✧・゚:*Twenty Seventh Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Kehidupan ini tidak dapat diterka, bagaimana kalau kita menjalaninya dengan sepenuh hati saja?
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Charlos dan Yoona yang membeli bahan-bahan, aku bahkan tidak tahu apa yang akan mereka buat, maksudku, aku tidak begitu tahu rancangan Caroline yang mereka pegang.
Sisa seminggu lebih sebelum acara ulang tahun sekolah, semuanya jadi semakin sibuk, dan waktu belajar dikurang satu mata pelajaran agar persiapannya maksimal.
Semuanya tidak berpengaruh padaku, kurasa aku yang paling tidak peduli dan terlihat biasa saja dengan acara sekolah yang katanya akan berlangsung selama lima hari.
Ada satu hal yang membuat jadwalku sedikit terganggu, mereka bilang kalau aku harus meluangkan waktu untuk membantu mereka menyelesaikan dekorasi.
Dan duduklah aku mengelilingi meja--yang biasa aku dan Alvian gunakan untuk belajar--bersama mereka, menggunting potongan kertas sesuai dengan instruksi mereka. Charlos dan Yoona menyarankan kita untuk pergi ke rumah Alvian saja.
Kalau saja wali kelas tidak menyuruh kami ikut menggunting dekorasi untuk di luar kelas, pekerjaan kami tidak akan sebanyak ini, sehingga tidak perlu mengerjakannya di luar sekolah, katanya untuk melatih kerja sama dan kedisiplinan.
Kenapa aku harus ikut? Kurasa tiga orang cukup untuk melakukan ini, lagipula, aku bisa mengerjakannya sendiri di rumah sakit kalau mereka memberiku tugas.
"Tidak bisa, nanti kamu salah mengerjakan." Itulah kata Yoona saat aku menyarankan solusi itu, andai saja mereka tahu aku punya urusan lebih penting di rumah sakit, mungkin mereka akan membiarkanku.
Ah, tidak mungkin, mereka tidak punya belas kasih.
Alvian sepertinya cukup peka, mungkin sejak insiden rumah sakit itu, dia jadi lebih peka. Dia sampai ikut menyetujui saranku, dan tentu saja Yoona, juga Charlos banyak bertanya.
Akhirnya, saranku menjadi wacana, aku terjebak di sini bersama mereka, mulutku tidak berani menyuarakan keadaanku, situasiku bisa saja memburuk.
"Tara, guntinganmu sangat tidak rapi." Yoona berdecak kesal, dia menatap hasil guntinganku dengan tidak puas, aku memang tidak terlalu berbakat dalam hal ini.
Charlos ikut menyelam dalam percakapan. "Tara daritadi melamun terus, pantas saja potongannya berantakan gini."
Alvin tersenyum kaku, dia tidak melontarkan kalimat apapun sesuai dengan permintaanku.
"Maaf." Ucapan itu keluar dari mulutku langsung, aku biasanya memilih diam, tapi entah ada perasaan aneh yang menyelimutiku kalau aku diam saja.
Hujatan terhadap diriku pasti akan bertambah buruk.
Aku memfokuskan pikiranku sepenuhnya pada kain fanel hitam yang tengah kugunting, aku tidak tahu serapi apa guntingan mereka, tapi menurutku guntinganku sudah cukup rapi.
Kamar belajar--yang kami gunakan saat ini--terdengar sangat hening. Alvian tidak lagi berbicara banyak seperti biasa, entah apa yang terjadi padanya.
"Sebentar, ya." Alvian berdiri dari duduknya, lalu meraih buku abu-abu itu lagi, dan menuliskan sesuatu di atasnya.
Aku sudah terbiasa, melihatnya termangun sejenak lalu menuliskan kalimat di atas kertas, mungkin saja itu hanya kalimat yang lewat sepintas di benaknya.
Alvian kembali duduk ke tempatnya tiga menit kemudian, kembali tenggelam ke dalam suasana kerja kelompok ini.
Tubuhku beranjak dari posisi duduk, aku ingin pergi ke kamar mandi sejenak, rasanya sangat tidak nyaman berada di antara Charlos dan Yoona.
Aura mengintimidasi mereka--meski tidak separah Alyssa dan Sonia--menusukku. Hanya beberapa dari teman sekelas saja yang tidak menatapku dengan aneh, sisanya melihatku seperti seseorang yang sangat rendah.
Batinku yakin mereka merasa kesal karena harus berbagi tugas denganku, dengan anak yatim piatu yang sering pingsan tiba-tiba, siapa juga yang mau?
"Aku ke kamar mandi sebentar." Aku membalas tatap mereka bertiga dengan kalimat itu. Dengan pelan, aku melangkah keluar menuju daun pintu.
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menatap cermin dibandingkan melakukan panggilan alam. Kamar mandi merupakan tempat yang sempurna untuk merasakan rasa sepi yang menenangkan.
Tidak baik membuat mereka menunggu lama, mereka malah akan mengira kalau aku sengaja--meski aku memang tidak niat mengerjakannya.
Tanganku hendak mengetuk pintu, gerakanku terhenti karena mendengar suara percakapan dari dalam, percakapan tentang diriku.
"Tara kenapa lama sekali?" Suara Yoona samar-samar terdengar di balik pintu. Aku berjalan semakin dekat, jemariku menyentuh daun pintu.
Batinku ingin mendengarnya meski aku tahu kalau mereka tidak mungkin membicarakan hal yang baik tentangku, bukannya semua orang juga begitu?
"Mungkin dia tersesat di rumah sebesar ini," ujar Charlos, suaranya terdengar lebih jelas dari suara Yoona.
"Lah, kenapa tidak tanya jalan ke Alvian atau ke asisten di sini?" Nada Yoona berubah, dia terdengar amat kesal.
Apa salahnya berada di kamar mandi sedikit lebih lama? Ah, iya, berada di dunia ini saja sudah menjadi kesalahanku.
"Mungkin saja dia sedang mencuri sesuatu, dia, kan ...." Ucapan Charlos sengaja ia jeda, lalu terdengar tawa dari mereka berdua.
Jemariku menyentuh dada sebelah kananku, sesak napas aku rasakan, seharusnya aku terbiasa dengan keadaan seperti ini, tapi rasanya tetap sakit.
Lebih baik aku berhenti mendengarnya, masuk ke dalam, dan bersikap biasa. Gerakanku terhenti lagi, kali ini disebabkan oleh suara Alvian.
"Anu, kalian jangan membicarakan Tara di belakang, dong." Suara Alvian terdengar di balik daun pintu, di antara mereka bertiga, suaranya yang paling samar dan sulit didengar. Aku mendekatkan indra pendengaranku--menempelkkannya pada daun pintu.
"Kamu memangnya tidak aneh melihat dia?" ucap Charlos, dia pasti sedang memasang wajah jijik. "Pengemis belas kasih."
Aku ... tidak pernah mengemis belas kasih, aku hanya ingin hidup dengan tenang.
"Ah, menyebalkan sekali harus berbagi tugas dengannya," timpa Yoona dengan nada kesal.
Kurasa aku harus masuk saja supaya mereka berhenti melontarkan perkataan menyakitkkan terkait diriku.
"Tara orang baik, dia tidak aneh," ucap Alvian dengan tegas, tetapi nada bicaranya tetap halus dan hangat.
Di satu sisi, aku senang ada yang menumpahkan kata-kata untuk membelaku, di sisi lain, mereka pasti akan mulai akan bertanya apakah aku yang meminta Alvian berkata demikian.
"Kamu begitu mengenalnya, ya?" Aku tidak tahu apa jawaban Alvian terhadap pertanyaan Yoona, tidak ada suara yang kudengar lagi.
Charlos kembali berbicara. "Dia kelihatan seperti tipe orang yang manipulatif, mungkin dia mengejar materimu, Alvian, kamu harus hati-hati."
Tidak ingin Alvian menjawab--takut kalau dia salah bicara, aku memutuskan untuk mengetuk pintu sebanyak dua kali. Mereka pasti terkejut.
Aku masuk dengan perlahan, pura-pura tidak tahu menahu tentang pembicaraan tadi.
"Ketuknya tidak bisa pelan sedikit?" Yoona langsung berkata dengan nada ngegas, gerakan mengguntingnya juga terhenti. Aku tanpa sengaja membiarkan emosiku mengalir melalui ketukan tadi.
Aku tidak membalas pertanyaan, mimik wajahku pasti sedang mengatakan kalau aku mendengar banyak tadi, mereka semua menatapku.
Alvian hendak bersuara, tapi tertahan karena aku langsung melemparkan tatapan tajam. Dia tidak boleh membelaku.
"Maaf." Aku sengaja berucap demikian, aku benar-benar malas berurusan dengan mereka, lebih baik aku tetap tutup mulut meski keadaan terasa buruk.
Kadang aku berpikir, seharusnya aku mencari sekolah lain. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, aku tidak perlu menderita seperti ini.
Keheningan menguasai ruangan lagi, aku ingin ini segera berakhir, semoga saja aku akan menemukan alasan untuk keluar dari kegiatan ini.
Tepat saat doa itu dilantunkan dalam hatiku, ponselku bergetar, dan mengeluarkan nada dering bervolume minim. Aku mengeluarkannya dari tas ransel kecilku.
Nomor publik, sepertinya aku pernah melihatnya. Benakku melakukan kilas balik sejenak, ah, ini telepon dari rumah sakit.
Napasku tertahan sejenak, pikiranku mulai memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Rumah sakit, apa Bibi kenapa-napa?
Aku berdiri dari dudukku. "Permisi," ucapku, lalu berjalan ke luar ruangan belajar itu.
"H-halo." Suaraku bergetar hebat, begitu juga dengan jemariku yang tengah menggengam handphone. Jantungku ikut berdetak dua kali lebih kencang.
"Selamat siang, Tara, Bibi Anda sudah sadar, kami mengabari Anda seperti yang sudah Anda ingatkan."
Tubuhku tidak bergerak, rasanya seluruh waktu berhenti, aku ... tidak bisa berkata apa-apa, aku—
"Halo?"
"Aku akan segera ke sana." Dengan perasaan sukacita, aku menekan tombol akhiri panggilan lalu masuk ke kamar belajar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Seluruh tubuhku bergetar, aku dengan cepat langsung berjalan masuk, dan menyambar tas ransel hitamku. tatapan aneh dari mereka bertiga menghujaniku.
"Ada apa?" Alvian buka suara, bertanya kepadaku.
"Aku punya urusan mendadak." Aku menjaga ekspresi wajahku untuk tetap terlihat tenang. "Aku izin pergi."
Charlos berdecak ringan. "Ck, alasan."
"Maaf, tapi aku memang punya urusan." Seluruh usahaku untuk bersikap sopan padanya sia-sia, entah kenapa aku harus sekelas dengan orang seperti mereka, nasib yang buruk.
"Urusan apa? Kasih alasan yang jelas, dong, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, jangan lari." Yoona menatap kesal seraya memainkan rambutnya yang hanya sepanjang separuh leher.
"Tidak penting untuk kalian ketahui."
Mereka benar-benar menunda waktuku, aku sudah ingin pergi ke rumah sakit.
"Ck, itu hanya alasan, memang caper," ujar Yoona sambil memutar bola matanya.
Aku tidak peduli lagi apa yang akan mereka katakan, kakiku melangkah ke arah pintu tanpa ragu. Aku sudah hafal jalan menuju pintu utama dari ruang belajar, kedua kakiku bersemangat menuruni tangga, untung saja aku tidak terjatuh.
Dari belakang aku mendengar suara tapak kaki yang lumayan kencang. Mataku melirik ke belakang dan menemukan Alvian yang menyusulku.
Sial, kenapa dia ikut, apa kata mereka nanti?
"Tara, tunggu, aku akan meminta Pak Rudy untuk mengantarmu."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri." Aku berjalan dengan cepat, tangan kananku memegang ponsel, sibuk menekan tombol untuk memesan transportasi online. "Cepat kembali ke sana sebelum mereka hendak mencarimu."
"Aku juga bilang kalau aku punya urusan." Desahan panjang langsung keluar dari mulutku, Alvian selalu bertindak sesuka hatinya.
Saat aku keluar dari pintu rumahnya, sebuah mobil hitam sudah berada di depanku dengan Pak Rudy yang membuka jendela mobil.
"Kamu mau ke rumah sakit, 'kan?" Aku lumayan terkejut, sejak kapan dia jadi pandai menerka-nerka situasi? "Biarkan Pak Rudy yang mengantarmu."
Baiklah, aku sebaiknya menerima tawarannya, berdebat dengannya nanti hanya akan membuang banyak waktu. Kakiku dengan sigap langsung berjalan mendekati mobil hitam itu, dan masuk ke dalam.
Ternyata Alvian juga ikut.
Saat mobil itu mulai bergerak, aku melontarkan satu-dua pertanyaan. "Untuk apa kamu ikut? Bagaimana dengan Charlos dan Yoona?"
Jujur saja, kalau bisa, aku merasa kesal kepadanya, tapi kekesalanku tertutupi oleh rasa gembira. Aku sudah menunggu momen ini sejak lama, tidak akan kubiarkan satu orang pun merusak emosi terkiniku.
"Sudah kusuruh mereka untuk pulang." Kedua jempol menyentuh layar handphone dengan ligat, sepertinya sedang mengirim pesan kepada mereka.
"Untuk apa kamu ikut?" Aku mengulangi pertanyaanku.
"Kamu terlihat senang, pasti ada hal baik yang sedang terjadi, di mana lagi selain di rumah sakit." Alvian tersenyum memandangku, senyumnya terasa hangat. "Aku tidak pernah melihat seorang Tara sebahagia ini."
Jujur saya, aku tidak tersenyum sedaritadi. Kata Ayah, aku tidak terlalu mengekspresikan emosiku pada orang luar, tapi entah kenapa dia bisa merasakan rasa gembira yang menggebu dalam hatiku.
Alvian tetaplah orang luar, tapi aku senang dia bisa mengerti diriku meski hanya sedikit.
Aku tersenyum, kali ini benar-benar tersenyum. "Bibiku sudah sadar."
TBC~
22 November 2020
Lemony's note
Ahhh, akhirnya momen ini tiba, yeahh, impian kecil Tara sudah terwujud, aku turut senang
Konflik yang Tara alami mulai selesai satu per satu, saatnya menambahkan yang baru /plak
Aku senang bisa menulis cerita ini, entah sudah berapa kali aku mengakatakan ini. Huah, semoga cerita ini bisa membuat kalian senang juga.
Author note-ku tidak sepanjang dulu ;-; tidak tahu mau menulis apa.
Oh iya, ujian sudah mendekat, tapi itu tidak akan menghentikanku untuk terus menulis, yeahhh. Semangat semuanya!
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro