Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Twenty Fifth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。
Tidak semua orang mau berteman  dengan dirinya sendiri.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku duduk termangu menunggu Alvian selesai mengerjakan soalnya. Lagi-lagi pikiran Alvian teralihkan, dia berhenti mengerjakan soal, meraih buku tulis bersampul abu-abu itu, dan menuliskan sesuatu di atasnya.

"Fokus Alvian." Aku menatapnya dengan serius, kelihatannya dia tidak memperhatikanku.

"Sebentar." Tangannya dengan ligat menuliskan sesuatu di buku tulis itu, entah apa isinya, "aku teringat sesuatu."

"Buku apa itu?" Rasa penasaranku yang tidak terlalu besar itu aku luapkan, daripada menyimpannya lama-lama dan akhirnya rasa penasaranku terlalu besar.

"Cuma berisi sesuatu yang terlintas di benakku." Dia tersenyum saat menjawab pertanyaanku.

Malas bertanya lebih banyak, aku memutuskan untuk mengembalikan kefokusannya. "Kerjakan tugasmu dulu."

Setelah beberapa detik berlalu, Alvian kembali fokus mengerjakan soal biologi yang aku buat, alisnya mengernyit beberapa kali--tanda ia sedang berusaha keras.

Sepanjang ia mengerjakan, benakku terus memikirkan kejadian dua minggu yang lalu, tentang memilih acara kelas. Sepertinya Alvian secara tidak sadar membuatku semakin dibenci teman sekelas.

Dia terlalu polos untuk mengerti ini. Entah kenapa otaknya tidak bersinggungan dengan hal seperti itu.

Terlalu lama memandang Alvian membuatnya mendongkakkan kepala, tentu saja, siapapun akan merasakan perasaan aneh saat dipandang. "Ada apa, Tara?"

"Aku-" Mulutku mengatup dengan sendirinya.

Apa aku harus memberitahunya? Tapi dia bukan siapa-siapaku, aku tidak punya hak untuk mengatur bagaimana cara dia bertindak.

"Lupakan." Aku mengalihkan pandanganku, pura-pura menatap buku biologi yang terkapar di atas meja. Sepertinya aku harus sabar menghadapi semua masalah ini sendiri.

Alvian sudah membantuku, aku tidak mau membuatnya repot dengan membatasi dirinya.

"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Alvian yang membuatku memandangnya kembali. Sudah kubilang lupakan, kenapa ia malah bertanya lagi?

Dia tidak bertanya lagi, malahan kini ia menatapku dengan tatapan menunggu jawaban.

"Kamu diganggu lagi?" Aku tersentak saat kalimat itu keluar dari mulut Alvian, sejak kapan dia memikirkan hal itu.

"Kenapa kamu berpikir demikian?" Kini aku membalas pertanyaannya, rasanya aneh jika dia membahas hal itu. Selama aku ditindas, Alvian selalu tidak ada di tempat kejadian--meskipun dia pernah melihat aku dan Sonia bertengkar di lapangan dan juga Sonia yang menuangkan kuah mie ke kepalaku.

Alvian berhenti mengerjakan soal yang kuberikan, dia menatapku cukup lama tanpa mengucapkan apapun. Dia menghela napas sejenak. "Maaf aku tidak bisa membuat mereka berhenti membicarakan kamu."

Dahiku mengernyitkan, aku ber-oh ria sesaat setelah aku paham maksud ucapannya. "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa."

Aku tahu bahwa Alvian berteman dengan semua orang di kelas, dia orang yang mudah berbaur dengan orang lain, meski dia agak lelet tapi orang-orang menyukainya karena dia ramah.

Tidak sepertiku, tidak heran jika banyak yang membenciku. Aku merasa sedikit senang, ternyata Alvian peduli.

"Akan aku coba, aku bingung ingin membalas mereka dengan kata-kata apa." Dia tersenyum kaku.

"Tidak usah, kamu hanya akan memperburuk situasi." Yang kukatakan tidaklah salah, jika dia bersikeras membelaku, aku lah yang akan kena imbasnya. Semua orang akan mengira kalau aku sudah mencuci otaknya.

"Kamu hanya tidak perlu melibatkanku dengan mereka maka aku akan sedikit aman," ujarku mengeluarkan unek-unek dalam hati.

"Maaf." Kini ia menggaruk tengkuknya dan memamerkan pagar putihnya. "Apa yang harus aku katakan?"

"Senyumin saja," ucapku memberikan jawaban, "seperti yang suka kamu lakukan."

Kepalanya sedikit menunduk, tapi matanya masih menatapku. "Aku sedih melihat mereka yang menjelekkan kamu, padahal kamu itu baik."

Tanpa sadar, sudut bibirku sedikit terangkat, meski begitu batinku turut memikirkan sesuatu, apa aku memang baik atau hanya karena sifat Alvian yang melihat semua orang sebagai orang baik.

"Aku tidak baik," ujarku dengan jujur, aku memang bukan orang baik, aku terus bergantung kepada orang lain, aku juga tidak punya naluri untuk membantu orang lain.

"Baik, kok." Dia bersikeras. "Tara mau membantuku belajar."

Sepertinya dia lupa kalau aku melakukannya karena ingin membiayai pengobatan Bibi. Soal Bibi, dia belum sadar sampai saat ini, hatiku masih gelisah.

"Kerjakan soalmu." Tidak berniat membalas hal ini, aku menyuruhnya kembali mengerjakan soal. Dia mengangguk tipis lalu fokus mengerjakan soal.

Lima belas menit berlalu, dia menyerahkan hasil kerjanya. Terdapat beberapa kesalahan--ralat, hampir semuanya salah. Aku mengoreksinya, lantas menjelaskan yang benar. Kinerja belajarnya agak kurang jadi aku hanya harus mengajarinya berulang kali, masih ada sekitar satu bulan untuk mengulang semuanya.

Semuanya selesai tepat pada jam enam sore, aku mengemas barang-barangku, membantu Alvian merapikan mejanya, menyimpan barang-barang ke tempat semula.

Pesan notif dari handphone Alvian terdengar lagi, itu sudah biasa, Alvian termasuk orang yang cukup populer dalam kelas, sifat ramahnya membuat banyak orang yang senang chatting dengannya.

Seperti biasa, dia menatap layar ponselnya, lalu membalas pesan orang itu. Namun berbeda dengan yang satu ini, kali ini dia menatapku.

"Ada apa?"

"Bisakah kamu lebih berada di sini lebih lama?" tanya Alvian yang membuat gerakan tanganku terhenti sejenak.

Eh? Ada apa? Untuk apa dia memintaku berada di sini lebih lama?

"Memangnya ada apa?" Pertanyaan dibalas pertanyaan, Alvian kembali menatap layar handphone-nya.

"Orangtuaku ingin bertemu denganmu, mereka sedang menuju ke sini. Mereka juga ingin makan malam bersamamu," jelas Alvian, "kamu bisa?"

Aku mengembuskan napas perlahan, aku masih punya Bibi untuk dijaga di rumah sakit, tidak ada yang bisa menjamin kalau aku akan pergi dari rumah ini dengan cepat.

Kepalaku hendak menggeleng namun ragu, bukannya ini tidak sopan? Menolak permintaan orang yang telah membantumu? Apa yang akan mereka pikirkan nanti, anak tidak tahu balas budi?

Berbagai pemikiran mulai menyerang benakku, aku benar-benar khawatir, bisa-bisa mereka tidak mau membantuku lagi. Namun aku harus menjaga Bibi di rumah sakit. Aku-

"Tara?" panggil Alvian yang tengah menatapku dengan heran, "kamu kenapa?"

"Tidak, tidak apa-apa." Aku menggeleng tipis, mungkin aku hanya terlalu khawatir pada Bibi. Lagipula kalau aku ada di rumah sakit saat Bibi kenapa-napa, apakah ada yang bisa kulakukan? Semuanya akan tetap sama.

"Benarkah? Apakah kamu terlalu lelah?" Alvian mulai terlihat khawatir, dia langsung mengisikan air dari dispenser lalu menyerahkan gelas berisi air padaku. "Minum dulu."

Aku menegukkan air mineral itu, lalu ber-ah sejenak, aku sampai lupa minum tadi karena keasikan mengajarinya, dahaga ini memudar bersama dengan pikiran berlebihanku.

"Kamu bisa? Kalau kamu sudah terlalu lelah, aku bisa-"

Ucapan Alvian aku potong. "Aku bisa, kok."

Alvian termangu sejenak, lalu tangannya kembali mengetik pesan lewat ponselnya, sepertinya sedang mengabari orang tuanya.

Kegerahan menusuk kulitku, aku memutuskan untuk meminjam kamar mandi--membersihkan diri, kebetulan aku membawa baju ganti.

Alvian kemudian mengantarku ke kamar mandi, dia juga mengajariku cara menggunakan shower yang bisa mengeluarkan air panas dan dingin itu, aku tidak terbiasa menggunakan fasilitas seperti itu.

Aku terus meremas kedua tanganku saat melihat orang tua Alvian, rasa gugup menindihku. Mereka tidak terlihat galak sama sekali, wajah mereka sangat bersahabat, kukira mereka akan memandang rendah diriku tapi nyatanya tidak.

Alvian sungguh beruntung punya orangtua seperti itu, dia sungguh beruntung karena punya orang tua ....

Aku duduk tepat di sebelah Alvian, tentu saja rasanya canggung, entah apa yang ingin mereka bicarakan denganku.

"Jadi, kamu teman sekelas Alvian, 'kan?" Aku mengangguk membalas pertanyaan Tante Kairin--nama ibu Alvian. Ekspresiku mungkin terlihat tenang, namun benakku bertengkar sedaritadi, satu menyuruhku tetap tenang, satu memicuku untuk overthinking.

"Ah, jangan tegang begitu," ujar Paman Dean--ayah Alvian--sambil tersenyum, dia seperti bisa membaca ekspresi yang sudah kusembunyikan.

"Ayo, Nak, dimakan." Paman Dean menatapku dengan ramah, aku dengan ragu mengambil pisau kecil dan mulai memotong daging itu dengan pelan, Sesekali aku melirik ke arah mereka, mengikuti etika makan mereka, setahuku orang kelas tinggi punya cara makan yang berbeda.

Tante Kairin memulai percakapan di sela-sela makan malam, "Kamu sudah mengajarinya selama dua minggu lebih, bukan?"

Aku mengangguk lagi, karena terasa tidak sopan, aku memutuskan untuk menjawab juga. "Iya, Tante."

"Bagaimana perkembangannya?" tanya Paman Dean, sorot matanya mengarah padaku.

"Belum ada." Aku menjawab dengan jujur, beelum ada perkembangan yang signifikan. Alvian memang susah belajar, bukan karena malas, tetapi karena memang dia kemampuan menangkap materinya yang cukup lambat.

Tante Kairin mengukir senyum di atas bibirnya, dengan lembut berkata, "Tidak apa-apa, pelan-pelan saja, aku yakin kalau kamu sabar dalam mengajarinya, dia pasti bisa."

Aku membalasnya dengan senyum kaku.

"Tara memang sabar banget." Kali ini Alvian yang buka suara--meski mulutnya masih mengunyah potongan daging. "Dia selalu mengajariku berulang-ulang kali."

Apakah Alvian sedang berusaha membuatku terlihat baik di mata orangtuanya?

"Oh ya? Baguslah kalau kalian memang cocok," ujar Paman Dean sembari terkekeh-kekeh.

Ruang makan ramai oleh pembicaraan, tentu saja bukan aku yang berbicara, melainkan Alvian yang bersemangat berbicara, sampai ayahnya menyuruhnya berhenti sejenak--takut Alvian tersedak.

Dia bercerita mengenai sekolahnya, tentang pelajaran, juga tentang diriku. Aku senang dia tidak mengungkit kejadian-kejadian mengerikan seperti serangan panikku, penindasan yang aku alami, dan juga aku yang bisa tiba-tiba pingsan.

Kukira dia akan asal ceplos, ternyata tidak. Beginikah rasanya dihargai setelah menerima perlakuan yang buruk? Rasanya menyenangkan.

"Baiklah, aku ingin mendengar tentang Alvian lewat Tara." Tante Kairin tersenyum menatapku.

Eh? Apa yang harus aku ceritakan?

"Um ...." Aku tersenyum kaku. "Dia ramah dan baik."

Alvian terlihat begitu senang mendengar ucapanku, senyumnya tetap sama namun terasa berbeda.

"Itu saja? Apa dia merepotkan dirimu?" tanya Tante Kairin sambil melirik ke Alvian tanpa menghilangkan senyumannya. Satu keluarga ini senang sekali tersenyum, itu satu fakta yang aku dapat hari ini.

Aku menggeleng samar. "Tidak sama sekali, dia anak yang baik."

Sejujurnya aku agak jengkel dengannya, awalnya. Dia selalu bertanya hal-hal tidak penting, cerewet, dan juga sering membawa namaku. Namun, pada dasarnya dia memang baik, dia mau menolongku yang hampir saja menyentuh dasar kegelapan.

Kalau aku mati waktu itu, apa yang akan terjadi? Setelah dipikir-pikir, aku benar-benar gila sewaktu itu. Lagipula untuk apa aku memikirkan masa lalu, ingatan lama itu hanya mengingatkan betapa rapuhnya diriku.

"Senang mendengarnya." Senyuman lagi dari bibir Tante Kairin. "Ah, menyenangkannya makan malam bersamamu, kamu mau lagi lain kali?"

Tepat saat aku sedang berpikir untuk membalasnya dengan apa, Paman Dean langsung angkat suara. "Ayolah, Kairin, Tara mungkin saja punya hal lain untuk dikerjakan, dia hadir hari ini karena menghormati kita, lihat, dia terlihat begitu lelah."

"Tante minta maaf."

"Tidak apa-apa," balasku sambil memamerkan senyum kaku, tanda bahwa aku tidak terganggu dengan permintaannya.

Aku tidak menyangka akan bertemu orang baik seperti mereka, rasanya masih seperti sebuah keajaiban, ada yang mau membiayai pengobatan Bibi, memberiku gaji lumayan yang bisa untuk sekolah, makan, dan masih sisa banyak lagi.

Apa mereka prihatin melihat diriku ini? Atau karena mereka memang senang menolong? Sudahlah, fakta itu tidak penting, aku sudah cukup bersyukur ada yang menolongku.

"Ah, bagaimana keadaan bibimu?" tanya Paman Dean yang membuyarkan lamunanku, dia terlihat ragu-ragu saat melontarkan pertanyaan itu, kurasa dia ingin menjaga perasaanku.

"Masih belum sadar," balasku. Kini benakku mulai memikirkan Bibi, apa yang sedang terjadi di rumah sakit, apakah Bibi sudah sadar, apa terjadi sesuatu di sana? Kadang aku benci dengan pikiran berlebihanku ini.

Raut wajah mereka langsung berubah. "Semoga Bibimu cepat sembuh, ya."

Aku mengangguk pelan, keadaan jadi agak hening. Kenapa setiap ada pembicaraan tentangku, semua jadi canggung begini?

Mataku menatap piring yang kupakai, makananku tersisa sedikit, mungkin aku bisa pergi ke rumah sakit lima belas menit, rasa khawatir ini tidak bisa kubendung lama-lama.

Sakit, tiba-tiba dadaku terasa sesak, seperti ada yang sedang menimpanya dengan benda berat. Gerakan tanganku--yang hendak memasukkan sesendok nasi ke mulut--terhenti, sendoknya langsung lepas dari genggaman tanganku.

"Ada apa?" Alvian yang pertama bertanya, raut wajahnya berubah, dia panik.

Aku tidak sempat memperhatikan lagi, sesak sekali, rasanya aku tidak bernapas, kukira aku tersedak karena sedikit mempercepat kecepatan makanku, ternyata tidak.

Sesaknya merajalela, keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku, jantungku mulai terasa sakit.

Serangan panik datang tanpa diminta, aku terus berusaha bernapas, kadang menepak meja, berharap kalau keadaan bisa kembali normal.

Kini orangtua Alvian mulai panik, berseru memanggil pelayan untuk mengambilkan segelas air untukku.

Sesak, jantungku juga terasa sakit, kenapa serangan ini datang setelah sekian lama? Kenapa datang pada saat ini? Padahal serangan ini biasanya tidak datang saat aku bersama orang lain, dan tidak sesakit ini.

Kepalaku ikut terserang, rasanya seperti dihantam benda keras, mataku berkunang-kunang, semuanya terlihat kabur.

Aku berusaha menahan semua itu, serangan panik ini hanya berlangsung lima atau sepuluh menit, aku bisa menahannya.

Semuanya jadi panik, aku lagi-lagi sudah memberikan kesan buruk, mereka akan menganggap orang sepertiku tidak pantas mengajar Alvian.

Cahaya, aku melihat seberkas cahaya di tengah pandanganku yang sudah buram. Aku tahu itu apa. Aku tidak akan melawan rasa sakit ini, aku akan membiarkannya.

Karena aku akan bertemu dengan Alvin lagi.

Suara mereka yang sedang panik masih terdengar, pandanganku menerang bersamaan dengan hilangnya suara luar.

TBC~

27 Oktober 2020

Lemony's note

Phew! Kelar dalam 2 hari, lumayan 😭✨ //biasanya aku lambat banget nulisnya. Memoriam update dua kali bulan Oktober, lumayan lah, daripada enggak update, ya 'kan?

Avv, ketemu Alvin yang kedelapan kali, dan ceritanya masih jauh. Aku mulai takut kalau ini bakal terasa membosankan but nevermind, aku sangat menikmati waktu yang kuhabiskan untuk menulis Memoriam ini.

Ngomong-ngomong, aku senang masih ada yang mau baca Memoriam :3 Terima kasih, pembaca setia :3

Dan ....

Happy Halloween semuanya! (つ≧▽≦)つ🎃🍬

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro