Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1: Panggilan Akademia dan Persiapan Meninggalkan Sarang

Catatan penulis: Nardho sudah berhenti membuat rekaman suara setelah yang kita dengar di bagian sebelum ini. Bagian-bagian berikutnya adalah sudut pandang orang ketiga maha tahu. Namun demikian, rekaman suara Nardho akan kembali lagi di Epilog. 

Sekarang setelah ada cerita mengenai apa yang di masa lalu yang membuat tata surya Api Nila seperti sekarang di masa Moira ini, saatnya menelusuri asal-usul keluarga Moira. Moira menjadi yatim piatu di tengah perang saudara yang pecah ketika Elm Hitam dan Sycamore Merah saling berseberangan ideology tentang boleh tidaknya menindas kaum dengan disabilitas. Bagaimana Moira bisa menjadi yatim piatu? Oh, ceritanya rumit namun ini versi singkatnya.

Ayah dan Ibu dari Moira, pendukung keras gerakan hak asasi orang dengan disabilitas yang sama-sama menyandang catat fisik bernama spina bifida atau kelainan tulang belakang, berjuang ikut protes dan membagikan brosur untuk meminta orang-orang memnandatangani petisi yang intinya mendesak pemerintah Elm Hitam dan perwakilan antar planet untuk berhenti bersikap jahat ke kaum dengan disabilitas. Pemerintah dari sisi Cemara Perak yang dimiliki Elm Hitam, sama saja dengan pemerintahan lainnya sepanjang sejarah yang validitas kekuasaannya dipertanyakan, mencoba untuk membungkam orangtua Moira dengan membujuk mereka dengan janji-janji mobil mewah dan tiket liburan ke pulau tropis, namun orangtua Moira berpendirian kuat dan tidak bisa disuap. Putus asa dalam usaha mereka untuk membuat para aktivis diam membisu, pemerintah yang disebutkan tadi menangkap pasangan muda ini dan menjebloskan mereka ke penjara, di mana mereka sama sekali tidak punya akses ke perawatan medis dan akibatnya kesehatan mereka menurun. Ajaibnya, Ibu dari Moira hamil di penjara dan di tengah kekacauan itu Moira lahir walau sang ibu meninggal saat melahirkan. Bagaimana dengan sang ayah? Takdir sang ayah tidak bagus dan beliau meninggal dunia setelah suatu kesalahpahaman dengan penghuni penjara lain berujung ke baku hantam di mana beliau dihajar sampai menghembuskan nafas oleh penjaga penjara, hanya satu bulan setelah kelahiran Moira. Beliau tidak pernah mendapatkan prosesi pemakaman yang layak.

Kalian mungkin bingung karena di prolog saya bilang Moira adalah keturunan salah satu mahasiswa angkatan pertama Universitas Anggrek Biru. Beri saya waktu untuk menjelaskan. Perang saudara yang saya sebut di atas beda dengan perang yang saya sebut di prolog. Apa yang terjadi adalah ini: secara teknis memang peperangan yang dimaksud di prolog itu sudah selesai ketika pemerintah Sycamore Merah mendirikan Universitas Anggrek Biru, tapi di area planet Cemara Perak yang dikuasai Elm Hitam, masih ada diskirminasi terhadap kaum disabilitas (walau seharusnya tidak legal) dan itu yang ditentang habis-habisan oleh orangtua Moira. Sebelumnya, mereka berdua adalah mahasiswa jurusan kelautan di Universitas Anggrek Biru, namun kemudian mereka memutuskan cuti kuliah satu atau dua tahun untuk fokus ke aktivisme mereka. Sayang sekali, keputusan itu berujung pada kematian mereka. 

Karena tidak ada orang yang bisa merawatnya atau mengklaim hak asuh, bayi Moira dikirim ke panti asuhan terdekat sampai bibinya, adik perempuan termuda dari sang ibu dari planet Beringin Putih, melacak bayi Moira sampai ke planet Cemara Perak dan menandatangani berkas-berkas resmi untuk mengadopsi Moira sebagai wali yang sah.

Sang bibi menikah tidak lama setelah adopsi ini dan putri kandungnya, Neesa, tumbuh besar dengan Moira dan menganggap Moira sudah seperti kakak sendiri. Dua sepupu tersebut tidak terpisahkan dan sering dikira anak kembar karena wajah mereka memang mirip dan usia mereka juga hanya selisih setahun beberapa bulan. Bahkan setelah Moira didiagnosis dengan gangguan keterlambatan perkembangan pada usia delapan tahun dan Neesa didiagnosis dengan gangguan hiperaktif, kedua gadis tersebut masih berbagi rahasia, berbagi mainan, dan bermain dengan satu sama lain seperti yang selalu mereka lakukan sejak kecil.

Cerita dipercepat dan di sinilah kita, di awal mula perjalanan Moira. Moira sekarang berusia tujuh belas tahun dan sedang di tahun terakhir di sekolah menengah atas, Akademi IPA Lili Hijau. Karena dia tertarik oleh kimia dan fisika, Moira selalu menghabiskan jam-jam pulan sekolah di laboratorium SMAnya, membatu guru-gurunya membaca laporan-laporan para murid yang lain tentang percobaan ilmiah mingguan yang mereka buat. Tetapi, suatu hari di musim gugur, Moira meminta izin untuk tidak membantu di laboratorium. Moira terlalu gembira menanti kepulangan Neesa dari program magang di planet tetangga dan akibatnya dia kurang bisa konsentrasi di laboratorium.

"Bu Roberts, saya boleh pulang cepat siang ini? Sepupu saya baru pulang dari perjalanan jauh dan saya kangen dia dan saya ingin menyambut kepulangan dia. Boleh ya?" Moira memohon ke guru IPAnya dan berdo'a agar permohonannya tidak terdengar terlalu memaksa.

Sang guru tersenyum dan, setelah menelpon bibinya Moira untuk konfirmasi kebenaran ceritanya, beliau memberi Moira lampu hijau untuk pulang lebih cepat. "Saya bisa lihat kamu sangat-sangat ingin menyambut kepulangan sepupumu. Oke, kamu dapat izin saya. Salam ya buat sepupumu itu dan jangan lupa kamu punya tugas yang harus dikumpukan mingu depan!" Bu Roberts tertawa kecil dan menyuruh sang gadis pulang setelah memastikan laboratorium telah bersih tak bernoda.

Moira mengayuh sepedanya dengan semangat sambil menyenandungkan lagu kesukaannya dan memikirkan semua pertanyaan yang akan dia tanyakan ke Neesa. Begitu sampai rumah, Moira langsung berlari ke kamar Neesa, tidak biasanya dia cuek pada Bibi Zoe, dan seperti yang dia harapkan Neesa sudah tiba, sepupu tersayangnya berputar di kursi kantor dan membenamkan wajahnya di balik buku yang tebal. Moira berjingkat-jingkat di belakang Neesa dan iseng menjambak rambut sepupunya yang diikat kuncir kuda.

"Aduh! Kamu ngapain sih?" Neesa cemberut tapi berubah ceria ketika dia sadar yang iseng bukan lain adalah sepupu terkasihnya. Moira nyengir tanpa rasa bersalah dan menghempaskan diri di Kasur Neea, kemudian bersembunyi di balik selimut. Neesa menyingkap selimut dan mulai menggelitiki kaki Moira, tertawa menang.

"Hei Neesa, kamu harus memberitahuku segalanya tentang program magang kamu karena aku terus-terusan mimpi siang bolong tentang itu dan awalnya aku ingin ikut magang tapi kamu tahu sendiri kan keluarga kita cuma bisa membiayai tiket buat satu orang. Aku tadinya iri anget tapi aku pikir ya sudahlah, kamu yang mewakili. Jadi? Ayo cerita!" Moira bereriak gembira, kakinya menendang-nendang di udara. Neesa hanya menggelengkan kepala dengan gemas dan meraih pergelangan tangan sepupunya, menyeretnya menuruni tangga ke ruang makan.

"Baik, tapi ceritanya sambil minum teh dan mengemil camilan, oke? Aku belum makan dan aku ingin menguyah sesuatu!" Neesa pura-pura mengeluh.

Bibi Zoe dan Paman Martin sudah menunggu di meja makan dengan potongan apel dan beberapa buah jeruk. Neesa mengambil sepotong apel dan mencium pipi ayah dan ibunya.

"Oke semuanya, aku yakin kalian tahu aku sangat senang di planet Sycamore Merah, seperti yang bisa kalian lihat dari jutaan foto-foto yang aku kirim, tapi aku ngerti kok, kalian ingin dengar langsung dari aku, ya kan? Jadi, mulai dari mana? Apa aku mulai dengan menceritakan soal kesempatan emas yang aku dengar dari seorang peneliti biokimia yang aku kagumi?" Neesa mulai berbicara dengan sangat cepat sambil mengunyah apel, tidak memedulikan wajah jijik ibunya.

"Kamu bertemu seorang peneliti? Jadi maksud kamu, program magang kamu tidak hanya membebaskan kamu untuk melihat pekerjaan seorang mahasiswa S2 tapi juga membuat kamu kenalan dengan orang terkenal di bidang biokimia?" Moira menginterogasi Neesa dengan rasa iri yang terpancar jelas lewat suaranya.

Neesa mengangguk dan menunjukkan keluarganya buku yang di baca di kamar tidur tadi. "Lihat kan nama pengarang buku ini, Ir. Kinoya? Aku mendapatkan kehormatan untuk bertemu beliau ketika kelompok magang aku mengunjungi suatu asrama mahasiswa di Universitas Anggrek Biru pada hari pertama magang. Jadi ada salah satu mahasiswa beliau yang mengundang beliau ke perjamuan makan malam namun ternyata beliau cukup baik untuk juga menyalami para mahasiswa asing seperti kelompokku! Beliau ramah sekali!" Neesa mengibaskan tangannya dengan bersemangat dan kata-katanya mengalir deras seperti air terjun.

"Pelan-pelan, nak. Papa tidak kemana-mana!" Paman Martin menghardik, diikuti dengan senyum tipis istrinya. Neesa menjadi merah padam dan mencoba mengatur nafas, kesal tapi juga tidak ingin berdebat dengan mulut penuh apel.

"Ir. Kinoya memberi tahu kelompok magangku dia akan senang membimbing kami jika kami mendaftar sebagai mahasiswa baru Universitas Anggrek Biru karena beliau sedang mencari asisten penelitian. Walau biasanya beliau bekerja dengan mahasiswa yang sudah senior, beliau ingin suasana baru dan berencana merekrut maasiswa asing, untuk pertukaran budaya atau apalah itu namanya. Omong-omong, aku sendiri tidak tertarik karena aku sekarang sadar aku tidak suka beban akademis di jurusan biologi spesies asing dan biokimia, tapi aku tahu siapa yag pantas mendapatkan kesempatan ini!" Neesa menatap Moira.

Moira benar-benar terkejut dan hampir saja menjatuhkan garpunya. "Aku? Tidak salah dengar? Iya, aku memang selalu di laboratorium sepulang sekolah, tapi sejujurnya aku tidak pernah memikirkan nanti pas kuliah mau ambil jurusan apa dan aku bahkan tidak pernah berpikir mau lanjut kuliah, aku yakin paman dan bibi tidak punya uang untuk aku kuliah. Jadi mahasiswa di universitas terkenal pastinya sulit, ya." Moira menatap piring buah. Neesa mengacak-acak isi tas ranselnya dan menarik selembar brosur dari tas, memberikannya ke Moira yang membuka brosur itu ke halaman tentang aneka beasiswa.

"kamu tahu tidak? Ir. Kinoya dosen-dosen lain yang satu departemen dengan beliau punya perjanjian dengan yayasan pendiri kampus yang isinya siapa pun yang dipilih oleh panitia penelitan untuk menjadi asisten selanjutnya akan mendapatkan kemudahan karena uang kuliahnya akan digratiskan untuk delapan semester berturut-turut. Kamu harus coba, deh!" Neesa mengepalkan tangannya dan berharap Moira akan merasa termotivasi. Akan tetapi, Moira tidak terlihat yakin.

"Kamu tuh buru-buru banget, ah, Neesa. Kamu bahkan belum beri tahu aku jenis penelitian apa yang dikerjakan Ir. Kinoya dan fakultas beliau. Gimana kalau aku bukan mahasiswa yang cocok untuk beliau dan tim? Gimana kalau aku sudah berusaha keras tapi tidak dipilih karena aku bukan orang yang tepat?" Moira terdengar ragu.

Neesa mendesah sedih dan meemas pundak Moira. "Aku benci sifat ragu-ragu kamu, tahu nggak? Kamu harus memberi dirimu sendiri kesempatan. Jadi, penelitian ini memang sesuatu yang aku tahu di luar zona nyamanmu, tapi aku mau kamu buka pikiran lebar-lebar. Ir. Kinoya mempelajari suatu spesies hibrida bernama Gaburs, spesies ini setengah binatang bersayap dan setengah mamalia, lebih tepatnya ini spesies yang bentuknya setengah burung dan setengah gajah. Gimana bisa? Mana aku tahu, kita bisa cari tahu nanti. Pokoknya sekarang kamu hnaya perlu tahu Gaburs punya tingkat keberhasilan reproduksi yang rendah dan Ir. Kinoya sedang mempelajari factor-faktor yang mempengaruhi itu. Semester depan, Ir. Kinoya berencana membawa beberapa asisten ke suatu kampung bernama Lembah Emas untuk observasi Gaburs. Kupikir kamu akan senang kalau bisa bergabung dengan penelitian ini. Gak ada salahnya juga, kan, wong biaya ditanggung sama yayasan pendiri universitas," jelas Neesa. Moira tidak menjawab dan Neesa berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

Paman Martin melirik Bibi Zoe dengan khawatir dan mereka mengalihkan perhatian ke Moira, yang sepertinya tengah memproses informasi yang mendadak itu. "Kamu tahu kan, Moira, gak ada salahnya daftar dulu dan bahkan kalu kamu gak diterima bibimu dan aku akan tetap sayang sama kamu," kata Paman Martin dengan lembut, berhati-hati untuk tidak membuat sang gadis semakin takut.

"Pamanmu benar, Moira, kamu jangan kalah duluan dan bernyali ciut sebelum mencoba. Tentu saja bisa dimengerti kalau kamu khawatir apakah kamu bisa berbaur di universitas yang punya nama besar, terutama karena kamu menyandang gangguan keterlambatan perkembangan, tapi kami yakin kamu mampu dan kami percaya padamu dan kamu pastinya boleh minta keringanan ke pihak kampus kalau kamu kesulitan mengikuti mata kuliah, kan sudah ada udang-udang yang mengatur hak kaum disabilitas," tambah Bibi Zoe sambil mengelus-elus rambut Moira dan memeluknya hangat.

"Dengar ya, Moira. Aku juga punya disabilitas. Musim panas yang lalu adalah pertama kalinya dalam hidupku aku menghabiskan waktu liburan untuk magang di planet tetangga dan berbicara bahasa asing. Kamu pasti tahu, tidak mudah untuk orang hiperaktif untuk bisa adaptasi dengan lingkungan baru, tapi aku berhasil melalui itu semua. Kita bentar lagi sudah memasuki usia dewasa, lho, dan kita harus keluar dari zona nyaman, jangan jadi pengecut. Memang cuma kamu sendiri yang tahu apa yang terbaik untukmu, tapi tolong jangan kecil hati duluan, dong." Neesa menambahkan opininya.

"Aku nggak takut karena punya disabilitas, aku takut aku nggak cukup dewasa untuk mulai hidup sendiri selama empat tahun ke depan. Aku juga khawatir tentang kemampuanku berbahasa asing dan juga tentang apakah aku akan bisa punya teman baru. Kamu ingat kan betapa kesepiannya aku waktu pertama kali menginjakkan kaki di SMA Lili Hijau karena tidak ada satu orang pun yang aku kenal dari SMP? Kamu ingat kan waktu ada satu guru yang bilang aku goblok cuma karena aku butuh waktu lebih lama dari rata-rata murid lain untuk bisa paham suatu konsep? Kamu pikir hal-hal itu tidak akan terulang kembali di universitas? Sejarah itu selalu terulang!" Moira mendadak bangkit dan berteriak pada keluarganya.

"Aku tahu semakin besar aku semakin pandai menutup-nutupi kekuranganku dan aku tahu terkadang aku bahkan bisa kelihatan seperti orang tanpa disabilitas, tapi aku capek menutup-nutupi," lanjut Moira dengan mata yang mulai berkaca-kaca, "Aku hanya ingin merasa diterima dan dianggap sama dengan yang lain. Aku capek dihina-hina. Aku tahu semua orang pasti punya masalahnya sendiri, terlepas dari dia punya disabilitas atau tidak, tapi aku tidak mau lagi dikucilkan! Memangnya ini salah? Jangan suruh aku untuk tutup mulut dan pakai logika karena aku tahu kok hidup ini tidak adil!" Moira terus berteriak.

Neesa berdiri dari kursinya dan merengkuh Moira ke dalam pelukannya, terisak di kaus Moira. "Aku merasa menyesal sudah menekan kamu untuk melakukan sesuatu yang mungkin kamu belum siap untuk lakukan. Maafkan aku. Aku melakukan ini karena aku peduli pada kebahagiaanmu. Aku hanya ingin kamu mengalami apa yang pantas kamu alami, misalnya kuliah dengan normal. Kita sahabat dari kecil, kan? Aku hanya mau yang terbaik buatmu. Maaf ya karena aku sudah memaksa kamu." Neesa meminta maaf dengan mata yang berair. Moira tidak menjawab namun dia kembali duduk dan menuangkan susu ke gelas yang penuh dengan es. Neesa hanya memandang Moira tanpa kata sementara sepupunya meminum susu dengan cuek.

"Aku capek. Aku bakal ada di studio kalau kamu masih mau bicara," kata Moira akhirnya sebelum dia menaruh gelas kotor di dapur.

Studio seni Moira adalah pojokan kecil di garasi yang dibangun oleh Paman Martin untuk ulang tahunnya ke sepuluh setelah dia memenangkan juara tiga dalam lomba melukis waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, Moira melukis seekor kupu-kupu besar yang hinggap di setangkai bunga marigold, dengan pelangi di atas bunga dan pegunungan di kejauhan. Kata Moira ke Paman Martin saat itu, ketika dia besar nanti dia akan mendaki gunung yang paling tinggi di planet Beringin Putih dan mengumpulkan satu toples penuh kupu-kupu. Saat Paman Martin bertanya untuk apa, Moira hanya mengangkat bahu dan berkata mengumpulkan serangga pasti asyik. Paman Martin sangat bangga pada lukisan sang keponakan dan berkata ke Moira bahwa beliau yakin dia adak tumbuh menjadi ilmuwan yang mengagumkan dan disegani karena penemuan-penemuannya dan dobrakannya yang menggebrak dunia.

Lukisan-lukisan dari masa kecil Moira masih ada di garasi saat dia bersungut-sungut pergi dari ruang makan, diikuti oleh Neesa yang mengekor bagaikan anak itik yang mengikuti induknya. Moira menurunkan kanvas kosong dari gudang dan berpikir bagaimana dia bisa menuangkan amarahnya lewat kuasnya. Dia sadar Neesa memandanginya, tapi dia tidak memedulikan sepupunya, setidaknya sampai dia bisa menemukan kata-kat yang tepat untuk mengungkapkan bahwa dia sebenarnya tidak bermaksud untuk ngomong kasar atau membuatnya memangis.

"Moira, kamu beneran bakal cemberut sepanjang hari dan gak mau bicara sama aku sama sekali?" Neesa merengek. Moira berpura-pura tidak mendengarnya dan mengambil satu tub cat warna merah terang, memencet isinya ke atas tatakan cat minyak dan mencampurnya dengan cat kecoklatan. Kemudian Moira mengambil pensil dan mulai membuat sketsa sekuncup tulip.

"Moira, kamu melukis bunga? Kamu berbakat," celutuk Neesa yang mencoba memulai percakapan. Moira tidak tahan lagi dan bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman.

"Makasih, tapi aku akan marah lagi kalau kamu bilang aku harus daftar ke sekolah seni atau apalah cuma karena aku artistik." Moira mewarnai tulip dan mengambil satu tub cat minyak lainnya, kali ini warna biru tua seperti lautan terdalam. Dia membuat sketsa kasar seorang anak perempuan berbaring di bawah ayunan tangkai tulip, mata anak itu tertutup dalam suasana damai dan tangannya terlipat di atas perutnya. Dia kemudian mewarnai sisa kanvas dengan campuran ungu anggur dan hitam batu bara, lalu setelah cat minyak mulai mongering dia menambahkan rintik-rintik hujan dengan cat putih melati. Neesa bertepuk tangan dan menari-nari membentuk lingkaran.

"Kayaknya aku tahu deh kamu mau ngomog apa lewat lukisanmu, Moira. Tulip ini adalah semacam cangkang dan anak perempuan ini adalah kamu sendiri yang mencoba berani keluar dari cangkang. Rintik-rintik hujan adalah kerumitan pikiranmu yang saling berkejaran sementara kamu mencoba untuk lebih mandiri. Gimana, bener gak? Menurutku lukisan kamu keren tapi juga bikin aku agak sedih, sih." Neesa berenti menari dan melipat tangannya di depan dada. Moira bangkit untuk memeriksa lukisannya dari jarak jauh dan mengacungkan jempol ke Neesa. Dia sudah berhenti mengambek sekarang, tidak mengamuk lagi karena dia sudah mendingingkan kepalanya dengan melakukan hal yang dia gemari, walau diganggu oleh Neesa.

"Neesa, aku terima permintaan maafmu. Aku minta maaf karena reaksiku berlebihan. Kamu benar, aku terlalu ragu-ragu tapi mulai sekarang aku tidak akan membiarkan rasa ragu menghentikanku. Tapi, aku masih perlu sesuatu yang bisa membuktikan bahwa aku sanggup menghadapi kehidupan kuliah." Moira berterus terang ke sepupunya.

"Apakah kamu sudah pernah kepikiran untuk cari kerja paruh waktu? Kamu bisa membangun portfolio kamu dengan cara itu dan sambil menyusun portfolio kamu nantinya juga bakal jadi lebih percaya diri. Bahkan jika perkerjaanmu hanya semacam memotong rumput tetangga kita atau bantu-bantu di toko es krim, punya penghasilan sendiri sekecil apa pun itu akan membuat kamu merasa punya pencapaian. Kalau kamu belum mau kerja juga tidak masalah, tapi seingatku Ir. Kinoya pernah bilang panitia penerimaan mahasiswa baru lebih menyukai calon mahasiswa yang sudah pernah bekerja karena punya pekerjaan adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kamu sudah cukup dewasa. Jadi gimana, tertarik cari kerja nggak?" Neesa senang sepupunya sudah tidak marah-marah lagi.

"Aku akan sangat berhutang budi kalau kamu bisa menghubungkan aku dengan Ir. Kinoya dan mungkin kamu bisa memberi aku sarab-saran khusus gimana caranya mendapatkan pekerjaan untuk membuat kagum panitia penerimaan mahasiswa baru," kata Moira dengan sedikit ragu, gugup karena dia takut sepupunya akan menolak, mengingat bagaimana dia tadi marah-marah.

"Gak masalah! Aku akan kasih kamu nomornya Ir. Kinoya supaya kamu bisa kontak beliau sendiri!" Neesa berkata dengan ceria, gembira karena klai ini usahanya memotivasi sepupunya tidak berakhir sia-sia. "Kamu ada waktu akhir pekan ini? Aku mau kok bantu kamu nulis email yang sopna," lanjut Neesa, berhati-hati memilih kata agar tidak terkesan mendesak Moira.

"Boleh, boleh, aku gak punya rencana apa-apa juga. Kita ketemuan di kafe sambil minum kopi aja, gimana? Aku yang traktir, sekalian bilang makasih karena kamu selalu suportif ke aku," tanya Moira.

"Oh, kamu nggak usah traktir segala lah! Tapi boleh deh, aku suka kopi. Ya sudah, sampai minggu depan! Kalau kamu memang mau, aku akan melakukan apa pun itu untuk membantu kamu masuk Universitas Anggrek Biru!" seru Neesa.

Dengan rencana yang tersimpan di kalendarnya, Moira merasa sedikit lebih yakin bahwa dia akan siap secara mental dan secara emosional untuk menghadapi segala tahapan pendaftaran kuliah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro