2 | Di Balik Tirai Kekuasaan
Halo, Semua. Mohon dukungannya untuk subscribe YouTube saya agar mencapai 1.000 subscribers pertama. Terima kasih!
***
Pintu ditutup perlahan oleh pengawal, menyisakan keheningan dalam kertak kayu dilahap api.
"Kenapa baru muncul sekarang, Frederick? Kabur dari tugasmu sebagai pangeran, apa itu yang diajarkan Laventis padamu?"
Frederick menghindari tatapan pamannya. Namun, di sudut mata tampak Salvia menggenggam tangan Harald, menenangkannya. Bagaimanapun jika bukan acara penting, kemungkinan ia masih mengenakan busana serba hitam, lebih lama menjalani masa berkabung, mencerminkan penghormatan mendalam terhadap orang tuanya yang wafat.
"Tidak, aku hanya masih berkabung, Paman. Mendiang ayahku selalu mengajariku norma."
Harald berdecak. "Norma." Mulutnya memberengut. "Banyak orang mengelu-elukan adikku, Pangeran Laventis, pemuda sangat cerdas, berbicara halus, pandai berpolitik, juga flamboyan. Dia terlalu banyak menarik perhatian orang, apalagi setelah memilikimu yang selalu dibanggakannya. Tapi, kau malah meremehkan kedudukanmu. Masa berkabungmu sudah cukup, mulai sekarang kau dalam pengawasanku, mengerti? Duduklah."
"Baik, Paman." Frederick mengangguk, menahan sindiran yang mengorek batin. Matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya berjalan menuju kursi di dekat pasangan tersebut.
Harald menggeser tubuh sedikit, menatap keponakannya. "Frederick." Suaranya dalam dan penuh makna. "Pesta malam besok bukan acara sosial biasa. Ini kesempatan untuk stabilisasi kerajaan kita."
Frederick mengangguk, meskipun hatinya masih sedikit bergejolak. Pesta ini makin terasa penting, ia tahu maksud pamannya. "Utusan dari kerajaan tetangga, bukan?"
"Betul. Beberapa waktu lalu, utusan Kerajaan Caranthia datang mengunjungiku juga kerajaan lain, berharap menjalin aliansi dan dukungan perdagangan lebih besar. Jika dibiarkan, lama-lama keseimbangan kerajaan akan jatuh. Maka dari itu, kita mengadakan diskusi dengan utusan sekutu membahas perang dagang saat pesta. Kita harus hati-hati dalam membuat keputusan. Keputusan ini bisa berdampak besar pada keseimbangan perekonomian kita."
Frederick memijat pelipis, mencoba memahami betul maksud pamannya. "Jadi, ini lebih dari sekadar pesta sosial," gumamnya, lebih kepada diri sendiri.
"Semua mata akan tertuju pada kita. Mereka ingin melihat bahwa kita masih memiliki pemimpin yang kuat, bahkan jika harus mengandalkan penerus seperti dirimu."
Frederick terdiam. Kata-kata pamannya menyentuh bagian hati terdalam. "Penerus?" katanya bernada rendah. "Paman yakin?" Lalu melirik Ratu.
Pamannya menatap Frederick penuh perhatian. "Aku tahu ini bukan hal mudah bagimu, kita harus menunjukkan bahwa kerajaan ini tidak rapuh, bahwa kita punya masa depan yang cerah."
Dada Frederick terasa berat. Kalimat pamannya bergetar di dalam dirinya. Ia masih terperangkap antara kewajiban untuk keluarga dan kerajaan, serta rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh akibat kehilangan orang tua. Namun, Frederick merasa sedikit tergerak, meski keraguan tetap menghantui.
"Baiklah, Paman. Aku akan lakukan yang terbaik," jawab Frederick
Raja Harald mengangguk, tersenyum sedikit. "Itu yang aku harapkan darimu. Utusan Kerajaan Eresda juga hadir dan kau sudah tahu harus bersikap bagaimana. Malam ini akan menjadi langkah pertama yang sangat penting."
Frederick menatap pamannya dalam diam. Pesta ini mungkin lebih dari sekadar acara formal, tapi ujian besar baginya. Hubungan antara Kerajaan Kalea dan Eresda sangatlah penting, mengingat Kalea berdiri berkat bantuan besar dari Eresda. Malam ini, Frederick tahu bahwa ia harus menunjukkan kemampuan berdiplomasi.
Setelah berbincang dengan sang paman, Frederick pamit beristirahat di kamar. Selama berjalan, berulang kali ia mengembuskan napas berat membayangkan betapa ramai acara besok. Para penghuni istana yang dilewati menunduk hormat, tak sedikit wanita muda mecuri pandang padanya hingga tibalah di depan kamar dengan Ben yang tengah menunggunya.
"Kami sudah merapikan kamar dan menyiapkan teh serta camilan, istirahatlah, Pangeran. Sebentar lagi makan malam tiba."
Frederick mengangguk, lalu mendorong pintu memasuki ruangan luas dengan langit-langit tinggi berhias ukiran rumit. Dinding berbahan batu berlapis permadani megah, juga perisai serta pedang. Sebagian besar lantai marmer tertutup karpet tebal. Ranjangnya dilengkapi tirai beludru untuk menjaga privasi dan kehangatan. Ada sofa, lemari, rak, peti, meja, dan perapian. Beberapa piala hasil perlombaan pacu kuda, panahan, dan perburuan berjajar rapi. Aroma kayu cedar, lilin lebah, dan rosemary menyamankan hidungnya.
Setelah pintu tertutup, ia melangkah ke arah jendela, memandang langit berbintang di atas taman. Tangannya terkepal, berusaha menguatkan diri menghadapi lautan manusia. Kemudian Frederick duduk di ranjang, melepas sepatu bot, dan meminum teh kamomil sebelum tidur.
***
Tibalah malam pesta. Udara dipenuhi aroma bunga bercampur harum lilin mewah yang ditempatkan di setiap sudut aula. Suara musik mengalun lembut, diiringi tawa dan percakapan para tamu dari berbagai penjuru kerajaan. Lantai marmer putih memantulkan cahaya dari chandelier kristal besar yang menggantung megah di langit-langit. Meja-meja dihiasi susunan bunga, diapit oleh piring-piring perak.
Para pelayan bergerak anggun, membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil yang harum menggoda. Bangsawan muda dalam pakaian terbaik mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbicara dengan antusias. Beberapa di antaranya berdansa di lantai yang telah disiapkan.
Di lantai dua dengan tangga yang terhubung sisi kanan dan kiri, Raja tersenyum tipis, duduk di takhta ditemani empat wanita, yakni Ratu Salvia dan tiga selir.
Selain putri bangsawan terhormat, selir Raja Harald terkenal akan paras mereka yang beragam.
Lady Amara, selir pertama, memiliki rambut pirang panjang seperti sinar matahari pagi dan kulit putih. Gaunnya yang berwarna keemasan membuatnya tampak seperti sosok dewi dari legenda kuno. Di sebelahnya, Lady Liana, terkenal dengan mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud, tersenyum kecil sembari melirik tamu-tamu. Rambut cokelat ikalnya disanggul rapi, memberi kesan anggun sekaligus penuh percaya diri. Selir termuda, Lady Elysia, menonjol dengan kecantikan eksotis. Kulit berwarna sawo matang dengan rona keemasan, rambut hitamnya disisir ke belakang dalam gaya sederhana juga elegan. Bibir merah alami, tersenyum kecil saat berbicara lembut dengan selir lainnya.
Kehadiran para selir menambah daya tarik dan keanggunan pesta malam itu. Namun, semua mata tetap sesekali beralih ke arah pintu besar aula, menanti kedatangan sang pangeran muda.
Frederick.
Para tamu melirik setiap kali pintu terbuka, berharap melihat sosok pewaris darah bangsawan itu. Bisikan tentang dirinya mengisi ruangan, dari kekaguman terhadap ketampanannya hingga spekulasi tentang misteri yang menyelimuti hidupnya.
Di sisi lain, Frederick berdiri di hadapan pintu aula utama megah, jantungnya berdebar kencang. Udara terasa berat, meski dingin mengelus lembut kulitnya. Ia memperbaiki letak mahkota sekali lagi, lalu mengangguk pada pengawal untuk membukakan pintu. Seketika bising di dalam aula mereda, menyisakan musik lembut. Dunia seolah-olah berhenti berputar, para tamu tertegun, ratusan pasang mata segera tertuju padanya.
Dia melangkah masuk dengan kepala tegak, berusaha mempertahankan ekspresi tenang walau degup terdengar. Pakaian resmi berwarna biru dongker dengan sulaman emas begitu megah dibandingkan pakaian kesehariannya. Mahkota di kepala seolah-olah mengingatkannya pada tanggung jawab besar.
Para tamu bangsawan menatap kagum. Wanita-wanita muda berbisik dengan pipi merona, sementara pria-pria muda berdiri lebih tegak, merasa tertantang oleh karisma Frederick.
Namun, di balik sorot mata kekaguman dan senyuman yang ditujukan kepadanya, Frederick merasa pandangan mereka seperti belati yang menusuk lapisan topengnya. Perasaan rindu dan kesepian tiba-tiba menyeruak di hati, teringat orang tuanya yang dahulu sering menghadiri pesta dengan senyum penuh kehangatan.
Dia terus berjalan menuju Raja Harald dan Ratu Salvia yang menunggunya di atas takhta mereka. Langkahnya terasa berat, tetapi dia memastikan untuk tidak menunjukkan keraguan. Di sepanjang perjalanan, tamu-tamu membungkuk hormat atau memberi anggukan kecil, Frederick memberikan senyuman tipis sebagai balasan.
Saat mencapai tempat sang paman, Harald berdiri dengan senyuman lebar. Suaranya menggema. "Pangeran Frederick telah bergabung dengan kita malam ini! Kehadirannya adalah simbol kebangkitan dan harapan bagi Kerajaan Kalea."
Sorak-sorai memenuhi ruangan, Frederick hanya membungkuk sopan. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah semua ini adalah sandiwara yang dimainkan pamannya untuk mengesankan mereka.
Ia berdiri di sisi Raja Harald, pemandangan seluruh aula kini terbentang di hadapannya. Sorotan mata yang terus mengawasinya membuat napas terasa pendek. Frederick menggenggam erat sisi pakaian resminya, berusaha menenangkan debaran jantung. Jika ini adalah langkah pertama menuju takdirnya, maka ia harus melakukannya dengan kepala tegak.
Pandangannya teralih pada seorang pria yang mendekat dengan langkah penuh wibawa. Rambut panjang tembaga diikat rapi, mata ungu menandakan memiliki energi terang-kemampuan sihir. Ia mengenakan jubah putih dengan sulaman emas di bagian kerah. Sosok itu adalah High Chancellor Gilbert Hart, Lord of Lumina. High Chancellor, posisi yang menunjukkan bahwa ia adalah kepala penasihat kerajaan, pengelola urusan negara, dan memiliki otoritas administratif. Lord of Lumina, menyiratkan bahwa ia adalah pemimpin wilayah Lumina.
Gilbert adalah penyihir terang yang terkenal di seluruh Kalea. Selain keturunan langsung pemimpin penyihir terang yang membantu mendirikan kerajaan Kalea, dia termasuk genius hingga berhasil menduduki jabatan tinggi serta berpengaruh besar.
Setelah memberi hormat pada Raja dan Ratu, dia berpaling pada Frederick. "Yang Mulia Pangeran Frederick," sapa Gilbert dengan suara rendah. Ia membungkuk sejenak. "Merupakan kehormatan bagi saya, akhirnya bertemu Anda kembali. Saya Gilbert, Anda masih ingat, bukan?"
Frederick menatap datar pria itu, mencoba menutupi perasaan canggung. "Tentu saja, Chancellor Hart. Kehormatan ada di pihak saya."
Senyum kecil terlukis di wajah Gilbert, tetapi ia tak menunjukkan banyak emosi. "Ah, Pangeran. Malam ini tidak hanya pemberian salam dari saya, tetapi juga dua anak kembar saya."
Gilbert menoleh ke belakang, dua sosok muda melangkah maju dari kerumunan tamu yang langsung mencuri perhatian Frederick.
Anastasia, seorang gadis berambut panjang warna tembaga, mengenakan gaun biru muda yang berkilauan di bawah cahaya chandelier. Matanya berwarna ungu terang, diam-diam ia mencuri pandang ke arah Frederick, mencoba membaca sosok pangeran muda yang terkenal dengan sikap dingin itu.
Flint, kebalikan dari kakaknya yang selalu bersikap dewasa. Rambut tembaga yang sedikit berantakan membuatnya tampak lebih santai. Senyum lebarnya memancarkan kehangatan yang langsung terasa. Matanya meski seperti Anastasia, tetapi bersinar penuh antusiasme. Flint melangkah maju tanpa ragu, memberikan hormat kecil kepada Frederick.
"Pangeran Frederick," Gilbert memulai kembali. "Izinkan saya memperkenalkan putri saya, Anastasia, dan putra saya, Flint. Saya percaya mereka dapat menjadi teman baik Anda."
Frederick mengangguk perlahan, menatap keduanya yang berusia tiga tahun lebih tua tanpa banyak ekspresi. "Senang bertemu dengan Anda berdua, Lady Anastasia dan Lord Flint," katanya dengan nada yang nyaris datar.
Anastasia membalas dengan anggukan sopan, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit ditebak maknanya. Ia tidak berbicara, tetapi matanya yang tajam tetap memperhatikan Frederick, mencoba memahami pria muda yang selama ini hanya ia dengar melalui cerita ayahnya.
Flint, sebaliknya, melangkah lebih dekat, mengabaikan suasana kaku yang biasanya menyelimuti pertemuan semacam ini. "Yang Mulia, senang sekali akhirnya kami bisa bertemu Anda! Saya berharap kita bisa bergaul lebih baik di kemudian hari," ujarnya dengan nada ceria, meskipun ia sadar Frederick dikenal sebagai Pangeran Es.
Frederick sedikit mengangkat alis, terkejut dengan sikap hangat Flint. "Kita lihat saja nanti," balasnya singkat.
Anastasia melirik ke arah Flint, sedikit menggeleng pelan, mengingatkan saudaranya untuk tidak terlalu bersemangat. Namun, Flint hanya tertawa kecil. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya memang sering berterus terang," ujarnya sambil menggaruk belakang kepala.
Gilbert yang memperhatikan interaksi mereka tersenyum samar. "Pangeran, saya yakin pertemanan di antara kalian bertiga akan membawa banyak hal baik."
Frederick tidak memberikan jawaban. Ia hanya menatap singkat Anastasia, lalu kembali pada Flint. "Waktu akan membuktikannya."
Di dalam hatinya, meskipun ia tidak mau mengakui, Frederick merasa ada hal berbeda dari pertemuan ini. Kehadiran Anastasia yang tenang dan Flint penuh semangat, seperti mengusik dinding yang selama ini ia bangun.
Namun, perkenalan mereka tersita oleh kehadiran tamu baru. Hampir semua orang termasuk Frederick mengalihkan perhatian ke pintu masuk di mana utusan Kerajaan Eresda memenuhi undangan.
Seorang pemuda berambut cokelat tersisir rapi, jangkung, bertubuh tegap, dan berusia setahun lebih tua dari Frederick, muncul dengan wajah tertutup topeng. Jubah hitamnya dihiasi bordir perak. Tak ada yang mengenalnya, tetapi dari cara berjalan tampak jelas ia bukan orang sembarangan. Aura yang dipancarkan begitu kental, seolah-olah setiap langkahnya penuh perhitungan. Ada hal berbeda, sesuatu yang membuatnya melampaui status sosial dan kekuatan di tempat ini.
Frederick terkesan. Ia merasakan ketegangan aneh, bahkan sedikit tergugah oleh misteri yang menyelimuti pria itu. Namun, kesan tersebut segera tertutupi ketika pandangannya jatuh pada sosok lebih memikat di samping pemuda bertopeng tersebut.
Seorang gadis berusia dua tahun lebih muda dari Frederick, melangkah dengan anggun, mengenakan gaun hitam berhiaskan perak yang tampak bersinar di bawah cahaya lilin. Rambut cokelat panjangnya yang mengilap tergerai indah, mata hijau berkilaunya mengamati sekeliling dengan percaya diri. Tidak ada satu pun wanita di ruangan itu yang bisa menyaingi kecantikannya malam ini, bahkan para selir Raja Harald yang dikenal rupawan terkesan pudar di hadapannya.
Frederick yang jarang menunjukkan emosi merasakan dada berdebar keras. Mata terpaku pada gadis tersebut, seolah-olah tidak mampu berpaling. Bukan hanya kecantikan fisik yang membuat Frederick terpesona, tetapi juga aura misterius. Ia pernah mendengar desas-desus tentang Putri Anne, seorang penyihir gelap muda yang terkenal dengan kemampuannya meregenerasi luka fatal. Kekuatannya membuatnya dihormati sekaligus ditakuti.
Suara bisik-bisik terdengar di antara para tamu. Ada yang memuji kecantikannya, ada pula membicarakan reputasi gelapnya. Namun, perhatian Frederick tetap terpusat padanya. Untuk pertama kali, ia merasakan sensasi yang belum pernah dialami-kekaguman bercampur rasa ingin tahu mendalam.
Putri Anne menaiki tangga sambil memandangi sekitar hingga akhirnya bertemu dengan tatapan Pangeran Kalea. Mata hijau itu menatapnya intens, seolah-olah membaca pikiran Frederick.
"Yang Mulia Pangeran Roland dan Putri Anne." Suara Raja Harald memecah ketegangan setelah pasangan bersaudara itu tiba di hadapannya dan memberi hormat. "Selamat datang di Kalea. Kehadiran Anda berdua adalah kehormatan besar bagi kami."
"Kami yang merasa terhormat atas sambutan hangat Yang Mulia. Kalea sungguh luar biasa dan kami berterima kasih atas kesempatan ini." Suara Roland tenang dan dalam.
Putri Anne mengangguk anggun, lalu melirik Frederick, membuat pemuda itu makin gelisah di balik ketenangannya yang terlihat.
***
19/01/2025
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro