Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Twenty First Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Apakah merasa putus asa itu salah? Kalau iya, jelaskan kepadaku.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan khawatir yang menggantung dalam hatiku. Semoga Bibi baik-baik saja.

Saat aku tiba di sekolah jam sudah menunjuk pukul tujuh lewat lima puluh lima menit yang mana lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Aku sengaja datang tidak awal untuk menghindari mereka.

Aku tiba di kelas tepat saat guru yang mengajar mata pelajaran pertama masuk, aku datang tepat waktu.

Diriku langsung duduk di bangkuku yang biasa--yang berada di samping Caroline.

"Kakimu sudah mendingan?" Mata Caroline menatap luka-lukaku yang sepertinya sudah kering, tinggal menunggu waktu agar keraknya terlepas.

Aku menganggukkan kepala samar.

"Padahal dari kemarin-kemarin aku ingin ngobrol sama kamu, tapi kamu terlihat buru-buru." Setelah melihat Pak Handy yang masih mencari-cari buku dalam tasnya, Caroline berbicara padaku.

"Aku ada urusan."

"Kakimu kenapa bisa tambah luka? Eh, sikumu juga terluka." Ia menggerakkan kepalanya untuk melihat kedua sikuku.

"Itu ... aku berlari di jalanan, makanya jatuh." Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

Ternyata dia peduli denganku. Kukira dengan dia yang tidak mau belajar bersamaku lagi menjadi cuek dan tidak peduli denganku.

Kurasa aku memang punya teman.

"Makanya, hati-hati, dong." Aku membalas perkataan Caroline dengan anggukan samar.

Sebenarnya aku ingin memberitahu Caroline tentang Sonia yang mungkin mengurungku untuk kedua kalinya dan juga tentang mereka yang menindasku di lorong kecil dua minggu yang lalu. Namun aku tidak ingin menambah bebannya.

Biarkan hal ini aku simpan dan cari tahu sendiri.

"Apakah Sonia menganggumu lagi?" lirih Caroline tanpa melakukan kontak mata denganku.

Aku terkejut karena dia menanyakan hal ini. Tumben sekali. "Kenapa kamu bertanya hal itu?"

"Aku rasa dia memang agak keterlaluan ...," ujar Caroline dengan keraguan yang terdengar dari suaranya.

Bukan agak lagi, dia memang keterlaluan, terlalu keterlaluan. Bukannya mereka berteman? Kukira Caroline tidak mau menjelekkan temannya di depan teman lainnya.

"Dia memang keterlaluan." Karena Caroline sependapat denganku, jadi tidak salah kalau aku berbicara buruk mengenai Sonia. "Kamu baru sadar?"

"Aku sudah tahu sejak dulu sih ...."

Kadang aku berpikir kenapa Caroline tidak pernah mau pernah memutuskan pertemanan dengannya sehingga ia jadi terlihat 'membenar' hal yang salah.

Ah, aku terlalu mencampuri hal itu, apa hakku akan hal itu? Tidak ada.

Karena tidak enak, aku tidak lagi membalas ucapan Caroline--berusaha menutup topik pembicaraan mengenai Sonia ini.

Kami berdua menatap papan tulis, mulai berfokus pada Pak Handy yang menerangkan pelajaran sembari menjelaskan gambar-gambar yang ia lukiskan di papan tulis.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Jam istirahat pertama berlangsung.

Tadinya aku ingin pergi ke perpustakaan, tapi ternyata perpustakaan hari ini ditutup karena sedang dalam pembersihan. Semua rak buku akan dirombak.

Rasanya ingin kembali ke kelas namun aku takut diganggu lagi. Kalau ke kantin, ramai sekali. Terlalu ramai sampai aku merasa tidak nyaman.

Padahal aku takut kesepian tapi aku suka dengan keadaan sepi.

Kurasa satu hari berada di kelas tidak akan menyebabkan hal yang begitu parah. Lagipula rasanya ingin tidur sebentar.

Entahlah, selama berada di rumah sakit, rasanya sulit untuk tertidur, semacam ada sesuatu yang harus membuatku terjaga sepanjang waktu.

Aku berjalan pelan menuju kelasku, 7A. Kakiku berhenti saat sudah berada di depan pintu, suara ricuh terdengar dari dalam.

Diselimuti keraguan, aku membuka pintu kelas, mataku menyapu seluruh kelas, ternyata Sonia tidak ada di dalam kelas.

Alyssa sedang duduk santai memainkan ponselnya di barisan paling belakang. 

Sembari memperhatikannya, aku duduk di bangku, mencari posisi yang nyaman lalu tidur di atas meja dengan wajah yang tertutupi lengan.

Kalau aku tertidur saat ini dan bertemu dengan Alvin, kemungkinan aku diganggu menjadi kecil.

Saat kelopak mataku sudah terbenam, aku mendengar suara ricuh yang sumbernya dari segala arah. 

Aku mendengat ada yang menyebut- bukan, membisikkan namaku. Seperti sedang berbicara tentang diriku.

Ingin tetap pura-pura tidak tahu tapi rasa penasaran terus mengerubungi. Sampai rasa itu berhasil membuat kepalaku terangkat dan mulai melihat ke sekeliling kelas.

Benar saja, tatapan mereka tertuju padaku. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mereka semua menatapku dengan tatapan aneh?

Seorang gadis--yang kurasa bernama Yoona--bersuara tanpa mengalihkan pandangannya dariku."Kamu mau bunuh diri minggu lalu?"

Deg!

Pertanyaan itu langsung menusuk jantungku, degupnya semakin kencang. B-bagaimana mereka bisa mengetahui hal itu?

Pandangan mereka yang mengintimidasi menusukku, posisi kepalaku yang sedang menoleh ke belakangan tidak bergerak ataupun kembali ke posisi semula.

Aku harus menjawab mereka dengan apa?

Karena tidak mulai melontarkan jawaban apapun, mereka semua mulai membisikkan sesuatu pada lawan bicara mereka masing-masing.

Aku menundukkan kepalaku, memainkan jariku dengan gugup. Apa yang sedang mereka pikirkan?

Kenapa ada yang tahu?

"Hoi, ini hoax atau bukan?" tanya Alyssa kepada seisi kelas.

"Aku melihatnya di sebuah blog." Yoona bersuara--membalas pertanyaan Alyssa.

Saat itu, terdengar suara pintu kelas yang dibuka, jeritan daun pintu terdengar dengan nyaring dan jelas karena suara kelas mendadak sepi.

"Ada apa ini?" Begitu aku mendengar suara Sonia, kepalaku yang masih menunduk langsung menoleh ke arah pintu kelas.

"Anak ini mau bunuh diri di rumah sakit minggu lalu," ujar Alyssa dengan nada bicara naik satu oktaf dan aku yakin jarinya sedang menunjuk diriku," caper, ya?"

Sadar bahwa ucapan itu tertuju padaku, aku mengatup bibirku dengan erat-erat, berusaha untuk tidak membalasnya ucapannya. Berusaha untuk tetap tenang walau tahu itu sangatlah mustahil.

Aku mengembus-menghela napas secara diam-diam, tidak ingin ketahuan panik.

"Jadi kamu benar-benar berniat bunuh diri?" Sonia berjalan mendekatiku, rasa gugupku bertambah seiring dengan berkurangnya jarak kami. "Jawab."

Diam merupakan salah solusi terbaik yang pernah kuketahui. Aku tidak akan menjawabnya.

"Kamu jadi bisu, ya?" Sonia memicingkan matanya. "Padahal, baru seminggu tidak mengobrol bersamamu."

"Tara, jawab, dong." Murid-murid yang berada di kelas--sekitar sebelas orang--mulai ricuh, ikut mempertanyakan hal itu kecuali Caroline yang hanya memandangku terheran-heran.

Kenapa tidak ada yang mengerti kalau tidak ada yang boleh memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya. Kenapa mereka semua ... sama saja?

"Tidak," ucap diriku--melontarkan sebuah kebohongan. Lebih baik begitu, daripada nanti aku akan dicap sebagai pencari perhatian.

"Eh? Kamu berbohong, ya? Di blog jelas-jelas tertulis Tara Adelline dari sekolah Garuda Jaya," balas Leo tidak terima sembari mengusap-usap layar ponselnya.

Kalau mereka bersikeras membenarkan isi blog itu, kenapa mereka masih bertanya padaku?

Siapa yang menulis blog itu? Kenapa dia tahu bisa tahu?

Jangan-jangan, ini ulah ....

"Ayo katakan yang sejujurnya!" Suara itu memenuhi ruangan, ingin rasanya keluar dari kelas ini. 

Berada di kelas saat jam istirahat merupakan suatu pilihan yang buruk.

Aku benar-benar sial, kenapa perpustakaan dibersihkan hari ini? Kenapa mereka menemukan berita itu hari ini? Kenapa ... ada yang tahu?

"Yah, manusia caper ini tidak mau buka mulut," tutur Sonia sembari berjalan mendekati kursiku.

Aku mengepalkan kedua jariku, berdoa pada langit semoga dia tidak melakukan apa-apa padaku.

"Heh!" Kakinya menendang kakiku--hingga  ada noda hitam pada kaos kaki putihku. "Ayo katakan, cepat!"

"Itu bukan aku, itu adalah hoax."

Sonia memutar bola mata hitamnya lalu menatap wadah mie instan--dari gabus--yang ada di genggamannya . "Ugh, kamu membuat selera makanku hilang."

Tidak membalas percakapannya, aku merasa ada air panas melewati kepalaku. Aku sontak berdiri dari tempat duduk, membuat kursi Caroline sedikit tergeser ke sebelah kiri. 

Ini panas sekali. waran merah tercetak pada tanganku, sakit dan perih. Kepalaku juga terasa panas dan perih. Dia menyiramku dengan kuah mie itu?

Aku menatapnya dengan enggan, seringai terlihat dari bibirnya. "Aku tidak tahu harus membuangnya dimana, tapi ternyata di dekatku ada tempat sampah."

Kenapa dia masih saja mengangguku? 

Aku meniup kedua tanganku yang hampir melepuh, berusaha untuk mengurangi rasa perih yang muncul pada kulitku.

"Oh iya, tadi itu siraman perhatian untukmu. Kamu suka 'kan diperhatikan seperti ini?" Pupil hitamnya menatapku dengan serius, senyumannya membuat sebagian matanya ditutupi pipinya yang menggembang.

Aku tidak ingin perhatian, aku hanya ingin ketenangan.

Kenapa semua ini belum berakhir? Kalau saja waktu itu tidak ada yang menghentikanku, mungkin semuanya sudah selesai.

Tanganku ingin melawannya, namun semuanya akan sia-sia saja. Aku akan salah, aku tetap bersalah.

Aku yang akan disudutkan.

"Eh?" Alvian yang baru memasuki kelas menatap kami semua dengan gamam. "Kalian seperti baru berdiskusi, ada apa?"

"Itu, ada blog yang mengatakan bahwa Tara melakukan percobaan bunuh diri," suara Roy yang membuat Alvian menaikkan alisnya seakan-akan dia terkejut akan berita ini.

Dengan tatapan semua orang yang masih menempel padaku, aku berlari menuju pintu kelas--melewati Sonia dan mengenggam pergelangan tangan Alvian.

Aku menariknya keluar menjauh dari kelas, ia dengan bingung mengikutiku hingga sampai ke lorong paling ujung yang mengarah ke tangga menuju lantai dua.

"Kamu yang menyebarkan berita itu?" Tanpa basa-basi, aku langsung menginterogasi dirinya. "Ya 'kan?"

Ia menggelengkan kepalanya sembari mengernyitkan alis. "Tidak."

"Tidak ada yang tahu ini selain kamu." Aku menundukkan kepalaku namun tatapan tajam tetap kulempar padanya. "Tolong jangan berbohong."

"Aku memang tidak melakukannya, sungguh." Alvian tetap bersikeras pada pernyataannya.

Lalu siapa? Apa aku harus percaya dengannya?

Dia mungkin saja sedang memanfaatkanku, mungkin saja dia mau membantuku agar aku terlihat lebih menyedihkan, supaya dia terlihat seperti orang yang penuh belas kasih.

Supaya, aku terlihat semakin kecil atau rendah.

Dan kini dia menyebarkan berita itu untuk membuatku merasa malu. Mungkin saja dia menolongku karena ... dia ingin terlihat seperti malaikat baik hati yang membatalkan kematianku.

"Aku tidak percaya ini." Dengan pikiran yang dipenuhi perasaan negatif. "Kau 'kan yang melakukannya!"

Air mataku mulai mengalir lagi, perasaan cengeng itu kembali lagi. Rasanya semuanya membenciku, semuanya hanya ingin menggunakanku sebagai objek untuk terlihat 'lebih tinggi'.

Terbawa arus emosi, aku mulai menumpahkan semua persepsiku. "Kamu menolongku supaya kamu terlihat baik 'kan?! Kamu hanya kasihan padaku 'kan?"

Tanpa suara, ia memelukku sembari menepuk pelan punggungku. Aku terkejut.

"Tenang dulu, katakan apa yang kamu ingin katakan, aku akan mendengarkanmu," ucapnya lirih.

Perasaan tenang mulai menyelimutiku, aku ... sudah berburuk sangka padanya. Kenapa aku bisa se-labil ini?

Senyum polos yang ia tunjukkan ... dia memang berniat membantuku, dia sudah menolongku, menarikku dari jalan yang tidak benar. Seharusnya aku berterima kasih padanya.

Aku bahkan belum pernah mengucapkan rasa terimakasihku secara resmi, dan sekarang aku malah mencacinya, menuduhnya. 

Padahal aku tidak tahu isi pikirannya, aku malah seenaknya mengira dan menentukan sendiri. 

Aku memang bodoh, ya.

Perasaaa yang sungguh tenang itu menaungiku, hingga aku sadar, pandanganku--yang awalnya hanya memburam karena air mata--kini mendapati keadaan sekitar menjadi silau

Tubuhku terasa semakin berat, rasanya hendak jatuh karena semua kesadaranku diserap secara perlahan.

Alvin, kamu datang lagi.

TBC~

20 September 2020

Lemony's note

"Kok ulang-ulang mulu adegannya?" 

Ya, maaf, karena itu jalan ceritanya. Semua adegan Alvin itu penting karena sebenarnya inti ceritanya itu siapa Alvin dan apa hubungannya dengan Tara. Kejadian yang dialami Tara cuma bumbu biar dia makin tersiksa /woi!

Ayuk ditebak, Apa hubungan Alvin sama Tara, kok wajah Alvin sama seperti wajah Tara?

Aku yakin kalian akan berhasil menebaknya.

Tara makin labil, ya kan, ya kan? But it's ok, that's her personality.

Semoga Memoriam cepat tamat dan aku yakin ga bakal tamat bulan ini 😭

With love, 

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro