5 | Jejak Ambisi di Lantai Dansa
Halo, Semua. Mohon dukungannya untuk subscribe YouTube saya agar mencapai 1.000 subscribers pertama. Terima kasih!
***
Frederick memandang sekilas lantai dansa yang penuh dengan pasangan berpakaian megah. Kini saatnya ia berpartisipasi dalam acara tersebut. "Sepertinya saya harus ikut bergabung dengan para tamu lain, Tuan Hart. Tampaknya banyak yang menunggu kesempatan ini."
Gilbert mengangguk, mengerti betul bahwa sebagai pangeran, Frederick bertanggung jawab tampil di depan publik. Namun, ia bisa melihat betapa Frederick tidak terlalu antusias dengan perhatian yang membeludak. "Tentu, Pangeran. Ini bagian dari tradisi, Anda harus memberi kesempatan pada mereka yang ingin menghormati Anda."
Kemudian Frederick mengangkat tangan, memberi tanda pada pelayan untuk mendekat. "Bawa saya ke lantai dansa."
Pelayan itu membungkuk sebelum memimpin tuannya menuju kerumunan tamu. Tak lama kemudian, Frederick berdiri di tengah area dansa, dikelilingi wanita muda yang dengan senang hati mendekat. Beberapa di antaranya tampak sangat antusias hingga menahan jerit.
Saat Frederick mengayunkan langkah dengan anggun, matanya bertemu dengan Anne yang berdiri di antara kerumunan. Gadis itu tersenyum kecil dan Frederick membalasnya dengan anggukan halus, isyarat bahwa dia akan memberinya giliran dansa.
Di sisi lain, Gilbert masih di tempat. Matanya tertuju pada Frederick yang kini berdansa. Meski diam, pikirannya tengah menyusun rencana. Namun, perhatian teralih oleh kedatangan putrinya. Ia bisa menangkap kekecewaan di wajah Anastasia. Ia tahu, kehadiran putrinya di sini bukan hanya sekadar bersenang-senang, melainkan untuk memainkan peran penting dalam dinamika politik lebih besar. Tak salah jika ia melihat kesempatan ini sebagai peluang yang bisa membawa mereka lebih dekat pada kekuasaan tinggi.
Anastasia melangkah menuju tempat ayahnya. Ia merasa terasing, matanya melirik lantai dansa di mana Flint tampak bersenang-senang, berbaur dengan para tamu lain. Sementara itu, banyak wanita muda termasuk Anne tak ragu mendekati Frederick.
"Anastasia, kenapa tidak ikut berdansa? Lihat, banyak peluang yang bisa kau raih di sini."
Anastasia mengerutkan kening, sedikit ragu. Ia tidak suka terjun dalam keramaian terutama ketika semua mata tertuju pada Frederick. "Aku malas, Ayah. Lagi pula sudah ada Flint di sana."
Gilbert tahu persis bahwa Anastasia selalu butuh dorongannya, apalagi saat ini ada hal lebih besar yang sedang dipertaruhkan. Ia ingin memastikan putrinya tidak melewatkan kesempatan yang bisa mengubah segalanya.
Nada bicara Gilbert lebih serius dan tajam. "Anastasia, cobalah berdansa dengan Frederick, beri kesan baik di depannya."
Anastasia terdiam sejenak, perlahan mulai menyadari maksud ayahnya. Ini bukan sekadar menikmati musik atau berdansa, tetapi memenangkan hati Frederick. Kemenangan ini bisa menjadi kunci masa depan mereka, bahkan kerajaan.
Anastasia melirik ayahnya dengan wajah serius. "Kau menyarankanku bersaing dengan calon lain, bukan?" Tak dipungkiri, Frederick telah memiliki daftar calon istri, bahkan sejak kecil. Ketika kabar kelahiran Pangeran tersebar, banyak pasangan bangsawan menginginkan bayi perempuan agar kelak bisa disandingkan dengannya.
Gilbert tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya menyiratkan kepuasan, lebih kepada peringatan tentang pentingnya waktu yang tepat. Nadanya melembut. "Kau mengerti, Anastasia. Ini bukan hanya soal kecantikan atau seberapa anggun kau berdansa, tapi menunjukkan pada Frederick bahwa kau lebih dari sekadar penerus kerajaan. Kau bisa memberikan sesuatu yang berbeda dibanding calon lain."
Anastasia menarik napas panjang, perasaan tertekan mulai merasuki dirinya. Namun, ia tahu ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan. "Baiklah, Ayah. Aku coba."
Gilbert mengangguk puas, meskipun tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Ia tahu Anastasia memiliki potensi untuk berhasil. "Ingat, Anastasia. Kalau kau bisa menarik perhatian Frederick, itu bukan hanya kemenangan pribadi, tapi langkah menuju masa depan lebih besar untuk kita."
Anastasia pun berjalan penuh percaya diri ke lantai dansa. Setiap gerakannya memancarkan aura yang kuat, menandakan siapa dirinya. Sebagai anak dari High Chancellor Gilbert, statusnya di kalangan bangsawan sudah tak diragukan lagi. Popularitasnya tak kalah dari wanita muda lain yang berlomba-lomba mencari perhatian Frederick.
Namun, begitu melihat Frederick berdansa dengan Anne, perasaan tidak nyaman mulai merayapi hati. Walaupun Anastasia merasa lebih unggul dalam banyak hal, ada satu yang mengusik pikirannya---mengapa Anne bisa mendapatkan perhatian Frederick lebih dahulu? Padahal Anne dan dirinya cukup berlawanan. Selain memiliki ketenaran yang didukung oleh status Roland, Anne melambangkan ketidakpastian, risiko yang bisa meledak kapan saja karena keluarganya berpotensi membebaskan Baron.
Sementara itu, Anastasia melambangkan keseimbangan dan stabilitas di dalam kerajaan. Tidak hanya status ayahnya yang tinggi, tetapi juga karena dirinya tidak terlibat langsung dalam ketegangan yang mengelilingi keluarga Anne. Jika kerajaan membutuhkan kedamaian dan keamanan, Anastasia adalah simbol dari hal itu. Bagaimanapun ia tidak bisa menyangkal bahwa Anne memiliki daya tarik bagi Frederick, tatapan remaja lelaki itu sama seperti adik kembarnya ketika pertama kali merasakan debaran jantung terhadap perempuan.
Musik mengalun lebih lembut seiring berakhirnya sesi dansa yang penuh kemeriahan. Anne akhirnya meninggalkan Frederick di lantai dansa. Para wanita muda yang menunggu dengan harap-harap cemas kini bersiap untuk mengambil kesempatan mereka. Kerumunan mulai mendekat, berharap bisa merasakan kebahagiaan berputar bersama Pangeran Frederick yang karismanya begitu memikat dan tak terbantahkan.
Frederick mengamati mereka, di tengah banyaknya wajah penuh harapan, ada seorang wanita berpenampilan percaya diri dengan wajah tegas memesona. Frederick tak bisa mengabaikan fakta bahwa dia tidak hanya menarik perhatian secara fisik, tetapi juga ada sesuatu mendalam yang memancar darinya.
Frederick berjalan tanpa ragu ke arah Anastasia dengan senyuman tipis. "Lady Anastasia, apa Anda berkenan berdansa bersama saya pada kesempatan ini?"
Melihat Frederick mengajaknya dengan penuh penghormatan, ia mengulurkan tangan dengan anggun, memberikan tanda persetujuan untuk bergabung dalam tarian terakhir malam ini. "Tentu, Pangeran Frederick, dengan senang hati."
Seketika suasana makin terfokus pada mereka. Mata para tamu berpaling ke pasangan yang baru saja terbentuk, bisikan mulai terdengar di antara mereka. Banyak yang memuji Anastasia, juga terkejut dengan keberhasilannya menarik perhatian Frederick. Semua orang mulai membicarakan potensi besar yang dimiliki gadis itu---bahwa ia bisa jadi adalah calon ratu masa depan Kalea.
Para tamu mulai memperhatikan kedudukan ayahnya, membandingkan dengan keluarga bangsawan terkemuka lain. Walau beberapa wanita muda memiliki kedudukan tinggi, tetapi tampaknya tak memiliki dukungan politik sekuat Anastasia. Bahkan, ada yang berbisik bahwa sekalipun mendekati Frederick, tak akan mampu merebut posisi lebih tinggi melihat keberadaan Gilbert sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar di balik kekuasaan kerajaan.
"Lihat, itu Anastasia, anak High Chancellor. Bukankah ia memiliki semua syarat menjadi ratu? Apalagi didukung kekuasaan ayahnya," bisik tamu wanita paruh baya pada suaminya.
"Benar, dia juga sudah mendapatkan perhatian Pangeran Frederick."
Tak lama kemudian, acara pesta yang meriah mencapai penghujungnya. Raja Harald berdiri tegap, mengangkat gelas dengan penuh kebanggaan di depan kursi kebesaran. Semua tamu menatapnya penuh hormat.
Harald berkata dengan suara lantang. "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah hadir malam ini. Semoga kedamaian senantiasa menyertai kita dan hubungan antar kerajaan tetap terjaga. Semoga kita selalu saling mendukung demi masa depan yang lebih baik."
Tepuk tangan meriah menggema di seluruh ruangan. Frederick yang sejak awal menjaga penampilannya dengan baik, mulai kelelahan. Walau wajahnya tetap tenang dan sopan, matanya tampak berbeda. Tubuh mulai terasa berat, dada sedikit sesak, dan pusing perlahan menyerang.
Mahkota yang terpasang di kepala terasa menambah beban. Setiap detik berlalu, mahkota makin menekan tengkuk, seolah-olah simbol tanggung jawab dan kedudukan yang melekat pada dirinya menggunung.
Frederick yang setahun belakang menyendiri, kini merasa terjepit saat semua mata tertuju padanya, membuat tubuhnya kaget sehingga menguras tenaga. Wajah memerah, ia merasakan demam yang mulai merayap ke seluruh tubuh. Pesta yang semula berjalan dengan penuh kebahagiaan kini terasa seperti sebuah mimpi buruk. Ia berusaha untuk tetap tegar, menjaga ekspresi agar tak terlihat terganggu oleh rasa tidak nyaman. Dalam hatinya, ia tahu bahwa tak bisa lagi bertahan terlalu lama di tengah keramaian ini.
Namun, tak ada yang bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang tetap dingin dan terkendali. Frederick tahu bahwa ini adalah ujian baginya---bukan hanya untuk menjaga penampilan sebagai tuan rumah, tetapi juga untuk menghadapi kondisi yang tak seperti biasanya. Sementara itu, para tamu yang masih terhanyut dalam kegembiraan pesta, tak menyadari perubahan halus yang terjadi pada sang Pangeran.
Frederick berusaha mengalihkan perhatian orang dari dirinya, perlahan-lahan berjalan menuruni anak tangga, mencari udara segar. Jika tidak segera menemukan ketenangan, kondisi fisiknya bisa memburuk.
Di antara kerumunan tamu yang perlahan membubarkan diri, ada beberapa pemuda bangsawan melihat kesempatan langka untuk mendekati Frederick di sudut ruangan.
Salah satu pemuda mendekat dengan penuh antusiasme, diikuti oleh beberapa temannya. Mereka memberikan hormat kepada Frederick, mencoba menunjukkan keinginan berbicara lebih lanjut.
Pemuda pertama berkata, "Pangeran Frederick, sungguh suatu kehormatan bisa berada di dekat Anda. Acara malam ini luar biasa, ya?"
Frederick tersenyum tipis, berusaha menjaga sikap tenang. "Terima kasih, saya senang Anda menikmati acara ini."
Kemudian pemuda kedua lebih serius juga antusias. "Pangeran, kami semua sangat terkesan dengan wibawa Anda. Kami berharap suatu hari bisa belajar banyak dari Anda. Semoga kita bisa berbincang lebih lanjut, bukan?"
Frederick merasa sedikit tertekan dengan perhatian yang terus mengalir ke arahnya. Meski ia terbiasa dengan penghormatan dan perhatian, malam ini tubuhnya di ambang batas. Pandangan mulai kabur, keringat dingin mengalir di pelipis. "Tentu, saya akan senang berbicara lebih lanjut dengan kalian."
Di saat bersamaan, Flint mengamati Frederick dengan saksama, merasakan ada ketidakberesan. Melihat gelagat Frederick yang berbeda dari biasanya, ia segera menerobos kerumunan dengan kecepatan tak terduga.
Flint melangkah maju. "Pangeran Frederick, ayah saya ingin berbicara dengan Anda."
Sebelum para pemuda bangsawan itu memberikan respons, tiba-tiba Flint datang menghalangi. Mereka menjadi bingung, tetapi tak memiliki pilihan, selain mundur. Kemudian memberikan penghormatan terakhir kepada Frederick, memberi ruang bagi Flint berbicara.
"Ada apa?"
Flint segera menggiring Frederick menjauh dari kerumunan tanpa menjawab, membawa keluar aula, lalu mengubah arah ke lorong sepi, jauh dari pandangan siapa pun. Ia merasa khawatir melihat kondisi Frederick yang makin melemah, tubuh terhuyung-huyung, mata mulai berputar, dan wajah pucat.
Flint tak berkata apa-apa untuk sementara waktu, hanya memastikan Frederick tetap berjalan. Kemudian ia berkata, "Pangeran, Anda terlihat sakit. Maaf tadi saya berbohong."
Frederick berusaha tersenyum, meski tubuh terasa berat. "Saya baik-baik saja, hanya sedikit pusing. Tidak perlu khawatir."
Flint melihat bahwa Frederick sedang berjuang untuk tetap tampil kuat, tetapi tubuhnya memberi tanda yang jelas akan kelelahan. Dengan langkah sigap, ia menggenggam lengan Frederick dan membimbingnya. "Pangeran, saya akan mengantarkan Anda ke kamar. Tidak ada salahnya menerima sedikit bantuan."
Frederick mencoba menolak, ingin menjaga harga diri. "Tidak perlu. Saya bisa berjalan sendiri."
Flint membiarkan Frederick, tetap berjalan di belakangnya.
Namun, tubuh Frederick tidak kuat lagi. Langkahnya mulai goyah dan pandangan mengabur, kepala terasa tertarik dengan telinga berdenging. Dia terengah-engah berusaha melawan vertigo. "Harus terus berjalan, sampai ke kamar."
Akhirnya Pangeran yang biasa tegar itu tak bisa lagi bertahan. Lilin di tembok lorong menuju kamarnya tiba-tiba meredup, mahkota kebanggaan menggelinding ke kaki Flint. Frederick pun terjatuh ke dalam ketidaksadaran.
Flint dengan sigap mengambil. Mahkota terasa berat, simbol tanggung jawab yang begitu besar kini berada di tangannya. Ia tahu betul bahwa mahkota ini lebih dari sekadar perhiasan, tetapi simbol dari semua beban yang harus dipikul Frederick.
Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Frederick, lalu membawanya menuju kamar dengan hati-hati agar tak menarik perhatian siapa pun.
Setelah sampai di depan kamar, Flint meminta pelayan di dekat pintu agar tetap tenang dan memanggil orang kepercayaan Frederick. Kemudian ia masuk dan menidurkannya, memastikan bahwa remaja itu cukup tenang untuk pulih dari kelelahan yang menguras fisik.
Ia meletakkan mahkota di meja dekat tempat tidur, menjaga benda itu dengan penuh rasa hormat, seakan-akan tahu bahwa suatu saat akan kembali kepada pemiliknya.
Di luar, malam terus bergulir, sementara Flint duduk di sisi tempat tidur, menjaga dengan penuh perhatian. Ia telah mendengar banyak tentang kehidupan Frederick---tentang duka mendalam setelah kehilangan orang tuanya sehingga menyendiri, menjalani perkabungan panjang.
"Frederick, kau melalui begitu banyak hal sendirian." Flint tahu betul bagaimana dunia politik bekerja---bagaimana kekuasaan dimainkan. Meski belum berkesempatan berkarier di lingkungan istana, pembelajaran dari ayahnya begitu padat sejak ia kecil.
Para penjilat hanya menunggu kesempatan untuk mendapatkan panggung. Frederick yang begitu muda dan rentan setelah kehilangan orang tua, hanyalah sasaran empuk. Tanpa orang tua yang bisa menjadi penopang, tanpa keturunan dari Harald, Frederick menjadi pusat perhatian. Banyak yang menginginkan posisinya, bahkan jika itu berarti menjadikannya alat mereka.
Flint menghela napas pelan. "Kau hanya remaja, Frederick, dunia ini tidak memberi ampun pada orang sepertimu. Mereka ingin memanfaatkanmu, memaksamu menjadi bagian dari pertarungan yang seharusnya tidak kau pilih. Tapi, kau harus tahu, kau tidak sendirian lagi."
Tiba-tiba Frederick mengigau, meringis dalam tidurnya. Air mata perlahan mengalir di pelipis. Suara lirih terdengar dari bibir yang mulai bergerak. "Ibu ... Ibu, jangan pergi ...." Tangan perlahan menggapai udara, seolah-olah ingin meraih sesuatu. Suara dalam kepalanya, kenangan tentang orang tua, menghantui dalam mimpi yang kacau.
Flint seketika meraih tangan Frederick yang panas dan bergetar, menggenggamnya dengan lembut. "Aku di sini, jangan khawatir. Kau tidak sendirian ...."
Flint berusaha untuk tidak menunjukkan betapa ia pun merasakan kegetiran di dalam diri Frederick. Kemudian ia menangkup kening remaja itu sambil terpejam, bibirnya mulai komat-kamit melantunkan rapalan mantra.
Kilau serbuk ungu menyebar dari bawah telapak tangan, mengelilingi kepala Frederick hingga remaja itu tidur lebih tenang.
***
02/02/2025
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro