Kelulusan
Suasana sekolah hari ini cukup ramai. Halaman yang biasanya sepi, kini penuh dengan kendaraan yang berjajar rapi. Beberapa murid tampak tegang menanti hasil kelulusan mereka. Ada pula yang justru sibuk memamerkan brosur dari beberapa sekolah yang berbeda. Namun, ada seseorang yang tidak peduli dengan kelulusan ataupun brosur sekolah. Gadis itu justru lebih memikirkan tentang masa depan adik semata wayangnya.
Bapak dan ibunya baru saja mengalami pemutusan hubungan kerja. Walaupun selama ini ia tidak pernah membayar iuran sekolah karena mendapatkan beasiswa, tetapi tahun ini adiknya juga harus masuk sekolah dasar. Butuh biaya cukup banyak jika harus menyekolahkan dua orang, sedangkan orang tuanya hanya mampu membiayai satu di antara mereka.
“Shay, kamu mau lanjutin sekolah di mana?” tanya Balqis membuyarkan lamunannya.
“Entah, aku bingung.” Sorot mata gadis itu menyiratkan kesedihan.
“Ada masalah apa?” tanya Risa sembari merangkul bahu Shayra.
“Sepertinya aku nggak akan nglanjutin sekolah,” ucap Shayra sembari menundukkan kepalanya.
“Kenapa?” Balqis meraih dagu gadis itu agar menoleh ke arahnya.
“Aku—.” Belum sempat ia mengatakan alasannya, tiba-tiba salah seorang teman lelaki memanggilnya.
“Shayra, ibumu udah keluar ruangan tuh!” ucap Shiddiq, ketua kelas 3C.
“tapi kok seperti habis nangis, ya?” sambungnya.
Shayra bergegas menghampiri ibunya yang baru saja keluar ruangan sambil membawa amplop hasil kelulusan. Ia melihat mata ibunya sembab. Temannya mulai berbisik-bisik di belakang. Mereka menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
“Bu, boleh aku lihat amplopnya?” tanya Balqis yang tiba-tiba sudah berada di sampling Shayra.
“Boleh, ini,” ucap ibunya Shayra sambil menyodorkan amplop hasil kelulusan.
“Shay, mau pulang bareng ibu atau nanti?” tanya ibunya.
“Maaf, Bu. Boleh nggak Shayra kami ajak maen sebentar. Itung-itung buat perpisahan,” ucap Risa.
“Boleh, jangan pulang malam, ya!” jawab ibunya Shayra.
Gadis itu lantas mencium tangan sang ibu dan melihatnya pergi menjauh menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda. Mulut gadis itu masih terkunci rapat, belum mengeluarkan sepatah kata pun. Ia takut jika ibunya menangis karena kecewa karena ternyata ia tidak lulus.
“Alhamdulillah, lulus!” teriak Balqis sambil menunjukkan tulisan yang tertera pada secarik kertas.
Teman-temannya memberikan ucapan selamat, tetapi Shayra masih belum menyadari yang terjadi. Gadis itu tampak kebingungan. Sampai akhirnya Balqis menyodorkan kertas bertuliskan namanya dan keterangan lulus. Bulir bening tiba-tiba jatuh begitu saja. Balqis dan Risa yang merupakan sahabatnya langsung memeluk erat tubuh gadis itu.
“Kenapa nangis,?” tanya Balqis.
“Aku pikir ibuku menangis karena aku tidak lulus,” jawab Shayra di tengah isak-tangisnya.
“Nggak mungkin kalo kamu nggak lulus, Shay. Kamu kan salah satu siswa berprestasi,” timpal Risa.
“Aku boleh ikutan peluk, nggak?” tanya Gilang yang tiba-tiba sudah berada di antara mereka.
“Nggak!” jawab ketiganya kompak serasa melepaskan pelukan mereka.
“Ish, kalian jahara, deh! Pelukan nggak ngajak-ngajak,” ucap Gilang dengan logatnya yang khas.
“Dasar mesum!” Eh, mau ikut ke toko buku nggak?” tanya Risa.
“Kalian mau ke toko buku? Ikut, dong!” jawab Gilang dengan wajah berseri.
“Kamu mau ikut nggak, Diq” tanya Gilang.
“Dia palingan mau kencan sama si Asri,” ucap Balqis.
“Enaknya kencan berdua, ati2 ada setan loh!” sindir Gilang.
Shiddiq hanya tersenyum menanggapi ocehan teman-temannya. Laki-laki yang memiliki lesung pipit itu sebenarnya iri dengan kedekatan mereka. Tiga gadis itu sudah bersahabat sejak lama, bahkan keakraban mereka membawa aura positif di sekitarnya.
Saat gadis seusia mereka mulai tertarik pada lawan jenis, mereka bertiga justru lebih tertarik dengan komik. Dari mereka bertiga, Shayra lah yang paling pendiam. Gadis itu penuh misteri. Rambut panjangnya selalu diikat model ekor kuda. Walau pun tanpa riasan, wajahnya terlihat menarik dengan tahi lalat di hidung dan bawah bibir.
Shiddiq melihat ketiga gadis dan satu orang laki-laki melambai itu meninggalkan halaman sekolah dengan mengayuh sepeda mereka. Hari ini memang hanya ada jadwal pengambilan amplop hasil kelulusan oleh orang tua murid, jadi anak-anak dibebaskan. Namun, sebagai ketua kelas sekaligus ketua OSIS, lelaki itu masih harus di sekolah sampai semua wali murid selesai mengambil hasil kelulusan.
“Eh, ini kita naik sepeda sampai toko buku?” tanya Gilang.
“Ya nggak lah! Kita titipin sepedanya di penitipan, terus naik angkot,” jawab Balqis.
“Oh, kirain,” ucap Gilang sambil garuk-garuk kepala.
Shayra dan Risa hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya itu. Dari sekian banyak teman laki-laki, Gilanglah yang paling dekat dengan mereka. Ia selalu ikut nimbrung saat ketiganya tengah berbincang. Mereka bahkan lupa jika Gilang adalah laki-laki, mengingat sikapnya yang lebih seperti perempuan.
Setelah menitipkan sepeda dan menaiki angkot, tibalah mereka ke sebuah toko buku terbesar di kota ini. Ketiga gadis itu memang kerap menghabiskan waktu ke sini untuk sekedar melepas penat. Hampir tiap hari minggu, mereka menyambangi tempat ini.
Shayra menghela napas panjang saat memasuki gedung dua lantai ini. Sepanjang mata memandang, hamparan buku tampak tersusun rapi pada tempatnya. Sejenak gadis itu lupa akan keresahan hatinya.
Ia langsung menuju deretan novel misteri yang menjadi favoritnya. Namun, matanya justru tertuju pada tumpukan novel karya J.K Rowling. Novel tebal yang harganya tidak terjangkau untuknya. Gadis itu mengambil salah satu buku dan membaca ringkasan cerita yang ada di sampul bagian belakang.
“Menarik, tapi sayang aku tak mampu membelinya. Biar aku tunggu filmnya aja,” gumam gadis itu sembari meletakkan kembali buku dengan sampul seorang anak laki-laki memegang tongkat sihir.
Balqis, Risa dan Gilang sedang asyik membaca beberapa komik yang sudah terbuka dari plastiknya. Sesekali mereka melirik ke kanan-kiri berjaga-jaga jika ada petugas yang mendekat. Shayra hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya itu.
“Mau beli buku apa cuma numpang baca gratis?” Sontak ketiga orang itu langsung berdiri dan menutup komik yang tengah dibacanya.
“Ish, ngagetin aja! Kirain beneran petugas?” sungut Balqis.
“Udah dapat buku belum? Makan, yuk! Aku lapar,” ucap Shayra.
“Kamu udah dapat?” tanya Risa.
Shayra menunjukkan buku yang dipegangnya kepada teman-temannya. Buku karya Chairil Anwar, salah satu penulis sastra yang ia kagumi.
“Wuih, keren. Aku beli Nakayoshi aja.,” ucap Risa.
“Kalian mau beli nggak?” sambungnya.
“Aku udah dapat, nih! Novel Supernova,” jawab Balqis.
“Wah, akhirnya kebeli juga. Nggak sia-sia kamu nabung selama ini,” ucap Shayra.
“Iya, dong! Aku udah ngincer dari Supernova 1. Akhirnya sekarang kebeli dua-duanya,” ucap Balqis bangga.
“Kamu, Lang?” tanya Risa.
“Aku kan cuma ngikut aja, nggak niat beli buku,” jawab Gilang santai.
Mereka lantas menuju kasir untuk membayar buku masing-masing, lalu keluar mencari penjual mie ayam-bakso. Setelah selesai mengisi perut dan berbincang banyak hal, mereka memutuskan untuk pulang karena hari sudah menjelang senja.
Shayra sebenarnya lebih suka berada di luar. Menghabiskan waktu bersama teman-temannya tanya memikirkan permasalahan yang membuat pening kepala. Namun, ia sadar sebagai anak sulung harus tangguh. Ia harus niat demi adil semata wayangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro