Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dilema

Shayra menghela napas panjang sambil menyandarkan sepedanya di teras. Gadis itu mengucap salam, tetapi tidak ada yang menyahut. Samar-samar terdengar suara tangisan dari kamar orang tuanya. Ia melangkah perlahan-lahan menuju kamarnya. Saat ini ia tidak berselera untuk masuk ke dalam drama rumah tangga mereka.

Baru saja gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur, terdengar suara ayahnya memanggil. Dengan malas ia keluar kamar menuju ruang keluarga di mana kedua orang tuanya berada.

“Duduk sini, Nak!” ucap ayahnya.

“Ada apa, Pak?” tanya Shayra.

“Kamu sudah dewasa dan pasti mengerti tentang apa yang akan bapak bicarakan.” Shayra bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini, tetapi ia tetap mendengarkan ayahnya sampai selesai.

“Kemarin Bapak ketemu Bu Cipto, beliau menawarkan sekolah gratis dengan syarat harus tinggal di asrama. Atau kamu mau les menjahit aja biar bisa langsung kerja. Bapak serahkan semua keputusan padamu,” jelas ayah Shayra.

“Kalo boleh jujur, aku masih pengen sekolah, Pak. Aku nggak mau cuma lulus SMP,” jawab Shayra dengan mata yang mulai mengembun.

“Kamu mau terima tawaran Bu Cipto buat sekolah di asrama? Katanya daerah Yogyakarta, siapa tau deket rumah simbah,” ucap sang ayah.

Shayra mengangguk menanggapi ucapan ayahnya. Gadis itu berpikir mungkin inilah satu-satunya cara agar ia tetap sekolah. Ibunya tiba-tiba memeluk erat gadis itu sambil terisak.

Wanita paruh baya itu seakan belum siap berpisah dengan putri sulungnya. Ia menyesali waktu yang terbuang karena sibuk bekerja, hingga membuat hubungan ibu dan anak itu menjadi berjarak. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa saat Shayra memutuskan tinggal di asrama.

***

Waktu yang ditentukan tiba, Bu Cipto sudah berada di depan pintu untuk menjemput Shayra. Gadis itu pun berpamitan dengan kedua orang tuanya dan Luna, adik semata wayangnya.

“Sekolah yang pinter, nurut sama orang tua dan nggak boleh cengeng. Mbak pergi dulu,” pesan Shayra sembari melepas pelukannya pada Luna.

Bulir bening tidak hentinya mengalir dari mata ibunya yang sudah tampak sembab. Entah kenapa Shayra tidak merasa berat berpisah dengan orang tuanya. Mungkin inilah yang diinginkannya selama ini, menjauh agar bisa menenangkan diri.

Sejak kecil ayahnya mendidik ia dengan cukup kertas. Bahkan sudah tidak terhitung berapa kali pukulan dan makian yang ia terima. Ayahnya memang lelaki yang temperamental. Jika pikirannya sedang kalut atau lelah bekerja, Shayra selalu menjadi pelampiasan amarahnya. Ibunya pun hanya bisa jadi penonton, tanpa berani membela anak gadisnya.

Kini, gadis itu tengah berada di perjalanan menuju asrama, tempat yang dijanjikan oleh Bu Cipto. Wanita paruh baya itu memang cukup disegani di lingkungannya. Ia sering membantu anak-anak yang kurang mampu.

Sudah hampir empat jam lamanya, tetapi mobil yang mereka tumpangi masih belum ada tanda-tanda akan berhenti. Shayra mengerutkan dahi saat mobil memasuki kawasan hutan jati. Jalanan yang mereka lalui sama seperti saat ia mengunjungi rumah neneknya.

Suasana pedesaan yang masih asri dan minim polusi udara. Salah satu hal yang sangat ia sukai saat berkunjung ke kota ini. Setelah lima jam lamanya, mobil akhirnya berbelok memasuki sebuah bangunan dengan halaman yang cukup luas.

Matanya terbelalak saat membaca papan nama di dekat gerbang masuk. Di sana tertulis “Panti Asuhan Rahayu Sentosa”. Apa yang dimaksud asrama oleh Bu Cipto adalah panti asuhan ini. Shayra memandang sekeliling, banyak pohon kelapa dan alang-alang yang tumbuh di sekitar bangunan.

Bu Cipto meminta Shayra turun dan menunggunya, sementara ia bertemu dengan seseorang. Mereka tampak berbincang sambil sesekali melihat ke arah gadis itu. Tidak lama berselang keduanya menghampiri Shayra yang duduk di halaman.

“Shay, kenalkan ini Ibu Paulin, pimpinan di sini,” ucap Bu Cipto. Shayra langsung menjabat tangan wanita itu tanpa diminta.

“Kamu baik-baik di sini, inget niat kamu yang ingin sekolah,” kata Bu Cipto yang ditanggapi anggukan oleh Shayra.

“Barang-barangmu mana?” tanya Ibu Paulin.

“Ada di mobil, sebentar saya ambil.” Shayra bergegas mengambil tas yang berisi pakaian dan barang pribadinya.

“Shayra, Ibu pamit pulang dulu, ya!” ucap Bu Cipto.

“Saya serahkan tanggung jawab Shayra ke Ibu, kalau ada apa-apa bisa hubungi saya,” sambung Bu Cipto pada pemimpin tempat ini.

Perlahan mobil yang ditumpangi Bu Cipto menjauh meninggalkan Shayra bersama dengan kegundahannya. Gadis itu masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Mungkin kah orang tuanya tahu jika ia akan dimasukkan di panti asuhan.

Bukan ini asrama yang ada di bayangan Shayra. Tempat ini pun jauh dari ekspektasinya. Banyak pasang mata yang mulai memperhatikan gadis itu, saat ia mulai memasuki kamar yang dituju.

Tempat tidur bertingkat yang terbuat dari kayu berjajar rapi di ruangan itu. Terdapat beberapa lemari di bagian sudut Baju yang tergantung di pinggir tempat tidur pun tidak Mulut dari pandangan gadis itu.

Ibu Paulin meminta seorang gadis berambut pendek dan bertubuh mungil untuk menemani Shayra berkeliling. Sementara ia kembali ke ruangan karena ada hal yang harus dikerjakan.

Gadis yang bernama Karlina itu mengajak Shayra berkeliling sambil bercerita tentang kegiatan mereka di sini. Tempat ini cukup luas, terdiri dari tiga kamar putri dan satu kamar putra, ruang makan yang cukup luas, kantor sekaligus kamar pimpinan panti, ruang makan khusus pengurus, kamar pengasuh, dapur, dan beberapa kamar mandi yang terdapat sumur di depannya. Tidak ketinggalan bak penampungan air yang cukup besar di belakang ruang makan dan di dekat kamar mandi bagian utara.

Shayra tidak menyangka akan ditempatkan di sebuah panti asuhan yang letaknya cukup pelosok. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk ibu kota. Walaupun sepertinya sulit bertahan di sini, tetapi ia tidak mempunyai pilihan.

Gadis itu sudah bertekad untuk melanjutkan sekolah. Ia masih ingin menikmati masa remajanya, bukan bekerja mencari nafkah. Ia berharap nasib naik akan menaunginya di sini. Shayra ingin membuktikan jika ia mampu bertahan dan meraih cita-citanya menjadi seorang guru.

“Kamu dari mana?” tanya Karlina membuyarkan lamunan gadis itu.

“Dari Semarang, kamu sendiri?” ucap Shayra.

“Aku dari Bengkulu,” jawab Karlina sambil tersenyum.

“Sudah berapa lama di sini?” tanya Shayra.

“Sudah tiga tahun lebih, dari aku SMP,” ucap gadis berambut pendek itu.

“Oh, lama juga, ya.” Shayra berusaha menguatkan dirinya sendiri setelah mendengar jawaban dari Karlina. Jika gadis di depannya saja bisa melalui tiga tahun lebih di sini, ia juga harus bisa. Sekarang yang ada di otaknya hanya tentang sekolah dan masa depan. Ia melakukan hal ini juga demi orang tua dan adik semata wayangnya. Ia harus menjadi gadis yang kuat seperti yang selalu dikatakan sang ayah tiap kali memukulinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro