Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Thirty Eighth Memory*:・゚✧

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Tidak semua orang punya pahlawan yang akan menyelamatkan mereka dari keterpurukan.
  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Hari itu adalah hari terakhir aku menerima kertas penuh kebencian itu. Total kertas 45, aku tidak tahu alasanku menyimpan kertas itu setiap hari. Untuk menemukan pelakunya?

Pelakunya mungkin lelah karena tidak ada tanggapan dariku, baguslah kalau begitu. Aku memutuskan untuk memberinya pada becak barang yang biasa lewat depan rumah sebelum Bibi menemukannya dan mulai bertanya banyak hal.

"Tara berantam sama Caroline?" Kepalaku terangkat saat kalimat itu keluar dari mulut Alvian.

Aku mengernyitkan dahi dengan pandangan mata yang masih berfokus pada novel. "Tidak, dari mana kamu menyimpulkannya?"

"Tara terlihat sedih, sering menatap Caroline," bisik Alvian, tidak ingin menimbulkan kericuhan di perpustakaan meski tidak akan ada yang ber-sst, pengawasnya sedang keluar sebentar. Murid lainnya duduk di jarak yang sangat jauh, beda lima rak.

Alvian ini memang selalu memperhatikanku atau kebetulan melihatku? Rasanya dia tahu betul emosi yang kini kurasakan, setiap saat, seperti bisa merasakan detak jantungku yang mengutarakan perasaanku.

"Tidak, dia hanya agak sibuk, jadi kami jarang bicara."

"Caroline terlihat tidak sehat, ya," tutur Alvian. Dia terlihat sangat memperhatikan orang-orang di sekitarnya, bukan hanya aku yang diperhatikan ternyata.

Aku mengangguk setuju. Dia bisa-bisa sakit sebelum ujian dilaksanakan. Bukannya ikut ujian susulan sangat merepotkan?

Ujian tengah semester tinggal satu minggu, waktu berjalan cepat bagai desingan peluru. Aku sedikit lega karena Alvian sudah lumayan bisa, begitu katanya.

"Kamu sudah mengerjakan soal sudut yang kuberikan?"

"Um, sedikit." Alvian merekatkan telunjuk dan jempol--yang diberi jarak minim--tanda kata 'sedikit', tak lupa dengan senyum kaku yang biasa ia lontarkan. "Aku bisa, tapi masih bingung."

Aku mengembuskan napas pelan. "Tidak apa-apa, aku akan mengulanginya nanti sore."

Alvian mengangguk dengan mantap lalu tangannya lanjut mencari buku-buku yang ditaruh berjejeran. Dia belum memilih bacaan sedaritadi, dia juga seperti itu setiap saat.

Alvian tidak pernah benar-benar membaca buku di perpustakaan, dia hanya akan mondar-mandir, mengambil satu buku, meletakkannya di atas meja, dan mengajakku berbicara atau kadang bertanya tentang buku yang kubaca.

"Bagaimana kabar Bibi Amanda?" Sesaat setelah Alvian duduk di hadapanku, pertanyaan itu muncul.

"Dia baik-baik saja," ujarku dengan suara pelan karena masih berada di area perpustakaan. "Bisnis menjahit Bibi baru dimulai belakangan ini."

Bibi mulai membuka toko menjahit, kecil-kecilan, masih tidak memasang papan. Aku tidak tahu kalau Bibi akhirnya punya keberanian untuk menawarkan jasanya, Bibi dulunya sama sepertiku, terjerat trauma lama. Kurasa dia sudah mulai lepas dari itu semua, sama sepertiku.

"Sampaikan salamku untuk Bibimu, ya." Aku mengangguk pada kalimat yang keluar dari mulut Alvian. Sejenak kemudian, atmosfer keheningan mulai mampir, dia juga sekarang membaca, atau mungkin hanya membalik-balikkan halaman.

"Tara?" panggil Alvian merobek keheningan.

"Hm?"

"Telur atau ayam dulu yang lebih dulu muncul?"

Pertanyaan dari Alvian membuatku mengernyitkan dahi, dia memang sering menanyakan pertanyaan, tapi tidak se-random ini.

Aku termenung, kepalaku tidak menunduk lagi untuk membaca kata-kata dalam novel, benakku kini berpikir mengenai pertanyaan Alvian.

"Kurasa ayam."

Alvian terlihat penasaran. "Kenapa?"

"Katanya zat yang ada dalam telur hanya bisa diproduksi ayam, itu yang kubaca," balasku dengan nada yang tak begitu yakin.

"Tapi kata Ayahku, telur dulu." Alvian terlihat semakin bingung. "Kan sudah ada sejak zaman purba."

Apa yang Alvian katakan terdengar masuk akal. Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Aku tidak tahu juga."

"Oke." Alvian menyunggingkan senyuman, tidak mempermasalahkan jawabanku yang tidak memuaskan. "Aku juga bingung, Tara tidak usah ikut bingung."

Aku jadi juga ikut penasaran karenanya dan tentu saja juga ikut terjun dalam kebingungan ini. Pertanyaan yang simpel, tapi tidak aku tahu jawabannya.

"Maaf sudah bertanya pertanyaan yang begitu random." Alvian melontarkan kalimat itu tanpa memudarkan senyumnya. Kenapa dia selalu meminta maaf? Apa dia takut kalau dia merepotkanku? Dia kan hanya bertanya soal ayam atau telur yang duluan.

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada novel yang tadi sedang kunikmati. "Tidak apa-apa."

Terdengar suara pintu yang terbuka, itu Miss Shelia, penjaga perpustakaan, dia sudah datang kembali. Matanya langsung menatap kami yang kebetulan duduk paling dekat dengan mejanya. "Kalian tidak mau turun? Lima menit lagi masuk kelas, lho."

Netraku menatap jam dinding perpustakaan, benar, lima menit lagi istirahat akan berakhir. Kami berdua mengangguk hampir bersamaan dan beranjak dari duduk. Aku tidak meminjam buku yang tadi kubaca; begitu juga Alvian.

Kami berdua berjalan menuruni lantai enam, tidak terburu-buru. Aku menemani Alvian untuk membeli jus jeruk kesukaannya di kantin. Keramaian ini membuatku merasa sesak, tapi tidak ada salahnya menemaninya sebentar.

"Ini." Alvian menyodorkan sebuah cup jus jeruk.

Karena dia sudah membelinya, tidak ada pilihan lain selain menerimanya, menusukkan sedotan, dan mulai mengalirkan jus itu dalam tenggorokanku. "Terima kasih."

Alvian mengangguk mengantikan ucapan sama-sama. "Tara suka?"

Rasa asam bercampur manisnya jeruk bukan merupakan kesukaanku, tapi rasanya tidak buruk. Lagipula, tidak sopan jika aku mengatakan tidak suka pada pemberian orang lain. "Iya, lumayan."

"Syukurlah!" Alvian berseru girang, sejenak kemudian, ia mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ingin menemui Bibi Amanda sesekali, boleh aku datang ke rumahmu?"

Tidak mungkin aku menolaknya, menolak orang yang sudah membantuku sejauh ini untuk datang ke rumahku. Lagipula, Bibi akan senang atas kehadiran Alvian, Bibi sangat menyukainya, Alvian adalah anak yang baik.

"Boleh." Aku mengangguk samar, tidak tahu apakah Alvian melihatnya atau tidak.

Senyumnya mengembang, sambil mengesap jus jeruk yang dibelinya, kami berjalan ke kelas. Tepat saat kaki kami menyentuh lantai keramik kelas 7-A, les istirahat resmi berakhir.

Aku menatap Caroline yang sudah pucat pasi, pelipisnya mengucurkan keringat, seminggu lagi ujian, dan Caroline terlihat sangat memaksakan dirinya. Dia kan bisa belajar bersama guru lesnya saat pulang nanti, kenapa dia terus belajar sampai menyiksa diri seperti ini?

Sebegitunya dia menginginkan peringkat pertama?

Aku tidak sering berbicara lagi pada Caroline apalagi aku selalu menghilangkan dari kelas saat istirahat. Semoga saja ini bukan pertanda bahwa hubungan yang kami bangun selama sembilan bulan ini akan hancur.

Berjalan dengan Alvian yang penuh senyuman ini membuat hatiku tidak sekosong dulu, bohong namanya kalau aku benci berbicara dengannya.

***

Hari Sabtu tidak lagi ditunggu-tunggu seperti Sabtu sebelumnya. Senin nanti, ujian tengah semester akan diadakan, dan itu membuatku sangat gugup.

Sonia dan Alyssa kembali kumat seminggu belakangan ini, mereka sering mendorongku hingga jatuh, kadang menyiramku dengan air, aku sampai harus berbohong pada Bibi beberapa kali.

"Tara, boleh bantu Ibu letakkan ini di gudang?" Tepat saat aku sedang menyimpan barangku, Bu Fya memanggilku, meminta bantuanku.

Tadinya aku ingin cepat-cepat pergi dari kelas, tapi isi kotak pensilku berhamburan di dalam laci meja, lupa kukunci. Dan akhirnya Bu Fya meminta bantuanku karena hanya tersisa aku di ruangan kelas.

Alvian turun duluan, kami berjalan melewati jalur yang berbeda. Aku keluar dari gerbang sekolah belakang, lebih dekat dengan jalan menuju rumahku. Sedangkan Alvian berjalan ke gerbang utama sekolah, tempat Pak Rudy menunggunya.

Aku mengangguk, tidak mungkin menolak, lagipula aku tidak punya urusan lain. Setelah mengambil barang yang Bu Fya maksud, aku berjalan pelan menuju lantai empat, tempat gudang penyimpanan itu berada, hanya perlu naik satu tingkat.

Ruang gudang tidak pernah dikunci, itu agar semua siswa-siswi bisa masuk dengan leluasa, tidak pernah ada kasus kehilangan sama sekali. Gudang memang menyimpan beberapa barang penting, tapi semua itu diletakkan di dalam loker, dikunci rapat.

Aku melantingkan kertas yang Bu Fya berikan, tangan kananku mendorong pelan pintu gudang hingga membuat daun pintunya menjerit. Embusan napas keluar dari hidungku, aku teringat dengan kejadian tujuh bulan lalu, ada yang mengurungku, aku pingsan di dalam, Alvian menolongku, dan ....

Kepalaku spontan menggeleng ketika memori "jepit rambut" itu terpikirkan olehku. Itu terlalu memalukan untuk diingat. Kejadian saat bazaar juga, waktu itu dia ..., entah kenapa aku merasa malu mengingatnya, padahal dia hanya memberiku jepit rambut dan memasangkan---

Lamunanku buyar karena ada yang menarik bahuku, barang yang Bu Fya titipkan jatuh berserakan di atas lantai bersamaan dengan jatuhnya aku di lantai keramik yang dingin. Sakit, Punggungku menabrak dinding, mataku membulat saat aku menatap wajah sang pelaku.

Apa yang hendak Alyssa lakukan? Aku lengah, seharusnya aku berhati-hati, mereka selalu berniat mencelakaiku, terutama pada hari yang dekat dengan ujian. Kaki Alyssa terangkat, dia langsung menginjak rok biru tua yang tengah kukenakan.

"Hai, anak sombong." Pupilnya yang berwarna biru tua (benar-benar  tua sampai tak terlihat seperti biru) menatapku tajam, Alyssa juga tidak lupa mencetak senyum menyeringai di atas bibirnya.

Aku hendak melontarkan kalimat seperti: Tolong biarkan aku pulang, tapi kuurungkan niatku, tidak ada gunanya, Alyssa tidak mungkin dengan baik berkata, "Baik, aku biarkan kamu pulang."

"Heh, bisu, ngomong!" Suaranya semakin tinggi, begitu juga dengan injakannya, tenaganya semakin bertambah.

Aku diam, namun tanganku berusaha melarikan diri, entah dengan meronta-ronta atau berusaha menjauh kaki Alyssa.

"Tidak mau bicara?" Alyssa menunduk mendekatkan wajahnya, kakiya terangkat, kini ia duduk bersimpuh. "Baik, akan kubuat kamu berbicara."

Sebelum aku berhasil melarikan diri, tangan kiri Alyssa langsung mengarah ke leherku, mulai mencekikku. Sakit, aku meronta-ronta, cekikannya semakin kuat, rasanya menyakitkan, aku hanya bisa terbatuk-batuk.

Tangan kanannya merogoh-rogoh sakunya, mengeluarkan sesuatu yang membuatku semakin meronta. Botol tinta spidol! Aku menggeliat, berusaha berteriak panik dengan suara yang tertahan. Jempolnya memutar penutup (duh botol apa tuh namanya), senyum menyeringainya semakin lebar.

Sesak, cekikannya tidak melemah, aku mulai merasakan sesak, dia mendekatkan botol kecil berisi tinta itu. Dengan nada menakutkan, Alyssa berkata, "Buka mulutmu! Cepat!"

Aku menggeleng kuat, mulutku tetap mengatup. Melihat tidak ada perubahan, Alyssa menambah kekuatan tangannya, mencekikku lebih parah dari sebelumnya, dia sedang menungguku terbatuk-batuk lalu akan langsung menuangkan tinta itu.

Apa salahku? Di setiap perlawanan, aku selalu menjerit dengan mulut yang masih mengatup, berharap akan ada yang datang. Sialnya, tidak ada CCTV di gudang maupun di luarnya. Kenapa tidak ada satu pun orang yang lewat dan menolongku?

Kapan aku bisa lari dari keadaan ini? Kenapa terus saja ada masalah yang menggerusku? Aku sudah tenang, Bibi sudah sembuh, kenapa yang ini tidak selesai-selesai? Kenapa rasanya tidak adil, kenapa aku masih harus mengalami semua ini setelah kehilangan orang tuaku?

Air mataku menitik, itu air mata yang dihasilkan dari rasa sakit yang tengah kualami, Alyssa terus menerus menyondorkan botol itu, menunggu mulutku membuka. "Heh? Nangis? Bukannya kamu sok kuat selama ini?"

Tidak peduli apa yang dia katakan, aku terus meronta, tenagaku mulai melemah. Aku tidak boleh sampai pingsan, tidak boleh, dia akan langsung memasukkan tinta itu pada mulutku, aku bisa keracunan.

Siapapun, tolong aku! batinku menjerit demikian. Aku benar-benar tidak kuat lagi, napasku semakin terengah-engah, aku lelah, aku ingin menyerah, sakit, rasanya sakit sekali.

Mataku semakin buram, tertutupi oleh air mata yang sudah berlinang,tapi Alyssa masih belum berhenti. Beberapa tetes tinta spidol itu sudah mengenai bajuku, aku terlalu banyak meronta-ronta.

Grep!

Cekikannya tiba-tiba hilang. Pada saat itu, aku langsung menarik napas dalam melalui mulutku, tangan kananku mengelus leherku yang sudah merah akibat bekas cekikan. Tangan kiriku mengelap cepat mataku untuk melihat apa yang terjadi.

Alvian. Lagi-lagi dia yang datang. Napasku yang masih terengah-engah menatap Alvian yang tengah menahan Alyssa. Kali ini, Alyssa -lah yang meronta-ronta, berusaha melepaskan pelukan ALvian. "Lepaskan, bodoh!"

Aku syok, tubuhku mematung di sana. Sesak napas yang kurasakan belum sepenuhnya pergi, tubuhku masih lemas akibat tindakan Alyssa tadi.

"Tidak!" Alvian menjerit kuat, masih mendekap Alyssa dengan erat. Alyssa berusaha melawan, tinta spidol mulai tumpah di atas seragam putih Alvian karena Alyssa, tapi Alvian tetap mempertahankan posisinya.

"Pergi!" Alyssa berusaha mendorong Alvian, tapi Alvia tidak menyerah.

Aku hanya melihat punggung Alvian, tapi dia terdengar sedih dari nada suaranya. "Tidak! Kamu tidak boleh menganggu Tara!"

"Dasar bodoh! Kamu sudah diperbudaknya!" Alyssa kembali melontarkan kalimat itu, kalimat yang mengatakan kalau aku tengah memperbudak Alvian. "Kamu tidak usah ikut campur dalam masalahku!"

"Kamu tidak boleh menyerang Tara seperti tadi! Itu tidak benar!" Suara Alvian meninggi, dia tidak lagi menenangkan Alyssa dengan senyuman seperti dulu.

Alyssa terlihat lepas dari dekapan Alvian, entah dia yang berhasil melepaskan diri atau Alvian yang sudah tidak menahannya lagi.

Mereka berdua membentang jarak. Kini Alvian berdiri di depanku, merentangkan tangannya seolah sedang membentuk pertahanan untukku. Aku hanya menatapnya kosong, tidak berkata apa-apa.

"Jangan ganggu Tara, dia tidak salah!" Alvian tetap bertahan pada posisinya, merentangkan tangan di depanku. "Berhenti menganggu orang yang tidak bersalah!"

Alyssa menatap Alvian dengan geram. "Kamu tidak mengerti apa-apa! Aku punya alasanku!"

Alasan? Apa alasannya? Kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku supaya aku bisa tahu di mana letal kesalahanku?

Mulut Alyssa bungkam, dia tidak membalas perkataan Alvian. Dia menghentakkan kakinya dengan geram, melempar botol itu dengan tenaga kuat hingga memental di atas lantai keramik, lalu berjalan meninggalkan kami berdua dengan sumpah serapah yang ia lemparkan.

"Kamu tidak apa-apa?" Alvian berjongkok, wajah kami sejajar, dia menatapku dengan khawatir, matanya berkaca-kaca.

Aku tersedu-sedu, air mataku pasti sudah tumpah. Rasa takut lama yang sudah kupendam kini kembali lagi, rasanya mengerikan, sakit.

"Bajumu ...." Telunjukku menunjuk seragam putihnya yang dibanjiri tinta spidol, dan juga lehernya.

Mata Alvian langsung melihat ke arah yang aku tunjuk. Dia tersentak. Tangannya mengeluar sapu tangan miliknya dari saku celana. Dengan cepat dia membuka dua kancing paling atasnya dan mengelap tinta spidol yang ternyata mengenai dadanya.

"Ah, kasihan Bi Dara, seragamnya kotor." Alvian melontarkan kalimat itu sembari mengelap tubuhnya dengan cepat.

Samar-samar aku melihat ada segores garis di dadanya, mengingatkanku pada Sonia. Pemikiranku tidak berlari ke sana terlalu lama, masih berfokus pada rasa sakit di leher.

"Baju Tara juga ...," ujar Alvian sembari menatapku dengan murung. "Maafkan aku, Tara."

Dengan sapu tangan yang sama, dia berusaha menghilangkan noda di bajuku yang hanya ada beberapa titik.

Aku terlalu lemas untuk mengomentari apa pun. Napasku terengah-engah, aku lelah, kenapa Alvin tidak datang? Keadaanku separah ini, tapi dia tidak hadir. Kenapa? Aku ingin sekali menutup mataku, bermimpi, berdiri di atas rumput liar taman itu, bertemu dengan Alvin.

"Maaf." Alvian hendak menepuk pundakku, tapi dia mengurungkan niatnya, mungkin dia teringat kalau aku tidak menyukai kontak fisik. "Maaf, lain kali aku akan menunggu Tara sampai keluar dari gerbang sekolah."

Kenapa dia malah minta maaf? Yang minta maaf seharusnya Alyssa, bukan Alvian. Aku masih terlalu lemah untuk membantah semua perkataannya, hanya bisa menunjukkan gelengan kecil.

"Aku bawa ke UKS, mau?" Alvian menatapku seraya menjulurkan tangannya, ingin mengangkatku berdiri. Aku menerima ulurannya, dan berdiri dengan limbung. Alvian mengambil tasku, menahan bebannya di punggungnya.

"Mau?" Alvian mengulangi pertanyaannya sekali lagi, membuatku menggelengkan kepala ringan.

Dengan lemas aku membuka mulutku, melontarkan kalimat singkat. "Aku pulang saja."

"Diantar Pak Rudy, ya?" Alvian berusaha memasang senyuman, senyum yang terlihat tengah dipaksa. Aku mengangguk sebagai balasan, kakiku masih gemetaran, tidak kuat berjalan.

Aku mengembuskan napas, mataku terus menatap lantai. Sakit di leher berangsur hilang, namun rasa takutnya kembali muncul. Melihat tubuhku yang limbung, Alvian sontak menawarkan diri untuk memapahku, dan tentu saja aku menolak.

Sepanjang jalan menuju mobilnya, Alvian selalu minta maaf, padahal dia tidak punya tanggung jawab untuk melindungiku. Aku memang merepotkan, ya? Harus kemarin Alvian tidak menolongku saja ....

Pemikiran aneh itu mulai muncul, aku hanya bersandar pada kursi mobil, menatap suasana luar melalui jendela. Hening, Ketenangan mendominasi, Setelah menjelaskan alasan seragamnya seperti itu kepada Pak Rudy (tentu saja dia berbohong), tidak ada pembicaraan lain yang muncul.

Hari yang buruk, hari lusa menyajikan ujian tengah semester. Rasa takut bercampur gugup membuatku merasa mual. Aku takut, aku tidak bisa melawan. Keadaanku membuat Alvian harus berbohong terus-menerus, dia harus menanggung beban tidak penting sepertiku.

Aku tidak berguna.

TBC~

31 Januari 2021

Lemony's note

Dari dulu aku tidak pernah menggambar Tara, tapi karena ada mati lampu dan batere hape sekarat, akhirnya Tara tergambar juga.

Gimana menurut kalian? Mirip sama imajinasi kalian?

Pengen gambar Alvian, tapi tidak bisa gambar cowok, sudah mencoba beberapa kali dan gagal. (╥﹏╥)

Itu saja yang pengen aku omongin. Makasih buat yang baca ini, aku sayang kalian! 💖😭

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro