajariku mencoba melukis dengan cat minyak. Aku juga dibuatkan pojok khusus melukis, ada pojok istimewa di garasi rumahku. Pojok garasi itu adalah tempat di mana aku bebas menjadi diri sendiri."

"Keren sekali, Paman kamu kedengarannya sangat mendukungmu dan aku senang kamu tetap mencintai seni bahkan ketika guru-guru di SD kamu yang lama hanya melihat disabilitasmu."

Nardhia kemudian mengalihkan perhatian pada kembarannya. Dia ingin tahu apakah Nardho benar-benar berpikir Kenta tidak pantas menjadi pacar Johan dan sebaliknya, ataukah cowok itu sadar pemikirannya itu sedikit jahat.

"Sialan kau, Dhia, pertanyaanmu sulit. Kak Johan, aku minta maaf karena sudah berpikiran begitu, aku bersikap seperti tipikal remaja bandel. Kak Kenta pacar yang sempurna buat Kak Johan, dia pria yang baik dan dia sudah menganggap Dhia dan aku adik-adiknya sendiri. Aku sebenarnya sama sekali tidak peduli bahwa Kak Kenta itu tuli. Kenta-senpai, tolong jangan diingat-ingat lagi apa yang pernah aku katakan tentang senpai di masa-masa aku masih nakal."

"Oh, Dho, aku sama sekali tidak sakit hati, kok! Aku senang ternyata kamu tidak keberatan bahwa aku tuli!" Kenta memeluknya.

Sementara kembarannya berbaikan dengan sang pria, Nardhia menanyai Vannie sepeti apa rasanya menjadi pengguna kursi roda dan juga pengalaman di mana orang-orang yang ingin membantunya malah membuatnya risih. Nardhia juga bertanya seperti apa rasanya berpacaran dengan Rain.

"Aduh, aku harus mulai dari mana ya? Orang-orang menganggap aku gadis yang rapuh dan mereka pasti tanpa diminta ingin mendorong kursi rodaku. Hei, aku bisa dorong sendiri, ini kursi roda elektrik. Juga, sering sekali aku mendengar mereka memuji aku sebagai sosok inspiratif. Apa maksudnya coba?! Aku tidak inspiratif. Aku sekedar menjalani hidup, persetan dengan pujian mereka."

"Oh, jadi mereka membantu tanpa bertanya apakah kamu memang butuh bantuan. Tapi anak-anak di kampus tidak seperti itu, kan? Jadi karena ini ya kamu suka sama Rain, huma tidak pernah langsung tiba-tiba mendorong kursi rodamu. Rain, ada konfirmasi?" Nardhia lanjut mewawancarai teman-temannya.

Aku rasa dia gadis yang mandiri, kekasih Vannie itu berisyarat dan mengecup tangan Vannie.

"Kamu benar-benar orang yang manis dan sopan, Rain. Jadi, Vannie, apa reaksi kamu saat kamu tahu Rain itu bisu dan punya darah Qatar dan juga berdo'a dalam sunyi memakai bahasa isyarat Arab? Kamu sendiri orang Yahudi, kan?"

"Kalau aku punya hak berdo'a dalam bahasa Ibrani tentu saja Rain punya hak berdo'a lima kali sehari dengan bahasa apa pun yang huma mau, gak ada bedanya, pada akhirnya kita tetap menyembah Sang Pencipta, mau itu Allah atau nama-nama lain Sang Penguasa. Bagiku, yang terpenting kita menjunjung pemahaman yang sama: kemanusiaan di atas segalanya. Rain memanggilku Nur Laila, cahaya malam. Aku memanggil huma bintang dan bulanku."

"Senang mendengarnya, kalian berdua membuatku percaya pada cinta! Oke, wawancara selesai!" Nardhia mematikan rekaman kamera. Moira yakin suatu hari nanti temannya itu akan menjadi seorang jurnalis yang hebat.

"Semuanya, aku punya ide naskah drama untuk tugas kuliah kita. Mau dengar?" Moira mengumumkan. Anak-anak asrama semuanya serempak berkata iya, jadi Moira memimpin diskusi dadakan dan mempresentasikan idenya.

"Angkatan kita kan lagi belajar tentang para Gaburs, jadi aku ingin mensutradarai dan memproduseri sandiwara di mana setengah dari kita bermain peran sebagai para Gaburs dan setengahnya lagi berperan jadi para ilmuwan atau para anggota suku Pohon Luar dan Pohon Dalam. Kita bisa mulai dengan adegan di mana para ilmuwan berhasil mengkombinasikan DNA aneka burung dengan DNA gajah, kemudian ada adegan yang diceritakan Lee ke kita, cerita itu lho yang tentang anak-anak kampung ditaku-takuti oleh Gaburs. Terus nanti adegan penutupnya ada tentang penggundulan hutan."

"Ooh, kalian para mahasiswa baru membuatku ingin balik ke tahun pertama sarjana!" Johan menyahut dengan semangat.

"Aku selalu suka sandiwara tiga babak, membuatku teringat teater kabuki." Kenta ikut bersuara.

"Apakah aku boleh berduet dengan Rain menjadi narator, Moira? Huma dan aku bisa membuat beberapa puisi untuk dibacakan di awal sandiwara. Aku juga akan bikin musik dengan ukulele dan Nardhia bisa menyanyikan lagu-lagu ciptaanku sebagai pengiring cerita. Kalau kita semua bekerja sama, bakat kita akan bersinar." Nardho mengemukakan pikirannya lantang.

"Iya, iya! Aku bersedia jadi penyanyi! Jadi sekarang kita tinggal cari orang yang mau ambil peran seorang ilmuwan, kan?" Nardhia menambahkan.

"Kalau ada yang mau pasti keren, sih. Hm, kayaknya Tony cocok jadi ilmuwan?" Moira bertanya.

"Kenapa harus aku? Tapi ya sudahlah, aku akan mencoba bermain peran sebaik mungkin." Tony menaikkan bahunya pasrah dan membuat catatan untuk membeli jas laboratorium.

"Aku ingin jadi Gaburs!" Vannie berteriak dari kejauhan. Moira dan semuanya tertawa.

"Oh iya, boleh! Nanti aku akan menghias kursi rodamu!" Moira berjanji.

"Bagus. Tapi kita masih butuh orang yang bisa menjahitkan kostum untuk para pemeran suku Pohon Kecil. Kira-kira Ayumi bisa gak ya kasih kita referensi tentang pernak-pernak seperti kalung, anting, gelang, dan baju tradisional suku Pohon Kecil?" Vannie penasaran.

"Pasti bisa lah, tapi kita harus bayar berapa ya untuk tukang jahit yang bisa mengerjakan kostum untuk dua belas orang lebih? Kita butuh lebih dari satu tukang, dong? Gimana kalau kita gak usah sewa penjahit dan langsung pinjam kostum siap pakai?" Moira bepikir keras. Argh, sehabis menggarap tugas ini uang saku bakal menipis, dia mendesah sedih.

"Moira, boleh aku menawarkan solusi alternatif? Sala satu temanku punya butik yang mempekerjakan para mahasiswa Anggrek Biru jurusan Tata Busana dan Pemeragaan. Aku bisa bicara baik-baik dengan temanku dan kalian bisa saja mendapatkan diskon 75% atau lebih besar lagi kalau pesan kostum dalam jumlah besar. Kalau masih terlalu mahal, biar aku dan Johan yang menanggung biaya tugas kalian." Kenta memberi saran dan anak-anak asrama sangat terkejut karena dia benar-benar murah hati.

"Oh bintang di surga, kakak adalah penyelamat di tengah kegalauan! Makasih, Kak Kenta! Ya, tolong ya hubungi teman kakak!"

Setelah rapat satu asrama selesai, Moira tersenyum lebar dan kembali ke kamarnya dengan adegan-adegan seru bermain di kepalanya. Dia tidak sabar memulai tugas dan menggelar pertunjukan sandiwara saat tugas lapangan nanti! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro