Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Tenth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Pernahkah kamu merasa ingin menciptakan orang yang sama persis seperti dirimu supaya kamu punya orang yang mengerti dirimu?

。☆✼★━━━━━★✼☆。

"Karena ini hari pertama, jadi tidak masalah." Miss Lyana membalas senyuman. "Usahakan jangan terlambat lagi."

Sonia duduk tepat di belakangku, hawa tenangnya berubah menjadi mengerikan saat aku mengingat kejadian pagi tadi. Rambutku langsung aku sisipkan ke depan, rasa paranoid mengganjal dalam hati.

Setelah semuanya memperkenalkan diri, Miss Lyana mulai menuliskan beberapa kalimat di papan tulis kaca.

"Nah, semuanya, hari ini kita akan mempelajari beberapa teori terlebih dahulu. Untuk jadwal kelas fauna dan flora itu selang seling, jadi dua minggu ini kalian akan belajar tentang tumbuhan. Dua minggunya lagi, kalian akan menghadari kelas fauna," jelasnya panjang lebar.

Aku hanya memperhatikan tanpa menikmati, bisa dikatakan sepanjang penjelasannya, aku hanya memandang pot yang ditanami berbagai tanaman dengan ukuran bervariasi sembari melamun--atau kadang tidak memikirkan apa-apa.

Teori yang dijelaskan sebelas dua belas dengan yang dijelaskan pada pelajaran biologi, hanya sedikit menyenangkan dan tidak terlalu membosankan--meski menurutku masih membosankan karena sudah pernah membacanya. Memasuki klub ini membuat kita belajar lebih jauh dari yang lainnya.

"Jadi komponen biotik ..." Penjelasan panjang lebar kudengar sekilas, sekiranya melewati gendang telingaku.

Kadang kala ia menanyakan sesuatu pada anggota-anggota--untungnya aku tidak kena. Aku tidak akan sanggup untuk berdiri dan mengutarakan jawabanku selagi semua orang menatapku.

Entah kenapa tatapan orang-orang menjadi terasa mengerikan, tatapan mereka seakan-akan mengintimidasi, seperti hendak menerkamku apabila aku salah berkata-kata.

"Baiklah, kegiatan untuk hari ini sampai disini," tuturnya sembari menutup bolpoin spidol hitam yang sedang ia pegang, minggu depan Miss akan mengajarkan kalian lebih lanjut dengan praktek.

Miss Lyana mengambil sebuah kertas yang kuyakini adalah daftar nama anggota. "Baju kalian akan dibagikan minggu depan, juga beberapa perlengkapan seperti sarung tangan dan sepatu karet, minggu depan kalian ambil di gudang sebelah sana."

Setelah salam penutup, beberapa orang mulai berdiri memisahkan--pantatnya dari bangku--lalu berjalan keluar. Irisku bergerak ke arah kiri, menatap Caroline yang terduduk lemas. Dia sedang sakit, ya?

Aku merasakan ada suara bangku--yang digeser--tepat berasal dari belakangku, Sonia beranjak dari duduknya.

"Lin, kamu masih belum mengambil bukumu dari gudang penyimpanan bukan?" suara Sonia yang membuat kedua orang itu saling bersitatap.

"Belum," jawab Caroline sembari beranjak dari duduknya. "Aku ambil sekarang."

"Aku bisa membantumu." Aku merasakan inilah peluangku untuk membalas kebaikan Caroline yang pernah membantuku di restoran cepat saji itu, juga ia yang telah menjadi partner belajar.

Gudang penyimpanan itu--selain menyimpan barang-barang milik sekolah--juga menjadi tempat penyimpanan sementara barang-barang yang tidak diketahui pemiliknya dan tertinggal di sekolah.

Kurasa Caroline memang meninggalkan bukunya, dan akhirnya ditaruh di sana.

Caroline berjalan hendak melewatiku yang juga sudah berdiri. "Tidak usah, aku ambil sendiri saja."

"Kamu kelihatan tidak sehat, biar aku saja." Aku menghalanginya, ia kelihatan tidak sehat. "Buku yang bagaimana?"

Caroline menatap lesu diriku. "Buku yang warna kuning, ada stiker namaku. Biasanya barang yang hilang apabila berbentuk buku akan diletakkan di sebuah kardus coklat di sebelah lemari besi pertama."

Aku membayangkan lokasi sejenak, menerka-nerka. "Kamu tunggu di gerbang sekolah saja, aku akan segera membawa buku."

"Ah, kamu simpan saja dulu, besok baru kembalikan," ungkap Caroline, seraya menggeleng-geleng kepalanya pelan. "Kepalaku agak pusing."

"Wah, aku tidak tahu bahwa kalian ini dekat," tutur Sonia sembari menepuk pelan kedua telapak tangannya.

Aku hanya terdiam, begitu juga Caroline.

"A-aku akan pergi mengambil bukumu, sampai jumpa." Aku berjalan agak cepat, mempercepat langkahku saat aku melewati Sonia dengan tatapan mengintiidasi ditambah senyum tenangnya.

Sekilas, aku mendengar bahwa Caroline meneriaki kata 'terima kasih'. Kuharap dengan melakukan hal sederhana seperti ini dia akan senang, sepertiku yang senang karena mengenal setidaknya seseorang di kelas.

。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Daun pintu gudang berteriak tatkala aku mendorongnya, suaranya terdengar cukup nyaring dan keras, mungkin karena keadaannya sedang sepi. Gudang sekolah terletak di ujung lantai enam yang agak jarang dilewati ketika hari sore, tentu saja aku naik menggunakan tangga.

Aku berjalan pelan memasuki gudang, tak lupa menyalakan lampu karena minimnya pencahayaan. Pintunya kubiarkan terbuka sedikit, tanggung bila ingin menutupnya, mengambil buku tidak akan membutuhkan waktu yang lama 'kan?

Mataku menelusuri sekitar, mencari kardus coklat yang dideskripsikan oleh Caroline. Sebuah lemari besi besar terlihat olehku, spontan, aku melihat ke bawah dan menemukan kotak besar--yang dimaksud Caroline--terletak di samping lemari itu.

Aku tersimpuh, mulai mencari-cari buku bersampul kuning itu. Jumlah buku dalam kardus itu tidak sedikit, aku jadi agak kesulitan menemukan bukunya.

Tanganku mulai mengeluarkan tumpukan demi tumpukan buku guna mempermudah proses pencarian.

Mataku bersinar ketika aku menemukan buku Caroline, ya, aku yakin itu bukunya, sesuai dengan deskripsinya kalau bukunya memiliki stiker namanya.

Aku mulai merapikan buku-buku itu, memasukkannya kembali satu persatu dan menatanya dengan rapi. Aku bangkit dari dudukku ketika selesai dan saat itu juga, aku mendengar sebuah suara.

Suara pintu yang ditutup.

kepalaku menoleh ke belakang dengan panik, aku langsung berlari--memegang buku Caroline dan juga menahan beban tas yang tergantumg pada bahuku--menuju ke arah pintu.

Ada yang sengaja menutup pintu.

Dari jendela kecil yang di letakkan dekat pintu, aku melihat ada sosok bayangan seorang gadis yang berlarian, rambutnya terbang bebas dikarenakan angin yang berlawanan arah dari arah yang ia tuju.

Apa dia yang iseng menutup pintu? Menakuti-nakuti saja.

Deg!

Jantungku rasanya baru saja disentrum, aku melongo saat mendapati kenop pintu itu tidak bisa berputar lebih dari seperempat putaran. Aku terkunci!

Dengan panik, aku mengulangi gerakan yang sama, mungkin saja hanya macet. Nihil, pintu tetap tidak mau terbuka. Dorongan sedikit ku berikan pada pintu itu, hasilnya sama, pintu itu tidak mau terbuka.

Masih dengan kepala yang panik, aku mendorong-dorong kaca jendela yang tidak transparan, meninggalkan jejak tanganku pada bagian kaca.

Matahari sudah turun setengah, hari kian sore. Aku bersama keringatku yang sudah bersimbah hingga menitik ke lantai masih berusaha membuka pintu itu.

Aku merogoh-rogoh saku rok ku, mengambil ponselku, dan berusaha menyalakannya.

Sial, aku tidak mengisi baterainya kemarin, aku tidak menyadarinya karena telah mematikan daya ponselku sejak kemarin.

Aku kembali mendobrak pintu itu dengan lengan bagian atas, terus mendobraknya hingga bercak merah tercetak diatas epidermis luar kulit.

"Tolong! Seseorang!" Aku berteriak dengan volume membahana, memaksimalkan kinerja pita suaraku. Aku melakukannya selama lebih dari lima menit, naas, tidak ada yang lewat atau mendengarkan.

Aku sudah terperangkap disini selama lebih dari setengah jam, energiku aku habiskan hanya untuk berteriak-teriak dan mendobrak pintu meski aku tahu keberhasilan tidak akan muncul.

Pintu ini memang macet atau ada yang mengunciku? Ah, ini pasti karena ada yang mengunciku, tapi ... siapa?

Dua nama langsung terlintas dalam benakku. Alyssa dan Sonia, hanya mereka berdua yang menggangguku tanpa motif yang jelas.

Tidak peduli siapa pelakunya sekarang, aku hanya ingin keluar dari sini. Niat membantu orang malah tetimpah sial.

Aku berusaha mengerahkan seluruh sisa tenagaku, mengepal erat tanganku lalu memukul pintu itu sekeras mungkin, kuharap suaranya bisa didengar oleh seseorang.

Tanganku kuturunkan dengan pelan, menatap telapak tanganku yang sudah merah merona, perih. Kenapa aku harus terkunci disini? Apa salahku?

Aku mulai menyandarkan tubuhku pada pintu, dengan lemas, aku menatap lemari-lemari besi dalam gudang yang terjajar rapi--beserta kardus-kardus berbagai ukuran yang menjajah sebagian tempat.

Apa aku akan terkunci ... sampai pagi hari?

Bibi bisa khawatir saat ia pulang dan tidak melihat keberadaanku, apakah dia akan panik? menanyakan perihal diriku kepada tetangga, atau sampai melaporkan diriku pada kantor polisi?

Sesial itukah aku, aku tidak menyangka tidak ada satupun yang lewat padahal hari masih belum terlalu gelap.

Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku, ikat rambutku melorot menyebabkan beberapa helai rambut jatuh, tidak terikat rapi.

Mataku menatap sekeliling, mungkin saja ada paku atau alat yang bisa menyelamatkanku, mungkin saja ... ah, tidak berguna.

Tanpa kusadari air mata keputusasaan tidak tertampung lagi, seenaknya turun membasahi segaris-dua garis pipiku. Kenapa aku jadi rapuh begini?

Aku menangis lagi .... Seingatku dulu, meski air mata mengalir terus menerus, aku tetap merasa tenang dan bahagia karena akan ada yang menghapusnya dan mengatakan bahwa keadaan akan berubah, roda terus beputar, semuanya akan baik-baik saja.

Benakku mulai bernostlagia, memperlemah diriku dengan kenangan indah yang kini terasa pahit. Ah, aku benci diriku yang malah sibuk bersedih-sedih disaat aku harus kuat dan bertahan.

Rasa takut saat terkunci ini tidak sebanding dengan rasa takutku ketika aku melihat kobaran api yang melahap seluruh .... Ah, aku benar-benar bodoh, mengingat kejadian itu, membiarkan kenangan itu mencabik-cabik batinku yang sudah rapuh ini.

Telingaku berdengung, aku merasakan pusing yang luar biasa secara mendadak. Perasaan nostalgia itu berubah menjadi perasaan terkejut akan perubahan kondisi tubuhku yang tiba-tiba ini.

Pandanganku memburam, seluruh jadi terlihat berkloning, sesaat aku mengingat sesuatu, sesuatu yang sudah terjadi sekitar tiga atau empat kali. Bersamaan dengan jatuhnya tubuhku ke lantai, pandanganku melebur seakan-akan ada cahaya yang menyoroti mataku hingga aku tidak melihat apapun

Dia datang pada waktu yang tidak terduga, ternyata. Imajinasiku yang liar, yang mungkin akan membuatku merasa lebih baik ... mungkin.

。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Taman tidak pernah terlihat terang, sinar bulan selalu menjadi penerang dalam mimpiku, matahari terlalu malu untuk muncul.

Saat pandanganku mulai jelas, aku mendapati diriku langsung duduk di bangku besi. Aura keberadaan manusia terasa dari sebelahku, kepalaku sontak menoleh ke samping.

Ah, seperti biasa, Alvin duduk, melihat tanah. Pemandangannya begitu-begitu saja.

"Alvin." Aku cukup terkesan dengan pendengarannya kali ini, ia menoleh ke arah si pemanggil, yaitu aku.

"Kamu sering-sering muncul saat malam hari dong, supaya aku bisa tidur nyenyak," ucapku sembari melontarkan tawa kaku.

"Kejam."

"Aku kejam?" Satu kata itu membuatku tersentak, apakah dia sedang mengatai diriku? Apa karena di mimpi sebelumnya aku sempat merasa terganggu akan kedatangannya?

'KEJAM!" Ketika kalimat itu ia lontarkan, aku refleks berdiri--sedikit terkejut karena tidak pernah melihat seorang Alvin berteriak.

Matanya berair, namun tidak menitikkan bulir bening. Dalam matanya, aku dapat merasakan tatapan rasa keputusasaan, ah kami senasib lagi?

Aku mendekatkan diriku padanya, "siapa?"

"Ayah."

Ia merapatkan rahang atas dan bawahnya. Entah kenapa aku mulai merasa bahwa ia memang punya kehidupan sendiri. Lalu pertanyaan itu mulai diputar kembali dalam benakku, siapa dia?

"Ayah yang mencambukmu?" Aku bertanya.

Ah, dia diam lagi.

Aku menatapnya dengan lekat. "Kau tahu, hidup ini akan terus berputar, jika kau merasa tidak baik-baik hari ini, maka bertahanlah dan besok kau akan baik-baik saja."

Alvin malah mengacak-acak rambutnya hingga berantakan--seperti frustasi--begitu mendengarkan ucapanku.

"Hei, hei, aku tidak memaksamu untuk merasa baik-baik saja." Aku menggeserkan badanku pelan ke kanan, menjauhi dirinya.

"Aku tidak bisa, aku tidak bisa," ujarnya sembari menutup kedua telinganya.

"Tidak bisa apa?"

"Tidak bisa mencintai ibu dan ayah!" ujar dirinya dengan nada naik setengah oktaf. "Aku tidak bisa mengikuti perkataanmu."

Sejak kapan aku menyuruhnya?

"Aku tidak menyuruhmu ...."

Pikiranku makin bingung, dalam artian benar-benar bingung, aku tidak ingat pernah mengatakan hal itu padanya. Tapi ia berkata demikian.

"Kamu tidak mengerti diriku!" Ia meneriakkan kalimat itu dengan lantang. "Kamu 'kan bahagia."

Sesak, imajinasiku ini membuatku merasa sesak. Aku jadi ingin menangis layaknya gadis kecil yang merenggek meminta permen.

"Kamu memang imajinasiku, tapi jangan berkata demikian. Tidak semuanya kau ketahui 'kan?"

Mataku terasa perih, tanda-tanda ingin menangis namun aku menahannya. "Siapapun kau, jangan lihat suatu hal dari satu sudut pandang, orang menyembunyikan banyak hal, dasar lugu."

Kami hening. Kali ini aku benar-benar merasa kesal. Kukira Alvin itu menyenangiku, menemaniku yang kesepian, ia malah membuka luka lama, ck.

Jadi dia itu bukan imajinasiku ya? Dia seperti punya kehidupan, atau memang dia punya.

"Maaf jika aku pernah mengatakan hal itu," tutur diriku yang kini ikut menatap tanah bersamanya.

Aku merasa seperti melontarkan kalimat itu, lupa-ingat.

Di mimpiku kini diselimuti aura tak mengenakkan, di alam sadar aku sedang terkunci di dalam gudang. Keduanya tidak mengenakkan. Namun, lebih baik disini bersama seseorang dibandingkan sendirian terkunci karena dikunci.

"Lelah juga ya." Aku menyadarkan tubuhku pada penyandar kursi, hidup itu memang melelahkan.

Alvin tiba-tiba menatapku. "Terima kasih."

"Untuk?"

"Terima kasih sudah mau berbicara padaku dan tidak menaruh rasa kasihan padaku." Kalimat yang ia lontarkan membuatku kebingungan.

Saat aku hendak mengucapkan sesuatu, tetiba aku merasakan mual yang luar biasa. Aku menutup mulutku, antisipasi agar muntahanku tidak keluar kemana-mana meski aku sadar ini adalah mimpi.

Bau yang tidak kusukai masuk ke indra penciumanku, sungguh, kenapa bisa tercium disini?

Cahaya terang, ah, sudah selesai ternyata.

Kenapa setiap aku hendak bertanya, aku selalu terbangun dari mimpi?

Bau menyengat itu masih menusuk hidungku, aku membuka mataku perlahan-lahan. Sebelah tanganku berusaha menjauhkan sumber bau yang bahkan tidak aku ketahui keberadaannya.

Mataku yang masih belum sepenuh terbuka mendapati sesosok orang yang tidak asing.

"Alvin?"

TBC~

6 September 2020

Lemony's note

Ah, entah kenapa adegan di taman itu terdengar membosankan, ya kan? Aku merasa alur cerita ini berjalan dengan lambat, jadi kesannya membosankan (menurut kalian?)

Aku pengen cepat-cepat sampai ending 😭✨

Ahh, konsisten nulis susah juga ya 😭🤲 //berusaha nulis 1k per hari dan udah capek.

Ngomong-ngomong, maafkan aku kalau ada typo, saya koreksinya ini tengah malam (Ini salah satu chapter tabunganku), mataku kadang kelewatan jadi ga nampak. Kalau nemu, boleh kok komen.

Anyway, makasih buat yang baca ya!!

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro