Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mandul

Ini ceritaku yang paling banyak bajakannya, please jangan beli bajakan hargai jerih payah penulis.

***
Pagi hari di akhir pekan, seperti biasa aku datang ke warung nasi uduk bu Amir. Nasi uduk bu Amir terkenal paling enak di lingkungan rumahku.

Setelah berjalan selama lima menit aku sampai di warung nasi uduk bu Amir. Warung nasi uduk bu Amir tidak besar hanya tersedia dua meja dan dua kursi. Satu meja untuknya menaruh berbagai makanan yang dijajakan dan satu meja lagi untuk pembeli yang ingin makan di tempat.

Aku menunggu giliran dilayani oleh bu Amir, hari libur seperti ini warung bu Amir selalu lebih ramai. Seorang pria yang merupakan tetanggaku sedang menikmati kopi dan gorengan di kursi tak jauh dari tempatku antri. Setelah seorang ibu di depanku berlalu pergi giliranku menyebutkan pesanan, "Nasi uduknya 2, lengkap ya, Bu."

"Iya." jawab bu Amir sambil mengambil kertas nasi untuk membungkus pesananku.

"Lu anaknya pak Wawan kan?" tanya pak Roni sambil menyeruput kopinya, aku menoleh ke arahnya. Ia melihatku dari atas sampai ke bawah dengan tatapan penasaran.

Aku merasa tak nyaman ditatap demikian olehnya, lalu sengaja kuedarkan pandanganku pada bu Amir. "Iya, Pak." jawabku sambil menunggu bu Amir membungkus nasi uduk untuk sarapan kami.

"Lu kan udah lama kawin ya?" tanyanya lagi penuh selidik.

"Iya, Pak." jawabku dengan malas. Pak Roni terkenal sebagai pria bermulut pedas.

"Belum punya anak juga lu?" Pertanyaan ini terasa begitu menohok. Aku mengambil nafas dalam-dalam mengendalikan emosiku yang mulai naik.

"Belum, Pak." jawabku ketus. Aku harap ia melihat ekspresi ketidaksukaanku akan pertanyaan-pertanyaan julidnya.

"Lu mandul ya? Belom punya anak juga."

Astaghfirullah, dzikirku dalam hati berusaha menenangkan hatiku yang bergolak.

Aku terdiam, kuraba perutku yang masih rata.

Ya Rabbi, kuatkan hati ini!

"Lu gabug kali." ucapnya asal sambil menggigit bakwan yang ada di tangannya.

"Gabug?"

"Gabug aja gak ngerti lu, padi kalo kosong tuh gabug. Gak ada isinya. "

Amarahku mulai naik, tidak sepantasnya dia menghinaku seperti itu. Dia tidak tahu apapun. Aku mengambil nafas dalam-dalam. Ingin kumaki ia tapi kutahan karena menjaga hunungan kami sebagai tetangga.

"Belum aja kali pak Roni. Kan anak itu tergantung Allah yang ngasih." Bu Amir ikut angkat bicara.

Perkataan bu Amir sedikit meredakan amarahku. Aku tidak perlu menjawab omongannya yang menyakitkan.

"Nih Neng, nasinya." Bu Amir menyerahkan 2 bungkus nasi uduk lengkap dengan lauknya.

"Semua berapa, Bu?"

"Dua puluh ribu."

Aku menyerahkan selembar uang dua puluh ribu lalu berlalu pergi setelah mengucap terima kasih pada bu Amir.

Sampai di rumah aku menaruh nasi uduk di atas meja makan lalu masuk kamar. Ucapan pak Roni seperti pisau yang menusuk jantungku, aku menangis.

Sudah 3 bulan usia kandunganku namun tidak ada tetangga yang tahu hanya aku, suami dan keluargaku. Ada rasa takut di hatiku kegagalan kan terulang. Aku mengusap perutku penuh sayang.

Tumbuhlah dengan sehat nak, bunda menanti hadirmu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro