✧・゚:*Twentieth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Bahagia adalah sebuah pilihan.
Omong kosong.
Kalau bisa, aku juga ingin bahagia, bukannya terpuruk seperti ini.
。☆✼★━━━━━★✼☆。
Aku benar-benar merasa seluruh beban kutanggung pada bahu hilang semua, berkat Alvian.
Meski aku tidak tahu apakah aku bisa membuat nilainya membaik, setidaknya aku harus mencobanya, semuanya demi Bibi.
Kabar buruknya, Bibi belum bangun sampai sekarang, masih dilabeli kata 'koma' dan ia masih harus berada di ruang ICU karena keadaannya yang memerlukan pengawasan ketat.
Ayah Alvian sungguh baik hati, ia mau membayarkan biaya operasi bibi dan mengatakan padaku bahwa aku tidak perlu membayarnya, gaji yang aku dapat bisa kugunakan untuk pengobatan bibi selanjutnya dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidupku sekarang.
Aku benar-benar tertolong, namun ada satu perasaan yang mengganjal dalam hati.
Aku merasa telah berutang budi pada keluarga Deandeson, yang mana aku kembali merepotkan orang lain.
Hatiku selalu berusaha mengesampingkan perasaan itu, yang menjadi prioritasku sekarang adalah Bibi. Bagaimana tidak enaknya pun, aku harus menerimanya, karena ini salah satu jalan mudah yang bisa kutempuh.
Bibi dioperasi pada hari itu juga--saat dia masuk ke rumah sakit. Operasinya berjalan dengan lancar dan saat itu aku sampai menangis saking bahagianya. Padahal aku tidak biasa mengekspresikan perasaan melalui mimik wajah.
Karena Bibi sudah menjagaku dengan baik selama ini, maka aku juga harus menjaganya dengan baik.
Aku menatap Bibi yang kelopak matanya masih terbenam, padahal ini sudah hari ketujuh sedang dia dioperasi.
Ujian tengah semester yang terakhir sudah dilaksanakan tadi pagi, yang mana pada hari selanjutnya, aku tidak akan pulang cepat.
Aku jadi tidak bisa menjaga Bibi sepanjang waktu.
Tanganku mengelus pelan punggung tangan kanannya. "Cepat sadar, Bi."
Ketukan pintu dari luar terdengar, kepalaku sontak menoleh ke sumber suara, dan pengetuk pintu pun masuk ke dalam.
''Alvian?" Lelaki itu berjalan pelan masuk ke dalam, mengambil posisi di samping kursi yang tengah kududuki.
"Kenapa mampir?"
"Kebetulan, aku memang ke rumah sakit hari ini."
Sejujurnya, aku cukup penasaran dengan Alvian yang selalu mengunjungi rumah sakit, apa mungkin kenalannya berada di sana atau kerabatnya juga sakit, atau jangan-jangan dia hanya bosan jadi tiga hari sekali datang ke rumah sakit.
Namun privasi seperti itu sebaiknya tidak perlu kutanyakan, tidak ada untung ataupun ruginya kalau aku tidak tahu menahu tentang ini.
"Kamu sudah sehat?" tanya Alvian dengan matanya melirik kedua lututku.
"Lumayan."
"Baguslah." Ia mengumbar senyum kecil sembari menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya.
Kami diam, ini merupakan sesuatu yang tidak biasa dari Alvian, biasanya dia akan terus melontarkan pertanyaan namun kini ia diam seperti sedang tenggelam dalam ingatan lama.
"Aku sudah sembuh, kapan kita bisa memulainya?" Karena suasana hening ini mengundang canggung, aku bertanya mengenai rencana belajar kami.
"Memulai apa?" Seperti biasanya, ia tidak peka terhadap topik pembicaraan.
"Pembelajaran kamu."
"Setelah kamu sembuh total," balasnya.
"Aku sudah sembuh total."
"Belum, kakimu," telunjuknya mengarah pada luka di lututku yang belum sepenuhnya sembuh, "dan Bibimu belum sadar, bukannya kamu mau menjaganya?"
Perkataan dia ada benarnya, kalau aku sudah mulai pembelajaran itu, maka aku tidak akan memiliki waktu yang banyak untuk menjaga Bibi.
Aku takut sesuatu terjadi pada Bibi kalau aku tidak berada di sampingnya. Rasa ada perasaan khawatir yang tergantung dalam hati setiap saat.
Tapi, kalau aku tidak menerimanya, berarti aku tidak bisa membayar biaya pengobatan Bibi terlebih dahulu.
"Tidak apa-apa, ada perawat dan dokter disini." Aku memantapkan hatiku untuk melontarkan kalimat itu meski aku sedikit keberatan.
Kenapa aku harus belajar memilih di usia semudah ini?
Tidak, tidak, aku tidak boleh mengeluh, aku harus bersyukur, batin diriku sembari menggelengkan kepalaku samar.
Tapi memang pada kenyataannya, yang kualami sungguh berat, kurasa memang lazim kalau aku sering merasa dunia ini kurang adil.
"Bagaimana dengan minggu depan?" tanya Alvian. "Aku ingin mengulang semua materi sekolah, karena aku benar-benar tidak paham semuanya."
"Oke," balasku tanpa mengalihkan pandangan dari Bibi. "Jam berapa?"
"Terserah kamu."
"Kenapa semuanya terserah aku?" Aku yang menentukan jadwal seolah-olah aku yang akan belajar.
"Aku bisa kapan saja," balasnya.
"Bukannya kamu ke rumah sakit?" Seperti yang Alvian katakan, ia ke rumah sakit tiga hari sekali dan aku tidak tahu pasti jam berapa.
"Aku bisa mengatur waktuku." Kepalanya ia sedikit terangkat ke atas, seperti sedang berpikir.
"Nanti kupikirkan."
Aku memperhatikan monitor Bibi, semua keadaannya masih stabil. Aku harap akan begitu saat aku pergi nanti.
Mungkin aku harus menginap di rumah sakit, pulang saat jam empat subuh lalu bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tidak mungkin aku membawa semua buku belajarku ke rumah sakit.
Semoga Bibi baik-baik saja selama aku berada di sekolah nanti.
"Kamu sudah makan siang?"
Begitu pertanyaan itu keluar dari mulut Alvian, aku langsung melirik ke arah jam dinding ruangan.
Sudah jam tiga siang. Aku merasakan keroncongan pada perutku, padahal sebelum ia bertanya, aku tidak merasakan apa-apa.
Dan sekarang aku ingin makan, kurasa aku harus pamit dengan Alvian dan pergi ke kantin rumah sakit . "Belum."
"Aku akan pergi ke kantin sekarang, kamu pulanglah sekarang." Aku beranjak dari dudukku, kemudian berjalan melewati Alvian--hendak keluar dari ruangan rawat inap. Tatkala aku memegang kenop pintu, ada suara yang terdengar dari belakang.
"Tunggu." Suara Alvian membuatku berhenti dan menolehkan kepala ke belakang.
"Ada apa?"
"Aku ikut." Dia berjalan ke arah pintu--mengurangi jarak kami berdua.
Kepalaku mengangguk samar dan kami berdua pun turun ke lantai satu menggunakan lift, sebenarnya aku hendak menggunakan tangga, tapi Alvian bilang kalau dia mau naik lift dan juga menyarankanku untuk naik lift juga karena kakiku yang belum sembuh total
--
Sudah sekian lama aku tidak makan yang namanya ikan kukus, aku sudah terbiasa makan makanan cepat ssaji yang rerata dipanggang ataupun digoreng, karena lebih hemat.
Tidak salah kalau sesekali makan sehat begini, lagipula aku dapat menambah tabunganku dengan gaji yang aku dapat nanti.
Aku jadi rindu masakan Ibu.
Kami berdua duduk berhadapan pada meja untuk dua orang, menikmati makanan kami masing-masing dalam sunyi.
"Makanan disini tidak buruk juga." Tanpa sadar, aku melontarkan pujian pada makanan yang tengah kukonsumsi.
"Lebih baik dari makanan untuk orang sakit," ucap Alvian sembari mengunyah makanannya. "Makanannya dingin dan rasanya hambar."
Aku tidak pernah dirawat inap jadi aku tidak tahu menahu apapun tentang makanannya. "Hmm."
"Sakit itu tidak enak," ucap Alvian, matanya menatapku yang sedang makan, membuatku berhenti sejenak karena merasa tidak enak.
"Memang," balasku lalu menyuapkan sesuap nasi pada mulutku.
"Makanya, Tara harus menjaga kesehatan," ujar Alvian seperti seorang bapak-bapak yang tengah menasehati anaknya. "Kamu selalu terlihat lesu."
Aku spontan menyentuh salah satu pipiku. "Iyakah?"
Alvian mengangkut kepalanya dengan mulut yang masih mengulum nasi.
Setelah Alvian menelan makanannya, ia baru membalasku, "Iya, kamu selalu kelihatan lelah."
Yang ia katakan tidak salah, meski tidak ada lagi kantong mata hitam yang menghiasi wajahku, tapi tetap saja aku terlihat seperti gadis lesu yang tidak berenergi, entah karena apa.
Apa mungkin karena ekspresi wajahku yang selalu terlihat murung?
"Tapi kalau Tara tersenyum, jadi kelihatan segar." Ia melanjutkan kalimatnya.
Berarti benar, karena aku selalu terlihat murung. Mungkin aku harus mencoba untuk lebih sering tersenyum.
Aku hanya diam tanpa membalas ucapannya, lanjut menghabiskan makananku.
Tersenyum, entahlah, aku tidak bisa melakukannya dengan sering. Saat aku tersenyum, ujung bibirku terasa berat.
Karena hatiku belum tersenyum.
Alyssa dan Sonia belum berhenti menggangguku, semua hal itu tidak boleh membuatku merasa putus asa dan juga sedih.
Tidak ada lagi yang terlintas dalam benakku selain kesembuhan Bibi. Namun rasanya lelah juga kalau diganggu seperti ini terus.
"Eh? Ada apa?" Melihat aku yang tidak mengeluarkan reaksi membuat Alvian terlihat bingung.
"Tidak apa-apa, aku hanya kepikiran sesuatu tadi."
"Kepikiran apa?"
"Sonia dan Alyssa." Tanpa sadar aku mengucapkan nama mereka berdua, tanganku spontan menutup mulutku.
"Kalian sering bertengkar, ya?" tanya Alvian dengan wajah polos.
"Tidak, mereka hanya mengangguku." Aku melanjutkan makananku sembari bercerita, rasanya semuanya ingin kukeluarkan lewat mulut, semua rasa kesalku ingin kumuntahkan.
"Eh? Kukira kalian itu berteman baik." Begitu kalimat itu keluar dari mulut Alvian, aku langsung tersedak, terbatuk-batuk.
Alvian menyerahkan jus jeruknya padaku dan aku meminumnya, semua berjalan dengan spontan tanpa aku sadari. "Ayo minum!"
Setelah meminumnya, aku perlahan menelan makanan yang tersangkut di tenggorokanku. Terbatuk beberapa kali setelah itu.
Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa kami adalah teman baik? Hampir setiap aku bertemu mereka, mereka melakukan sesuatu yang buruk padaku. Apa Alvian tidak pernah melihat semua itu? Aku tidak ingat siapa saja yang pernah melihatnya.
Sesaat, aku menyadari satu hal.
Aku baru saja berbagi gelas dengannya?
"Itu sudah kamu minum belum?" Aku dengan ragu bertanya mengenai hal itu. Dia spontan menoleh ke arah jus jeruk yang berada pada genggaman tanganku.
"Oh belum, untukmu saja." Alvian menyunggingkan senyuman--mengembangkan bibirnya sedikit.
Mendadak aku merasa bahwa keadaan ini sungguh canggung, lalu dengan cepat menghabiskan makananku yang ternyata sisa sedikit.
"Makanannya jangan kecepatan, nanti tersedak lagi," ucap Alvian yang menatapku makan dengan terburu-buru.
"Aku lupa kalau aku sudah berada lama disini." Aku menyendok sesuap nasi terakhir, berangsur beranjak dari dudukku.
Alvian melirik ke jam dinding yang kebetulan berada di tembok samping kita. "Kita baru 30 menit disini."
"Itu sudah cukup lama." Aku berdiri, mendorong kursiku ke arah meja. "Selamat tinggal."
Saat aku berbalik dan hendak pergi, dia menyebut namaku. "Tara!"
"Ya?"
"Sampai jumpa," ucapnya lalu mengumbar senyuman manis sembari melambaikan tangan dengan pelan.
Tanpa sadar, sudut bibirku sedikit terangkat. "Iya, sampai jumpa."
Seharusnya aku mengatakan 'sampai jumpa' bukan 'selamat tinggal'.
Setelah membalas lambaian tangannya, lalu berjalan pergi meninggalkannya yang masih makan di kantin rumah sakit.
TBC~
20 September 2020
Lemony's note
I love them so much, ugh <3
Aku suka Tara yang gini digabung sama Alvian yang polos-polos, sekali lagi, pengen bawa Alvian ke RL terus kutraktir permen 😭💖
Ngomong-ngomong, wattpad makin error ya sekarang? 😭
Loadingnya pas save lama banget (di aku) juga sering muncul revision history 😭🤲✨
I somehow miss the old version of wattpad, wait, who doesn't?
Fitur quote hilang, nyesek :')
//Kebanyakan ngobrol di AN yang mana menambah jumlah kata, maafkan saya.
Makasih buat yang masih mau baca, I love you all (◍•ᴗ•◍)❤
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro