Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Twenty Eighth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。
Bahkan orang yang terbuka sekalipun punya cerita yang ingin ia sembunyikan selamanya.
。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku tidak pernah sebahagia ini lagi sejak mereka menggores kenangan buruk di benakku, hari ini merupakan hadiah terbaik yang bisa aku miliki.

Buku jariku mengetuk daun pintu dengan perlahan (rasanya sulit karena kegembiraanku yang tengah meluap), bahkan tadi Alvian kelihatan agak sulit mengejarku karena aku berlari membelah koridor rumah sakit (Alvian tidak pandai berlari).

Aku menggerakkan gagang pintu lalu mendorongnya. Tubuhku kini berada di ruangan, aku melihat senyum Bibi yang masih terkapar di ranjang; itulah senyuman yang benar-benar kucari belakangan ini.

Jemariku menahan suara yang ingin keluar dari mulutku, jantungku berdegup kencang, kedua kakiku dengan sendirinya melangkah mendekati ranjang.

"Bibi ...." Suaraku bergetar, aku benar-benar tidak menyangka Bibi sudah bisa mengangkat kelopak matanya.

Dia tidak bersuara, hanya menyungging senyumnya yang begitu lemas, tangannya yang gemetaran ia angkat dengan perlahan.

Bulir bening yang tak tertahan jatuh dari pelupukku, aku langsung memeluk bibi yang masih agak kesusahan bergerak, rasanya hangat, hangat sekali sampai aku tak mau melepaskannya.

Bibi berucap pelan, "Tara, Bibi senang bisa bertemu denganmu."

Dengan suara terisak-isak, aku pun membalas kalimat yang Bibi lontarkan dengan posisi masih memeluknya. "A-aku juga senang ... sekali."

Mungkin ini semua memang dibiarkan terjadi agar aku merasa bersyukur atas keadaanku, aku masih punya Bibi, aku seharusnya berhenti mengeluh.

Pelukan hening tanpa suara itu terjadi selama lima menit penuh, aku yakin Alvian hanya berdiri mematung menatap kami berdua.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Bibi baru sadar, dia masih harus istirahat banyak. Perawat menyuruhku menunggu di luar sebentar, katanya kalau aku berada di dalam, Bibi akan terus bergerak, dia ingin sekali mengobrol denganku.

Kurasa ini pilihan yang terbaik untuk sementara.

Kini punggungku bersandar pada kursi rumah sakit, Alvian duduk diam di sebelahku, dia hanya menatap lantai pualam rumah sakit.

Mirip Alvin.

Aku tidak sabar menunggu Bibi kembali pulang ke rumah, bau obat-obatan di rumah sakit terasa tidak enak, tidur di rumah sakit juga tidak senyaman tidur di rumah.

Tidak punya mood untuk melakukan apapun, aku memutuskan untuk melirik ke arah Alvian lagi, dia sepertinya sedang melamun dengan posisi masih berada di bawah.

"Ada apa Tara?" Dia yang sadar akan tatapanku pun melontarkan kalimat itu.

"Untuk apa kamu berada di sini?" Aku buru-buru menata kalimat dalam benak dan langsung mengucapkannya.

"Menunggumu," balas Alvian, kini manik cokelatnya menatapku.

"Tidak perlu." Perkataanku tidak salah, dia memang tidak perlu di sini, dia tidak ada hubungannya denganku.

Dia tersenyum hangat. "Tidak apa-apa."

Jangan bilang dia hanya ingin menemaniku saja, untuk apa dia melakukan itu? Kenapa dia selalu senang menemaniku?

Berdebat dengannya hanya akan memunculkan kalimat yang sama, aku memutuskan untuk tidak membalas ucapannya, meremas kedua tanganku dengan gugup.

Aku kembali membayangkan wajah Bibi. Rasa senang ini akan terus membekas dalam hatiku, aku bersyukur atas hadiah ini.

Memang ini hukumanku untuk terus mengeluh. Ada perasaan lega yang tercipta dalam hati, satu masalahku sudah selesai, tinggal satu lagi: masalah Alyssa dan Sonia.

Meski tidak separah dulu, mereka tetap saja mengangguku. Sekarang kebanyakan lewat pesan, aku jadi malas mengaktifkan ponselku, aku hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyebarkan yang aneh-aneh di Internet.

Sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang memposting blog tentang aku yang waktu itu mau bunuh diri. Misteri yang ini belum terpecahkan.

Siapa yang mengurungku di gudang, di toilet ... kapan aku diberi petunjuk untuk mengungkapkan ini semua? Namun semuanya tetap sia-sia, aku hanya tahu, tapi tidak berhak melapor, karena aku bukan siapa-siapa.

Ah, aku tidak ingin memikirkan itu sekarang. Benakku mulai membayangkan kebersamaanku dengan Bibi yang akan terlukis di masa depan.

Sebentar ... kalau misalnya Bibi sudah sembuh berarti aku tidak perlu menemani Alvian belajar lagi? Aku bukan guru profesional, mereka pasti akan mencari guru yang "sebenarnya" nanti.

Aku dipekerjakan hanya karena kondisiku yang memprihatinkan.

Mereka sudah membantu kami berdua, tidak mungkin mereka mau mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk jasaku yang sama sekali tidak ulung.

Bibi akan kembali kerepotan lagi, dia harus bekerja ekstra lagi, aku harus mencari pekerjaan lain, mungkin menjadi kasir di supermarket tidak akan buruk.

Masalahnya, apa Bibi akan mengizinkanku nanti? Koma selama berbulan-bulan tidak akan membuatnya berubah, dia tidak suka jika aku membahas tentang pekerjaan sampingan untuk membantunya.

Kenapa aku terus memikirkan hal yang belum terjadi? Ini menbuat kepalaku berdenyut, aku sungguh bodoh. Tanganku refleks mengepal, dan menepak pahaku yang ditutupi jeans.

"Ada apa?" Alvian memandangku, dia menyadari suara tepak yang tak sengaja kubuat.

"Tidak ada apa-apa."

"Kenapa kamu terlihat begitu kesal?" Pertanyaan lagi yang Alvian lontarkan, dia selalu rajin bertanya tentang diriku.

"Lupakan."

Alvian tidak membalas jawabanku, dia kembali menatap lantai pualam rumah sakit yang tidak ada apa-apanya.

Setelah atmosfer keheningan menyelimuti selama lima menit, Alvian bersuara dengan lirih. "Tara jangan berhenti, ya?"

"Hm?" Kali ini aku yang melihat ke arahnya, tatapan kami bersirobrok, aku bisa melihat manik coklat tuanya yang menatapku dengan dalam.

"Ayah dan Ibuku juga tidak akan setuju dengan hal ini."

"Hm?" Dahiku mengernyit saat mendengar kalimat itu.

Alvian menggeser tubuhnya, mendekat padaku. Tanpa aba-aba, dia langsung menggenggam tanganku yang sedang mengepal. "Aku tahu Tara ingin berhenti karena merasa merepotkan, tapi tolong, jangan lakukan itu, kumohon."

Kenapa dia langsung membuat asumsi sendiri? Aku belum mengatakan apapun terkait ini. Tatapan matanya begitu serius.

Dan kenapa dia memegang tanganku? Seharusnya dia tahu kalau aku tidak menyukainya. "Maaf, tanganmu."

Alvian langsung menjauhkan tangannya, di atas bibirnya tercetak senyum canggung. "Maaf."

"Kamu jangan berhenti, ya." Alvian menggaruk tengkuknya, tatapan matanya juga terlihat sedikit lara, kurasa.

Aku tidak membalasnya, hanya diam sembari memenuhi benak dengan berbagai bentuk kalimat untuk menolaknya. Aku harus berhenti merepotkan orang lain yang bahkan bukan siapa-siapaku.

"Aku tidak-"

"Nanti baru diputuskan setelah Bibimu keluar dari rumah sakit." Kalimat Alvian dengan cepat menghentikan suaraku, membuatku terbungkam, diam, batal melanjutkan kalimatku.

Dia ada benarnya juga, ah, kenapa dia malah mengajakku membicarakan hal ini?

Tubuhku kembali dalam mode santai, punggunfku bersandar pada sandaran kursi, sudut bibirku sediit terangkat, rasanya masih tidak menyangka ini terjadi.

"Tara." Panggilan dari Alvian membuatku menoleh lagi ke arahnya. apa yang ingin dibicarakannya?

"Ya?" Aku membalasnya dengan singkat.

"Aku senang kamu bisa tersenyum seperti ini." Dia ikut tersenyum saat melemparkan kalimat itu padaku, seperti sedang berempati. Ah, aku lupa, dia, kan, selalu tersenyum seperti tidak punya beban hidup sama sekali. "Seperti Tara yang berbeda."

Ini sungguh sebuah kenangan yang indah, kenangan yang membuatku belajar bersyukur, kenangan yang menyakitiku sekaligus menyembuhkanku. Namun sama saja, aku tidak bisa melupakan kejadian lama.

Api, asap, suara batuk dari Ayah dan Ibu ....

Semoga saja kebersamaanku dengan Bibi bisa menutup kenangan buruk yang sudah berakar di benakku walau aku tak yakin, masih ada dua penggangu itu di sekolah, menyebalkan, aku jadi tidak bisa tenang sepenuhnya.

"Lain kali aku yang akan membuat Tara tersenyum." Apa maksud dari Alvian? Untuk apa dia membuatku tersenyum?

Jujur saja, Alvian terlihat simpel dan apa adanya, laki-laki ceria dan selalu penasaran soal banyak hal, di balik semua itu, ada hal yang tidak aku ketahui.

Banyak hal yang tidak aku ketahui tentangnya, dan aku tidak pernah berniat untuk mencari tahu.

Aku dan Alvian berbeda, kami tidak akan mengerti satu sama lain. Dia tidak akan mengerti penderitaanku dan aku tidak akan mengerti rasa bahagia yang dia alami.

Benakku bahkan tidak bisa lagi memikirkan kenangan lama yang indah, semuanya ditutpi oleh kabut kenangan buruk. Setiap kali aku berkilas balik, tidak ada kenangan indah yang menghujani benakku, malahan yang terpikirkan adalah kenangan buruk.

Semuanya terhalang hanya karena kejadian lama itu, membekap seluruh kenangan indah yang pernah kucicipi, aku tidak bisa mengenang masa lalu tanpa mengingat kejadian mengerikan itu.

Apa saja kenangan indah yang pernah diukir oleh masa lalu? Kenapa rasanya sulit mengingatnya? Aku bahkan lupa siapa saja yang bersamaku dulu. Bukan, aku bukan lupa, aku hanya tidak ingin mengingatnya.

Semua lamunanku buyar, netraku refleks melirik ke arah Alvian ketika dia mengeluarkan ponsel dari sakunya, matanya membulat sempurna, entah apa yang terpampang pada alat pipih itu.

"Aku ada urusan, boleh aku pergi?" tanya Alvian dengan polos, tentu saja, kenapa dia malah bertanya padaku?

Sebagai basa-basi, aku menjawab, "Silakan."

Mungkin dia sudah harus pulang, Alvian duduk tanpa melakukan apapun sedaritadi, kurasa dia sudah suntuk dengan keadaan ini.

"Sampai jumpa," ucap Alvian tanpa lupa mencetak senyum kecil di atas bibirnya, aura positif selalu terasa darinya.

Aku mengangguk samar sebagai balasan. Suara langkah kakinya menjauh, jarak kami semakin bertambah, dan kemudian ia hilang di belokan sebelah kanan.

Bukannya Alvian mau pulang? Kenapa dia berjalan ke arah sebaliknya? Apa dia punya urusan di sini? Pertanyaan itu kadang terlintas dalam benakku, apa dia punya suatu penyakit atau apa.

Tidak ada yang tahu, dia juga kelihatannya tidak ingin memberitahukan hal itu padaku.

TBC~

6 Desember 2020

Lemony's note

Hai, terima kasih sudah membaca Memoriam sejauh ini, senang banget.

Kuharap kalian tidak terganggu dengan narasi yang lebih banyak mengarah kepada "pikiran Tara", ya, karakternya memang overthinking banget, sih 😭✨

Banyak banget yang harus ditulis, rasanya alurnya mulai goyang *heh. Konfliknya sepertinya kebanyakan, aku bahkan tidak tahu apa kalian ingat atau tidak.

Ini juga buku pertamaku, jadi ya, aku akan terus belajar menjadi lebih baik, terima kasih atas dukungannya.

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro