✧・゚:*Twenty Fourth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Kadar kebahagiaan setiap orang berbeda-beda, begitu juga kadar kesedihan setiap orang.
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Alvian saat sedang menaiki tangga menuju ke kelas. Ia--yang awalnya berada di belakangku--berjalan agak cepat hingga langkahnya kini sama denganku.
"Hai." Alvian menyapaku seperti biasa, dengan nada yang begitu segar dan bersemangat.
"Hai," balasku tanpa melepaskan pandanganku pada tangga yang tengah kupijak, "sudah bisa pelajaran kemarin?"
"Aku belum begitu paham."
"Maaf jika cara mengajarku kurang bagus, sudah kubilang kalau aku bukan pembimbing yang baik." Rasa ini terus mengganjal dalam hatiku, tidak bisa kusimpan dan harus kuberitahu.
"Bukan, aku memang agak susah belajar." Ia tersenyum kecut saat melontarkan kalimat itu.
Meski sudah beberapa kali dia mengatakan hal itu, tapi aku tetap merasa tidak cukup, kurasa aku harus menulis catatan agar pengajarannya lebih lancar.
"Tumben datangnya telat," ujarku melanjutkan percakapan yang sudah berhenti.
"Aku kelelahan," Alvian menguap dengan posisi tangan menutupi mulutnya,
"Kamu mengulangnya kemarin?" Netraku langsung berpindah ke Alvian tatkala dia mengucapkan kata 'lelah'.
Ia mengangguk pelan. "Ya, begitulah."
"Terima kasih." Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat, sebuah rasa dihargai tercipta dalam hatiku--mengundang rasa senang.
"Eh? Kenapa?" tanya Alvian disertai ekspresi ganar.
"Lupakan."
"Kamu selalu bilang begitu." Alvian memicingkan matanya lalu menggelengkan kepalanya samar. "Itu kata favoritmu, ya?"
"Begitulah," balasku lalu memelankan suaraku sampai hanya diriku saja yang bisa mendengarnya, "nanti kamu banyak tanya."
Ketakutan saat masuk ke kelas terasa berkurang saat ada orang di sampingku. Namun kali ini tatapan mereka seperti sedang terkejut saat melihatku dan Alvian masuk bersamaan.
Menghiraukan tatapan mereka, aku langsung duduk di kursinya dan mulailah Caroline menatapku dengan aneh sembari tersenyum.
"Datang barengan ke sekolah?" Dengan senyum menggoda, ia menyenggolkan lenganku dengan sikunya.
"Tidak, hanya kebetulan ketemu," jawabku sambil mengeluarkan buku IPS (mata pelajaran pertama) dari tas sekolah.
"Kukira kalian itu--"
"Hentikan asumsi anehmu itu, kami hanya sekedar teman."
"Teman atau teman dekat?" Dia mendorong lenganku dengan pelan. "Kalau memang 'dekat', jangan ragu memberitahuku."
Aku tertawa kecil melihatnya, entah kenapa rasanya kami semakin akrab. Aku jadi merasa seperti remaja perempuan pada umumnya, tertawa bersama teman dan menjahili satu sama lain, lalu mencicipi kerecehan.
Meski aku sadar masih ada bahaya, tapi aku merasa lebih baik. Rasanya Caroline benar-benar menjadi temanku, bukan sekedar mantan partner belajar.
Aku senang meski ini hanya sesuatu yang kecil.
Sudah menjadi kebiasaanku melirik ke belakang sesekali, melihat apakah Sonia atau pun Alyssa sudah hadir atau belum.
Alyssa sedang sibuk bercakap-cakap dengan temannya di belakang sedangkan Sonia belum muncul.
Jujur saja, Alyssa tidak se-mengerikan Sonia. Sonia seperti punya ambisi yang sangat besar untuk menindasku, tidak tahu kenapa.
Aku masih bertanya-tanya apa salahku. Namun semua itu tidak akan memberikan jawaban. Kata mereka membenci itu tidak memerlukan alasan spesifik.
"Jadi, kamu mau jalan denganku, hari ini?" Caroline tersenyum manis saat melontarkan hal itu sedangkan benakku sudah mulai menyusun alasan.
Aku tidak mungkin meninggalkan Bibi yang terkapar di rumag sakit sementara aku malah bersenang-senang di luar.
Masalah Alvian, mungkin aku bisa izin dengannya tapi tidak dengan Bibi, aku tidak akan meninggalkannya.
Aku menggelengkan kepala sebagai balasan ajakan Caroline, dia langsung manyun. "Kamu kelihatan sibuk belakangan ini, ada apa?"
Diam, aku hanya bisa mengatupkan bibirku. Caroline pastinya sudah tahu kalau ada sesuatu yang ingin aku sembunyikan.
"Aku ada kegiatan belajar dengan Alvian." Itu satu-satunya alasan yang mampu aku lontarkan, aku tidak berbohong mengenai hal ini. Biarkan dia mengolok-olok diriku sepuasnya, candaannya lebih menghibur dibandingkan kalimat hina yang keluar dari Sonia atau pun Alyssa.
Kalau sampai mereka tahu Bibi sedang sakit, besar kemungkinan mereka akan semakin menginjakku, semakin menindasku.
Namun, Caroline bukannya temanku? Kenapa aku malah tidak mempercayainya? Sebenarnya aku dan dia itu apa?
"Kamu terlihat sedih dan lesu belakangan ini, kamu tidak apa-apa?" Kali ini raut wajah Caroline berubah menjadi sedih. "Kamu selalu menutup diri, kamu tidak percaya padaku?"
Aku terdiam tanpa bisa mengatakan apapun. Beruntungnya, Bu Fya sudah memasuki kelas, membuat semuanya dalam posisi siap belajar.
Maaf, Caroline, aku belum bisa memberitahumu. Aku sudah lelah ditindas.
Kami masuk ke dalam keadaan belajar, kami memperhatikan papan tulis yang sudah dipenuhi tulisan Bu Fya, ia menerangkan baris per baris dengan begitu detail. Dengan secepat mungkin, aku mencatat semua ucapannya terkait materi.
Lima belas menit menuju bel istirahat pertama, Bu Fya meletakkan spidol yang ia pegang daritadi di atas meja, menggantinya dengan secarik kertas lalu berdiri menatap kami semua.
"Semuanya, perhatikan Ibu terlebih dahulu." Bu Fya menepuk kedua tangannya dengan pelan untuk menarik atensi kami. Semua mata sontak tertuju padanya termasuk aku.
"Bulan November nanti akan ada acara ulang tahun sekolah, jadi selama bulan Oktober ini kalian akan melakukan persiapan," ujar Bu Fya yang membuat seisi kelas dipenuhi bisikan-bisikan.
Aku sebenarnya tidak suka dengan acara seperti ini, aku yakin semua murid akan diminta ikut serta dalam acara ini. Mungkin saja mereka akan membuat kami mempersiapkannya di luar jam sekolah.
Bu Fya melirik secarik kertas yang dipegangnya lalu kembali menatap kami semua. "Semua kegiatan klub akan diliburkan."
Hampir semua orang bersorak gembira seakan-akan kegiatan klub begitu menyusahkan mereka. Dalam hati aku merasa senang, itu berarti aku bisa berada di rumah sakit lebih lama, tapi aku khawatir mengenai persiapan acara ini.
Apakah ini akan mengurangi waktuku untuk berada di rumah sakit?
"Kenapa khawatir begitu?" Caroline mengarahkan pandangannya kepadaku, menatapku yang diselimuti rasa khawatir. "Tenang saja, acaranya santai, kok, meski banyak."
Banyak? Benakku mulai memikirkan banyak hal, kalau acaranya banyak, persiapannya pasti banyak dan repot.
"Ibu akan membacakan list acaranya." Bu Fya mengangkat kertas tersebut mendekati wajahnya lalu membacakannya satu persatu.
Aku tidak fokus pada itu, aku malah sibuk memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk membagi waktu? Apa aku harus memberitahu pihak sekolah keadaanku sekarang supaya mereka tidak mengikutsertakan diriku pada acara ini?
"Tidak apa-apa, aku hanya takut jika aku tidak bisa melakukan persiapan dengan baik," tuturku sembari memindahkan anak rambut ke belakang daun telinga.
"Kita bahkan belum membagi tugas masing-masing, jangan overthinking dulu." Caroline menepuk bahuku untuk memberikan rasa tenang.
Apakah persiapan ini dilaksanakan perkelompok? Apa aku harus bersosialisasi dengan orang lain? Ini kabar buruk.
Bel berbunyi tepat ketika Bu Fya melirik jam dinding kelas. "Baik, sampai di sini pelajaran hari ini, kalian sudah boleh menentukan peran masing-masing. Ketua kelas, ambil kertas ini."
Kevin beranjak dari duduknya lalu meraih secarik kertas yang diserahkan Bu Fya. Setelah itu, Bu Fya pergi dari kelas meninggalkan suara hak tinggi yang makin lama makin samar hingga tidak terdengar.
"Semuanya bisa berada di kelas." Kevin berdiri di depan kelas sembari melontarkan kalimat itu. Kulihat kebanyakan merespon dengan anggukan kecil, aku pun ikut mengangguk.
Dengan ramainya kelas, seharusnya Sonia dan Alyssa tidak macam-macam.
"Ada tiga acara yang akan diadakan selama seminggu yaitu bazaar sekolah, pentas, dan juga hiburan kecil yang harus disiapkan masing-masing kelas," ungkap Kevin dengan mata masih memandang kertas itu, "kita tentukan dulu, hiburan apa yang harus kita siapkan."
Hiburan? Aku menatap Kevin dengan raut kebingungan.
"Ah, semacam acara kecil yang disiapkan oleh satu kelas, misalnya kelas kita menyiapkan acar kecil misalnya quiz berhadiah, game berhadiah, ataupun game lainnya. Rumah hantu juga bisa, lho. Tahun lalu kudengar ada tujuh kelas yang menyulap kelas mereka menjadi rumah hantu," Caroline tertawa kecil saat memberitahukan hal itu kepadaku, "masing-masing punya tingkat keseraman yang berbeda, yang paling ngeri itu murid kelas 9D tahun lalu, sampai ada yang hampir pingsan."
Aku menyimak cerita Caroline, sejujurnya, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal itu.
"Rumah hantu saja," celetuk salah satu siswa laki-laki, "aku ingin membuat orang pingsan."
Kevin langsung menepuk wajahnya dengan tangannya. 'Ron, Ron, orang-orang bukannya pingsan, mereka malah akan tertawa melihatmu."
Seisi kelas tertawa terbahak-bahak kecuali aku yang tidak terlalu mengerti arah pembicaraan ini.
"Dulu, Ron itu suka mengagetkan orang-orang tapi tidak ada yang pernah terkejut soalnya wajahnya yang tembem itu malah membuat orang tertawa," tutur Caroline disertai kekehan.
Aku hanya ber-oh ria mendengar ceritanya, kuharap dia tidak merasa kalau aku mengabaikannya.
"Kafe kecil lucu, sih," ujar salah satu siswi memberi masukan.
"Kita sudah punya stand bazaar yang akan diurus oleh anak SMA."
Seisi kelas dipenuhi debat menentukan acara kelas mereka, ada yang ingin kelasnya dijadikan kafe, ada yang kelasnya dijadikan tempat berfoto yang aesthetic, bahkan ada yang ingin kelas mereka mengadakan tournament e-sport kecil-kecilan, semuanya berlomba-lomba memberikan masukan.
Kelas menjadi sangat ramai, padahal isinya hanya enam belas namun rasanya seperti ada tiga puluh-an orang.
Aku hanya duduk diam mendengar semuanya, apapun keputusan mereka, semoga tugasku tidak berat dan tidak banyak.
Dua orang gadis yang duduk sebangku berkomentar, "Buka spot foto saja, kita hias ruangan ini se-aesthetic mungkin, aku yakin banyak yang akan datang."
"Ah, e-sport dong, lebih keren, pasti peminatnya banyak."
"Repot, harus pasang kabel, harus pasang ini, pasang itu," celoteh Alyssa kalau tidak salah dengar, suara mereka yang beradu membuatku bingung siapa yang tengah berbicara.
"Kuis saja, lebih gampang, toh yang lainnya pasti akan diambil oleh anak kelas delapan atau sembilan yang tentunya lebih pandai menghias ruangan."
"Kata siapa? Aku yakin rumah hantu kita bakal jadi yang paling serem!"
Adu pendapat menambah suasana panas, Caroline juga sedaritadi semangat mengatakan kalau ide rumah hantu yang terbaik.
"Karena masalahnya tidak selesai dengan musyawarah, kita adakan voting saja," usul Dara--kalau tidak salah namanya itu.
Aku bahkan tidak terlalu ingat nama teman sekelas padahal sudah hampir setengah tahun mengenal mereka semua.
"Yang memilih membuka kafe kecil angkat tangan!" Sekumpulan anak gadis mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.
Setelah semua saran diajukan, Kevin menatapku dengan heran.
"Tara, kamu tidak memilih apapun?" tanya Kevin sembari menunggu jawabanku.
Aku bingung, sebenarnya aku tidak berniat memilih. Apapun keputusan mereka tidak akan kupermasalahan, hanya saja aku tidak ingin mereka melibatkanku.
"Semuanya boleh," ucapku dengan nada datar, Kevin menganggukkan kepalanya lalu kembali menatap ke arah bangku barisan kirinya.
"Alvian, kamu malah mengangkat tangan di semua usulan." Kevin terkekeh-kekeh sembari menatap Alvian, ujung mataku melirik ke belakang untuk memperhatikannya.
Alvian cengar-cengir. "Menurutku, semuanya bagus."
"Satu suara untuk e-sport, dua suara untuk kuis dan game berhadiah, empat suara untuk kafe mini, dua suara untuk spot foto aesthetic, dan empat suara untuk rumah hantu." Kevin menatap papan tulis yang digunakan untuk menulis jumlah suara.
"Salah satu dari kalian harusnya memilih antara kafe atau rumah hantu, kalau tidak hasilnya imbang."
"Alvian saja yang memilih.'" Tanpa basa-basi, aku langsung mengutarakan isi pikiranku. Aku tidak suka menjadi penemtu keputusan biarkan Alvian saja—
"Aku ikut Tara saja," ucap Alvian dengan santai sembari menatapku disertai senyum yang tercetak di atas bibirnya.
Dia baru saja menjerumuskanku ke situasi yang tidak aku sukai di mana akulah yang menjadi penentu keputusan. Aku yakin banyak yang tidak senang, terdengar bisikan-bisikan dari bangku belakang.
"Tara? Bagaimana?"
Aku memainkan jariku, bingung. Jika aku memilih kafe mini, orang-orang yang memilih rumah hantu akan merasa jengkel dan marah, begitu pula sebaliknya.
Sesekali aku menatap Alvian, dia hanya tersenyum menunggu jawabanku.
Kenapa dia ingin mengikuti pilihanku, dia memang menyebalkan meski dia sudah menolongku.
Aku menghela napas dalam lalu asal memilih atau lebih tepatnya asal sebut. "Rumah hantu."
Gadis-gadis yang tadinya memilih kafe mini mendenguskan napas tanda kecewa, aku yakin mereka akan merasa sangat kesal.
Semoga saja Alyssa atau pun Sonia tidak memilih kafe mini, bisa-bisa mereka melampiaskan amarah mereka padaku. Kenapa daritadi aku tidak fokus mendengar pilihan mereka? Dengan mengikuti pilihan mereka
Alvian tidak pernah mengerti posisiku, semuanya akan menjadi rumit.
"Kalau begitu, aku juga memilih rumah hantu," kata Alvian setelah mendengarkan pilihanku.
"Baik, keputusannya sudah jelas, kita akan mengubah kelas ini menjadi rumah hantu November nanti, kita masih punya satu bulan untuk mempersiapkannya," ucap Kevin, "aku minta maaf sudah menyita waktu istirahat kalian."
Kevin kemudian melangkah menuju tempatnya dan semuanya pun bubar, ada yang menetap, ada yang keluar dari kelas.
Caroline menatapku dengan antusias. "Aku baru tahu kamu suka dengan ide rumah hantu itu."
Aku menatapnya dengan datar. "Aku asal memilih saja."
"Percayalah, rumah hantu itu seru!" tutur Caroline sembari mengunyah roti.
"Cih, Alvian, kenapa kamu malah ikut-ikut dia?" Dari suaranya aku tahu kalau itu adalah Marcho--teman sebangku Alvian, dia tampaknya tidak senang dengan pilihanku.
"Aih, sudahlah, lagipula satu suara tidak akan membuat usulanmu terpilih," ujar Ron yang mendatangi bangku mereka--aku melirik ke belakang diam-diam.
"Tapi rasanya aneh sekali, kenapa kamu malah ikut Tara, hah?" Kali ini Marcho bertanya dengan nada menginterogasi.
Alvian tersenyum. "Aku tidak bisa mengambil keputusan, jadi aku ikut saja keputusan Tara."
Seharusnya aku tidak memilih apapun tadi agar Alvian-lah yang menjadi penentu usulan mana yang akan diwujudkan.
"Haish, apa serunya rumah hantu, dia ingin menjadi hantunya, ya?" ucap Marcho sembari menyemburkan tawa.
"Sst .... Jangan diomongin, nanti dia depresi terus lompat," bisik Ron--meski aku bisa mendengarnya, kepalaku sudah menghadap ke depan sedaritadi jadi aku hanya menguping pembicaraan mereka tanpa melirik ke belakang.
Bisa-bisanya mereka mengungkita kejadian dua minggu lalu itu ....
"Anu, kalian jangan begitu." Terdengar suara Alvian yang begitu ramah. "Tidak baik ngomongin orang."
Di saat yang bersamaan, Caroline memintaku untuk menghiraukan semua ucapan mereka. Katanya mereka sudah biasa begitu, laki-laki tukang gosip.
"Heh, Alvian begitu membela Tara, kalian ada hubungan spesial, ya?" Kalimat itu keluar langsung dari mulut Marcho, apa dia tidak sadar sedang membicarakan aku--orang yang masih berada di kelas dan bisa mendengar ucapannya dengan jelas?
"Ah, tidak mungkin, Alvian hanya takut nanti kalau pilihannya tidak sesuai kemauan Tara, Tara bakal bunuh diri, lho." Kali ini Ron dan Marcho tertawa bersamaan, suara mereka menggema di seisi kelas.
Murid di belakang lainnya juga tertawa mendengar ucapan mereka.
Apa yang lucu ...? Kenapa mereka begitu senang mengolok-olok diriku?
Tanganku mengepal dengan erat, begitu jengkel dengan semua ucapan mereka. Alvian yang sepertinya menyadari tingkahku langsung berkata, "jangan bilang begitu."
Alvian yang meletakkanku di posisi ini, seharusnya aku berbicara dengannya, memintanya untuk tidak membawa namaku sama sekali.
Dan kenapa aku jadi peduli dengan perkataan orang lain? Apakah aku takut kalau ada yang membenciku, biasanya aku tidak peduli, tapi kenapa ...?
Kenapa aku jadi penakut seperti ini sejak Sonia dan Alyssa hadir dalam hidupku, membawa segores luka?
TBC~
18 Oktober 2020
Lemony's note
Maaf semuanya, Memoriam baru update sekarang karena mood nulisku baru balek 😭✨ sudah ditelantarkan selama 20 hari sedangkan aku malah nyantai 😭✨
Sebenarnya, aku pengen buat cerita baru tapi kutahan dulu soalnya Memoriam belum tamat, semoga Memoriam tamat sebelum tahun 2021 ಠωಠ
Gimana chapter kali ini? Komen pendapat kalian (◍•ᴗ•◍)
Ah ya, Memoriam masih setengah jalan, menurut kalian alurnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau biasa saja?
Aku nulis ini dalam waktu kira-kira 3 jam, lumayan cepat, 2.3K dalam waktu 3 jam, aku bangga dengan diriku sendiri 😭✨ //plak
Sebenarnya satu chapter Memoriam paling banyak tuh 2k kata, tapi aku kebablasan, hiks :')
Makasih sudah mau membaca cerita ini (つ≧▽≦)つ
Sekian~
With love
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro