Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Seventh Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Saya suka sendirian tetapi saya benci rasa kesepian itu.

。☆✼★━━━━━★✼☆。


"Bibi kenapa baru pulang sekarang?" Aku mendapati bibi selalu pulang subuh selama seminggu ini, membuat aku bertanya kemana saja bibi. 

Baru hari ini aku terang-terangan mendatanginya dan bertanya kepadanya, tidak seperti biasa; berdiam dalam kamar tanpa ada yang tahu aku masih bangun atau tidak.

"Oh, tadi ada urusan," balas bibi pada pertanyaanku, wajah terlihat lemas. Warna hitam pekat menghiasi kantong matanya seperti sudah tidak tidur selama beberapa hari.

Aku menatapnya lekat. "Urusannya setiap hari?"

Bibi tersentak, ia pikir bahwa aku sudah tertidur dan tidak menahu kapan dia pulang dan pergi. Aku juga jarang tidur.

"Pekerjaan bibi belakangan ini banyak." Aku tidak mengerti lagi dengan sosok dewasa yang kini berdiri di depanku. Sepenting apa pekerjaannya sampai-sampai ia mengesampingkan kesehatannya.

Aku menghembuskan napas ringan. "Maaf ya bibi, tapi kesehatanmu lebih penting, kalau bibi sampai sakit, aku-lah yang akan merasa bersalah."

"Jangan bilang begitu," ujar bibi lalu melanjutkan kalimatnya sembari mengalihkan topik pembicaraan. "Kenapa Tara belum tidur?"

"A-aku baru saja bangun, untuk belajar," jawabku agak terbata-bata karena sedang melontarkan kebohongan. 

Kalau aku bilang bahwa insomniaku masih belum membaik, bibi akan memaksaku untuk pergi ke rumah sakit dan itu menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

"Kantung matamu ju-" Belum saja Bibi selesai berbicara, aku memotongnya. "Bibi tolong jangan memaksakan diri, apakah aku menuntut terlalu banyak?"

Bibi menggeleng pelan kepalanya.

"Bibi istirahat yang cukup." Itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan sebelum berlari menaiki tangga buru-buru menuju kamarku, berharap bahwa bibi tidak menangkap sesuatu tentang kantong mataku.

Aku melirik ke arah jam yang tergantung di dinding, pukul empat subuh, aku sudah membaca novel selama hampir lima jam namun kelopak mata tidak mau menutup meski telah kupaksa.

Ujian akan tiba tiga hari lagi, aku benar-benar berharap aku tidak tertidur dan terseret ke taman sewaktu tengah mengerjakan soal nantinya.

Buku jariku mengetuk meja belajarku dengan volume minim, kepalaku disandar di atas meja, aku tidak lagi membuka pelajaran, karena semuanya sudah kukuasai kemarin, membuka buku pelajaran berulang-ulang kadang terasa membosankan.

Aku memegang kepalaku pelan karena merasa pandanganku mulai terasa aneh.

"Argh!" gerutu diriku saat merasakan sakit yang lasat, kepalaku seperti baru saja dihantam. Aku tidak bisa melihat apapun, cahaya sekitar terlampau terang.

Seketika aku sadar, bahwa aku akan memasuki taman itu, dan ...

Bertemu Alvin lagi.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Seperti biasanya, hanya bulan yang menjadi penerang di taman itu. Meski begitu, taman terlihat cukup jelas dan keadaannya tidak gelap.

Sudah hampir dua minggu aku tidak sempat mengunjungi taman di dunia nyata. Hujan menggagalkan rencanaku lima hari yang lalu, kemarin karena soal matematika, diskusiku dan Caroline berlanjut sampai  jam lima sore, sibuk mengerjakan soal-soal yang telah kita kumpulkan dari berbagai sumber.

Taman ini sedikit mengobati rasa gulana ini.

Aku menghela napas panjang, udara disini benar-benar sejuk dan segar.

"Alvin?" Aneh, hari ini dia duduk di atas rerumputan, memeluk erat kedua kakinya yang ia lipat.

Netranya tidak tertuju padaku, melainkan pada tanah yang dipenuhi rerumputan dan bebatuan kecil.

"Kalau saja dunia ini kehilangan aku, pasti akan terasa lebih baik," ucap Alvin dengan volume yang sangat minim, telingaku masih cukup tajam untuk menangkap ucapannya.

Aku menghembus napas halus. "Kamu ini kenapa, imajinasiku?"

Meski aku belum tahu pasti apa itu Alvin, aku lebih menganggapnya sebagai imajinasi yang menemaniku. Miris, aku terlalu kesepian sampai Alvin muncul.

Aku merebahkan diriku, telentang diatas rerumputan, tepat di sebelah Alvin yang masih dalam posisi duduk. Menikmati langit malam indah yang diciprati titik-titik putih.

Tidak ada yang aku bisa bicarakan dengannya, kalau aku bertanya, dia tidak akan menjawabnya, kalaupun dia menjawab, jawabannya pasti aneh. Paling dia hanya mengatakan bahwa dia takut, dingin dan sebagainya.

Kini Alvin ikut merebahkan diri, suara gesekan antara tubuhnya dan rumput terdengar kental, kini kami berdua bersama-sama menatap langit.

"Mimpi ini terasa tenang, 'kan? Tidak seperti dunia yang penuh dengan kenyataan pahit." Apakah ini dihitung sebagai curhatan?

Aku lupa Alvin itu siapa. "Oh iya, kamu mana tahu dengan yang namanya dunia nyata, kamu saja tidak nyata."

Kukira dia akan memberi tanggapan jika aku ajak bicara, ternyata tidak demikian, benaknya sepertinya sedang fokus melamun, menatap langit dengan tatapan yang terasa agak hampa.

"Diluar sana, apakah ada kata bebas?" Pertanyaan anehnya mulai lagi muncul, kebebasan apa yang ia maksud?

"Bebas darimana? Dari pikiranku?" balasku pada pertanyaan yang ia lontarkan atau lebih tepatnya kalimat yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.

Ah, dejavu, sepertinya aku sudah pernah menbalasnya dengan pertanyaan itu.

"Kamu dari dimensi mana sih?" ujarku diselingi sedikit nada bercanda, sudah lama aku tidak bercanda ria, terakhir kali saat aku dan keluarga kecilku berkumpul saat ulang tahunku.

Ayah, Ibu, aku sungguh merindukan mereka, kalau aku bisa membalikkan waktu, aku pasti bisa menghentikan insiden kebakaran itu ...

Tes, tes, tes.

Tanpa sadar, bulir bening tidak sanggup kutampung, tumpah dan mengalir melewati pipiku dengan geladir. 

"Ck, dasar gadis lemah," bisikku mengatai diriku sendiri.

Alvin mengangkat tangannya tinggi. Seperti hendak menangkap sesuatu di udara bebas. "Kalau hanya satu bintang yang hilang dari langit, tidak akan ada yang tahu 'kan?'

Kenapa ucapan ini terdengar menyesakkan? Apa aku yang terlalu over thinking terhadap kata bintang yang mempunyai maksud lain.

"Jika aku menghilang, tidak akan ada yang tahu 'kan?" Ucapannya ini benar-benar membuatku sukses menghembuskan napas panjang.

"Kalau punya masalah itu cerita, mulut juga diciptakan untuk itu." Perasaanku mungkin kacau, tapi jangan sampai imajinasiku ini kacau.

Alvin manyun. "Apakah dia mendengarkan semuanya?"

Tanda tanya memenuhi pikiranku, apakah ada yang ia tahu selain aku? Alvin ini imajinasiku atau benar-benar orang?

"Siapa?" ia tidak membalas tatapanku.

"Setidaknya mengatakan hal ini membuatku sedikit lega." Mengatakan apa? Aku benar-benar tidak mengerti.

"Mengatak-" tepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku, cahaya itu datang.

Cahaya terang kembali menyambutku, penglihatanku dileburkan, aku tidak bisa melihat apapun untuk sementara, seperti biasa.

Bukannya ini pertanda bahwa mimpi ini sudah berakhir?

Aku memijat pelan pelipisku, perlahan, rasa sakit kepala yang kualami sirna.

"Ini sudah jam berapa ya?" gumamku yang masih mengumpulkan kesadaran. Netraku memandang jam dinding dengan lemas.

Sial! Jam tujuh, aku telat! Gawat!

Dengan kecepatan yang tinggi, aku langsung menuju kamar mandi, dan langsung bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

"Kalau jalan kaki pasti tidak sempat, tapi tidak ada bis." batinku yang sedang mengunci pintu rumah dengan terburu-buru, aku bahkan tidak mengecek lagi apakah lampu-lampu di rumah sudah kumatikan atau belum.

Tidak ada jalan lain, selain berlari.

"Kamu telat." Pak Frank menatap diriku--yang bersimbah keringat dengan tajam,sembari menunjuk-nunjuk arlojinya berulang kali. "Ini sudah jam berapa?"

"Maafkan saya, Pak." Aku menundukkan kepalaku, menahan rasa malu ini, puluhan mata sedang memandangiku dan berbisik satu sama lain. "Saya tadi ada urusan."

Kesan buruk lainnya.

 "Urusan apapun itu, yang penting, kamu terlambat, apakah kamu tidak membaca peraturan sekolah ini?" Dibalik Kacamatanya, tersirat tatapan tidak senang, membuatku menegukkan saliva kasar. "Kalau begitu, berdiri-lah di luar sampai jam istirahat pertama."

Aku terdiam, menerima hukumanku dan berdiri di depan kelas, tepat disamping pintu. Sial, aku malah menambah kesan buruk.

"Alvin selalu muncul di waktu yang kurang tepat," batinku sembari menghembuskan napas, menahan beban yang tergantung pada bahuku. Untung saja buku hari ini tidak terlalu berat.

Kadang kala, aku berusaha mendengarkan apa yang dijelaskan Pak Frank di dalam, namun nihil, hanya terdengar suara komat-kamit. Mungkin sedang membahas hal yang sudah kupelajari, tidak ada yang harus aku khawatirkan, sepertinya.

Ah, formulirnya, aku belum mengkumpulnya. Kegiatan klub akan dimulai setelah ujian harian pertama berakhir, aku mungkin akan mengikuti klub pecinta alam--saran dari Caroline. Kurasa itu tidak akan merepotkan, hanya menjaga alam, bukan?

Kadang ketika ada guru ataupun murid yang melewati kelasku, aku langsung menundukkan kepalaku, berharap tidak ada yang mengingat bahwa aku, Tara, yang pernah terlambat.

Peraturan sekolah ini tegas juga, padahal ini adalah pertama kalinya aku terlambat.

Aku harus berdiri selama kira-kira dua jam, kuharap kakiku masih kuat menahan berat tubuhku. ditambah 

Dua jam berlalu cukup cepat. Hapalan-hapalan aku ulang dalam hati, sebagai persiapan untuk ujian nanti, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku.

"Kamu sudah boleh masuk, jangan terlambat lagi," ujar Pak Frank yang barusan keluar dari kelasku, memberikan tatapan intimidasi lalu berjalan pelan menuju lift.

"Kenapa kamu bisa terlambat?" tanya Caroline saat melihat batang hidungku.

Aku menempatkan tasku, lalu duduk, melepaskan penat sejenak. "Tadi aku ketiduran." Entahlah, apa itu dihitung ketiduran atau pingsan?

"Kamu kurang istirahat ya, apalagi kemarin kita belajar sampai jam lima sore, kamu pasti melanjutnya di rumah lagi." Perkataan Caroline ada betulnya, aku memang kurang istirahat, tapi bukan karena belajar.

Aku meminum dua teguk air, menghilangkan dahagaku lalu lanjut berbicara. "Hmm."

"Ya sudah, aku ke kantin terlebih dahulu." Caroline beranjak dari duduknya. "Aku ingin sarapan, mau ikut?"

Aku menggeleng samar. "Tidak, aku makan di kelas saja."

Caroline men-iyakan lalu berjalan ke luar kelas.

Baru saja aku membuka kemasan biskuitku, sebuah bayangan menutupi tubuhku.

"Kamu, namamu Tari, 'kan?" gadis yang rambutnya dikepang dua itu datang menghampiriku yang sedang duduk. "Yang mendorongku, 'kan?"

"Tara," Koreksiku. Gadis yang bernama Alyssa itu memicingkan matanya.

"Apapun namamu, tidak berniat meminta maaf?" Ia memutar bola matanya, kedua lengannya ia silangkan di depan dada, sedangkan dua orang--yang mungkin temannya berdiri di belakangnya memberikan tatapan yang menandakan rasa tidak suka.

Aku tidak membalas tatapan mereka. Terdiam sejenak, melanjutkan makanku lalu berkata, "aku tidak berbuat salah."

"Kau membuatku hampir terjatuh, ingat?" Suaranya ia perbesar, menyebabkan sebagian isi kelas menyorotkan perhatian mereka pada tempatku.

Aku memicingkan mataku, berusaha memberi kode bahwa aku merasa tidak nyaman. "Kau menghalangi jalanku dan menyiramku, ingat?"

"Kamu lebih baik jaga bicaramu." Ia berjalan mendekati bangku-ku, aku langsung menatapnya was-was.

"Anda juga," bisikku pada volume minim pada diri sendiri, orang gila darimana dia, datang dan langsung mengemis kata maaf dariku.

Byur!

Minuman soda ia tumpahkan tepat di atas kepalaku, aku refleks berdiri, memandang tasku yang kini basah bersama dengan kursiku.

"Pikiranmu sudah segar?" Ucapannya itu menyiratkan kebencian, entah apa salahku padanya.

Aku langsung mengambil tasku, membukanya, bisa gawat kalau isinya juga ikut basah. Hembusan nafas terdengar dari diriku yang merasa agak lega karena tidak ada yang basah selain rambutku.

"Maaf, jangan ganggu aku." Aku memeluk tasku, berdiri menjauhi dirinya, takut kalau ia akan menyiram sisa minuman soda itu lagi.

Kelas mendadak ricuh, mereka berbisik satu sama lain kepada lawan bicara, banyak tatapan yang tertuju padaku, mengundang rasa tidak nyaman.

Tangannya menggengam erat botol soda itu, berjalan mendekatiku, tentu saja aku berjalan mundur.

"Kamu takut padaku, ya? Bagus, kamu seharusnya begitu." Emosi terpancar dari wajahnya. "Satu lagi, tidak ada yang mau berteman denganmu, orang miskin."

Lantai yang ia basahi sendiri dipijaknya, menyebabkan ia kehilangan keseimbangan ketika berjalan. Lututnya tergores tepat saat ia terjatuh meski sudah memegang kursiku sebagai penahan.

"Auch!" jeritnya kesakitan, dua orang temannya tadi langsung panik. membantu Alyssa berdiri dengan lututnya yang sudah mengucurkan darah. "Kamu akan aku laporkan pada guru konselor."

Aku tidak menanggapi ucapan terakhir, ia pergi dibopong oleh kedua temannya keluar kelas, mungkin menuju ruang BK. Entah hoax apa yang akan mereka sebarkan.

"Gawat, kalau sampai dibenci Alyssa, dia pasti akan terus dikerjai." Kalimat itu ditangkap gendang telingaku. Segawat apa? Apa dia benar-benar menaruh rasa benci padaku?

Benar saja, sepuluh menit kemudian, seseorang memanggil namaku. "Tara, dipanggil ke ruang BK."

。☆✼★━━━━━★✼☆。

 "Aku tidak melakukan apa-apa." Aku membela diriku dari tuduhan Alyssa yang tidak mengandung fakta.

"Ibu lihat sendiri 'kan, kakiku luka begini." Aku benar-benar ingin menampar wajahnya saat itu, tapi aku tidak segila itu, bisa-bisa aku diskors.

"Tapi-"  Ucapanku terhenti oleh suara penggaris yang dipukulkan ke meja oleh Pak Yuno, sedangkan Bu Tina hanya berdiri memperhatikan kami berdua dengan antap.

"Tara, minta maaf kepada Alyssa." Aku menelan kasar ludahku begitu mendengar kalimat itu dari bibir Pak Yuno. Kenapa harus aku?

Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Tadi Alyssa menyiramku dengan minuman soda."

BAM!

Suara penggaris yang dihantam ke meja terdengar lagi. "Cukup, kamu minta maaf kepadanya atau bapak akan mencatatmu dalam buku kasus.

Aku meliriknya menggunakan ekor mata, air mata buaya ia tumpahkan, membuatku merasa risih. "Maaf."

"Yang tulus." Manik biru tua Alyssa menatap tajam diriku.

"Maaf." Aku menghaluskan nada bicaraku supaya dia senang. Senyum kemenangan ia pamerkan kepadaku, tak lupa sesekali meringis kesakitan ketika Pak Yuno menatapnya.

Saat ini, aku tahu bahwa aku akan terus diganggu oleh Alyssa. Pupus sudah harapanku untuk bersekolah dengan damai.

TBC~

9 Juli 2020

Lemony's note

Gimana chapter kali ini? Membosankan, pastinya~

Aku mau nanya kepada pembaca Memoriam, nggak ada 'kan yang mikir kalau memoriam itu cerita fantasi tinggi, kayak ada dimensi lain, sihir dan sebagainya? Takutnya ada yang mikir gitu. (╥﹏╥)

Genre utama Memoriam itu Teen Fiction, meski mengandung fantasi, tapi unsur fantasinya sangat minim.

Wuahah, tumben banget aku nulisnya lumayan cepat, sebenarnya chapter ini selesai pas akhir bulan juni, tapi aku baru publish sekarang 😭🤲

Makasih untuk yang sudah tap starnya, yang komen juga, yang baca juga, Lemon senang (´∩。• ᵕ •。∩')

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro