✧・゚:*Thirty Fourth Memory*:・゚✧
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kadang hal kecil bisa terdengar begitu berarti bagi seseorang.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Aku kira aku tidak akan bertemu dengan Alvin lagi, aku selalu mengira begitu bila dia tidak muncul selama sebulan lebih. Dulu saat pertama kali melihatnya, dia terus muncul bahkan di saat-saat terduga. Lambat laun, kedatangannya semakin jarang. Bahkan ketika aku ditindas parah, dia tidak muncul.
Meski hari sedang malam di mimpi, tapi cahaya bulan sangat terang sampai aku bisa semuanya dengan jelas, cahayanya terasa lebih terang kali ini.
Kami berdua duduk di atas bangku besi yang biasa. Aku melihat rambut Alvin yang tengah basah, atasannya juga basah Dia sedikit menggigil seraya menatap ke depan, padahal tidak ada apa-apa, hanya hitam kosong. "Kenapa kamu basah?"
Bukannya menjawabku, air mata Alvin malah mengalir jatuh dari pelupuknya. Wajahnya seperti tengah menahan tangis, tapi gagal.
"Kenapa menangis? Ada apa?" Aku berusaha mengajaknya berbicara, tapi dia tidak kunjung membalas. "Alvin?"
Wajahnya merah padam, kurasa dia sedang berusaha menahan tangis sekuat tenaga, tapi dia juga terlihat sedang marah, tangannya mengepal dengan erat. Kombinasi kedua emosi itu mungkin membuatnya memperlihatkan wajah seperti itu.
"Kamu marah dengan siapa?" Aku mengajaknya berbicara lagi, tidak ada balasan, sepeti ada dinding yang memisahkan dimensi kami, membuatnya tidak bisa mendengar semua kalimat yang aku lontarkan.
"Mau cerita kepadaku?" Sekali lagi, aku berusaha menuntunnya untuk berbicara.
Grep!
Aku terkejut karena gerakannya yang tiba-tiba. Tubuhnya langsung mendarat ke arahku, kedua tangannya merangkul pundakku, dia memelukku.
"Aku tidak mau pulang ke rumah." Dia melontarkan kalimat itu dengan terisak-isak, pelukannya semakin erat. Aku mendaratkan lenganku perlahan-lahan ke punggung, menepuknya dengan pelan.
Alvin seperti diriku saat Ibuku meninggal, menangis setiap hari. Aku jadi merasa Alvin itu wujud dari diriku, meski dia punya cerita yang berbeda denganku.
"Aku mau menangis di sini, Ayah selalu marah kalau aku menangis di rumah." Setiap kalimat yang Alvin ucapkan menyimpan sejuta rasa sakit, aku tidak tahu dari mana cerita ini, tapi ceritanya benar-benar memilukan.
Orang tua yang membencinya, aku tidak tahu aku bisa bertahan bila berada di posisinya. Aku tidak pernah mengalami hal seperti itu. Aku yakin hati Alvian kian tergerus, aku tidak tahu bisa melakukan apa selain mendengarnya.
"A-ayah ...," ujar Alvian terpatah-patah karena diselingi tangisan, "Ayah menceburkan kepalaku, ke-ke bak mandi."
Kenapa aku jadi teringat Sonia yang menceburkan kepalaku ke dalam ember? Namun dicebur pem-bully tidak sesakit dicebur oleh orang tua sendiri. Rasanya sakit ketika orang yang seharusnya menyayangimu malah menciptakan luka.
Kalau Ibu dan Ayah seperti itu, apakah aku akan sedih saat mereka pergi? Pertanyaan aneh ini melintas dalam benakku, aku seharusnya tidak memikirkan itu.
Tanganku menepuk-nepuk punggung lagi. Air matanya mulai membasahi baju yang kukenakan, tidak apa-apa, yang penting Alvin merasa tenang.
Aku seperti bisa mendengar detak jantungnya, bertempo cepat, kurasa karena dia sedang melempar semua emosinya.
"Aku mau menghilang saja." Ini bukan pertama kalinya dia bilang begitu. Aku masih bertanya-tanya, dia itu akan menghilang dari mimpiku atau hanya menghilang dari cerita yang ia alami? Aku bingung.
Aku mengelus punggungnya, dekapannya semakin erat. "Jangan menghilang dulu, aku belum bisa menyelesaikan masalahku, aku butuh kamu."
Alvin tidak menghentikan tangisannya, sesekali ia mengerang, suaranya seakan tengah menyuarakan rasa sakit yang tertimbun dalam hatinya. Aku tidak mau jika Alvin benar-benar hilang dari mimpiku. "Kamu bisa cerita padaku."
Entah kenapa aku mendapat kesan yang tidak biasa, rasanya tidak asing bila memeluk Alvin, seperti memeluk diri sendiri.
"Kamu tahu, aku juga sedang menghadapi masalah, aku juga lelah." Aku menjeda kalimatku sejenak, entah kenapa aku merasa sangat emosional setiap kali melihat Alvin kesakitan. "Namun, aku punya Bibi, Caroline, dan juga ... Alvian, mereka akan sedih kalau aku hilang, kurasa. Kamu punya aku. Kamu adalah bintangku, jangan menghilang."
Alvin tidak membalas ucapanku, dia tetap menangis. Sesaat kemudian, suara tangisnya kian samar, kini hanya terdengar sesenggukan. Aku mengelus punggungnya lagi. "Raib dari dunia ini tidak akan menghilangkan rasa sakitmu, tapi hanya melemparkan rasa sakit itu pada orang lain."
Ini pelukan terlama yang pernah aku lakukan, sepertinya sudah lebih dari lima menit. Namun, rasanya nyaman, hangat, tenang. Hening, sepertinya Alvin sudah selesai bercerita.
"Giliranku bercerita, ya." Lagi-lagi tidak ada balasan. Tidak masalah, aku hanya ingin didengar.
"Aku selalu menerima penindasan di sekolah," ujarku dengan pelan, "sampai sekarang."
Meski tidak ada balasan, aku tetap melanjutkan ceritaku. "Aku tidak tahu alasan kenapa mereka marah padaku, mereka membenciku."
"Aku tidak bisa apa-apa. Sejujurnya aku merasa senang ketika Alvian atau Caroline membelaku, tapi ...," air mataku mulai menitik, "pasti para penindas itu akan semakin menyiksaku, aku takut. Aku sangat takut, aku ingin pindah, tapi tidak bisa."
"Sama sepertimu, aku juga terjebak, tidak bisa ke mana-mana. Kalau aku bertahan, kamu juga harus bertahan, akan ada lembaran hidup yang lebih baik, kurasa." Dalam kalimatku, terselip keraguan yang begitu besar. Aku seakan-akan memberitahu kebohongan bahwa hidup akan lebih indah, nyatanya tidak.
Semua ucapanku hanya motivasi belaka untuk Alvin. Hidup yang lebih baik? Aku tidak tahu. Alvin itu penting bagiku, aku selalu merindukannya, aku hanya berani bicara padanya karena aku tahu dia tidak akan menghakimiku (membalasku saja tidak). Lucu saja kalau imajinasiku sendiri membuatku menderita.
Kalau aku menghilang, Bibi hanya perlu menafkahi dirinya sendiri, Alvian bisa mencari guru yang lebih baik dan juga tidak perlu berurusan dengan Sonia, Alyssa, atau murid lainnya, Caroline mungkin akan tetap berteman baik dengan Sonia dan Alyssa (kulihat sepertinya hubungan Sonia dan Caroline meregang). Ada hal yang positif jika aku hilang, tapi aku tidak tahu perasaan mereka. Kata Ayah, aku tidak boleh egois.
"Terima kasih," ujar Alvin dengan suara menyamai bisikan. "Aku ingin bersama Tara terus."
"Aku juga." Mimpi ini lebih indah daripada kehidupan nyata.
Kepalaku terasa sakit. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku memeluk Alvin lebih erat. Perlahan, semua pandanganku melebur menjadi putih bersih, tanda kalau aku sudah kembali ke kehidupan nyataku yang pahit.
Aku terbangun. Ternyata aku ketiduran saat .... Benakku mencoba mengingat apa yang kulakukan sebelum tertidur. Tadi Alvian datang lalu ....
Mataku menatap Bibi yang tengah memperhatikanku. Aku ingat sekarang, tadi aku sedang mendengar percakapan Bibi dengan .... Aku memalingkan kepalaku ke sebelah kanan, ada Alvian yang tersenyum saat memandangku. Aku tertidur--dengan kepala bersandar pada kasur Bibi--saat Alvian dan Bibi bercakap-cakap.
Aku buru-buru merapikan rambutku yang sedikit acak. Pipiku basah. Apakah aku menangis tadi? Dengan cepat aku mengelap bulir bening yang membasahi pipiku menggunakan tanganku.
"Tara tidak apa-apa?" tanya Alvian, mengurangi takar senyumannya. Aku menggeleng sebagai balasan.
"Ada hal yang membuat kamu sedih?" Bibi juga ikut bertanya, wajahnya terlihat murung.
Sekali lagi aku menggeleng sembari menjawab, "Tidak."
"Apa aku membuat Tara menangis?" Aku menatap Alvian dengan heran.
Menyadari kebingunganku, Alvian memperjelas maksud kalimatnya. "Sewaktu tidur, Tara mengigaukan kata 'Alvin', apa itu aku? Aku membuat Tara menangis?"
"Namamu Alvian bukan Alvin."
"Tapi mirip."
"Hanya mirip. Aku hanya mimpi tadi, bukan apa-apa."
Bibi menatapku lamat-lamat. "Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu 'kan?"
Entah kenapa air mataku bisa terbawa sampai ke dunia nyata, membuat Bibi mulai mempertanyakan hal itu. Aku tahu Bibi, dia selalu ingin mengobati kesedihanku, tapi aku tidak bisa memberitahunya, urusannya akan panjang. Nanti Bibi tambah sakit karena khawatir.
Bibi tersenyum namun matanya terlihat sedih, tangannya mengelus-elus rambutku. "Semoga kamu tidak berbohong."
Aku mengangguk, mengatup mulutku yang menyimpan kebohongan. Alvian juga diam saja, kurasa dia sudah mengerti situasiku.
Alvian melirik handphone-nya, lalu beranjak dari duduknya, dan menggantungkan tali ranselnya pada "Aku harus pulang. Aku pamit dulu, Bi, Tara."
Kami berdua mengangguk. Alvian berjalan mendekati pintu. Sebelum menutup pintu, dia masih sempat melambaikan tangan padaku, aku membalasnya dengan lambaian juga.
"Alvian anak yang lucu, ya," ujar Bibi sembari tersenyum kecil, "dia enak diajak ngobrol, ramah, baik."
Aku hanya diam, tidak mengomentari apapun. Siapa pun akan mengatakan kalau Alvian adalah seorang yang menyenangkan.
"Bibi senang kamu sudah mulai berteman." Aku memang sudah berteman dari dulu, tapi Bibi tidak tahu. Aku tidak bercerita apapun tentang Caroline kepada Bibi. "Dia anak yang lucu, pasti bisa membuat kamu tersenyum."
"Melihat Bibi pun aku sudah tersenyum," ucapku seraya menatap mata hitamnya lama-lama, Bibi mirip dengan Ibu, aku jadi rindu. Aku mengangkat sudut bibirku, berusaha tersenyum.
Bibi terlihat senang, tangannya kembali mengelus-elus rambutku. "Bibi senang punya kamu, karena kamu, Bibi jadi semangat untuk sembuh."
"Bibi juga," batinku. Kalau saja tidak ada Bibi, mungkin aku sudah mati dari dulu.
"Aku sayang kamu." Suara penuh kelembutan dari Bibi terdengar.
"Aku juga."
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Bibi sudah tertidur. Aku memutuskan untuk pergi ke taman rumah sakit sembari membawa ranselku. Aku ingin menulis, menuliskan semua tentang Alvin. Mungkin ini bisa mengobati rasa rinduku padanya, dia mungkin tidak akan muncul selama berbulan-bulan, tidak ada yang tahu.
Pukul sebelas malam. Langit menampilkan kegelapan, lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan di taman. Aku sengaja duduk di sisi kiri bangku, dekat dengan salah satu lampu yang menyala lumayan terang.
Aku memegang penaku, belum mendaratkan mata pena pada kertas bersih. Setiap kali ingin menulis tentang Alvin, aku merasa bingung. Apa yang harus aku tulis? Dia tidak pernah memberikan kenangan buruk. Apa aku tulis saja cerita yang biasa ia katakan tentang orang tuanya? Kurasa boleh juga.
Setiap goresan pena merupakan hasil dari pemikiran kerasku, aku berusaha mengingat ceritanya ceritanya dari awal pertemuan sampai sekarang, kami sudah bertemu sebanyak sembilan kali.
Pertama kali dia menyebut namanya saat aku belum mengenal Alvian. Lalu dia bercerita kalau luka di tangannya disebabkan oleh pecutan ayahnya. Aku menulis satu persatu kejadian yang bisa aku ingat meski samar.
Kadang aku berhenti, menikmati sunyinya malam dan suara jangkrik, tidak terlalu sunyi, masih banyak suster shift malam yang berkeliling dan juga ada satpam. Aku tidak berani mengenang masa lalu, yang hanya bisa kulihat adalah api.
Suara kembang api terdengar, mataku sontak menatap langit, letusan kembang api berwarna merah mewarnai langit, indah. Aku mengambil ponsel, ternyata hari ini tanggal 31 Desember, dan tanggal satu Januari tinggal hitungan menit.
Suaranya samar, kembang apinya tidak terlalu dekat dengan rumah sakit, Tapi aku masih bisa melihatnya, letupan kecil yang menghiasi langit malam tahun baru. Tahun yang baru, semoga nantinya ada perubahan baru dalam hidupku.
Padahal belum tepat jam dua belas, tapi kembang api sudah diluncurkan, suara mereka saling timpa-menimpa. Aku hanya diam menatap langit tanpa berani mengenang kenangan tahun lalu yang menyenangkan. Masa lalu adalah masa lalu, aku tidak perlu mengingatnya meski aku merindukannya.
Sebuah bunyi notifikasi dari handphone membuatku melepaskan pandangan dari langit.
Satu pesan baru dari Alvian Deandeson.
Jari telunjukku menekan notifikasi tersebut dan langsung di arahkan ke dalam chat.
Sebuah pesan suara berdurasi dua menit. Aku menekan tombol segitiga untuk memutarnya.
"Selamat Tahun Baru Tara! Tara belum tidur, ya? Aku sengaja bergadang hari ini supaya bisa kasih ucapan ke Tara tepat jam dua belas."
Aku melirik ke arah jam digital ponsel dengan keadaan voice note yang masih berputar. Sudah jam dua belas ternyata.
"Wah, ada kembang api."
Terdengar suara kembang api yang samar dari pesan suara yang Alvian kirim. Bukan hanya sekali.
"Kembang apinya cantik, ya. Yang warna merah banyak sekali!" Alvian terdengar sangat gembira, aku bahkan bisa membayangkan wajahnya yang tersenyum girang.
"Eh, maaf, aku agak heboh. Oh iya, semoga di tahun baru yang ini aku bisa semakin mudah memahami pelajaran."
Kepalaku mengangguk meski ia tidak bisa melihatnya.
"Semoga di tahun yang baru ini Tara bisa lebih banyak tersenyum."
Semoga yang dia katakan benar, semoga semua masalahku selesai, semoga aku bisa menemukan ketenangan dan kebahagiaan. Kalau aku bahagia, apa Alvin akan hilang? Semoga tidak.
"Semoga semua harapan Tara terkabulkan."
Aku diam, masih memperhatikan pesan suaranya yang terus berjalan. Dalam hatiku, harapan-harapanku terucap, semoga penindasan itu berhenti, semoga Bibi lekas sehat, semoga aku bisa meraih nilai yang tinggi, semoga aku bisa lepas total dari luka masa lalu itu.
"Wah, kembang api ungu!"
Dalam benakku, muncul sosok Alvian yang tengah berseru riang. Dia kelihatannya sangat menyukai kembang api.
"Tara tahu tidak? Warna ungu itu melambangkan harapan yang besar, semoga harapan kita berdua terkabul di tahun yang baru ini."
Harapan, ya. Semoga saja. Aku tidak berekspektasi banyak, aku tidak yakin kalau hidupku akan lebih baik. Warna ungu melambangkan harapan besar yang ingin digapai, meski aku tidak tahu apa harapan Alvian, tapi aku juga berharap keinginannya terkabul.
"Ayo kita buat kenangan yang indah."
Kalimat itu menjadi akhir dari pesan suara Alvian. Aku duduk diam, termenung sejenak. Rasanya hatiku tidak sekosong dulu.
Tara
Terima kasih, Selamat Tahun Baru.
Aku menekan tanda kirim. Selang beberapa detik kemudian, terlihat kalimat 'Alvian Deandeson sedang mengetik ....'
Alvian Deandeson
Aku ingin mengucapkannya secara langsung, tapi aku tidak bisa datang ke rumah sakit sekarang.
Kekehan terdengar dari mulutku. Siapa juga yang mau ke rumah sakit tengah malam begini.
Tara
Tidak perlu.
Alvian Deandeson
Besok aku datang lagi, ya, Ibuku titip kue untukmu dan Bibi Amanda.
Tara
Ok. Sampaikan terima kasihku pada Ibumu.
Alvian Deandeson
Iya. Aku tidur dulu, nanti Ibuku marah. Tara juga cepat tidur, ya. Selamat malam.
Tara
Malam.
Aku jarang bertukar pesan dengan Alvian, rasanya canggung dan agak aneh. Aku buru-buru menyapu semua perasaan itu dan kembali menatap buku tulisku. Kembali teringat dengan Alvin, padahal aku baru bertemunya tadi siang.
"Selamat tahun baru, Alvin," bisikku di tengah kesunyian. Aku memang aneh, mengucapkan selamat tahun baru pada khayalanku sendiri.
Apa yang akan Bibi bilang kalau aku memberitahunya soal Alvin? Apa Bibi akan khawatir dan segera membawa ke psikiater kembali? Itu memang hanya mimpi, tapi aku tahu Bibi, dia selalu khawatir padaku, sekecil apapun.
Kalau Alvian, aku rasa dia akan kaget karena Alvin punya wajah yang sama dengannya, lalu dia akan kebingungan mendengar kisah Alvin. Apa yang terjadi kalau mereka berdua bertemu? Tidak mungkin, Alvin hanya ada di benakku.
Kalau Caroline, mungkin dia akan menggodaku, mengatakan kalau aku terlalu sering memikirkan Alvian hingga memimpikannya.
Aku tidak tahu kenapa aku memikirkan itu semua, acak sekali. Tidak ada setitik niat pun yang muncul untuk memberitahu mereka, tidak akan ada yang mengerti juga.
Notifikasi lainnya muncul memotong lamunanku. Aku kembali menatap layar ponsel yang mengeluarkan cahaya.
Tiga pesan dari Caroline Yudhika.
Telunjukku menekan notifikasi itu dan aku langsung melihat sebuah pesan panjang.
Caroline Yudhika
Hai Tara! ^^ Selamat Tahun Baru. Semoga di tahun yang baru ini kita masih tetap bisa berteman. Aku senang mengenal kamu, kamu gadis yang baik. Aku minta maaf karena belum bisa melindungimu, aku juga takut pada mereka T-T. Gimana perkembangan hubunganmu sama Alvian? Kelihatannya kalian semakin sering bertemu, hehe.
Aku berdecak ringan saat membaca nama "Alvian" di pesan itu. Entah kenapa Caroline senang sekali membahas hal itu. Bagaimana dia tahu kalau aku dan Alvian sering bertemu?
Caroline Yudhika
Alvian laki-laki yang imut, lho, masak kamu tidak suka padanya, hehe. Bercanda! Oh iya, Tara, selamat atas peringkat pertama pararel, tuh, kan, kamu hebat banget, iri T-T.
Aku tidak ingat peringkat Caroline, aku tidak terlalu memperhatikannya saking senangnya waktu itu. Apa waktu itu dia sedih karena dia tidak menduduki peringkat pertama pararel? Caroline memang tidak pernah membicarakan masalahnya, apa dia menganggapku saingan?
Caroline Yudhika
Tenang saja, aku tidak menganggap kamu saingan, kok. Tara tetap temanku yang palingg baikk. Aku sayang Tara!
Aku juga, gumamku pada batin. Caroline memang baik, dia selalu bisa memberiku rasa nyaman, tapi Alvin lebih bisa lagi, aku masih belum berani menceritakan masalahku pada Caroline, mungkin kapan-kapan saat aku sudah bisa.
Tara
Terima kasih, Caroline. Selamat Tahun Baru.
Aku menekan tombol back, lalu menatap chat box Alvian dan Caroline yang kini berdekatan karena aku barusan membalas pesan mereka. Nama mereka kusimpan dengan nama lengkap.
Telunjuk kananku menekan tombol off pada handphone yang menyebabkan layarnya mati. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
Tanganku mulai menyimpan barang-barangku ke dalam ransel hitam kesukaanku, sudah saatnya aku kembali ke kamar, udaranya semakin tidak bersahabat, terlalu dingin.
Setiap tapakan kaki menimbulkan suara gaung, suasananya sepi. Dengan perasaan yang agak gembira, aku berjalan menuju kamar Bibi.
Dengan santai, aku membelah koridor rumah sakit, tidak tahu kalau lembaran baru ini akan mengungkapkan begitu banyak hal yang sanggup membuatku tercengang.
TBC~
31 Januari 2021
Lemony's note
Mimpi kesembilan, Tara semakin dekat dengan Alvian, cerita ini sudah mulai berjalan menuju konflik utamaa~
Alurnya pelan banget, semoga ga ngebosenin. Aku enjoy banget nulis alur pelan kayak gini 😭✨
Sebenarnya aku pengen bikin cerita baru, tapi baru ingat masih ada Children of Lir dan Memoriam juga belum kelar, daripada menambah list cerita yang akan dilantarkan, niat itu aku urungkan dulu.
Mau tahu dong apa yang kalian lakukan sewaktu tanggal 1 kemarin? Ada yang bergadang sampai pukul dua belas atau ada yang langsung bobok? Yuk ceritakan!
Terima kasih untuk kalian yang meluangkan waktu untuk membaca Memoriam, baik yang hanya baca, atau pun yang memberi voment, aku sayang kalian semua!
With love,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro