Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Nineteenth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku ingin menyerah, tapi langit berkata, "Belum waktunya."

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Semuanya akan berakhir ... semuanya.

Saat kukira aku akan terjatuh ke bawah, sebuah dekapan erat terasa pada pinggangku--menyebabkan aku gagal terjatuh. 

Kenapa?

Tanpa tahu siapa pelakunya--aku melakukan pemberontakan, berusaha melepaskan diri dari pelukannya, berusaha menjulurkan badanku ke depan terus-menerus.

Kenapa bahagia saja tidak boleh?

Aku merapatkan gigiku, ingin menjatuhkan tubuhku namun ditahan. Air mataku mengalir dengan geladir tatkala aku mulai berteriak, "Lepaskan!"

"Jangan!" teriak si pemeluk yang mana ternyata adalah seorang laki-laki, suaranya ... terdengar familiar.

Tak fokus memikirkan itu, aku tetap bersikeras melompat, kedua kakiku mulai bergerak secara liar--ikut melakukan usaha untuk melepaskan diri. Pandanganku memang memburam karena air mata, tapi sekilas, aku bisa melihat orang-orang dibawah mulai berdatangan panik.

Kenapa ... aku tidak melompat lebih cepat?

"LEPASKAN!" Teriakku makin tak karuan, dekapannya semakin erat.

"Tolong jangan lakukan ini!" Suara yang tidak bass itu memerintahku sembari mempererat dekapannya, tenaga laki-laki itu lebih kuat dari tenagaku.

"KAMU TIDAK MENGERTI AKU!" Tidak ada yang mengerti alasanku, tidak ada yang tahu betapa hancurnya aku. Aku tidak ingin ada lagi disini, aku ingn menemukan kebahagiaan di tempat lain. 

KENAPA TIDAK ADA YANG MENGIZINKANKU?!  batinku berteriak dengan lantang

Napasku semakin tidak beraturan, rasanya lelah karena bergerak dengan lincah--berusaha melompat, keringat asin jatuh dari pelipisku, membanjiriku.

Tidak, ketenanganku sudah dekat, ada dibawah, aku ... aku harus mencapainya.

Laki-laki itu hendak menarikku, menjauh dari pembatas kaca. Namun kedua tanganku tetap kukuh memegang tiang itu sembari bergerak maju ke depan. Buku jariku dihiasi warna kemerahan, aku mengenggam tiang pembatas kaca terlalu erat.

Genggamanku terlepas tanpa sengaja, menyebabkan tubuhku--yang diberi gaya kebelakang--langsung terjatuh ke belakang menimpa laki-laki itu.

Masih dengan perasaan yang hancur lebur dan air mata yang menggenang, aku menatap laki-laki itu.

Alvian?

Tubuhku bersandar pada dadanya, aku memaksa tubuhku yang lemas untuk menjauh darinya namun masih dalam posisi terduduk.

"Kenapa kamu melakukan ini?!" Aku berteriak tidak terima, kenapa dia mau menghentikanku?

"Aku tidak ingin kamu melompat, kamu tidak tahu kalau itu sangat membahayakan?" ucapnya dengan suara yang gemetaran.

"Apa hakmu? Kamu bukan siapa-siapaku, aku benci kamu, aku benci dirimu!" Aku menjerit histeris, tanganku mendorongnya dengan lemah sehingga ia tidak terpantil sama sekali.

Matanya memandangku dengan serius, seperti sedang menungguku tenang.

Aku menangis terisak-isak, aku terduduk di atas lantai bersama dengan Alvian. Tatapan-tatapan dari orang yang menghujani kami tidak kuhiraukan.

Kenapa aku jadi bingung begini?

Kenapa aku ...?

Air mata mengalir semakin geladir, aku yakin wajahku memerah--menunjukkan emosi marah dan sedihku secara ketara.

Aku menatap Alvian sejenak, pandangan kami bersibobrok. Dia memandangku dengan senyuman yang tercetak di atas bibirnya.

Apa dia sedang memberikan senyuman pada apa yang telah kualami?

Sontak, ia memegang bagian kepalaku, menyandarkannya ke dadanya, memelukku dengan erat.

Aku ....

Air mataku mengenai seragam sekolah yang tengah ia kenakan. Rasanya hari ini, semuanya meledak keluar.

Emosiku yang terpendan telah keluar, hatiku terasa sedikit lebih ringan.

Mendengar detak jantung Alvian yang seirama membuatku menurunkan kedua kelopak mataku dengan pelan.

Aku hanya menginginkan ketenangan.

。☆✼★━━━━━★✼☆。


"Auh!" Ketika Dokter membersihkan luka di lututku dengan alkohol, aku merasakan perih yang mendalam. "Sakit."

"Kalau tidak diobati bisa infeksi." Dokter itu mulai mengobati lukaku dengan obat yang aku tidak tahu namanya.

Alvian berdiri di samping ranjang rumah sakit yang aku duduki. Menatapku--atau lebih tepatnya lututku yang tengah diobati.

"Syukurlah kamu tidak sempat melompat," tutur dokter itu sembari mengobati siku kananku yang berdarah juga.

Aku terdiam seribu kata, setelah dipikir-pikir, aku terdengar sangat bodoh, hendak bunuh diri.

Itukan perbuatan yang tidak benar, padahal dulu, aku sering melarang orang melakukannya, tapi sekarang aku malah ....

"Untung saja temanmu datang." Dokter mengalihkan pandangannya ke Alvian tapi tangannya masih bekerja pada sikuku.

Alvian memamerkan deretan giginya sembari menundukkan kepala sedikit sedangkan aku sibuk meringis kesakitan.

Untung saja, ya?

Dengan bodohnya, aku tidak memikirkan rasa sakit yang akan aku alami saat tubuhku menubruk tanah. Rasa sakitnya tentu berkali-kali lipat dari ini.

Stelah selesai mengobati lukaku, ia kini berdiri tegak dan mulai berjalan menuju mejanya. 

"Ini obat yang harus kamu minum untuk mempercepat proses penyembuhan lukamu." Ia menyerahkan secarik kertas yang berisi resep dokter.

"Terimakasih." Aku keluar dari ruangan dengan langkah terpincang-pincang, diikuti oleh Alvian yang berjalan di belakangku.

"Mau aku papah?" Ia mulai mendekatiku.

"Tidak perlu, terima kasih."

Kami berdua duduk di kursi yang diletakkan di depan farmasi rumah sakit, menunggu antrian untuk mengambil obat.

"Apa yang menganggumu?" Perkataan Alvian membuatku menoleh ke arahnya. 

"Tidak ada."

"Huh? Jadi kamu kenapa mau melompat?" balasnya yang membuatku tertunduk, sembari memainkan jemariku yang tengah berkeringat.

Kedua tanganku terasa amat dingin, aku seharusnya tidak lupa kalau masih banyak yang harus aku urus, apalagi masalah biaya.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah mengalihkan topik pembicaraan. "Kenapa kamu bisa ada disini?"

"Aku kesini tiga atau empat hari sekali," balas Alvian.

"Aku bertanya kenapa, bukan berapa kali." Sadar kalau aku seharusnya tidak membicarakan ini, aku menarik kembali pertanyaanku. "Lupakan."

Pikiranku kembali merenungkan semua hal namun tidak ada lagi unsur negatif yang tiba-tiba datang menabrak diriku.

Karena ada orang di sampingku. Semuanya jadi terasa memudar sesaat.

Kalau tadi aku mati, bagaimana rasanya, ya? Apakah akan terasa sakit sesaat lalu perlahan tubuhku mati rasa dan aku akan terbebas?

Orang pengecut sepertiku hanya ingin meninggalkan tanggung jawabku di dunia ini. Ternyata aku benar-benar pengecut, ya.

"Melamunkan apa?" Alvian yang kepo itu mulai melontarkan pertanyaan.

"Aku hanya bingung." 

"Bingung kenapa?"

"Bibiku ...," ucapku dengan lirih.

"Eh? Ada apa dengan Bibimu?" Mata kami bersitatap, ia benar-benar seksama memperhatikanku.

"Dia ... kecelakaan," ucap diriku yang membuat matanya terbelalak. 

"Semoga bibimu cepat sembuh, pantas saja kamu bengong sedaritadi."

"Sebenarnya ... aku sedang memikirkan biayanya." Tanpa sadar aku memberitahunya--terbawa arus perasaan sehingga mulutku sibuk melontarkan kejujuran.

Kenapa aku memberitahunya? Dia tidak akan punya solusi untuk ini.

"Biaya?" Ia memiringkan kepala, "bukannya itu diurus oleh Ayah dan Ibumu? Untuk apa kamu memikirkannya?"

"Kamu tidak tahu, ya." Nada bicaraku mulai berubah. "Padahal di sekolah sudah tersebar berita itu. Kamu juga mendengarnya saat Sonia meneriakiku."

Alvian tersendak, ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu. "Aku minta maaf, aku tidak terlalu menaruh perhatian pada kalimatnya."

"Aku yatim piatu, aku tidak seberuntung dirimu yang punya keluarga lengkap, yang bahagia."

Ah, aku mulai membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Tapi tidak salah bukan? Alvian memang bahagia, dia punya orang tua, punya kehidupan yang begitu menyenangkan.

Dia selalu tersenyum, dia bahagia, tidak sepertiku.

"Maaf ...." Ia menundukkan kepalanya--tanda merasa bersalah. Dia benar-benar seperti Alvin yang selalu melihat ke bawah--menatap rumput liar yang bertaburan di taman.

Aku sampai sekarang belum tahu hubungan mereka berdua, apa hanya sekedar imajinasiku yang mengambil wajah orang secara acak atau memang dia dan Alvin itu punya hubungan?

"Ya, kamu tidak akan mengerti kenapa aku melakukan itu." Mendadak aku membahas itu, mempertanyakan takdirku.

Kenapa aku tidak bisa seperti yang lainnya, punya orang tua, punya teman yang baik, punya masa sekolah dan juga kenangan yang begitu indah?

Padahal aku sudah bertekad melupakan insiden tahun lalu supaya aku bisa merasa lebih bahagia.

Sebaliknya, langiti memperberat hidupku. Semuanya kacau balau.

Ia hanya membalasku dengan senyuman kecil tanpa membalas apapun.

"Kamu tidak tahu rasa kesepian ketika kamu tidak punya siapa-siapa dalam hidupmu ...."

"Kamu punya Bibimu 'kan?" Ia mengangkat kepalanya, menarik napas yang dalam sebelum melontarkan kalimat itu. "Kamu juga punya Caroline."

Aku menatapnya datar tanpa membalas apapun. Ia melanjutkan kalimatnya, "Aku mau jadi 'siapa-siapa'mu."

Menjadi siapa-siapaku?

Karena mood-ku yang sedang sangat tidak stabil, aku memutuskan untuk mendiaminya. Aku mulai berpikir lagi perihal jenis pekerjaan apa yang aku harus lakukan agar aku bisa membayar biaya operasi Bibi.

Alvian sedaritadi melempar kalimat positif yang ia kira bisa menyenangkanku. Aku butuh solusi, bukan kata-kata penghibur sementara yang tidak akan membuat keadaan membaik.

"Aku bisa meminta Ayahku untuk membiayai pengobatan Bibimu." Ia menepuk tangannya pelan hingga menimbulkan suara yang tidak keras.

Awalnya aku hanya menganggap sebagai ucapan lalu. Ketika aku mencerna pekartaannya, netraku membelalak.

"Ha? Apa yang barusan kamu katakan?"

"Aku akan meminta Ayahku untuk membantumu, dia orang yang sangat baik hati, dia pasti mau membantumu."

Alih-alih senang, aku malah menanggapi jawabannya dengan tidak ramah.

"Kamu kasihan padaku?" tanyaku disertai nada yang sama sekali tidak terdengar bahagia. "Karena aku anak yatim piatu?"

Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku hanya ingin membantumu."

Dan kembali lagi ke titik dimana aku akan selalu merepotkan orang-orang. Aku diam merenungi perkataan Alvian tanpa memberikan penolakan ataupun persetujuan.

Membantu membiayai pengobatan Bibi, tentu saja ini akan sangat membantuku, Bibi bisa sembuh total dan bisa menjalani perawatan lebih lanjut seusai melakukan operasi.

Namun, aku hanya akan seperti orang yang menerima wujud belas kasih orang lain, merepotkan orang lain, dan terus bergantunng pada orang lain.

"Tidak." Aku menjawabnya dengan tegas meski hatiku sempat menyayangkan kesempatan ini. "Aku tidak ingin merepotkan lebih banyak orang lagi."

Ia mengelus dagunya seperti sedang memikirkan sesuatu, "Aku punya satu cara, kamu jadi partner belajarku, nanti akan digaji dan kamu bisa membayar biaya pengobatan bibimu."

Aku melongo sejenak. "Partner belajar? Untuk apa?"

"Um, nilaiku anjlok. Aku sangat buruk dalam belajar, pikiranku sulit fokus. Ayah sempat ingin mencarikan aku guru pembimbing, dan kurasa kamu orang yang tepat."

"Tunggu sebentar," aku menjeda kalimatku sebentar--berpikir, "aku bukan guru pembimbing, aku tidak bisa."

"Nilaimu bagus, bahkan terbaik di satu angkatan. Aku benar-benar ingin belajar untuk ujian semester nanti," jelasnya dengan bersemangat.

Namun, kurasa aku memang benar-benar tidak bisa menjadi "guru pembimbingnya". Aku tidak segenius itu dan juga aku tidak pernah mengajarkan satu orang pun karena aku memang tidak ahli dalam penyampaian materi.

Ingin menerimanya karena keadaan mendesak, tapi ragu kalau aku bisa dan pada akhirnya Ayah Alvian akan marah karena Alvian sembarangan memilih orang untuk mengajarinya.

"Aku tidak begitu mengerti semua materi karena aku sempat tidak sekolah selama 6 bulan dan rasanya otakku tidak mampu diajak belajar lagi," jelasnya lagi. Mungkin tidak sekolah selama enam bulan membuat kemampuan otaknya menurun.

"Berapa yang akan kamu bayar, dan berapa lama aku harus menemanimu belajar?" Aku dengan cepat langsung membahas tentang uang, mau bagaimana, aku benar-benar perlu itu.

"Nanti itu aku tanyakan pada Ayahku," balas Alvian tak lupa menambah senyum simpul. "Kamu mau?"

Dengan ragu-ragu, aku berkata, "Iya, aku mau. Lokasi belajarnya dimana?"

"Di rumahku," balasnya singkat.

"Alamat?"

"Nanti kukabari lewat LINE," ujarnya, "aku tidak begitu ingat alamat detailnya, hanya tahu jalan."

"Ok, apa aku harus datang hari ini? Kamu maunya jam berapa? Besok ujian kimia dan IPS." Aku harap bisa secepatnya mendapatkan uang untuk pengobatan bibi, sampai terdengar buru-buru seperti ini.

"Ah, tidak perlu. Kamu masih butuh istirahat, Tara harus sembuh dulu baru bisa mengajariku," ujarnya dengan nada seakan-akan sedang mengkhawatirkanku.

Padahal dia bukan siapa-siapaku.

"Kapan dimulai?"  

"Sampai kamu mau memulainya dengan syarat kamu harus sembuh dulu." Ia kembali menatap luka-luka yang terlukis di atas tubuhku. "Lukamu sangat parah, pasti sakit."

"Tidak sesakit penderitaan yang kualami," bisik dirku, lebih tepatnya gumaman yang memang dilontarkan untuk kudengar sendiri.

"Ha?" Alvian yang mendengar secara sekilas langsung mempertanyakan kalimat barusan.

"Lupakan." Jiwa keponya tidak pernah hilang, itulah yang membedakan Alvin dan Alvian, entah kenapa belakangan ini aura mereka terasa mirip. Berada di dekat mereka membuatku merasa satu perasaan yang tidak biasa.

Terasa dekat dan menenangkan.

"Kamu jangan melakukan hal yang tadi, ya?" 

Aku menolehkan kepalaku, menatapnya tanpa mengatakan sepatah katapun, apa yang bisa aku jawab.

"Kenapa diam?" Ia menaikkan sebelah alisnya, bingung melihatku yang tidak mengeluarkan reaksi apapun.

Aku tidak membalasnya dengan kata apapun. Jujur, aku masih terkejut dengan kejadian tadi, aku dengan gilanya hendak melompat kebawah tanpa memikirkan konsekuensi apapun.

Ia memegang tangan kananku, langsung mengangkatnya ke atas hingga sejajar dengan posisi tangannya.

Apa yang mau dia lakukan?

Ia menutup keempat jemariku kecuali jari kelingking, lalu mengaitkan jari kelingkingnya pada milikku.

Aku melempar isyarat padanya untuk segera melepaskan tanganku, tapi bahkan jari kelingkingnya bisa menangkap tanganku.

"Katakan dulu." Kedua mata coklatnya menatapku dengan begitu dalam sampai-sampai aku dengan sendirinya membalas perkataannya.

"Iya, aku janji."

TBC~

20 September  2020

Lemony's note

Iyeh, pinkie promise (sebenarnya pinky promise tapi aku lebih suka nyebutnya pinkie promise)

Gimana? Chapter kali ini? Hambar atau ada rasa nyesek?

Tara mulai overthinking terus, kenapa dia jadi semakin mirip denganku //heh

Oh, rasa insekyur selalu datang waktu aku mau publish cerita ini. Kenapaaa~

Kadang aku berpikir, apa aku bakal berhenti di tengah jalan seperti dulu lagi?

Aku yakin tidak, karena ada pesan penting yang ingin aku sampaikan lewat cerita ini (meski ceritaku rada ga bagus, gapapa, aku cuma mau melampiaskan emosi terpendamku 😭✨)

Thanks for reading, see you <( ̄︶ ̄)>

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro