Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Twelfth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Menyembunyikan derita dibalik senyuman adalah satu-satunya jalan agar aku tidak anggap lemah.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku duduk diam di dalam kelas, kedua tanganku menopang dagu, benakku berproses memikirkan sesuatu.

Tentang jepit rambut itu.

Kelas sudah dihadiri beberapa orang, aku tidak berani datang sewaktu matahari masih belum mengumpulkan kepercayaan diri untuk muncul, Aku tidak ingin bertemu dengan Sonia ataupun Alyssa.

Aku meraba-raba jepit rambut yang tersimpan dalam saku rokku, memastikan bahwa benda kecil itu tidak hilang. Ini bukti yang bisa membuat Sonia atau Alyssa tobat--kuharap begitu.

Caroline masih saja belum datang, hatiku bimbang untuk memberitahunya perihal kejadian kemarin. Dia itu teman lama Alyssa dan Sonia, hubungan mereka memang tidak terlihat begitu erat, tapi Caroline sudah berteman dengan mereka sejak SD.

Ya, lebih lama dariku yang baru beberapa bulan ini menjadi "partner belajar" Caroline.

Apa ia akan berpihak pada mereka atau mau membantuku?

Pelakunya belum tentu mereka berdua sih, ada ribuan orang di sekolah ini. Tetapi, aku paling mencurigai mereka berdua, terutama Sonia. Dia juga ikut kegiatan klub pecinta alam kemarin.

"Tara?" Jemari asing melambai-lambai di depan mataku, membuat pikiranku pecah. Netraku langsung memandang pemilik jemari itu melalui sudut mataku.

Anak yang tidak pernah berhenti tersenyum, Alvian. Saat aku menaruh pandanganku padanya, ia langsung menjauhkan tangannya dari hadapanku.

"Oh, syukurlah kamu mendengarkanku." Ia mengembuskan napas ringan, sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Hm?" Aku mengganti posisi lenganku--yang tadinya menopang pipiku--membiarkannya bersantai di atas meja.

"Tadi kamu 'kan sedang melamun, kukira kamu tidak akan mendengarku." Alvian mengigit bibirnya sejenak setelah melontarkan sepenggal kalimat.

"Bukan, maksudku ada apa? Kenapa memanggilku?"

"Ah, bukan apa-apa, aku hanya menyapa," balasnya sembari menoleh kiri-kanan, entah melihat apa.

"Oh." Aku menolehkan kepalaku ke sebelah kiri--menundukkannya sedikit--tidak lagi memandangnya.

"Eh, bagaimana keadaanmu?" Suara yang tidak bass itu kembali diterima oleh indra pendengaranku. Kepalaku mendongkak kembali ke atas--dikaranekan ia berdiri sedangkan aku duduk.

"Ya, begitu." Tumben sekali ia menanyakan kabarku.

"Syukurlah." Senyum Alvian melebar, melebur di atas wajahnya. "Maaf, kemarin aku memegang tanganmu tanpa izin, juga sudah membuatmu basah karena menerobos hujan."

Aku menggeleng kepala pelan, "Tidak apa-apa."

Dia sampai meminta maaf perihal "menggegam pergelangan tanganku". Aku merasa kalau aku terlalu sensitif, padahal niatnya baik, malah dia jadi merasa bersalah begini.

"Ah, Alvian." Caroline yang baru saja datang langsung bersuara. "tumben kalian berdua ngobrol."

Alih-alih menjawab Caroline, aku malah memperhatikan wajahmya. Segar dan juga tidak pucat seperti kemarin, aku jadi tenang.

"Tadi mau minta maaf sebentar," balas Alvian sembari memalingkan kepalanya ke arah Caroline

"Eh? Minta maaf?" Alis Caroline mulai mendekat, raut kebingungan terlihat jelas dari wajahnya.

"Iya, kemarin—" Saat Alvian hendak melontarkan kata-kata, sikuku refleks menyentuh pinggulnya, indranya yang merespon membuatnya melihat ke arahku.

"Kemarin kenapa?"

"Bukan apa-apa," balasku langsung. Aku tidak ingin Caroline tahu tentang aku yang terkunci di gudang, aku yang menemukan jepit rambut yang kemungkinan milik pelaku, tentang Alvian yang menolongku.

"Tapi Alvian bilang ...." Caroline menatap kami berdua secara bergantian, menjeda kalimatnya sendiri.

Setelah melihat tatapanku "yang menyuruhnya untuk tutup mulut". Alvian langsung menggelengkan kepalanya, "bukan, aku salah hari, kemarin tidak terjadi apa-apa."

Caroline menatapku sejenak lalu ber-oh ria dan berjalan menuju ke tempat duduknya yang berada di sampingku.

Alvian–yang sudah tidak ada kepentingan denganku–meninggalkan kami berdua, ia berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Beneran tidak ada apa-apa? Kok kamu sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu?" Caroline memulai pembicaraan.

Aku menggelengkan kepalaku samar. "Memang tidak ada apa-apa, anak itu kalau bicara sering salah."

"Wah, ternyata kalian sudah dekat." Caroline tertawa terkekeh-kekeh, "sampai tahu gaya bicaranya."

"Bukan itu." Aku yang tidak mesem membuat Caroline menghentikan tawanya, mungkin menyadari bahwa itu tidak terdengar seperti lelucon bagiku.

Keadaan canggung menyelimuti selama sekian detik sebelum akhirnya aku mulai merogoh-rogoh isi tasku, mencari buku Caroline, dan mengembalikannya.

"Ini bukumu." Aku menyerahkan buku bersampul kuning itu padanya, tangannya dengan lembut mengambilnya.

"Terima kasih ya, kukira kamu bakal lupa." Ia tersenyum seraya memandangi buku itu.

"Hm. Tidak masalah."

Hatiku bergejolak, ingin memberitahunya tentang apa yang menimpaku namun ragu kalau dia akan memihak padaku dan membantuku membuat Sonia ataupun Alyssa mengaku.

"Kamu kenapa?" Aku yang terus menundukkan kepala dengan kerutan alis membuatnya sadar bahwa aku sedang merenungkan sesuatu.

"Aku ...." Aku menghentikan kalimatku, lalu mengatup mulutku kembali membuat ia menatapku semakin heran. Ia kemudian menggeser kursinya, mengurangi jarak denganku.

"Kalau ada apa-apa, cerita saja, kita 'kan teman," ucap Caroline. Tanpa sadar, aku tersenyum, rasa bahagia karena ia melabeliku sebagai 'teman' bukan 'partner belajar'.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak renyem, dan langsung mengalihkan pembicaraan. "Eh, kamu sudah baikan? Tidak lemas lagi?"

Caroline tersenyum semakin lebar, lalu dengan semangat berkata, "sudah dong. 'Kan sudah minum obat."

"Baguslah."

Matahari semakin naik, langit mencerah, semuanya kulihat lewat jendela dalam kelas. Banyak murid mulai berdatangan ke kelas, termasuk Sonia yang datang dan langsung berjalan santai menuju bangkuku--atau bangku Caroline.

"Hai." Sonia menampilkan senyumnya pada Caroline, matanya beralih ke diriku sejenak---menganti senyumnya menjadi senyuman kesinisan.

"Hai," Caroline membalas sapaan Sonia dengan nada bersemangat.

Sonia mengatur posisi rambutnya agar semakin kedepan, semakin menutupi pelipisnya. "Oh, syukurlah kalau begitu."

Entah kenapa rasanya ingin mengusir Sonia--meski aku tahu aku tidak punya hak, auranya benar-benar mencekam jiwaku, tatapannya seakan-akan menyimpan dendam padaku.

Sampai saat ini, aku masih bertanya apa salahku pada mereka.

Mataku tanpa sadar memperhatikan rambutnya, aku tidak ingat dia pernah memakai jepit rambut, aku memang tidak pernah memperhatikannya.

"Kenapa kamu menatapku begitu?" tanya Sonia sembari menajamkan tatapannya, setajam silet.

Aku menghindari kontak mata dengannya. "Aku tidak menatapmu, ke-geeran."

BRAK!

Ia langsung memukul mejaku dengan volume keras, matanya yang tenang tetap memancarkan aura kemurkaan. Bahkan Caroline--yang berada di sampingku--juga ikut terkejut.

"Sonia ...," tutur Caroline--dengan nada seperti sedang kesal padanya--karena telah memukul meja dan membuatnya nanap.

"Maaf, tapi 'kawan belajarmu' ini tidak tahu etika." Sonia mendekatiku yang masih duduk, punggungnya membungkuk secara perlahan, ia memandangiku lalu berkata, "lidahmu mau saya potong atau matamu yang saya cabut?"

Aku mengumpat dalam hati, ingin langsung menamparnya, tanpa sadar aku melontarkan sepenggal kalimat yang membuatnya naik pitam.

"Kalau berani."

Ia langsung menarik rambut cokelat tuaku dengan emosi yang tersalur melalui benak, kepalaku sampai terangkat sedikit ke atas.

Semua murid yang sudah berada di kelas terdengar panik melihat kelakuan Sonia. Banyak yang langsung berdiri di belakang dan menjadi penonton, itulah yang aku tangkap dari suara berisik kursi.

Tidak ada seorangpun yang mau menghentikannya?

Caroline hanya memandangku kosong, ia tidak mengatakan apapun. Dia hanya menyimak keadaan.

"Ah!" Aku mulai mengeluarkan suara kesakitan, tarikannya benar-benar kuat.

Sonia menaikan nada bicaranya. "Aduh, sakit ya."

Gaya tarikannya ia tambah, membuat rasa sakit yang kualami semakin lara.

"Sonia, sudah." Caroline kini bersuara, Sonia sontak melepaskan rambutku dan kemudian mengusap-usap tangannya pada roknya.

"Duh, aku jadi terbawa emosi, sampai menyentuh anak yatim piatu ini." Sonia menampilkan wajah pongahnya dengan percaya diri, lalu kembali merapikan rambutnya yang sempat berantakan tadi.

Aku menjauhkan tubuhku darinya, mengusap-usap kepalaku yang sakit sehabis dijambaknya.

Sonia mengembuskan napas ringan, lalu berjalan ke bangkunya tanpa menatapku lagi, sedangkan aku yang memperhatikannya menyadari bahwa dia sedang menunjukkan seringainya.

Kelas yang tadi hening kini kembali seperti semula, dipenuhi suara bicara yang saling menimpa.

Aku menengok ke arah belakang sejenak, terlihat ekspresi Alvian yang juga bengong menatapku, dia tampak sedih entah karena apa.

Mataku kini beralih ke lantai keramik, aku menundukkan kepalaku, berusaha untuk tidak mendengar satu suarapun.

Aku butuh ketenangan, aku ingin bahagia, tapi malah jalan ini yang aku tempuh.

"Maaf ya," ucap Caroline yang membuatku mengangkat kepalaku kembali. "Aku tidak bisa membelamu, Sonia itu—"

"Iya, aku mengerti, sudah, jangan bicarakan itu." Aku memotong kalimat Caroline yang belum selesai.

Aku mengerti posisi dia yang tidak mampu menegur Sonia yang sudah berbuat salah, Sonia juga seperti tipe yang tidak ingin mendengarkan.

Kepalaku kembali menunduk meski bel tanda pelajaran akan dimulai lima menit lagi telah berbunyi. Rasanya ingin menghilang sejenak, ini sungguh melelahkan.

Saat aku mendengar suara hak tinggi yang beradu dengan lantai mendekat, aku sontak mengangkat kepalaku dan seperti biasa, ketua kelas akan menyuruh satu kelas berdiri dan mengucapkan, "selamat pagi, miss."

Setelah itu kami semua duduk, dan Miss Riana--yang memasuk di jam pelajaran ini--pun mulai mengajar, menjelaskan lanjutan materi dari pertemuan terakhir.

Pikiranku tidak fokus dengan itu, aku selalu memikirkan cara untuk tidak lagi diganggu oleh Sonia ataupun Alyssa.

Melapor akan menghasilkan hasil yang nihil. Para guru akan membela mereka berdua mati-matian karena mereka "anak yayasan". Lebih tepatnya hanya Alyssa saja, aku tidak tahu asal muasal orang tua Sonia.

Yang aku tahu bahwa mereka berdua senang menindas, apa yang salah dari menjadi yatim piatu? 

Bobby pin itu aku keluarkan kembali dari dalam saku, menatap benda itu secara diam-diam, keraguan selalu mengetuk benak tatkala melihat benda itu.

Aku meletakkannya dalam laci meja, lalu mulai mencatat materi yang didiktekan oleh Miss Riana. Aku menekan ujung bolpoin pada buku tulis, mulai membiarkan tinta mengalir--menulis.

Lupakan hal itu sejenak, itu bisa dipikirkan nanti. Aku harus tetap fokus belajar supaya beasiswa ini tetap pada genggamanku.

TBC

6 September 2020

Lemony's note

Hm, Chapter kali ini rasanya lebih singkat ya, apa karena ga banyak yang terjadi disini?

Iyey, Memoriam update empat kali lho dalam seminggu, ada yang senang? Ada yang nungguin? //Keknya ga ada ಠωಠ

Aku pindahin ini dari evernote ke wattpad dengan mata yang dah berat banget, sudah ngantuk banget 😭✨ (Ini lagi jam 1 pagi dan kemungkinan aku update pas jam 2 gitu).

Kenapa lama editnya? Pas mau nambahin quote, itu yang susah, sering crash 😭✨

Sekian cuap-cuapku, makasih bagi yang sudah mau membaca ceritaku ini! 

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro