Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Thirty First Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Ada kalanya kita harus optimis, ada kalanya kita harus berekspektasi rendah.
。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Waktu benar-benar berlalu dengan cepat jika tidak ada masalah yang sedang menimpa, hari ini sudah memasuki ujian semester pertama.

Aku tidak terlalu memikirkan bentuk soalnya, yang terus muncul di benakku adalah: apakah Alvian bisa mengerjakannya? Apakah dia mampu mencapai minimal nilai KKM? Semoga saja dia bisa.

"Hai." Baru saja aku memikirkannya, Alvian sudah muncul tepat di sampingku, ia melambaikan tangannya dengan pelan.

"Hai." Mataku tetap fokus pada catatan IPS yang ada pada tangan kiriku. Aku belum sempat baca-baca karena masih harus pulang ke rumah, mengambil tasku, lalu berangkat ke sekolah. Alvian sebenarnya menawarkan tumpangan, tapi aku menolaknya, tidak ingin bergantung padanya.

"Aku sudah mengulang materi." Mataku memaling ke Alvian saat ia mengucapkan kalimat itu dan aku melihat senyuman yang tercetak di atas bibirnya.

Aku senang, dia ternyata juga mau berusaha untuk nilainya, sayang sekali kecepatan belajarnya lambat. "Terima kasih."

"Terima kasih juga untuk Tara, sudah mau mengajariku." Dia tidak seharusnya berterima kasih, aku bekerja karena gaji, bukan karena aku baik. Sejak kapan aku dipandang baik?

Tidak ingin terjadi percakapan tanpa arah yang panjang, aku memutuskan untuk tidak membalas pernyataannya.

"Tara tidak memakai jepit rambut yang aku berikan?" Aku terkejut karena Alvian tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Tidak, kenapa?" Aku sudah memberitahunya dari dulu kalau aku tidak suka memakai jepit rambut.

Alvian tetap tersenyum. "Kelihatannya poni Tara sering menghalangi penglihatan Tara, takutnya nanti Tara tidak fokus mengerjakan ujian, jadi dipakai, ya."

Aku dulunya sering menjepit rambutku saat membaca novel, tapi seiring dengan sudah jarangnya membaca, aku mulai tidak terlalu suka mengenakan jepit rambut.

"Aku akan memakainya nanti." Untuk mempermudah proses ujian sekaligus menghargai Alvian, aku akan memakainya. Tidak akan ada yang menatapku saat ujian, semua mata akan tertuju pada kertas ujian, aku tidak perlu menggeraikan poniku untuk menghindari kontak mata.

"Terima kasih," balas Alvian, senyumnya makin mengembang, membuatnya terlihat semakin ceria.

"Yo!" Dari belakang terdengar suara yang tidak asing, gadis berambut hitam sebahu itu berjalan mendekatiku hingga langkahnya sejajar denganku, itu Caroline. Kini posisiku berada di antara mereka berdua.

"Hai," balas diriku yang kini sudah melihat buku sembari berjalan dengan pelan, masih sekitar tujuh menit sebelum ujian dimulai.

"Sebenarnya aku sudah datang dari tadi, cuma melihat kamu dan Alvian asik mengobrol, aku jadi takut mengganggu," ujar Caroline yang juga berjalan sama cepatnya denganku.

"Bukan obrolan penting." Caroline ber-oh ria sebagai balasannya.

Belakangan ini Sonia sama sekali tidak menggangguku, bahkan lewat pesan ponsel, apakah Caroline sudah memintanya untuk tidak mengangguku? Sebesar itukah dampak dari permintaan Caroline?

Mengetahui fakta itu membuatku sedikit tenang untuk memasuki ruang ujian nanti, dia tidak akan mencari gara-gara lagi.

"Hai Caroline." Terdengar suara Alvian yang menyapa Caroline. Caroline menyapanya kembali. Mereka berdua sama ramahnya, menyapa terlebih dahulu, tidak sepertiku.

"Kalian gugup tidak untuk ujian?" Caroline bertanya pada Alvian dan juga padaku.

"Lumayan." Kata itu keluar dari mulutku dan Alvian secara bersamaan, kebetulan yang sangat tidak terduga.

"Sama," balas Caroline, "ah, aku masuk dulu, bye-bye Tara, goodluck."

"Semangat, Tara." Alvian menunjukkan lengannya dan mengepalkan tangannya untuk memberi semangat.

"Kalian juga." Aku menatap Caroline dan Alvian yang masuk ke ruangan mereka, menutup buku lalu berjalan menuju kelas yang akan kutempati selama ujian semester berlangsung.

。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Ujian berlangsung selama sepekan lebih dua hari, jadwal pulang dibuat lebih awal, dan aku yang sebelumnya mengajari Alvian dua jam kini menjadi tiga setengah jam untuk sementara waktu sampai ujian semester ini selesai.

Ini ujian semester, ada peringkat yang menentukan kemampuan setiap siswa, peringkat tersebut akan dipajang di mading sekolah, tentu saja aku gugup, aku tidak ingin mereka merasa aku tidak pantas menerima beasiswa jikalau nilaiku rendah.

Hari terakhir tidak semenegangkan hari-hari sebelumnya, aku bisa mengerjakan semua ujian dengan baik, kurasa. Hanya perlu menunggu nilai keluar dan liburan pun akan tiba.

Aku tidak yakin apakah Bibi sudah keluar dari rumah sakit atau belum, sudah sebulan Bibi sadar dari koma-nya, mungkin masih butuh dua bulan atau bahkan lebih. Tidak masalah, aku rela tidur di rumah sakit demi terus dekat dengan Bibi.

Aku keluar dari kelas, melepaskan jepit rambutku, dan menyimpannya dalam kantong rok. Caroline biasanya akan langsung pulang ketika ujian tiba jadi aku tidak mencarinya.

Tangan kananku gemetaran tanpa aba-aba, apakah ini karena efek ujian? Sudah lama tremor ini tidak datang, kenapa ini harus mengangguku lagi?

Kerumunan ini membuatku agak sesak. Kakiku langsung berlari menuju kamar mandi, bukan yang di lantai tiga, melainkan di lantai empat, kamar mandi di ujung lorong yang paling sepi.

Memasukinya membuatku teringat lagi dengan kejadian penindasan yang aku dengar, aku sering masuk ke toilet ini karens sepi, tapi tidak lagi melihat adanya penindasan.

Tanganku yang masih tremor kualiri dengan air keran dari wastafel, berharap bahwa tremornya akan mereda. Benar-benar berhasil, aku terus bernapas pelan-pelan supaya serangan panik ringan ini segera hilang.

Entah kenapa batin kecilku berharap bahwa aku bisa bertemu dengan gadis itu, entah bagaimana kabarnya sekarang, apakah dia masih ditindas? Sonia juga Alyssa yang tidak menyerangku belakangan ini membuat merasa agak berani. Gadis itu seperti Alvin yang ingin aku hibur, menghibur orang yang punya rasa sakit yang sama denganku membuatku merasa sedang menghibur diriku sendiri.

Bruk!

Karena tenggelam terlalu dalam pada lamunan, aku tidak sadar kalau ada orang yang masuk lalu mendorong lenganku sekuat tenaga dengan kedua tangannya hingga aku terjatuh di atas lantai yang tidak begitu kering.

Sonia .... Tanganku langsung gemetar, aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan, matanya menatap tajam, dia terlihat sangat menyeramkan. Aku langsung berusaha berdiri dan dia langsung menendang pinggangku dengan buku kakinya.

Sakit, aku gagal berdiri, dia langsung menendang maju ember yang kelihatannya berisi air. Aku berusaha secepat mungkin bergerak mundur. Tangan Sonia bergerak dengan liar, dia berusaha meraih rambutku. Karena panjang dan tergerai, dia dengan mudah mendapatkannya lalu menjambaknya dengan sangat kuat, sakit ....

"Ah!" Erangan itu keluar dari mulutku karena aku merasa sangat kesakitan. Saat dia menjambak rambutku, tangan lainnya menggerakkan ember penuh air itu semakin mendekat.

"Berhenti ...." Lemas, pita suaraku rasanya tidak kuat untuk berbicara, tremornya semakin parah. Kenapa dia melakukannya lagi? Rasanya menyakitkan.

Aku tidak peduli jika dia mengirim pesan teror tiap hari (aku tidak tahu dari mana dia dapat nomor teleponku), aku tinggal mematikan teleponku, tapi yang ini, aku tidak memberhentikan kerja indra perabaku, sakitnya bisa kurasakan, menusuk hingga bagian terdalam dari tubuh.

"DASAR GADIS SIALAN!" Sonia berteriak, semakin kencang suaranya, semakin erat tarikannya, kini dia berjongkok sehingga tingginya sejajar denganku. "KAMU BENAR-BENAR PENGGANGGU!"

Belum sempat aku bersuara, dia langsung menceburkan kepalaku ke dalam ember di hadapanku, sesak, aku tidak bisa bernapas. Semakin aku berusaha menjauh, tarikan rambutnya semakin kuat.

Indra pendengaranku hanya mendengar suara air yang terubek-ubek, Sonia mencebur lalu menarik kepalaku keluar, dia melakukan secara berulang kali. Kenapa aku harus menerimanya? Aku kira aku bisa hidup tenang untuk sisa semester ini.

"TARA!" Suara laki-laki tertangkap oleh indra pendengaranku, aku tidak sempat berpikir siapa itu, untuk saat ini, aku berusaha menahan semua rasa sakit ini.

Kepalaku tidak terangkat lagi, gerakan tangan Sonia terhenti, aku tidak tahu apa yang terjadi, tarikan menyakitkan yang kurasakan pada rambutku tadi kian menghilang.

"LEPASKAN!" Itu suara Sonia yang tengah menjerit, sepertinya ada yang menahannya.

Dengan sisa tenaga, aku menarik kepalaku keluar dari ember, sesak berganti lega, aku akhirnya bisa menghirup udara bukan air.

"Tara." Suara panik itu terdengar lagi, pandanganku masih buram, aku berusaha memperjelas penglihatanku. Aku melihat Alvian, Alvian yang tengah berjongkok di sampingku.

Di depanku terlihat Sonia yang sangat marah, dia menendang embernya sekuat tenaga--meski tidak jatuh--lalu pergi meninggalkan tatapan tajam padaku.

Air mataku menitik tanpa sadar, berbaur dengan air bekas pel yang membasahi wajahku, aku terkejut, aku tidak menyangka dia akan semakin nekat dalam menindasku, aku mungkin saja sudah pingsan kalau Sonia mendiamkan kepalaku di air lebih lama.

Alvian menolongku lagi, untuk yang ketiga kalinya. Aku menatapnya dengan lemas, benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.

Netraku menangkap Alvian yang membuka tasnya dan mengeluarkan sapu tangannya. "Ini."

Aku mengelap wajahku dengan tenaga minim, tremornya perlahan menghilang, batinku yang masih syok berusaha menenangkan diri.

"T-terima kasih," ujarku sembari berusaha berdiri dengan berpegangan pada meja wastafel. Karena terhuyung-huyung dan peganganku yang tidak kuat, aku hampir terjatuh lagi, namun untung saja Alvian berhasil menahan tubuhku.

Ekspresi wajah Alvian tidak seperti biasa, dia terlihat sedih dan muram. "Maaf, aku tidak datang lebih cepat."

"Tidak m-masalah." Aku sudah merasa senang karena ada orang yang datang lalu mencabut penderitaanku untuk sesaat, mau telat ataupun tepat waktu, aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

Penasaran kenapa dia bisa menemukan saya, aku melontarkan pertanyaan ini dengan napas yang yang masih tersengal-sengal. "Ba-bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?"

Pupil Alvian bergerak ke bagian atas kiri mata, kurasa dia sedang berpikir, mengingat-ingat. "Aku menemukan jepit rambutmu di depan kelas lalu aku berusaha menemukanmu, aku hanya berjalan mengikuti insting, dan mendengar suara ribut dari lorong ini."

Entah kenapa dia selalu membicarakan insting, insting untuk harus menolongku, insting untuk menemukanku, dia memang laki-laki yang mengherankan.

Kepalaku agak sakit, mungkin karena bertubrukan dengan mulut ember berkali-kali. Aku memijitnya sebentar supaya rasa sakitnya agak sirna.

"Perlu ke UKS?" Alvian bergerak mendekatiku, mungkin dia takut aku akan terjatuh lagi.

Aku menggeleng samar, lalu lanjut berjalan sembari memegang pinggangku yang masih nyeri, tentangan Sonia benar-benar kuat, entah apa yang aku lakukan hingga ia semarah ini.

"A-ah!" seru Alvian sembari memegang kepalanya. Alisnya mengernyit tanda dia sedang menahan rasa sakit. Tangan kirinya terus-menerus memegang pelipisnya.

Aku panik, Alvian tidak pernah seperti itu, aku juga tidak pernah menangani hal seperti ini. "Kamu kenapa?"

"Sakit ...," lirih Alvian, rasa panikku semakin menjadi-jadi, apa yang terjadi kepadanya? Seharusnya aku yang sekarang merasa sakit kepala dan pingsan untuk bertemu Alvin, tapi kenapa dia yang sakit kepala. Apa dia akan pingsan?

"A-apa yang bisa aku lakukan?" Dengan perasaan yang masih acak, aku menawarkan bantuan.

Alvian tidak menjawab, dia sibuk menahan rasa sakit. Apa aku harus berlari meminta bantuan, sekolah belum sepi 'kan?

Alvian melepaskan tas ranselnya dengan terburu-buru, hendak menyerahkannya padaku. "Cari buku abu-abu dan pensil."

Tanganku dengan sigap mengambil tas ransel hitamnya dan mulai mencari benda yang ia maksud. Buku bersampul abu-abu, aku selalu melihat buku itu berada di dekat Alvian, apa ini ada hubungannya dengan sakit kepalanya?

Aku menyerahkan buku itu pada Alvian beserta pensil, dia mulai menulis kalimat-kalimat yang tidak bisa kubaca karena jarak, tangan kirinya tetap memegang pelipisnya. Perlahan, dia tidak menggerang lagi, apa rasa sakitnya sudah sirna?

Tidak, kedua alisnya masih dekat, dia tetap mengernyit. Tangannya terus menerus menulis dengan cepat. Alvian mengembus dan menarik napasnya berulang-ulang, dia kini lebih tenang.

Seajaib itukah buku bersampul abu-abu itu sampai Alvian tidak lagi kesakitan?  "Aku sudah tidak apa-apa." Senyum itu lagi yang ia tunjukkan, padahal tadi dia kelihatan sangat kesakitan.

"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanyaku saat melihat Alvian yang mulai tenang meski tangannya masih memegang kepalanya.

Alvian mengangguk dengan senyum yang tidak pudar. "Terima kasih, Tara."

Tangan Alvian mengambil tas yang masih berada di genggamanku, dia menyimpan buku bersampul abu-abu dan pensilnya juga.

Apa yang barusan terjadi pada Alvian? Aku tidak pernah melihatnya seperti itu selama enam bulan mengenalnya. Apa dia pernah mengidap suatu penyakit?

"Kamu sakit?"

"Ah, aku hanya memikirkan banyak hal dalam satu waktu, makanya sakit sebentar." Alvian menggaruk tengkuknya, tersenyum canggung. "Aku tidak sakit, kok."

Aku ber-oh ria, tapi benakku masih memikirkan pernyataannya. Apakah dampaknya memang separah itu? Entah kenapa aku malah memikirkannya, ini bukan urusanku.

"Bagaimana keadaan Tara sekarang?" Kali ini Alvian menanyakan keadaanku. Aku mengangguk sebagai balasan.

Tremorku sudah berhenti, aku merasa lebih baik. Entah kenapa aku tidak pingsan, biasanya Alvin akan hadir saat aku menderita, tapi tidak kali ini. Kurasa ini bukan pertama kalinya dia tidak datang, saat aku hendak melompat, dia tidak datang juga.

Ada bagusnya juga, aku tidak perlu pingsan sehingga akan merepotkan orang, terlambat pergi ke rumah sakit, dan Bibi akan khawatir karena tidak mengabarinya apa pun.

"Kalau ada apa-apa beritahu aku, aku akan membantu Tara sebisa mungkin." Untuk apa dia ingin membantuku? Insting lagi?

"Iya," jawabku sebagai basa basi, aku tidak akan meminta bantuannya, aku tidak ingin merepotkan Alvian.

"Tara mau ke rumah sakit, kan? Diantar Pak Rudy, ya? Aku juga ingin ikut menjengkuk Bibi Amanda," tawar Alvian seraya merapikan rambutnya dengan jemari.

Aku berpikir sejenak, tidak menjawab pertanyaannya terlebih dahulu. Kurasa tidak akan apa-apa jika aku ikut, dia juga ingin pergi ke sana. "Baik. Terima kasih."

"Tidak masalah," ujar Alvian yang juga mulai berjalan keluar dari kamar mandi. Alvian sudah terlihat biasa, sehat, sedangkan aku masih berjalan dengan lemas, dengan langkah yang setengah terseret.

Aku lelah memikirkan apa yang akan kulakukan jika aku berada di situasi yang sama lagi. Aku tidak mungkin pindah sekolah, aku tidak menghentikan Sonia atau pun Alyssa, aku bahkan tidak tahu motif mereka.

Tangan kananku mengeluarkan sapu tangan Alvian yang sudah setengah basah, menatapnya sejenak, lalu menyimpannya kembali. Aku akan mengembalikannya lusa setelah selesai mencucinya.

"Oh, hampir lupa." Alvian merogoh saku celananya, sejenak kemudian di atas tangannya sudah ada jepit rambut milikku, mungkin tadi terjatuh. "Ini, jepit rambut Tara. Disimpan saja, tidak perlu dipakai, ujian sudah berakhir."

"Terima kasih." Aku mengambilnya lalu memakainya.

"Eh?" Alvian menatapku dengan tatapan heran.

"Sedang ingin," jawabku sembari merapikan rambutku yang sedikit basah dengan jemari. Aku terlihat sangat tidak menghargai pemberian, memakainya sesekali tidak akan membuatku terkena masalah, sedang tidak ada orang di sini, tidak akan ada yang melihatku.

"Terima kasih." Senyum Alvian semakin mengembangkan, sesenang itukah dia? "Tara terlihat cocok dengan jepit rambut itu."

Entah kenapa ada letupan kecil dalam hatiku, ada sebuah rasa senang, rasa senang karena ada yang memperhatikanku meski aku tidak tahu ini hanya bentuk kasihan atau yang benar-benar tulus.

Rasa penasaran mulai hadir mengelus benakku, Alvian itu bukan sekedar laki-laki ceria yang banyak tanya, dia punya cerita lain yang tidak pernah ia beritahu, yang tidak aku ketahui.

Tanpa kusadari, ketakutanku terhadap mereka mulai muncul kembali, buktinya kedua kakiku masih gemetar.

TBC~

31 Januari 2021

Lemony's note

Sebenarnya teknik yang dilakuin Alvian itu lumayan efektif. Dulu waktu aku sakit kepala, aku langsung nulis semuanya di kertas, dan ga terlalu kepikiran lagi, jadi sakitnya mereda.

Ayo Tara, semangat, masih ada Caroline, Alvian, dan Bibi.

Ah iya, pengen cerita, aku pernah mimpi buruk soal Tara. Aku ketemu dia di mimpi terus ada kejadian buruk yang menimpanya, jadi kasihan ;-;

Tapi cerita ini tetap harus berjalan /banyak sekali omongnu wahai Lemon/

Kalau misalnya ada typo atau salah tulis, atau mau kasih krisar, bisa langsung komen yakk! Makasih sudah mau baca!💖

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro