Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Thirty Ninth Memory*:・゚✧

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kepedulian kadang datang tanpa kita duga.
  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Seperti biasa, sembilan hari penuh dengan peluh yang mengalir akibat kegugupan. Soal ujiannya standar, tingkat kesulitan seperti biasa, tapi kejadian di gudang itu sangat menggangguku. Kalau saja Alvian tidak menyelamatkanku waktu itu, mungkin aku harus mengikuti ujian susulan.

Tidak ada yang bisa kulakukan

Aku terus menerus menghindari kelas yang Alvian tempati, ada Alyssa di sana. Pertemuanku dengan Caroline juga hanya sekilas, cukup untuk tahu kalau dia benar-benar bekerja keras untuk ujian ini.

Apakah dia memaksakan diri lagi? Dia tidak pernah mau mengajakku belajar bersama sejak aku meraih nilai tertinggi. Apa dia menganggapku sebagai saingan?

"Tara jangan mengkhawatirkan pemikiran Caroline." Itu kalimat yang Alvian ucapkan saat melihatku yang sering kali menatap Caroline dengan khawatir. "Caroline tidak akan menganggap Tara seperti itu."

Aku bingung. Apakah Caroline sekarang membenciku? Itu membuatku khawatir, dia sering membantuku, terutama dalam menghadapi Sonia. Aku menyayanginya, dia mengisi hariku dengan candaan, tawa darinya membuatku menghangat. Kurasa aku akan memercayai perkataan Alvian untuk sementara.

Malam keempat ujian harian, aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada Caroline. Aku tidak biasa bertukar pesan dengan Caroline meski memiliki kontaknya, entah kenapa rasanya aneh saja jikabertukar pesan dengan orang, tidak terbiasa.

Jariku menekan tombol 'kirim' setelah menyusun kalimat dengan benar, kuharap Caroline tidak tersinggung.

Tara
Caroline, semangat untuk ujian, kamu pasti bisa. Jangan maksa belajar.

Butuh waktu lima menit hingga nada dering notifikasi terdengar dari handphone-ku.

Caroline
Wah, tumben banget nge-chat, hihihi. Makasih, ya. Kamu juga!

Aku menyunggingkan senyuman tanpa kusadari, Caroline masih bersikap hangat padaku, dia tidak membenciku, kurasa.

Tara
Terima kasih kembali.

Caroline
Uhh, pengen ngobrol sama Tara. Tara mau teleponan?

Aku tersentak setelah membaca pesan terbaru dari Caroline. Dia ingin mengobrol denganku? Meneleponku? Bukannya dia sedang sibuk belajar? Tumben sekali.

Tara
Boleh, kalau kamu mau.

Handphone-ku langsung bergetar, ada satu panggilan masuk dari Caroline. Aku menekan tombol berwarna hijau, dan mendekatkan benda pipih itu pada indra pendengaranku. Menunggu si pemanggil mengucapkan 'halo' terlebih dahulu.

"Haloo," sapa caroline dari seberang sana dengan semangat, tidak terdengar lemas sama sekali.

"Hai." Aku membalasnya dengan pelan.

"Gimana kabarmu?"

"Baik? Kamu?"

Percakapan biasa itu berjalan selama lima belas menit, diwarnai tawa dan juga bercerita. Caroline bercerita banyak tentang dirinya, kadang kala dia melontarkan pertanyaan padaku, dia juga sering membahas Alvian, entah kenapa.

Benar-benar menyenangkan, aku tidak tahu bahwa bertelepon dengan sahabat akan seseru ini. Sahabat? Bukankah itu panggilan yang cocokk untuk Caroline? Seorang sahabat.

"Tara enggak marah, 'kan?" Suara cerianya memudar, kini lebih mengarah ke kesenduan.

Aku mengernyitkan dahi. "Marah? Karena apa?"

"Sekarang kita jarang ngobrol di sekolah."

"Aku tidak marah. Malahan aku khawatir denganmu." Dia menyadari hal itu? Aku cukup terkesan. Kukira Caroline sudah agak lupa dengan kegiatan mengobrol di sela-sela jeda pembelajaran.

"Kamu khawatir? Ah, ternyata kamu peduli padaku." Keceriaan Caroline sepertinya mekar kembali, dia terdengar bahagia, apakah memang kekhawatiranku penting untuknya.

Hening sesaat, aku tidak tahu harus bercakap apa, aku memang pembicara yang buruk, lawan bicaraku yang harus terus-menerus mencari topik untuk dibicarakan.

"Hahh, gara-gara abangku, sih."

Kebingungan menepuk benakku, apa yang membuat dia membicarakan Kakaknya secara tiba-tiba. Aku bertanya karena diliputi keheranan. "Kakakmu?"

"Ambis parah, aku jadi insecure."

"Ha?"

"Ya, dia rajin banget, sih. Panutan, hehe." Caroline tertawa ringan saat kalimat itu terdengar melalui speaker telepon milikku.

Menyadari adanya keheningan lain yang mampir, Caroline langsung mengalihkan topik pembicaraan. "Oh iya, Alvian makin dekat sama kamu, ya."

Pengalihan topik secara terang-terangan itu membuatku tidak berani mengungkit topik tadi kembali. Aku mengikuti arus percakapan yang ia buat, menjawab bila ia bertanya, lebih banyak diam, menikmati setiap menit yang berlalu.

Setengah jam berlalu tanpa terasa. "Um, aku mau belajar dulu, aku hang up, ya?"

"Iya, selamat malam."

"Malamm! Makasih ya sudah mau teleponan."

Ketika suara bip sudah terdengar, aku sontak menjauhkan ponselku dari indra pendengaran lalu menatap buku-buku sekolah yang tersusun rapi di atas meja belajarku.

Caroline belajar dengan sangat keras, tapi masih sempat meneleponku, ada leputan rasa bahagia yang muncul dalam hatiku. Percakapan 30 menit tadi seakan-akan sudah menyapu semua pikiran burukku: tentang Caroline yang membenciku, tentang Caroline yang tidak mau berteman denganku lagi.

Pada akhirnya semua pemikiran berlebihan itu tidak menjadi kenyataan, aku terlalu pusing memikirkan semua asumsi mengerikan yang kubuat sendiri. Aku memang aneh, rasanya bodoh sekali mengkhawatirkan hal tidak pasti seperti itu.

Aku menghela mapas dalam, memikirkan Caroline lagi. Mungkin dia bekerja keras karena meniru kakaknya, seperti yang dia katakan, aku tidak punya saudara, jadi mungkin saja aku tidak mengerti perasaannya. Semoga saja dia tidak terlalu memaksakan diri hingga jatuh sakit, aku belum pernah mendengar kabar Caroline yang absen sekolah karena sakit.

Masih ada ujian besok, aku mulai membuka bukuku, mempelajari ulang supaya rasa gugup besok tidak akan membuatku kehilangan kemampuan untuk ujian besok.

Aku memakai jepit rambut yang Alvian berikan tempo hari, poni panjang ini ternyata cukup merepotkan, kadang membuatku harus mengucek mata karena salah satu helai rambutku masuk.

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

"Selamat siang, Bibi," ucap Alvian sembari menundukkan kepalanya sedikit, mungkin agar terlihat sopan.

Hari ini hari terakhir ujian. Seusai ujian, Alvian berkata kalau dia ingin mengunjungi Bibi, dan sekalian mengantarku pulang. Alvian tidak pulang dulu ke rumahnya, dia bilang ingin langsung pergi dari sekolah.

Bibi terlihat gembira saat melihat Alvian datang. Bibi langsung mempersilakannya masuk ke dalam, menyuruhnya untuk duduk di atas sofa biru muda.

"Mau minum apa?" ujar Bibi dengan senyuman yang tercetak di atas bibirnya, dia terlihat bahagia.

"Tidak usah, Bi. Aku tidak haus, kok." Alvian menggeleng kepalanya dengan cepat, menolak tawaran Bibi.

Bibi membalas jawaban Alvian dengan senyuman. "Jadi, apa yang membuat Nak Alvian ke sini?"

"Aku hanya ingin melihat Bibi. Bagaimana kabar Bibi?" tanya Alvian dengan nada yang ramah.

Mereka kemudian bercakap-cakap, aku minta izin untuk naik ke kamar terlebih dahulu, untuk meletakkan tasku dan juga mengganti baju.

Saat aku turun, mereka masih bercakap-cakap, seperti seorang Ibu dan anak. Bibi pasti merindukan Derren, anak semata wayangnya yang ikut meninggal bersama dengan Paman Lucas. Aku memang tidak terlalu dekat dengan Derren, tapi aku tahu bahwa Bibi sangat menyayanginya.

Alvian itu terlihat seperti Derren untuk Bibi. Bibi selalu senang berbicara dengan anak laki-laki remaja, membiarkan benaknya melakukan kilas balik yang menyenangkan.

Bibi tidak pernah terlalu memikirkan tentang kematian keluarganya, dia masih kuat, sedangkan aku, tergeletak lemas, menolak makan, sampai harus ke psikiater yang mana hanya menghabiskan uang dan tidak membuatku merasa lebih baik, aku terlalu menutup diri, sepertinya.

Bibi masih sanggup mengenang kenangan lama, sementara aku memutuskan untuk melupakannya. Aku terlalu lemah untuk menahan memori buruk yang menusuk itu.

Aku tidak berjalan menuju ke ruang tengah, melainkan ke dapur. Alvian pasti ingin minum, aku melihat botolnya kosong tadi pagi, dan dia juga batuk di mobil tadi.

Tanganku mengambil botol kemasaan jus jeruk yang Bibi baru beli, diskon katanya, dan menuangkannya ke dalam gelas bening, hendak menyajikannya untuk Alvian. Semoga dia tidak menolak, aku hanya ingin berterima kasih kepadanya karena mengantarku pulang hari ini.

Di tengah pembicaraan mereka, aku membiat suara gelas yang berdenting dengan meja kaca, membuat obrolan mereka terhenti sejenak.

Alvian menatap gelas itu lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Untukku?"

"Ucapan terima kasih. Silakan diminum." Aku menatap gelas berisi jus jeruk dan Alvian secara bergantian.

Alvian menatap Bibi, entah karena apa, Bibi hanya tersenyum. Tangan kanan Alvian mengangkat gelas tersebut dengan hati-hati, bibirnya mengukir senyuman. "Terima kasih, Tara."

Bibi beranjak dari duduknya saat Alvian tengah menyeruput jus jeruk. "Bibi masih ada kerjaan, banyak, ada pesanan, lumayan ramai."

Aku tersenyum simpul, bisnis Bibi lancar, itu suatu perkembangan. Kembang api itu seakan-akan sudah menebarkan keajaiban.

"Aku boleh ikut melihat?" Permintaan Alvian membuat Bibi mengernyitkan dahi, tidak yakin dengan ucapan lelaki bermata cokelat hazel itu.

"Kamu mau?"

Alvian mengangguk.

Kami bertiga berjalan menuju kamar belakang, sebenarnya bukan kamar, hanya ruangan kosong melompong yang dibatasi triplek dengan kamar Bibi. Bibi lalu duduk di depan mesin jahitnya yang diletakkan di atas meja yang lumayan luas, kami di sisi seberangnya, menatap tangan Bibi yang mulai mengutak-atik mesin.

"Nak Alvian suka menjahit, ya?" Suara mesin jahit yang bergerumuh tidak mengalahkan suara Bibi yang sudah dibesarkan.

"Aku penasaran, ingin lihat." Alvian menatap serius mesin jahit putih yang tengah digunakan Bibi.

Dari tatapan matanya, Alvian ingin mencobanya, kurasa. Dia terus menerus menatap benang yang masuk ke dalam kain, membentuk sebuah jahitan.

"Kamu mau mencobanya?" Mataku melirik ke sebuah kotak yang dipenuhi dengan benang, jarum jahit, dan jarum pentul. Mesin jahit sedang digunakan BIbi, jadi aku memutuskan untuk menawarkannya alat jahit manual.

Alvian menggaruk tengkuknya ditambahi senyum canggung. "Aku tidak bisa menjahit. Tara mau mengajariku?"

Aku terpekur sejenak seraya menatap kedua tanganku, aku tidak terlalu pandai menjahit, hanya sebatas bisa mengerjakan tugas prakarya di sekolah lama. Tidak ada tugas prakarya di sekolahku sekarang yang menggunakan teknik menjahit.

Alvian adalah sosok yang penasaran pada hal-hal kecil, seperti ini. Aku rasa  tidak ada salahnya mengajari Alvian menjahit, hanya memasukkan benang ke jarum, lantas mengelim kain menjadi satu.

Mengejutkan, Alvian bisa setelah diajari dua tiga kali, meski tidak rapi. Pandangan bahwa Alvian yang biasanya sangat sulit diajari langsung hilang dari benakku. Dia tersenyum sembari menggerakkan jarum dengan pelan, takut tangannya tertusuk jarum.

"Tara, bagaimana mengakhiri jahitannya?" Alvian memperlihatkan kain kecil yang sudah dia jahit, ingin mengakhirinya dengan simpul.

Aku memegang kain perca di tanganku, memperlihatkan pada Alvian apa yang harus ia lakukan.

"Auh!" Alvian sontak meletakkan kain perca yang tengah ia jahit tadi. Telunjuk kirinya tertusuk, Alvian meniupnya berkali-keli untuk mengurangi rasa sakit.

Berdarah.

Tanpa menunggu, aku langsung mengambil sehelai tisu yang ada tepat di dalam lemari kecil. Tanganku refleks menyambar miliknya, lalu menekan jari telunjuknya sembari mengelap setiap tetes darah yang keluar.

"Tara, aku bisa sendiri." Sadar akan apa yang kulakukan, aku langsung melepaskan genggamanku.

Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku langsung menyambar tangannya tanpa meminta izin? Bukannya aku sendiri yang bilang tidak menyukai kontak fisik, kejadian tadi merupakan refleks ketika aku melihat wajah Alvian yang merintih kesakitan, merasakan keperihan.

Wajah merintihnya sama seperti Alvin. Teringat lagi dengan lelaki yang selalu menunggu di taman, aku kembali merindukannya.

"Tara sekarang jadi perhatian, ya." Alvian terkekeh-kekeh sesaat setelah melontarkan kalimat itu.

Apa secuek itukah aku dengan Alvian saat pertama kali berteman? Tadi hanya gerakan refleks, itu bukan bentuk perhatian, aku hanya tidak suka melihat orang berdarah.

Diam merupakan pilihan yang paling aku sukai, aku yakin Alvian sudah sangat terbiasa dengan percakapan yang kuakhiri dengan keheningan.

Seperti yang sudah kuduga, Alvian akan kembali menyambung percakapan, merobek keheningan. "Terima kasih, aku suka Tara yang begini."

Aku terdiam, tidak tahu harus membalas apa.

TBC~

31 Januari 2020

Lemony's note

Ahh, akhirnya! Nikmati boom update ini 😭✨

Kemungkinan besar aku tidak akan update selama bulan Febuari, ada challenge yang diadakan salah satu grup yang aku ikuti. Jadi aku akan update setiap hari (mungkin) di lapak sebelah.

Judulnya "Cerita Si Pengembara", ceritanya bakal random banget karena tema yang dikasih acak 😭✨

Itu saja yang ingin aku sampaikan. Teruntuk kalian yang masih bertahan sampai chapter ini, makasih! (≧▽≦)

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro