Gugur
Suamiku mendapat rekomendasi sebuah rumah sakit Ibu dan Anak yang berkualitas baik. Memiliki peralatan yang lengkap dan dokter-dokter yang berpengalaman.
Ada beberapa dokter kandungan di rumah sakit itu dan aku memilih dokter kandungan perempuan. Aku merasa lebih nyaman jika yang memeriksaku juga seorang wanita.
Kuhubungi rumah sakit tersebut untuk mendaftar. Pihak rumah sakit akan menghubungiku jika sang dokter berhalangan.
Akhirnya saat yang dinanti tiba. Saat perawat memanggil namaku kami memasuki ruangan itu dengan jantung yang berdetak makin cepat.
Seorang dokter cantik berhijab menyambut kami dengan senyumnya, ia menyalami kami lalu mempersilakan duduk.
Aku menceritakan yang kualami pada sang dokter lalu ia meyuruhku berbaring di ranjang yang sudah tersedia.
Aku kembali mengalami pemeriksaan USG. USG perut bagian bawah hanya memperlihatkan rahim yang kosong.
"Kita coba transvagina ya bu?" tawar sang dokter.
"Itu maksudnya gimana dok?"
"Alat USG nya kita masukkan lewat vagina, bisa terlihat lebih jelas." sang dokter memperlihatkan alat sebesarjari telunjuk pria dewasa.
"Sakit gak dok? "
"Enggak, yang penting ibu rileks aja."
"I...ya deh." Aku memberanikan diri.
Dokter lalu membungkus alat itu dengan kondom dan mengolesi bagian luarnya dengan gel.
"Siap ya bu?"
"Bismillah."
"Kakinya ditekuk bu dan selangkangannya dibuka."
Sambil berbaring aku melakukan yang diminta oleh sang dokter. Perawat membantuku menyesuaikan posisi. Setelah posisiku tepat dokter mulai masukkan alatnya.
Tubuhku menegang, ini pertama kalinya bagiku. Kedua pahaku hampir saja menutup kalau tidak ditahan oleh sang perawat.
"Rileks, bu." tegur sang dokter.
Aku berusaha merilekskan diri dan memasrahkan semua pada sang dokter.
Layar hasil USG terlihat, tidak ada sedikitpun janin di sana.
"Maaf bu, tidak ada tanda-tanda kehamilan. Kalau ibu hamil paling tidak ada kantung kehamilan yang terlihat. "
Jadi aku sudah tidak hamil...
Aku terdiam mendengar ucapan sang dokter. Isi rahimku sudah sangat jelas terlihat, kosong.
Penjelasan-penjelasan berikutnya dari sang dokter seakan angin yang lewat di telingaku, kesedihan menguasai pikiranku.
Kami langsung pulang setelah keluar dari ruangan dokter. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Suamiku memahami apa yang kurasakan hingga ia pun tidak berkata apa-apa.
Sampai di rumah aku langsung membersihkan diri dan naik ke ranjang.
"Kalau belum jelas, kita periksa lagi ke tempat lain." ucap suamiku.
"Gak usah A, semua udah jelas kok. Periksa di tempat lain paling hasilnya sama."
"Siapa tahu ada yang beda."
"Gak usah. Udah A jangan dibahas dulu, aku cape."
Aku memang lelah, lelah dengan pikiranku. Aku berbaring dan berusaha memejamkan mata.
Malam terasa amat lama, suamiku telah terlelap di sebelahku namun aku masih juga terjaga.
Seperi biasa, aku melaksanakan aktivitas pagiku. Sehabis shalat subuh aku mulai memasak di dapur. Menyiapkan sarapan untuk kami.
Tiba-tiba perutku terasa sakit, tepatnya perut bagian bawah. Kuambil segelas air putih hangat lalu meminumnya perlahan. Sakitnya terasa makin menjadi.
"Kenapa?" Suamiku yang melihat aku merintih bertanya.
"Sakit banget perut."
"Udah istirahat aja, nanti beli nasi uduk aja buat sarapan."
Aku mengikuti saran suamiku untuk beristirahat. Aku berbaring.
Setelah suamiku berangkat bekerja aku masih di kasur, sakit di perutku makin tak tertahan. Aku merasa celanaku basah, aku bangun perlahan untuk mengeceknya. Ada bercak darah di kasurku.
Di toilet kubuka celanaku yang penuh darah.
Ia telah gugur
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro