Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 | Intaian Kenangan

Halo, Semua. Mohon dukungannya untuk subscribe YouTube saya agar mencapai 1.000 subscribers pertama. Terima kasih!

***

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memancarkan warna lembayung di atas paviliun yang terletak di ujung istana tua Kerajaan Kalea dengan pohon mapel rimbun.

Frederick, pangeran berusia lima belas tahun keponakan Raja Harald, duduk diam di bangku kayu sambil membungkuk lelah melihat kolam kecil di hadapannya, tempat daun berguguran tanpa suara. Rambut hitam bergelombang dan bermata biru, menurun dari sang ibu, kulitnya halus dan cerah. Para penghuni paviliun mengenakan pakaian serba hitam termasuk dirinya. Ia menarik napas panjang, sudah hampir setahun sejak kecelakaan itu merenggut segalanya---ayahnya yang bijak, ibu penuh kasih, dan kehangatan keluarga.

Di paviliun ini, ia menemukan kedamaian sekaligus kehampaan. Jauh dari tatapan para politikus, ia merasakan kebebasan menjadi diri sendiri---seorang pemuda yang kehilangan arah. Tangannya menyentuh buku tua bersampul kulit di pangkuan, buku yang dahulu sering dibaca ibunya.

Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang. Seorang pria tua, Ben, pendamping setia yang sudah mengabdi bertahun-tahun di istana, muncul dengan sikap penuh kehormatan. Rambut memutih diikat rapi, meski wajah berkeriput tetap tak menyembunyikan ketegasan dalam tatapannya. "Pangeran," katanya dengan suara dalam dan tenang. "Kesedihan sudah cukup lama menguasai Anda, tapi hidup ini terus berjalan. Anda harus belajar menerima, walau sulit."

Frederick menatapnya sejenak, lalu menunduk, enggan berkata apa-apa. Ia tahu pendampingnya hanya mencoba membantu, tetapi hatinya terlalu keras untuk menerima nasihat.

Pria tua itu mendekat, duduk di kursi, menyentuh lembut bahu Frederick. "Pangeran Muda, hidup ini bukan tentang bersembunyi. Jangan biarkan masa lalu menghalangi masa depan."

Frederick masih terdiam, matanya kosong.

Pria itu menarik napas, melanjutkan dengan suara lebih tegas. "Lusa malam, ada pesta di istana. Semua bangsawan akan hadir, termasuk para pemuda yang mungkin bisa menjadi teman Anda. Ini kesempatan untuk mulai bergaul, membuka diri, dan menemukan kawan baru. Jangan biarkan kesendirian menguasai diri Anda."

Frederick bergeleng, merasa tak siap untuk bertemu orang baru. "Aku tidak butuh teman," jawabnya, suaranya penuh kebimbangan.

Ben menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian tersenyum perlahan. "Tapi, mungkin teman yang Anda butuhkan sedang menunggu di sana. Jangan menutup diri dari dunia."

Namun, Frederick tetap diam, hatinya masih tertutup rapat. Ia tidak tahu apakah siap untuk menerima saran itu.

Ben menatap tajam Frederick, memastikan bahwa kata-katanya tidak hanya terdengar, tetapi juga dipahami. "Pangeran Muda, pesta ini lebih dari sekadar ajang perayaan atau hiburan. Tanpa kehadiran Anda, semua akan terasa hampa."

Frederick mengangkat wajah sedikit, matanya masih kosong. "Aku tidak peduli dengan pesta," jawabnya, suaranya tetap dingin. "Semua itu hanya formalitas."

Ben menghela napas panjang, merasa tidak ada waktu lagi berbicara halus. "Saya tahu perasaan Anda, tapi Anda harus mengerti. Raja, meskipun memiliki selir, tidak akan pernah bisa memberi pewaris yang diinginkan kerajaan. Keadaan Anda berbeda. Anda adalah satu-satunya harapan untuk masa depan kerajaan ini."

Frederick mengerutkan kening, sudah jadi rahasia umum kondisi kesuburan Raja Harald. Meski menutup mata, orang-orang tak dapat mengelak posisi Frederick sebenarnya.

"Orang-orang menantikan kehadiran Anda. Mereka berharap dapat melihat pewaris takhta yang akan memimpin mereka kelak. Bukan hanya sebagai pangeran yang kehilangan orang tua, tetapi sebagai pemimpin yang dapat mengangkat kerajaan ini. Mereka berharap melihat Anda hidup kembali, bersemangat, dan menunjukkan bahwa Anda mampu."

Frederick terdiam, memproses kata-kata Ben. Bagaimanapun, ia tidak bisa menahan kenyataan bahwa banyak yang menunggu dirinya kembali ke dunia luar. Namun, sebuah beban berat tiba-tiba mengimpit dada.

"Jika aku tidak pergi, apa yang akan terjadi?" tanya Frederick pelan.

Ben menatapnya dengan penuh harapan serta keprihatinan. "Pesta itu mungkin tetap berlangsung, tapi tanpa diri Anda akan terasa kosong. Anda lebih dari sekadar pangeran, yaitu harapan bagi mereka yang mengandalkan Anda."

Frederick menggigit bibir, rasa cemas dan bingung bercampur aduk. Tidak ada jalan mundur. Semua mata akan tertuju padanya. Keputusan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi tentang kerajaan yang akan dipimpinnya kelak.

"Baik," katanya pelan, akhirnya memutuskan untuk mencoba. "Aku akan pergi ke pesta."

Ben tersenyum lega, meskipun hanya terlihat samar. "Saya tahu Pangeran bisa, Anda memiliki kekuatan yang tak Anda sadari."

Malam makin larut, udara dingin mulai menyelimuti paviliun. Setelah percakapan cukup berat dengan pendampingnya, Frederick merasa lelah secara fisik dan emosional. Paviliun terasa lebih sunyi malam ini, meski ditemani gemericik air dari kolam kecil di samping.

Frederick melepaskan mantel berat dan menggantungkan di kursi dekat jendela. Dengan hati yang masih diliputi keraguan, ia duduk di bangku kayu. Buku yang tergeletak di meja sampingnya dibiarkan begitu saja. Frederick menunduk, membiarkan pandangannya kosong menatap lampu-lampu minyak redup di sekitar paviliun. Tiada suara, selain embusan angin menerpa daun.

Beberapa kali ia mencoba menenangkan pikiran, tetapi nasihat penuh harapan Ben terus terngiang di telinga. Dia menghela napas panjang. Sepertinya, keputusan untuk menghadiri pesta bukan sekadar tentang keinginannya. Ada hal lebih besar, jauh lebih penting. Kerajaan, orang-orang yang bergantung padanya, harapan mereka semua terjalin dalam benak menuntut untuk dipertimbangkan.

Namun, lelah makin terasa. Ia menutup mata sejenak, berharap bisa melepaskan segala beban pikiran. Perlahan kantuk mulai merayapi tubuh, ia pun beranjak ke kamar, merebahkan diri di atas kasur. Sebuah perjalanan panjang menanti. Malam ini adalah waktu memulihkan diri, meskipun perasaan kosong di dalam hati tetap mengendap.

Di luar, angin berdesir lembut, seolah-olah memberi salam pada Frederick yang berusaha istirahat, menghadap masa depan yang tidak pasti.

Keesokan hari, cahaya matahari yang lembut menembus tirai paviliun serta menyoroti ruangan dengan sinar hangat. Frederick terbangun dari tidur cukup panjang, Dia merasa sedikit lebih segar, tetapi ketegangan tentang pesta tetap menghantui pikiran.

Setelah sarapan di ruang makan dan membersihkan diri, Frederick duduk di depan cermin besar di kamar tidur. Pakaian untuk pesta sudah disiapkan oleh pelayan. Sebuah jas biru tua terhampar di atas meja dengan sulaman benang emas halus mengelilingi kerah. Frederick menatapnya beberapa saat, merasakan perasaan campur aduk. Warna biru itu seolah-olah memberi kesan kedalaman dan ketenangan, tetapi di saat yang sama, terasa seperti sebuah penegasan bahwa ia harus siap menghadapi dunia luar.

Seorang wanita paruh baya berkulit gelap, penata rias istana berpengalaman, masuk ke dalam kamar. Wajahnya ramah dan penuh kebijaksanaan seakan-akan memberi kedamaian. Rambut yang sedikit memutih digulung rapi dan mata cokelatnya penuh perhatian.

"Pangeran, mari kita lihat pakaian Anda," ujarnya dengan suara lembut nan penuh keyakinan, sambil merapikan jas biru yang terhampar di atas meja. Dengan penuh perhatian, wanita itu membantu Frederick mengenakan pakaian dan menyesuaikan setiap detail dengan keahlian yang terlatih. Setelah selesai, ia merapikan rambut Frederick lembut, memberikan sentuhan akhir pada penampilan.

Frederick menatap dirinya di cermin, untuk pertama kali sejak lama, dia merasakan sedikit kebanggaan terhadap penampilannya. Wanita itu berdiri di sampingnya, tersenyum penuh arti.

"Pangeran," ujarnya, suaranya penuh penghargaan. "Rambut hitam legam Anda dan pakaian biru ini membuat Anda tampak begitu tampan. Seperti samudra luas penuh kekuatan. Ini akan membuat banyak orang terpesona."

Frederick mengamati lebih saksama, merasa sesuatu yang baru dalam dirinya. Meski pujian itu sederhana, tetapi memberi sedikit rasa percaya diri. Dia tahu malam nanti penting, kehadirannya tidak hanya ditunggu oleh orang-orang, tetapi juga kerajaan.

Namun, ada satu yang belum dia kenakan. Pelayan mendekat dengan mahkota emas berhias batu permata berkilau. Mahkota itu terasa berat saat diletakkan di atas kepalanya, seakan-akan menambah tanggung jawab.

Untuk sesaat, Frederick merasa kagum pada diri sendiri. Penampilannya begitu berbeda, begitu resmi, seolah-olah dia benar-benar siap untuk menghadapi dunia luar.

"Aku ... aku terlihat berbeda," gumam Frederick pelan, hampir tidak percaya pada perubahan yang terjadi.

Penata rias itu tersenyum penuh kebijaksanaan. "Pangeran, mahkota adalah simbol dari kepemimpinan dan kekuatan. Saya yakin, Anda akan membawa keduanya dengan bijaksana."

Frederick menghela napas panjang. "Terima kasih," jawabnya, suaranya kini terdengar lebih tegas dan mantap. "Semoga semua berjalan baik."

Kemudian busana pesta beserta mahkota dikemas dengan rapi. Frederick mengenakan pakaian lain dan bersiap berangkat ke istana nanti sore. Sementara Ben sedang sibuk menyiapkan barang sebab Frederick akan kembali menempati kamar di istana yang telah ditinggalkan cukup lama.

Sore harinya, kereta kuda berhias lambang keluarga kerajaan berhenti di depan paviliun. Frederick keluar dari pintu dengan langkah ragu-ragu. Angin sejuk membawa aroma bunga dari taman kecil di sekitarnya. Pakaian resmi yang dikenakan terasa sedikit asing.

Ia menatap kereta kuda dalam diam. Itu adalah kendaraan yang dahulu sering digunakan ayah dan ibunya saat mengunjungi paviliun. Kenangan akan gelak tawa mereka di dalam kereta, bagaimana ibunya memuji pemandangan dari jendela, dan ayahnya yang selalu memastikan ia merasa aman, menyeruak ke dalam pikiran.

Frederick menarik napas panjang, menahan rasa sesak di dada, menguatkan diri sebelum menaiki tangga kecil menuju pintu kereta.

Di dalam, ia duduk di kursi empuk, matanya memandang ke luar jendela. Perjalanan menuju istana terasa lambat, memberikan waktu bagi pikirannya untuk mengembara ke masa lalu. Bagaimana ayahnya selalu membimbingnya tentang nilai-nilai kehormatan dan ibunya yang tak pernah lupa memberikan pelukan hangat.

Namun, kenangan itu segera berubah menjadi bayangan kecelakaan yang merenggut mereka. Kereta mendadak terasa sempit, udara seolah-olah menipis. Frederick mengepalkan tangan, berusaha mengalihkan pikiran. "Aku tidak boleh tenggelam dalam masa lalu," gumamnya pada diri sendiri. "Ayah dan Ibu pasti ingin aku melangkah ke depan."

Kereta akhirnya berhenti di depan istana. Frederick melangkah turun ditemani Ben yang berada di kereta lain. Matanya menyapu bangunan megah yang dahulu terasa seperti rumah baginya, tetapi kini hanya menyisakan rasa hampa.

"Pangeran, saya masih harus mempersiapkan barang Anda. Silakan menemui Raja lebih dahulu."

Frederick mengangguk, lalu masuk ke dalam istana melewati barisan pelayan yang menyambutnya.

Ia melangkah perlahan di koridor istana, matanya menelusuri dinding berhias lukisan-lukisan besar. Meski istana tampak sama seperti dahulu, ia merasa asing di tempat ini. Langkahnya terhenti di dekat aula utama, di mana hiruk pikuk persiapan pesta terdengar riuh.

Tiba-tiba, seorang pelayan muda berlari dari lorong samping, membawa tumpukan linen yang terlalu tinggi hingga menutupi pandangannya. Dalam sekejap, pelayan itu menabrak Frederick hingga tersentak mundur dan linen berserakan di lantai.

"Astaga! Maafkan saya!" Pelayan muda itu, Henry, buru-buru menjatuhkan diri ke lantai, meraih linen yang berceceran sambil membungkuk berulang kali. "Saya tidak melihat Anda, sungguh tidak sengaja!"

Frederick menatap Henry dengan tatapan tajam dan dingin. "Apa kau tidak punya mata?" ucapnya, suaranya rendah, tetapi penuh kekuatan.

Henry terdiam, wajahnya memerah. "Maafkan saya. Saya hanya terburu-buru karena linen ini-"

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pelayan senior mendekat, wajahnya penuh amarah. "Henry! Apa yang kau lakukan? Bagaimana bisa kau bertindak ceroboh di depan Pangeran?" Pelayan itu membungkuk hormat ke arah Frederick. "Mohon maafkan dia, Pangeran. Dia masih baru dan terlalu sering membuat kesalahan."

Frederick mengangkat satu alis, tatapannya tetap dingin. "Jika dia terlalu sering membuat kesalahan, mungkin tempat ini bukan untuknya."

Henry menelan ludah, tertunduk dalam. "Saya akan lebih berhati-hati, Pangeran," katanya pelan dan bergetar.

Frederick menatap Henry sejenak, lalu menghela napas pelan. "Lupakan saja. Kau akan belajar dari kesalahanmu," katanya dengan nada lebih tenang. Ia menoleh ke arah pelayan senior yang masih mematung. "Jaga dia baik-baik."

Frederick lanjut melangkah menuju ruang keluarga, di mana pamannya sedang menunggu. Ia lebih memilih berbicara dengan pamannya daripada melihat persiapan pesta yang tidak terlalu menarik perhatiannya. Langkahnya terasa lebih tenang setelah kejadian tadi. Ia melewati beberapa lorong yang dihiasi karpet mewah berwarna merah tua, sementara lampu gantung besar memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Di luar, angin berembus kencang, menggoyangkan cabang-cabang pohon yang tampak gelap dari balik jendela besar.

Saat tiba di pintu ruang keluarga, Frederick berhenti sejenak memandang dua pengawal yang berdiri tegap. Mereka mengenakan pakaian pelindung mencolok berwarna perak dan hitam, serta pedang di sisinya. Wajah tegas penuh kewaspadaan, memastikan tidak ada yang bisa melewati tanpa izin. Sebelum memasuki ruangan, Frederick memberi isyarat kepada pengawal untuk membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, pemandangan hangat dan mewah menyambut Frederick. Ruang keluarga cukup luas, langit-langit tinggi dihiasi ukiran kayu halus. Lampu-lampu emas di sepanjang dinding memancarkan cahaya lembut, membuat suasana terasa nyaman dan akrab.

Di tengah ruangan, ada sebuah perapian besar dengan api menyala terang, dikelilingi oleh kursi-kursi empuk berwarna cokelat tua. Sebuah meja kayu besar berukir rumit berada di tengah ruangan, dipenuhi beberapa buku dan vas bunga segar. Di dinding sebelah kanan, ada lukisan besar pertempuran epik melawan naga, menggambarkan kejayaan leluhur keluarga mereka.

Di sudut kiri, sebuah piano besar terbuat dari kayu hitam dengan kursi di depannya. Di seberang, rak terisi penuh oleh koleksi buku langka dan peta-peta kuno. Karpet lembut dan tebal menutupi sebagian besar lantai kayu berwarna cokelat tua, memberikan kehangatan pada ruangan yang terasa sedikit sepi.

Pamannya, Raja Harald, duduk di kursi besar dekat perapian mengenakan jubah panjang. Wajahnya tegas, berambut hitam kecokelatan dengan mata berwarna abu penuh intimidasi, menyambut Frederick dengan tatapan tajam. Di sampingnya, Ratu Salvia, duduk dengan anggun, mengenakan gaun berwarna hijau zamrud. Wajahnya yang lembut nan tegas, berambut panjang disanggul tinggi, menambah kedamaian suasana.

Frederick memberi hormat dengan sopan, menunduk kepada Raja dan Ratu, meskipun hati terasa berat. Ia mencoba menahan perasaan cemas yang selalu mengganggu sejak kecelakaan. Dalam setiap tatapan pamannya, ada keraguan yang tak bisa ia padamkan. Frederick tak bisa bohong pada hatinya-selalu ada kecurigaan pada siapa pun yang mungkin terlibat dalam kejadian itu. Ia merasa kegelapan masa lalu terus mengintai, menunggu untuk disingkapkan terutama kasus kematian orang tuanya yang tidak bisa ia maafkan.

***

17/01/2025

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro