Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Twenty Third Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。
Lebih baik merasa senang selamanya atau sedih selamanya?
。☆✼★━━━━━★✼☆。

Waktu yang kupilih, jam empat hingga jam tujuh malam untuk menemani Alvian belajar, tiga jam setiap harinya kecuali hari Rabu (karena ada kegiatan klub), Sabtu, dan Minggu.

Berita yang sempat booming minggu lalu itu kini surut kembali, tidak ada lagi yang membicarakan tentang kejadian bunuh diriku. 

Meski aku tahu ada yang masih membicarakannya di belakang. Satu hal yang harus kusyukuri, berita ini tidak sampai menyebarkan pada pihak guru. 

Namun ada sesuatu yang berubah. Semua orang jadi enggan berbicara denganku. Dan julukan baruku; "anak suram".

Semuanya jadi memandangku dari yang aneh menjadi semakin aneh. Bukannya seharusnya mereka sadar kalau hal itu membuatku merasa tidak enak.

Apa salahnya untuk merasa putus asa?

"Sedang melamun?" Suara Caroline membuat tergempa--sekaligus membuyarkan lamunanku. 

"Eh?" Kata itu refleks keluar dari mulutku, kelihatan sekali kalau aku memang benar-benar sedang melamun.

"Tumben kesini," balasku sembari menarik pandanganku kembali ke buku.

"Kita sudah lama tidak berbincang-bincang," ujarnya sembari mengambil sebuah buku dari rak perpustakaan. "Sudah merasa lebih baik?"

"Hm?"

"Maksudku kakiku, sudah mendingan?" tanya Caroline yang membuatku langsung menatap kedua lututku. Lukanya sudah kering dan beberapa bekasnya sudah terkelupas.

"Sudah." Aku membalasnya tanpa memindahkan pandanganku dari buku di hadapanku.

Caroline mengambil tempat duduk tepat di depanku sehingga kami berdua saling berhadapan. Sesaat kemudian ia memulai pembicaraan. "Blog itu benar tidak?"

Aku tersendak untuk kedua kalinya, apa dia sedang membicarakan blog yang menceritakan aksi bunuh diriku dua minggu lalu?

"Bisa tidak kita tidak membicarakan itu?" Tanpa sengaja aku melemparkan tatapan tajam pada Caroline--membuatnya sedikit menundukkan kepalanya.

Apa dia tidak tahu kalau hal itu sangatlah sensitif untuk dibicarakan?

"A-aku hanya khawatir padamu," ucap Caroline, kami saling bertukar pandang. Aku menatapnya dengan datar, tapi hatiku sedang menampung perasaan campur aduk.

Dia peduli padaku? 

Caroline melanjutkan kalimatnya. "Kita ini teman, tapi kamu tidak pernah memberitahu masalahmu, kamu terus memendam semuanya sendiri."

Bukannya memendam perasaan itu lebih baik? Mengumbarnya masalah akan membuat masalah terasa lebih rumit.

"Aku tidak ingin menambah beban pikiranmu," ucapku dengan lirih, berusaha menjaga suaraku tetap pelan karena sedang berada di perpustakaan.

"Kamu malah membuatku khawatir." Alisnya turun melambangkan kesedihan.

Aku ingin ada yang peduli padaku, tetapi kenapa setiap ada yang melemparkan kepedulian, aku merasa tidak enak?

Hidup ini terlalu rumit, begitu juga diriku.

"Maaf," balasku bersamaan dengan ekspresiku yang datar berubah menjadi sedih. "Aku hanya merasa—"

Entah kenapa suaraku berhenti keluar, kurasa aku memang tidak tahu ingin mengatakan apa lagi.

Caroline menyentuh punggung tanganku, mengelusnya dengan pelan. "Apa ini terkait Alyssa dan Sonia? Kamu melakukan ini karena mereka?"

Aku bingung ingin menjawab apa? Alasan aku melakukan itu ....

Karena merasa bahwa kematian lebih indah dari hidup. Karena aku merasa beban ini terlalu berat untuk kutanggung hingga aku berpikiran untuk melepaskannya.

"Tara?"

"Iya," balasku refleks.

Tebakan Caroline tidak salah sebenarnya, salah satu alasannya pasti muncul dari mereka.

Siapa yang tidak tertekan kalau menerima bully-an hampir setiap saat sampai harus bersembunyi di perpustakaan ketika istirahat berlangsung.

"Bagaimana kamu tahu aku ada disini?" Aku tidak ingat pernah memberitahu siapapun kalau aku berada disini. Perpustakaan ini selalu sepi, hanya diisi 3 atau 4 orang (dihitung diriku), tidak ada satupun murid 7A yang berada disini bersamaku.

"Ah, aku membuntutimu, maaf." Caroline menggaruk tengkuknya yang tidak renyem. "Aku hanya penasaran kenapa kamu pergi kemana, kamu kenapa selalu berada di sini selama istirahat."

"Sudah jelas bukan?" Aku menatapnya dengan heran. "Untuk menghindari Sonia dan Alyssa, aku tidak ingin masalahnya tambah rumit."

"Aku juga bingung dengan mereka?" Caroline menopang dagu dengan kedua tangannya. "Kenapa mereka menargetmu?'

"Karena aku anak yatim piatu, 'kan?" balasku. "Jadi aku terlihat begitu lemah dan tidak berdaya."

Jawabannya sangat jelas, aku satu-satunya penerima beasiswa di angkatan SMP, satu-satunya siswa dengan ekonomi yang kurang sehingga dibantu oleh pihak sekolah.

Percakapan kami menjadi canggung, topik pembicaraan ini selalu mengundang canggung. Caroline sering kali memulai percakapan dengan membahas itu, apakah itu karena dia ingin membantuku, membuat diriku merasa lebih baik?

Pandangan kami bersiborok, tidak ada suara yang keluar, kami hanya saling menatap dalam diam.

"Ah, aku malah membahas tentang itu."

"Tidak apa-apa."

Caroline mengumbarkan senyuman, tangannya mulai kembali ke sisi mejanya "kamu mau pergi ke mall yang ada restoran ayahku, makan bersama saat siang hari nanti?"

"Ada apa memangnya?"

"Aku hanya berpikir, kita tidak pernah hangout bersama, jadi aku ingin melakukannya bersamamu," ujarnya.

"Aku ...." Kalimatku berhenti tiba-tiba, benakku sibuk memikirkan alasan yang tepat untuk menolaknya tanpa memberi tahu musibah yang sedang menimpaku. "Aku tidak bisa.

Dia memiringkan kepalanya sedikit ke sebelah kiri. "Kenapa?"

"Aku ada urusan bersama Alvian nantinya." Entah kenapa alasan itu terlintas saja dalam benakku. Alasan nyata itu tidak perlu membuatku berbohong meki urusannya pada sore hari.

"Oh, kalian sedang berpacaran?' Caroline mengukir senyum jahil di atas bibirnya.

"Bukan begitu."

"Jadi? PDKT?" Senyum Caroline terlihat semakin aneh. "Aku tidak sadar kalau kalian semakin ddekat."

"Bukan." Aku menghembuskan napas ringan. "Kami tidak punya hubungan apa-apa."

"Benarkah?" Kepala Caroline mendekat. "Kalian berdua cocok, lho."

Aku menatapnya dengan heran. "Cocok sebagai apa?"

"Lupakan, kamu tidak asik," balas Caroline sembari tertawa terkekeh-kekeh, "reaksimu biasa saja, tidak blushing, tidak seru."

Aku mencerna kalimatnya secara perlahan, blushing, untuk apa aku harus merasa malu/ Kami memang tidak ada apa-apa. 'Aku memang tidak asik."

"Asik tidak asik, kamu itu tetap temanku," ucap Caroline sembari menyunggingkan senyuman.

Suara bel tanda istirahat berakhir terdengar, Caroline sontak beranjak dari duduknya--mendorong kursi itu hingga sebagian tubuh kursi masuk ke kolong meja. "Ayo kembali ke kelas."

Aku mengangguk pelan, berdiri lalu meletakkan buku yang kuambil tadi ke tempatnya. Kakiku mengekori Caroline keluar dari perpustakaan.

Tangan kanannya ia julurkan padaku, seperti sedang memintaku menggenggam tangannya. Dengan ragu-ragu aku menerimanya.

Rasanya sungguh aneh, aku tidak terbiasa melakukan kontak tubuh seperti ini. Namun, ada satu hal baru yang kurasakan.

Aku merasa seperti ada orang yang akan menjagaku, genggaman tangan itu membuatku merasa aman. 

Membuatku merasa senang karena masih ada tangan yang bisa kugenggam, tangan seorang teman.

"Kapan-kapan kita hang out bareng, ya," ujar Caroline sembari mengayunkan tangannya dengan pelan, aku membalasnya dengan anggukan samar.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Mataku menatap layar ponselku, memperhatikan angka 15:40 yang tertera dengan ukuran besar pada lockscreen.

Jarak rumahnya lumayan jauh dari rumah sakit, kalau jalan kaki kurasa akan memakan waktu yang sangat lama, jadi aku memutuskan untuk memesan ojek online.


Semakin lama aku berada di jalanan, semakin lama pula aku meninggalkan Bibi sendirian. Dia belum siuman, fakta itu membuatku tidak bisa berhenti khawatir. Aku sampai gagal mendapatkan nilai tertinggi untuk ujian tengah semester ini.

Peraih tertinggi kali ini adalah Caroline, aku pun tidak heran ataupun kaget, dia memang pantas menerimanya. Kefokusanku terhadap soal ujian menurun kantaran terus memikirkan masalah Bibi dan juga Sonia dan Alyssa yang tak kunjung berhenti menggangguku.

Getaran dari ponsel--yang sedang berada pada jemariku--membuatkub terkejut. aku jadi mudah kaget akibat kebanyakan melamun--memikirkan terlalu banyak hal.

"Untuk apa Alvian menelepon?" Tanda tanya langsung muncul dalam benakku begitu nama Alvian terpampang pada ponselku.

Setelah menggeser tombol 'angkat', aku langsung mendekatkan benda pipih itu pada indra pendengaranku. "H-halo ...."

[Tara, aku akan meminta Pak Rudy menjemputmu dari rumah sakit, ya. Sudah dijalan.]

"Sudah kubilang, aku masih bisa memesan ojek online." Aku mengeluarkan raut wajah kesal meski tahu dia tak bisa melihatnya.

[Kalau kamu dijemput Pak Rudy, kamu bisa menghemat uangmu sekaligus juga merasa lebih nyaman karena menggunakan mobil.]

"Aku tidak ingin merepot—" Ucapanku dipotong oleh Alvian.

[Tidak apa-apa, tidak repot, kok.]

"Kan bukan kamu yang mengendarai mobilnya, dia yang kerepotan, bukan kamu."

[Dia tidak akan merasa kerepotan, percayalah, Pak Rudy itu orang yang sangat baik.]

Meski lewat telepon, aku bisa membayangkan senyumannya yang begitu bersahabat itu.

Tidak mungkin juga aku menolak, Pak Rudy sudah dalam perjalanan menuju ke sini. Kalau menolak, aku malahan bisa dibilanh tidak menghargai bantuan orang lain.

Anak ini selalu bersikeras memberikan aku bantuan.

Aku harap tidak ada maksud tersembunyi di balik itu.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Rasa gugup menjalar pada kedua kaki atau bahkan pada seluruh tubuhku. 

Pak Rudy langsung menurunkanku di depan pintu paling tengah yang ukurannya besar dan terlihat mewah, dia bilang kalau dia mau memarkirkan mobilnya di garasi terlebih dahulu.

Tanganku--yang awalnya hendak mengetuk pintu-berhenti ketika terpikir kalau mungkin saja ada bel.

Setelah menekan tombol bel--yang ternyata terletak di bagian paling tepi pintu tersebut--menunggu seseorang membukakan pintunya.

Saat pintunya terbuka, Alvian langsung menyuruhku masuk kedalam. "Ah, Tara, ayo masuk."

Dengan malu-malu, aku memasuki rumahnya, rasa sangat canggung ketika mengunjungi rumah yang tidak pernah kudatangi sebelumnya.

Mataku berkeliaran--mengamati rumahnya yang mewah dan luas.

"Ah, Ayah dan Ibu sedang bekerja, mereka lembur hari ini jadi belum pulang." balas Alvian yang mengira kalau aku sedang mencari keberadaan orang tuanya.

Setelah menaiki lift sampai dengan lantai 3, dia mengantarku ke sebuah ruangan yang dipenuhi oleh buku-buku dan juga meja persegi yang diletakkan di tengah ruangan.

"Ini ruang belajarku, maaf kalau berantakan," ucapnya sembari menggaruk tengkuknya.

Mejanya rapi tapi tidak dengan lantainya, buku-buku berserakan di atasnya-membuatnya sangat tidak enak untuk dipandang.

Aku menekukkan kedua lututku--membungkukkan badanku juga, mulai memungut buku-buku itu. "Rapikan dulu ini, kamu tidak akan bisa belajar kalau keadaannya berantakan seperti ini."

Dia kemudian ikut membantuku mengambil buku-buku itu, menatanya dengan rapi lalu memasukkannya ke dalam rak setinggi pinggang yang isinya kosong.

Aku menyapu pandanganku sekeliling ruang belajar ini, Ruangan ini sepertinya jarang digunakan. Meski tidak ada debu tapi ada rasanya ada aroma kayu dari perabot yang begitu kuat.

"Pintunya boleh dibuka saja?" ujarku pada Alvian yang malahan duduk di lantai, membalik-balikkan halaman buku random.

Ketika mendengar suaraku, kepala Alvian menoleh ke arahku. "Ya?"

"Pintunya dibuka sedikit, pengap soalnya, boleh?" Ia membalas kalimatku dengan anggukan.

"Kenapa duduk di lantai? Di sini ada kursi." Aku menatap Alvian--yang masih duduk bersila di lantai--dengan bingung.

Alvian yang tadi membaca buku langsung berdiri dan berpindah ke kursi yang diletakkan dekat dengan meja. "Ah, maaf, kebiasaan."

Aku dengan perlahan menarik kursi itu hingga berada tepat di hadapan Alvian lalu duduk di sana> "Kalau membaca sambil menunduk nanti matamu cepat rusak."

Alvian masih sibuk membaca buku yang ia pegang sedaritadi. Aku jadi merasa datang ke sini hanya untuk melihatnya membaca. "Alvian, kamu mau belajar apa dulu? Matematika?"

"Terserah Tara," balasnya.

"Kamu kelihatan tidak niat belajar, ya," asumsi diriku sembari membolak-balikkan halaman buku cetak matematika dengan jemari.

"Niat kok." ujar Alvian tanpa melepaskan pandangan dari buku itu.

Tanganku berusaha meraih buku itu, Alvian yang sadar akan hal itu langsung menjauhkan buku itu dariku. "Iya, aku akan belajar."

Ia meletakkan buku itu di atas meja, sekilas, aku melihat sampul dari buku itu, kosong, tidak ada tulisan apapun.

Aku seharusnya tidak kepo.

"Kita belajar dari bab awal, yang bilangan bulat." Aku mulai menjelaskan materi itu sepelan mungkin supaya bisa ia cerna.

"Aku tidak mengerti." Ia menggaruk kepalanya, tidak mengerti penjelasanku.

"Serius, minus digabung minus, kamu tidak pernah mempelajarinya?" Bukan mengatakan dia bodoh atau apa, hanya aneh saja kalau dia tidak ingat pelajaran sederhana yang sudah diajarkan sejak sekolah dasar.

Dia menggelengkan kepalanya.

Mengajarinya akan sangat sulit. "Kalau garis ini bertemu garis ini, maka akan menjadi tanda tambah seperti ini."

Aku menggambarkan beberapa simbol di atas kertas, menulis penjelasan serinci mungkin. "Sudah mengerti?"

"Sedikit?" ujarnya dengan ragu.

"Tahu asosiatif dan komutatif?" Aku bertanya pada Alvian yang masih memperhatikan kertas penjelasanku dengan bingung. 

Jujur saja, aku merasa tidak cocok dalam mengajar hal ini, aku orang yang tidak sabaran dan juga tak pandai menjelaskan. Aku menerimanya karena tidak ada pekerjaan sampingan yang lebih baik dan mudah daripada ini.

"Apa itu?" 

Aku menjelaskannya dengan segala kesabaran dicampur ketelatenan. Semoga saja ia paham, dia tipe orang yang sulit menerima informasi.

Hari pertama mengajarinya terasa berat, melelahkan sekali karena ia benar-benar sulit menerima semua pengajaran. Namun entah kenapa aku merasa semakin memahami mata pelajaran ini.

Ternyata menyenangkan juga.

TBC~

20 September 2020
Edited: 15 November 2020

Lemony's note

Author note 20 September raib 😭✨ Chap 23 kehapus sendiri. Untung aku punya cadangan, tapi author notenya hilang.

Jadi, aku pindahin ulang, komennya semua jadi ga di inline hiks :')

Wattpad errornya keterlaluan, ya, dataku sering hilang atau enggak tertukar ;-;

Semoga wattpad cepat benar. Sebenarnya aku ga masalah kalau author note hilang, tapi kalau komen kalian ga di inline, that makes me feel sad ;-;)9

Baiklah, tidak apa-apa, mungkin lagi tidak beruntung.

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro