Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Sixteenth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Ubahlah dunia dengan senyumanmu, jangan buat dunia menghilangkan senyumanmu.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Yang aku lakukan pertama kali saat mataku terbuka adalah mengecek lututku, tidak ada luka ataupun rasa sakit.

Tentu saja, ini 'kan mimpi.

Aku menatap Alvin yang tengah duduk, menggerakkan ayunan dengan pelan menggunakan kakinya. seperti biasa, aku langsung mengambil tempat di sampingnya--duduk di ayunan.

Aku senang, Alvin kembali datang saat aku terkena masalah, mungkin saja ini memang fungsinya, sebagai obat semu dari rasa sakitku.

Hanya disini aku bisa merasa lega, hanya disini aku bisa merasakan ketenangan yang begitu mendalam.

Menemani satu orang yang hobi melamun membuatku merasa seakan-akan ada yang meminjamkan bahunya untuk aku sandari.

Meski dia tidak pernah memberikan solusi bagi masalahku, aku senang dia masih mau hadir disini, menemaniku yang kesepian ini.

"Alvin." Aku memanggilnya namun ia tidak menoleh. Aku memanggilnya beberapa kali lagi, hatiku sudah tidak tahan untuk menumpahkan semua rasa getirku.

"Tara, aku mau cerita." Alvin menatap langit yang bertaburan titik putih ketika melontarkan pertanyaan itu.

Padahal aku ingin bercerita terlebih dahulu, tapi tidak apa-apa, aku penasaran cerita apa yang akan diciptakan oleh imajinasiku yang satu ini.

"Apakah kamu akan terus bertahan di segala kondisi yang buruk?" Pertanyaannya membuatku tersentak, kenapa pertanyaannya begitu?

Baru saja aku hendak menjawabnya, ia langsung melanjutkan kalimatnya tadi. "Aku rasa itu sangatlah sulit."

Iya, aku tahu, batinku.

"Rasanya sulit sekali sampai rasanya ingin menghilang." Aku menyimak seluruh perkataan Alvin meski aku tidak yakin dia sedang berbicara dengan langit atau aku.

"Kamu jangan menghilang," tuturku padanya.

Ia menatap langit dengan seksama. "Kapan kita akan bertemu lagi?"

Dia ingin bertemu dengan siapa?

"Ah, kamu ada disini." Ia menolehkan kepalanya ke samping, pandangannya kini berfokus padaku.

Aku ... ada disini sedaritadi.

"Kamu tahu, aku merasa sangat kesepian," ujar Alvin dengan sedih, suaranya melemah pada akhir kalimat.

Bagaimana bisa dia kesepian? Apa aku harus menciptakan satu mahkluk imajinasi dalam benakku? Aku bahkan tidak tahu bagaimana menciptakan seseorang dalam mimpiku, Alvin muncul dengan sendirinya.

Aku ingin menjadi pendengar yang baik bagi Alvin meski hatiku kini tidak sedang dalam keadaan camar atau netral.

"Kenapa?" Aku melontarkan pertanyaan itu.

"Aku merasa tidak punya orang tua," ia mengepalkan kedua tangannya, "mereka tidak menyayangiku."

Aku menyunggingkan senyuman. "Setidaknya kamu masih punya."

Kelihatannya dia tidak mendengarkanku, ia terdiam sejenak sambil memainkan jarinya dengan gugup.

Eh ... dia menangis?

"Kamu tahu, aku juga ingin disayangi," ucapnya dengan nada terisak-isak. Semua orang juga ingin disayangi, termasuk aku.

Aku bukan tipe penghibur tapi melihatnya seperti ini, aku tidak punya pilihan lain selain membuatnya merasa tenang.

Kalau aku tidak bisa bahagia, biarkan imajinasiku saja yang bahagia. Toh, sama-sama satu jiwa denganku.

"Aku menyayangimu, kok," ucapku sembari melontarkan senyum kecil.

"Benarkah?" tanyanya. Aku lumayan terkesan karena pembicaraan kami berkoneksi. Biasanya ia terlihat seperti berbicara pada langit atau udara.

Aku menganggukkan kepalaku samar. "Hm, kamu itu bagian dari diriku, tentu saja aku menyayangimu."

Entah kenapa rasanya tidak enak--tersenyum disaat luka dalam hati sedang menganga. Rasanya seperti sedang memalsukan wajah.

"Terima kasih." Ia menatapku datar tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.

"Kamu beruntung ya, masih punya orang tua." Tanpa sengaja kalimat itu keluar dari mulutku. Aku buru-buru menutup mulutku dengan kedua tangan sembari menarik napas kencang.

Apa yang barusan aku katakan?

Tampaknya dia tidak menghiraukan perkataanku barusan atau dia memang tidak mendengarnya.

"Kalau aku mati, kamu mati tidak?" tanyaku pada Alvin meski ia tak menoleh. Ia hanya diam saja.

Pertanyaan yang konyol, pastinya Alvin akan menghilang.

Aku hanya ingin membawa topik pembicaraan yang tidak jelas ini. Aku ingin menumpahkan semuanya.

"Katamu harus senyum kan, aku sedang mencobanya," ujarnya sembari memamerkan senyum terpaksa--menurutku.

"Jangan begitu," ujar diriku, "kalau tidak mau senyum jangan dipaksa."

"Tapi katamu senyuman bisa menyembuhkan kesedihan," lirih Alvin.

Tidak salah, tapi pura-pura tersenyum adalah pembohongan yang kita lakukan pada hati dan perasaan kita. Tentu saja rasanya begitu buruk.

Netraku menatapnya cukup lama, memikirkan sesuatu. Aku menjentikkan jariku tatkala menemukan satu cara.

"Kemarikan tanganmu," perintah diriku.

Ia menurut--menjulurkan tangan kirinya di depanku. 

Aku mulai menggambarkan dua titik pada telapak tangannya dengan telunjukku, dan juga sebuah lengkungan kurva menghadap ke atas--pura-pura menggambarkan emotikon tersenyum.

Telapak tanganku bersentuhan dengan punggung tangannya, perlahan mengangkatnya hingga telapak tangan Alvin menyentuh dada sebelah kirinya--tepat dimana posisi jantung terletak.

"Kalau begitu, obati hatimu dulu, tersenyum lewat hatimu terlebih dahulu." Dengan tangan yang masih menyentuh punggung tangannya--aku mengucapkan kalimat itu.

Ia menganggukan kepalanya dengan pelan. Lalu dengan perlahan, aku melepaskan genggamanku. 

Aku menjulurkan tanganku, melihat telapak tanganku yang lebih putih dibanding punggung tanganku.

Menggambar senyuman, ya?

Seharusnya aku mencoba ini sejak dulu, meski ini hanya sebuah gerakan kecil tapi mungkin saja bisa mengobati perasaanku.

Padahal ini yang selalu kulakukan ketika bertemu orang yang sedang sedih--menyuruh mereka menggambar senyuman di tangan. Dulunya, aku yang selalu mencari cara untuk membuat yang lainnya tersenyum.

Namun sekarang, aku bahkan tidak bisa membuat diriku tersenyum.

Aku mulai menggambar emotikon tersenyum di atas telapak tanganku, lalu menempelkannya pada dada sebelah kiri.

Semoga saja ini berhasil.

"Terima kasih, tapi aku tidak bisa melihat hatiku tersenyum," ucap Alvin yang membuatku tertawa kecil, dia seperti anak kecil saja, mana mungkin kita bisa melihat hati kita tersenyum.

"Itu dirasakan, bukan dilihat," tuturku sembari melepaskan tangan yang  menempel pada dada kiriku, menarik napas yang dalam dan mengembuskannya kembali.

Berada disini benar-benar membuatku merasa tenang, tempat ini semacam pelarianku dari dunia nyata--dunia dimana aku harus menerima pahitnya tindasan mereka.

Alvin berdiri dari dudukan ayunan, menimbulkan suara decitan yang tak begitu nyaring. "Aku pergi dulu, aku takut ayah mencariku kemari."

"Eh?" Aku memiringkan kepalaku sedikit tanda heran.

Dia mau pergi kemana?

Setelah melambaikan tangan, ia berjalan pelan mengikuti tapak jalan berwarna abu-abu, hendak keluar dari taman.

Di luar taman itu tidak ada apa-apa, hanya warna hitam legam yang hampa.

Mendadak, kepalaku mulai sakit--seakan-akan baru saja dihantam dengan benda keras. Pandanganku yang mulai memburam melihat Alvin berjalan keluar dari taman dan langsung menghilang seperti dimakan oleh kegelapan.

Aku belum selesai menenangkan diri disini, Aku masih ingin disini.

Kenapa yang membahagiakan berakhir secepat ini?

"Tara, Tara." Aku mendengar suara itu ketika baru saja terbangun.

butuh beberapa kali kedipan untuk menyesuaikan mataku dengan cahaya sekitar.

"Ugh." Aku memegang kepalaku yang berat, ini selalu terjadi seusai aku bertemu dengan Alvin.

Saat aku berada dalam posisi setengah telentang, bibi langsung memelukku dengan begitu erat seakan-akan tak mau melepaskanku. 

aku mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum aku tertidur, ah, aku langsung terjatuh di depan pintu.

Netraku melirik ke jendela terdekat, langit sudah menggelap padahal tadi matahari masih percaya diri menyinari bumi. Selama itukah aku tertidur?

"Maaf ya, aku tidak bisa memberi Bibi kue ulang tahun," ujarku membalas pelukan hangatnya.

Saat kami berdua melepaskan pelukan, bibi mulai melontarkan pertanyaan dengan lirih. "Kamu kenapa sampai luka-luka begini?" 

Netraku langsung menatap kedua lututku, luka besar yang hampir kering telah diobati oleh bibi, dia memang baik sekali.

Aku termenung, bingung ingin menjawab bibi dengan apa.

Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin menceritakan segala hal pada sosok di depanku. Tapi, disatu sisi, aku tahu, dia pasti merasa sedih, dan pada akhirnya aku akan terus merepotkannya.

Bimbang, Aku terus menatap mata Bibi yang berkaca-kaca tanpa melontarkan sepatah katapun. 

Aku memang pengecut, mereka tidak salah, bahkan mengatakan hal sesederhana ini saja aku tidak mampu.

Aku memang tidak berguna, aku hanya akan terus menjadi beban bagi bibi.

"Kenapa?" Bibi mengulangi pertanyaanya, kali ini dengan nada yang serius. "Kalau ada yang berbuat jahat sama kamu, bilang ke Bibi, ya. Bibi tidak suka melihat kamu menyembunyikan masalahmu."

"Aku tidak apa-apa." Pada akhirnya aku tidak mengungkapkannya. Memendam semuanya sendiri mungkin lebih baik.

"Benarkah? Lantas, kenapa kakimu bisa luka begini?"

"Tadi aku jatuh di jalan, Bi." Aku tersenyum sembari melontarkan kebohongan.

Padahal aku yang menyuruh Alvin untuk jangan menampilkan senyum terpaksa, namun aku sedang melakukannya di detik ini juga.

"Benarkah?" Matanya mulai menelusuri wajahku. "Jatuh sampai kena wajah?"

Jemariku meraba pelan wajahku, ah, ada bekas-bekas lula yang tercetak di bagian dagu.

"Terus, kenapa kamu bau kue, dan rambutmu juga terlihat seperti baru dilumuri kue." Bibi mulai menatapku dengan curiga. "Apa yang terjadi? Ceritakan."

Jantungku berdetak dengan sangat kencang, aku tidak tahu lagi alasan apa yang harus aku utarakan.

"Tadi ada anak kecil yang mengambil—" Ucapanku terhenti karena Bibi menatapku dengan tatapan yang tidak biasa.

"Sudah, jangan berbohong lagi." Nada kesedihan dengar dari suara bibi. Bibi mulai menumpahkan air matanya dari pelupuk.

Aku panik. "Bibi, jangan menangis."

Bagaimana bisa aku melihatnya menangis karenaku? Aku benar-benar anak yang menyusahkan, aku selalu membuatnya merasa khawatir dan sedih.

Air matanya tetap mengalir. "Aku sangat menyayangimu, aku ... ingin melindungimu dari semua masalah. Aku ingin berperan layaknya sesosok ibu."

Batinku merasa serba salah, mau berbohong ataupun mengatakan yang sebenarnya, aku akan terus membuatnya kerepotan, harus mengkhawatirkan beban sepertiku.

"Aku ...." Air mataku ikut mengalir, namun tidak dengan kata-kataku. Aku tidak bisa memberitahunya, aku takut dia akan menyuruhku pindah dari sekolah itu.

Aku takut kalau dia harus bekerja lebih keras lagi, dan ia akan jatuh sakit. Aku tidak mau bibi menderita karenaku. Dia sudah cukup menderita karena kehilangan keluarganya.

"Tolong jangan paksa aku!" Aku menaikkan nada bicaraku satu oktaf, membuat bibi tersentak. "Tolong ...."

Aku berusaha mengelap air mataku yang mengalir semakin kencang, namun mataku tidak mau berhenti menumpahkan bulir bening itu.

Bibi kembali memelukku, kali ini lebih erat. "Maafkan Bibi, Bibi hanya khawatir padamu."

"Aku ... tidak apa-apa." Aku jelas-jelas berbohong, kalau tidak ada apa-apa. Mengapa aku sampai menangis seperti ini?

Maaf, aku harus berbohong, aku sampai menggunakan kata "privasi" agar bibi tidak lagi sibuk mencari tahu keadaanku.

Untuk saat ini, aku akan menyimpan semuanya sampai aku tidak bisa bertahan lagi.

Malam itu diakhiri dengan tangisan tersedu-sedu dan juga pelukan hangat keluarga. Malam itu, aku tetap memutuskan untuk menutup mulut dan menahan derita ini meksi takdir sudah memaksaku mengatakannya.

TBC~

13 September 2020

Lemony's note

Gimana? Gimana? Ada yang terharu? //Plak.

Entah kenapa aku suka banget liat relasi Alvin dan Tara, they are so cute actually 😭✨ 

Kalian kapal AlvinTara atau AlvianTara? (◕o◕)

Alvin selalu ada buat Tara, meski ucapan Tara kebanyakan ga dibalas sama dia 😭✨ I wish I could find a guy like Alvin or Alvian, pengen kupeluk astaga 😭💖

Maafkan aku Tara, sudah memberikan kamu cobaan yang banyak, tapi kamu memang harus menerimanya, kalau enggak ceritanya ga jalan 😭✨👈

//Mulai ngawur

Okie, makasih yang sudah membaca chapter ini, semoga chapter ini tidak begitu membosankan sehingga kalian mau lanjut (。•̀ᴗ-)✧

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro