Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Seventeenth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Pikiran yang negatif biasanya datang saat tidak ada yang bersamamu. Setiap kali pikiran negatif menghantam dirimu, pikirkan saja diriku, maka kamu tidak akan merasa  sendirian lagi.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Ujian tengah semester telah tiba.

Aku gemetaran, bukan takut melihat soal ujiannya ataupun takut apa yang telah dipelajari hilang dalam sekejap.

Aku takut kalau Sonia akan menindasku lagi dengan cara yang lebih bengis.

Kini aku benar-benar takut padanya, ingin melawan tapi tidak bisa.

Saat tiba di ruangan kelas, aku langsung memenuhi tempat dudukku, menundukkan kepal seakan-akan sedang tertidur. Ini terasa lebih aman.

Selama beberapa minggu ini, yang kulakukan di sekolah adalah terus berlari kesana-kemari untuk menghindari Sonia dan Alyssa. Kalau mereka ada di dalam kelas, aku akan keluar, pergi ke perpustakaan.

Aku tidak ingin bertemu mereka lagi. Aku benar-benar ingin pergi dari sini, pindah dari sekolah ini dan memulai kehidupan baru di tempat lain.

Mimpiku terlalu tinggi.

Belakangan ini, aku berpikir untuk mencari sebuah pekerjaan yang mungkin bisa menambah tabunganku dan juga meringankan beban bibi meski hanya sedikit.

Masalahnya, aku yakin bibi tidak akan pernah memberi izin, dan akan berkata bahwa aku harusnya fokus pada sekolah.

"Jangan pikirkan masalah uang, kamu sekolah saja." Begitulah isi kalimat yang akan dilontarkan bibi tiap kali aku membahas 'pekerjaan sampingan' yang Ingin kulakukan.

Aku mengembuskan napas berat. Hari ini ujian matematika ya, jadwalnya sama seperti ujian harian bulan lalu. Biasanya ujian diadakan dua kali sehari, namun karena mapel yang diujikan hari ini matematika, maka hanya akan diberi satu jenis mata pelajaran.

Sama seperti pelajaran fisika.

Ada suara meja yang bergerak dari belakangku, tanda kalau Sonia sudah datang dan duduk.

Kepalaku terangkat, dengan jemariku, aku mengesampingkan rambutku, memajukan kursiku beberapa sentimeter ke depan.

Semakin jauh, semakin baik.

Kalau saja hari ini bukan hari ujian, aku akan langsung pergi ketika dia datang. Dalam hatiku, aku berharap bahwa guru pengawasnya segera datang, lebih cepat lebih baik.

Kadang aku berpikir, kenapa aku malah mengejar beasiswa di sekolah ini, kenapa aku bisa dimasukkan ke kelas A, kenapa namaku berawalan dengan huruf "T" dan kenapa nama Sonia berawalan dengan huruf "S"?

Aku menggerakkan kakiku, ternyata lututku masih terasa sakit meski luka-lukanya sudah setengah kering. Aku bahkan lupa untuk mengobatinya.

"Baik, anak-anak, siapkan alat tulis kalian." Miss Veran memasuki ruangannya dengan bunyi hak sepatu yang bertabrakan dengan lantai. "Kita akan ujian. Kumpulkan tas kalian.

Begitu mendengar suara wanita dewasa, aku langsung mengangkat kepalaku. Sesuai perintahnya, aku mulai mengeluarkan alat tulisku.

"Peraturan baru, aku ingin kalian menaruh tas kalian disini." Telunjuk Pak Marcello menunjuk sebuah kotak plastik.

Ia melanjutkan kalimatnya, "Ada yang menyontek dengan menyelipkan jawaban di dalam tas ujian yang lalu, anak tingkatan SMA. Jadi peraturan ini diterapkan demi antisipasi."

Aku langsung mengambil tasku--yang tadinya tergantung di kursi--dan hendak berjalan menuju kotak itu untuk meletakkan tasku.

Aku merasakan ada sentuhan ringan pada pundakku, kepalaku menoleh ke belakang sedikit. Sonia memanggilku.

Ia tersenyum lebar. "Tolong letakkan tasku disana, ya."

Tangannya menggengam tali tas miliknya, mengulurkannya padaku, tatapan matanya menyuruhku untuk mengambilnya.

Jemariku--dengan gemetaran--mengambil tasnya, ia menepuk pelan tangannya. "Kamu memang anak yang baik."

Aku berjalan tanpa menghiraukan perkataannya. Meletakkan tas milikku dan tas tosca--yang merupakan miliknya--ke dalam kotak itu.

Sebenarnya aku berniat menolak, apa-apaan dia, sudah menyakitiku malah menyuruhku seenaknya.

Namun memikirkan konsekuensi yang akan kutelan, aku akan menuruti permintaannya layaknya hewan peliharaan. Aku ... tidak punya pilihan lain.

Permintaannya saat ini mungkin masih kecil, tapi tidak ada yang menjamin bahwa dia tidak akan menyuruhku melakukan hal yang macam-macam.

Kenapa aku jadi seperti pembantu yang takut dengan majikannya?

Bodoh dan lemah.

Tangan kananku menggengam pensil kayu yang akan digunakan untuk menghitamkan pilihan dalam soal.

Kertas ujian masih dalam terbalik itu belum kubuka, masih menunggu aba-aba Miss Veran--selaku guru pengawas--memberikan izin untuk mengerjakan soal ulangan.

"Kalian sudah boleh mulai, kalian jangan ada yang berbuat curang." Pak Marcello mulai berjalan ke bagian belakang--mengawasi kami semua.

Tiga puluh menit berlalu tanpa suara bisikan, dengan konsentrasi penuh, aku sudah menyelesaikan soal ujian dengan sisa waktu 30 menit.

"Tara." Suara dengan volume minim terdengar oleh gendang telingaku.

Apakah Sonia memanggil? Mau apa lagi dia, meminta jawaban?

"Beri aku jawaban," dia membisikkan kalimat itu, "atau kamu akan merasakannya lagi."

Aku benar-benar berharap Pak Marcello ataupun miss Veran bisa mendengar katanya tadi. Ini sebuah pemaksaan.

Aku bimbang, apa yang harus aku lakukan? Kalau aku memberinya jawaban itu berarti aku sudah membantu kecurangan dan kalau ketahuan, aku yang akan kena masalah juga.

Tapi, kalau aku tidak melakukannya, maka ... tidak, tidak, Aku tidak akan memberinya jawaban apapun.

Aku hanya harus pura-pura tidur, oh, atau mengumpulkan jawabannya terlebih dahulu kepada miss Veran supaya kunci jawabanku ia letakkan di atas mejanya dan Sonia tidak akan lagi memintanya.

Benakku berpikir sejenak, aku memainkan jariku dengan gelisah, aku bingung.

"Ada apa, Tara?" Miss Veran berdiri duduknya dan berjalan menuju ke tempatku. "Kelihatannya gelisah begitu."

Kesempatan.

"Aku merasa tidak enak badan," ujarku sembari menatapnya dengan lemas. "Aku ingin ke kamar mandi."

Miss Veran melihatku sejenak, lalu berkata, "kamu tidak boleh keluar sebelum ujian selesai."

Aku menyondorkan soal ujianku beserta lembar jawabanku dengan posisi kertas soal berada di atas--menimpa lembar jawaban. "Saya sudah selesai, Miss."

Ia mengambil lembar jawabanku, menatap kertas itu selama beberapa detik. "Miss anggap kamu sudah mengumpulkan, ya. Ini tidak bisa diambil kembali."

"Baik, Miss," balasku disertai anggukan samar.

"Kamu boleh pergi tapi masuk kelas lagi, ya. Jangan pulang dulu." Setelah ia memberikan izin, aku sontak memundurkan kursiku dan beranjak dari dudukku.

Sebelum aku memutar kenop pintu, mataku sempat berbalik ke belakang.

Terlihat Sonia dengan ekspresi marah bercampur kesal. Dia mengepal tangan kanannya, menumbuknya di atas meja dengan pelan, tanda bahwa dia benar-benar gusar.

Tatapan matanya seperti berkata, "Awas kamu."

Aku keluar dari kelas, langsung pergi ke kamar mandi terdekat untuk menenangkan diri.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku membasuh wajahku dengan air keran untuk menyegarkan diri. Menatap pantulan bayanganku pada cermin sembari melamun.

Toilet ini sepi, tidak ada yang keluar ataupun masuk dalam kelas saat ujian berlangsung. Suasana sunyi ini membuatku sedikit tenang.

Kantong mataku kini tidak hitam lagi, aku benar-benar sudah sembuh dari insomnia. Mungkin karena Alvin.

Aku meraba-raba daguku, bekas lukanya nyaris hilang namun tidak dengan yang di lututku. Aku bahkan belum bisa menegakkan kedua kakiku dengan sempurna.

Apa yang akan Sonia lakukan padaku? Apa dia akan mengurungku atau melakukan hal yang lebih sadis lagi?

Aku tidak mengerti kenapa hidupku jadi rumit begini, dulunya hidupku damai dan bahagia sampai api sialan itu membakar rumahku.

Salahku, aku yang menyebabkan ibu dan ayah jadi tidak bisa melarikan diri.

Kalau saja mereka tidak kembali masuk untuk menolongku, mereka ... mereka pasti masih hidup.

Tangan kananku spontan menampar pipiku sendiri. Aku sangat tidak berguna, sedari dulu aku hanya merepotkan orang-orang.

Aku menatap telapak tanganku yang kosong, menatapnya cukup lama sampai pikiran aneh mulai terbesit dalam benakku.

Tidak, aku tidak akan melakukannya, aku belum sebodoh itu untuk melukai diriku sendiri hanya demi pelepasan.

Tanganku memutar keran air hingga air mulai mengalir lagi, lalu membasuh wajahku beberapa kali supaya lebih segar.

Entah kenapa hawa negatif selalu datang mengelus saat aku sendirian dalam satu tempat. Menepuk kedua pipiku dengan pelan lalu berjalan keluar dari kamar mandi.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Setelah dari kamar mandi, aku langsung duduk dengan posisi dahiku menempel pada kedua lenganku yang kulipat di atas meja.

Ujian selesai dengan begitu saja, setelah Miss Veran memanggil nama satu-persatu untuk pergi ke depan--mengumpul kertas soal dan jawaban ujian sekalian mengambil tas yang kita kumpulkan tadi.

Ketika semuanya sudah terkumpul, miss Veran dan juga pak Marcello langsung mengizinkan kami semua untuk keluar dari kelas--pulang.

Aku berdiri perlahan--mencegah adanga rasa sakit yang timbul dari lutut. Lalu berjalan pelan menuju pintu kelas.

Dalam batinku, aku terus berdoa agar Sonia tidak macam-macam, apalagi miss Veran dan pak Marcello masih berada di dalam ruangan kelas, tidak mungkin Sonia akan mengejarku lalu menjambakku.

Mendadak, aku merasa ingin pergi ke toilet. Kenapa aku sampai bisa lupa untuk melakukan panggilan alam sebelum masuk ke dalam kelas tadi?

Aku yang tadinya hendak berjalan ke sebelah kiri--dimana tangga berada--kini berjalan ke sebelah kanan menuju kamar mandi wanita.

Kamar mandi tetap terlihat sepi, apalagi kamar mandi lantai tiga ini memang tidak sebesar kamar mandi di lantai lainnya, mungkin itu salah satu alasan banyak yang memilih kamar mandi lantai satu ataupun dua.

Aku berjalan masuk dan langsung memilih bilik toilet pertama.

Suara langkah kaki pelan terdengar dari luar namun aku tidak menghiraukannya.

Aku melihat bahwa pintu WC yang aku tempati baru saja di dorong dengan pelan. Mungkin orang itu sedang mengecek apakah ada yang sedang menggunakan WC ini atau tidak?

Tapi, untuk apa? Bukannya bilik kamar mandi yang lainnya sedang kosong.

Ah, untuk apa aku memikirkan itu?

Setelah selesai, aku menggeser kunci silinder baller bolt pada kaitnya untuk membuka pintu kamar mandi.

Pintunya tidak mau terbuka ketika aku mendorongnya.

K-kenapa ini?

Aku panik, mengetuk pintu itu dengan kuat berkali-kali. Kenapa bisa terkunci? Padahal kuncinya sudah kugeser, tapi kenapa masih tidak terbuka.

Lengan atasku berhantaman dengan pintu, aku berusaha mendobraknya namun nihil, pintunya tidak mau terbuka.

Seperti ada penahan yang diletakkan di depan pintu itu.

"Tolong!" Aku menjerit dengan sekuat tenaga agar ada yang mendengar. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisku, kesialan apa lagi ini?

Apa jangan-jangan orang yang barusan masuk tadi yang mengunciku? Tapi siapa?

Begitu pertanyaanku terbesit, benakku langsung memikirkan wajah Sonia dan Alyssa. Pasti mereka, tidak ada orang yang mau meluangkan waktunya untuk mengurusiku.

Aku yakin ini Sonia, tidak lain lagi, ini bentuk pembalasan dendamnya.

Ponsel kukeluarkan dari dalam tas, hendak menelepon seseorang untuk meminta tolong. Sial, tidak ada signal dalam kamar mandi.

Aku duduk diam di atas penutup kloset, berharap bahwa akan ada yang datang lalu menolongku. Sesekali berteriak minta tolong.

Nihil, sudah setengah jam aku terkurung dalam kamar mandi tapi belum ada satupun orang yang hendak masuk--menggunakan kamar mandi ini.

Karena sudah lama menunggu, aku mulai diselimuti rasa lanik
Aku melirik celah pada bagian bawah pintu, terlalu sempit, aku tidak mungkin bisa lewat sana.

Netraku menatap pintu kamar mandi, ada celah di atasnya dan pintunya tidak terlalu tinggi, mungkin aku bisa keluar lewat sana.

Aku menatap sekeliling WC, mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai pijakan untuk memanjat.

Hanya ada tempat tisu dan juga tong sampah yang isinya ratusan tisu bekas.

Tidak ada cara lain lagi, aku harus keluar lewat sini.

Aku menginjak penutup tong sampah itu beberapa kali, memastikan bahwa itu cukup kuat untuk menahan tubuhku.

Saat aku menginjakkan kedua kakiku--pada penutup tong sampah itu--lututku bergetar, aku takut jatuh.

Dengan tinggi 140an cm, tanganku sudahku sudah bisa memegang ujung pintu, aku benar-benar lega karena kemungkinan untuk keluar semakin besar.

Tangan kiriku menggengam erat pintu bagian atas kamar mandi--seperti sedang merangkulnya, sedangkan tangan kananku bersentuhan dengan tembok, berusaha menjadikannya sebagai

Aku kerepotan karena saat ini sedang memakai rok dan juga kakiku terasa sangat sakit, rasanya lukaku kembali membuka.

Keringatku mengalir dengan geladir, aku berusaha menaikkan kaki kiriku agar aku bisa turun perlahan nantinya.

Saat setengah badanku sudah berada di atas, aku dengan pelan-pelan hendak menurunkan kaki kiriku agar telapak kakiku bisa menapak lantai keramik.

BRAK!

Aku terjatuh di atas lantai karena tanganku terpeleset--rangkulanku terlepas, menyebabkan sebagian tubuhku yang sudah diatas langsung jatuh mengikuti gaya gravitasi.

Ini benar-benar sakit. Aku memperhatikan lengan kiriku--lengan yang mengenai lantai saat aku terjatuh.

Lebam.

Dengan tubuh yang masih gemetaran, aku berusaha berdiri meski lututku sakit karena luka kemarin ditambah tadi aku terjatuh.

Namun, aku berhasil keluar dan itu membuatku mengembuskan napas penuh kelegaan.

Aku menarik-mengeluarkan napas secara berkala untuk menenangkan diriku. Dengan berpegangan pada dinding, aku berhasil berdiri.

Di depan pintu kamar mandi yang aku masuki, diletakkan satu tongkat pel sebagai penahan pintu.

Kenapa ...?

Mereka sangat kejam, kenapa mereka mau melakukan hal ini padaku?

Aku ... hanya ingin hidup dengan tenang.

TBC~

13 September 2020

Lemony's note

Kasihan, Tara dikunci lagi, oleh siapa, ya?

Tara yang bar bar sampai manjat pintu buat keluar, jatuhnya pasti sakit 😭✨ //puk puk Tara

Btw, buat yang tidak tahu, kunci barrel bolt itu gini:

Sumber: https://images.app.goo.gl/oGBoVBMnYiY3oXAS6

Real story, aku dulu pernah terkunci di kamar mandi, sih. Bukan karena kuncinya macet atau ada yang ngunci dari luar, tapi karena diriku sendiri yang error 😭✨

Jadi, kamar mandi sekolahku baru direnovasi, terus aku masuk ke kamar mandinya, benar-benar beda banget dari yang lama, kamar mandinya jadi kelihatan lebih bersih dan pintunya diganti semua, semuanya baru.

Terus, aku masuk ke salah satu bilik WC, dan kunci pintunya (cara kuncinya tuh digeser) mirip model barrel bolt tapi ga sama. Ketika udah mau keluar, aku panik karena kuncinya ga bisa digeser.

Aku sampai dobrak pintunya, minta tolong tapi tidak ada yang dengar, dan setelah terkunci selama 10 menit, aku baru sadar.

Kuncinya itu ditekan, bukan digeser 😭✨🤲. Aku emang error banget, astaga 😭✨. Jadi kuncinya itu kalau mau ngunci digeser kalau mau dibuka ditekan.

Error sejak dini 😭✨

Yak, sekian, terima kasih sudah membaca Memoriam.

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro