✧・゚:*Thirty Sixth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Bertemu ataupun kehilangan satu orang bisa saja membuat hidupmu benar-benar berubah.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Minggu keempat dari bulan Januari membuatku semakin heran, Alyssa atau Sonia (atau siapa pun diyang tengah berusaha menerorku) mengirim kertas berisi hinaan, celaan, bahkan doa-doa buruk. Bahkan lokerku penuh dengan kertas-kertas (ada sebuah lubang kecil, pelakunya mungkin menyelipkan kertas lewat sana).
Benar-benar pemborosan kertas dan juga tinta. Aku lelah, ada sekitar dua puluh kertas--aku mengumpulkannya--yang sudah kudapat. Banyak. Ini hanya kertas, jadi aku masih tenang saja. Tidak ada serangan fisik.
Sonia dan Caroline tidak terlihat seakrab dulu, mereka memang bersama kadang-kadang, tapi aku merasa Caroline agak 'tidak suka' dengan Sonia. Sedangkan kalau dengan Alyssa, sama seperti dulu, masih dekat, sangat dekat. Aku tidak seharusnya perduli pada pertemanan mereka. Tidak ada kaitannya denganku.
Ujian harian pertama untuk semester kedua sudah dimulai, semuanya berjalan seperti biasa, lancar, tidak ada halangan, tidak ada penindasan secara langsung. Alvian semakin lancar belajar, dia yang punya rasa ingin tahu menggebu-gebu sangat membantuku, aku jadi tahu lebih banyak karena mencarikan jawaban untuknya.
Harapan yang kutanam sepertinya mulai mekar, apa yang aku harapkan benar-benar terjadi. Bibi akan pulang seminggu lagi, tidak ada lagi yang lebih menyenangkan hatiku.
Aku benar-benar waspada saat hari terakhir ujian. Aku enggan ke toilet lagi; belajar dari pengalaman lama, aku tidak ingin dikurung di kamar mandi atau pun diceburkan ke dalam ember air bekas pel. Kalau didorong di lorong sampai hampir terjatuh, itu sudah sering, jadi aku sudah agak terbiasa meski kadang terkejut.
Bahu Sonia menyenggol bahuku, membuatku tersentak, dia lalu melemparkan tatapan tajam yang dulunya membuatku mengkeret. Sekarang? Bodoh amat, aku sudah bahagia dengan adanya Bibi, sejak Bibi membaik, aku mengabaikan mereka (tidak melempar tatapan rasa takut) yang kelihatannya semakin kesal.
Sonia berlalu pergi, tidak mengatakan apapun.
Kedua kakiku berjalan pelan melewati kelas tempat Alvian ujian, sesekali melirik apakah dia sudah keluar atau tidak.
Jambakan, ada yang menarik rambutku dari sebelah kiri, ada secuil rasa sakit yang tercipta. Aku langsung mengenal tarikan khas pelaku.
"Anak sombong, ujiannya bagaimana tadi? Semoga nilaimu rendah, serendah-rendahnya seperti harga dirimu." Alyssa menatapku dengan ngeri, penuh amarah dan kebencian. Aku mengatup rapat mulutku, tanganku berusaha menjauhkan tangannya.
"Bicara! Kamu sudah bisu?" Alyssa kelihatan tidak senang, tidak memberikan perlawanan atau pun tatapan takut membuatnya semakin kesal.
Entah kenapa Sonia lebih banyak diam setelah kejadian di ruang klub pecinta alam tempo hari itu, biasanya dia yang paling sering menyerangku. Sekarang Alyssa-lah yang terus mengangguku, mereka seakan-akan sudah bertukar peran.
Orang-orang sekitar kelihatan cuek, tidak ada yang peduli. Aku melakukan hal yang sama sampai Alvian datang menghampiri dan dengan sendirinya menarik pelan tangan Alyssa dengan nada sopan dan senyum kaku. "Maaf, tidak baik menjambak orang seperti ini."
Alvian sering melakukannya, ketika ada yang jahat padaku dan aku tidak bisa melawan, dia akan menutur kata-kata baik untuk menghentikan mereka. Awalnya aku tidak menyukai, sangat tidak menyukainya, namun seiring dengan waktu, aku percaya padanya dan opini orang lain tidak akan membunuhku.
Dia anak yang baik, selalu ingin menolong, beda denganku yang acuh tak acuh. Meski aku memintanya untuk tidak membelaku, pada akhirnya, dia melakukannya juga. Instingnya untuk berbuat baik selalu berkoar-koar.
"Hei, kamu sudah disantet Tara, ya? Jadi aneh." Alyssa mengomel sembari melempar tatapan penuh kebencian padaku. "Tsk, orang yang manipulatif, kamu yang polos sudah dimanfaatkan olehnya."
Alvian tidak mengindahkan ucapannya; hanya tersenyum pada Alyssa lalu berkata, "Yuk, Tara."
Aku berjalan melewatinya, meninggalkan Alyssa sendiri dengan amarahnya.
"Maaf kalau Tara tidak menyukainya," ujar Alvian dengan nada bersalah karena mendengar kata 'manipulatif' keluar dari mulut Alyssa. Singkatnya, ia mengira kalau saja dia tidak membelaku, aku tidak akan dibilangi seperti itu.
"Tidak apa-apa." Aku mengembuskan napas berat. "Itu tergantung kamu percaya atau tidak, aku tidak peduli dengan opini Alyssa."
Alvian mencetak senyum kecil di atas bibirnya. "Aku senang kalau bisa membantu Tara."
"Terima kasih." Rasa curiga kalau Alvian hanya kasihan padaku mulai pudar, dia tidak mungkin melakukannya, aku percaya itu. Senyum tulusnya seakan-akan menjelaskan segalanya.
Bagaimana kabar Caroline? Selama ujian, aku jarang melihatnya. Jauh di dalam lubuk hati, aku khawatir, dia sepertinya terlalu memaksakan diri untuk belajar. Apakah dia baik-baik saja? Apakah aku harus mengirim pesan untuk menanyakan kabarnya? Apa aku akan mengganggunya?
Semua pikiran acak itu terhenti sementara, teringat dengan apa yang akan terjadi besok. Besok, setelah beberapa bulan menunggu, Bibi akan kembali pulang ke rumah. satu harapan terkabul. Kembang api itu mendengarku.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Paman Dean menyuruh Pak Rudy mengantar Bibi pulang dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Pak Rudy banyak bercerita, lebih tepatnya sedang berbicara pada Bibi, tapi Pak Rudy lebih banyak bicara dari Bibi. Aku hanya mendengar percakapan itu tanpa menyimaknya, lebih banyak menatap ke luar jendela, melamun.
Sudah lama aku tidak pergi ke taman, itu yang aku pikirkan saat mobil ini melewati taman yang menjadi tempat favoritku dengan Ayah dan Ibu. Mungkin aku akan pergi sebentar ke sana, tentunya setelah Bibi sehat total.
Setelah sampai di rumah, Pak Rudy membantuku menurunkan barang-barang sementara aku memapah Bibi untuk duduk di sofa (tidak ada keretakan tulang yang fatal, jadi Bibi masih bisa berjalan meski lemas karena berbaring berbulan-bulan), kecelakaan itu hanya mengenai bagian kepalanya, untungnya tidak terlalu parah meski membuat Bibi koma.
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Rudy, lalu memapah Bibi sampai ke kamarnya yang ada di lantai dua juga. Bibi berbaring di atas kasur, aku menyuruhnya untuk istirahat; memanggilku jika dia butuh bantuan.
Entah kenapa Bibi menghentikanku yang hendak keluar untuk mengambil barang di bawah.
"Tara, kemari dulu." Aku menurutinya, duduk di kursi kecil dekat kasurnya.
"Kamu pasti merindukan mereka?" Matanya berair, berkaca-kaca, seperti hendak menitikkan air mata dari pelupuk. Aku tahu siapa 'mereka' yang Bibi maksud dalam sedetik.
"Iya." Tentu saja, itu jawaban yang mutlak, aku tidak bisa berhenti merindukan mereka. Aku langsung melanjutkan kalimatku sebelum Bibi mulai meminta maaf lagi. "Tenang, Bi. Aku tidak sedih lagi."
Bibi menyunggingkan senyuman, menarik napas, masih berusaha menahan tangis. "Kemarin Bibi bertemu dengan mereka di mimpi."
Gagal, air matanya turun setelah kalimat itu dilontarkan mulutnya. Bibi mengambil napas sejenak lalu melanjutkan kalimatnya. "Mereka senang melihat Tara sudah merasa lebih baik."
Aku tersenyum kecil, bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa Ayah dan Ibu tidak mau muncul di mimpiku? Apakah mereka takut aku merasa sedih lagi? Merasakan rindu yang menggerus hati? Mungkin saja, aku juga tidak tahu.
Didatangi oleh orang--yang sudah pergi dari dunia--di mimpi itu hal yang lumrah, apalagi Bibi memang dekat dengan Ibu. Tunggu, apa jangan-jangan Alvin itu juga orang yang sudah .... Aku buru-buru menepis semua pemikiran aneh itu, Alvin itu imajinasiku, pandanganku tidak akan berubah.
Atau mungkin dia itu semacam pemberi pesan seperti di novel yang pernah kubaca?
Lamunanku buyar saat Bibi melanjutkan kalimatnya.
"Maaf Bibi harus merepotkanmu."
"Berhenti mengatakan itu." Aku bingung, kenapa Bibi selalu meminta maaf, justru akulah yang merepotkan, dia harus merawat anak yatim piatu sepertiku. "Tolong, Bi. Ini kecelakaan, salah pengendaranya, bukan Bibi."
Bibi selalu dan selalu merasa bersalah, mulai dengan minta maaf karena tidak punya waktu bersamaku sehingga aku jadi penyendiri, minta maaf karena tidak bisa memberikan kehidupan sebaik orangtuaku, minta maaf karena tidak sering masak sehingga aku harus makan fast food terus menerus. Itu semua terjadi karena aku, kesalahanku, kalau aku ikut terlahap api, Bibi tidak perlu repot.
"Tara sampai harus bekerja seperti ini, seharusnya--"
Untuk kesekian kalinya, aku memotong ucapan Bibi dengan kalimat yang sudah ingin kukatakan dari dulu sejak BIbi sadar. "Bibi bisa membantuku, berhenti bekerja."
Bibi langsung menggeleng. "Bibi tidak ingin membebankan kamu."
"Bi, aku hanya membantu Alvian belajar, keluarga mereka yang bayar mahal, aku juga tidak bekerja terlalu keras, biasa saja."
Benakku mengingat saran yang Alvian berikan minggu lalu, aku tidak ingat tepatnya kapan, kurasa ini akan membuat Bibi berubah pikiran.
"Bibi buka bisnis saja, Bibi suka menjahitkan, Bibi bisa pakai uang yang kutabung untuk modal."
"Tapi--"
"Bibi sudah terlalu rapuh untuk bekerja kantoran, aku tahu Bibi sering sekali sakit kepala karena lembur, dan juga BIbi dibayar dengan gaji tak seberapa." Bibiku hanya lulusan D3, aku tidak yakin dia bisa menemukan kantor lain dengan gaji lumayan.
Aku percaya Bibi akan setuju, dia sangat senang menjahit pakaian, mengelim kain-kain menjadi satu. Netraku menatap Bibi lamat-lamat, menunggu jawabannya. "Bibi akan pikirkan itu, tapi kalau kamu tidak ingin bekerja di sana, kamu bisa berhenti."
"Iya." Aku tidak tahu kapan aku akan berhenti, tidak ada alasan yang kuat untuk itu. Paling aku diberhentikan setelah Alvian sudah benar-benar lancar belajar.
Siang hari itu kuhabiskan sepanjang hari bersama Bibi. Membantu dia latihan berjalan agar dia tidak perlu lagi menyuruhku memapahnya untuk kamar mandi.
Aku teringat ini tiba-tiba, seminggu lagi pengumuman nilai dari Bu Fya sendiri tentang nilai tertinggi. Tak masalah jika aku tidak mendapatkannya, Caroline yang akan mendapatkannya, rasa yakinku berkali-kali lipat saat melihat dia belajar sekeras itu.
Jangan-jangan dia sampai menolak tidur. Kantong matanya semakin jelas, mendekati kantong mataku. Aku sekarang lebih mudah tidur daripada dulu, tidak perlu sampai memakan obat penenang yang punya dosis kecil zat pengundang kantuk. Dimulai dari munculnya Alvin yang membuat jadwal tidurku perlahan tertata.
Kalau aku tidak bertemu Alvin, apakah hidupku masih sama? Tidak, satu orang mungkin bisa membuat perubahan besar dalam hidup, tidak ada yang tahu.
Mulai hari ini, tidak ada lagi kunjungan Alvian ke rumah sakit, makan siang bersama, dan juga Alvian yang selalu bersemangat mengobrol dengan Bibi, entah tentang bunga, seni, dia pandai mencomot topik. Apakah aku merindukannya? Tidak tahu, aku bahkan tidak mengerti perasaan aneh yang bermunculan ini. Aku memang aneh.
TBC~
31 Januari 2021
Lemony's note
Iya Tara, kamu rindu sama Alvian. /ditabok Tara/
Chapter 36 dan mereka baru selesai ujian harian pertama untuk semester kedua. Coba komen prediksi kalian, chapter berapakah Memoriam tamat nanti?
Belakangan ini entah kenapa susah banget tidur, ada yang senasib? Sudah di kasur dari jam 12 tapi belum tidur sampai jam 5 pagi 😭. Kalau ada tips boleh komen.
Entah kenapa walau udah dicek berulang kali, tetap aja ada yang typo /hiks/ Kalau kalian nemu, boleh dikomen ya. Kadang juga ada yang lupa di-italic (╥﹏╥)
Terima kasih sudah membaca Memoriam!
With love.
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro