Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Fourth Memory*:・゚✧

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Aku tidak mampu menghapus kenangan apapun, terutama kenangan buruk yang akan terus terngiang-ngiang dalam benakku.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Malam kemarin aku tidak memimpikan Alvin, aku hanya melihatnya saat tidur siang, mungkin sosok Alvin itu sudah menghilang dari benakku yang mana berarti tidak ada lagi mimpi yang harus aku pikirkan.

Untuk berjaga-jaga, aku sudah membawa beberapa obatku dalam tas sekolahku, namun lebih bagus lagi kalau yang kemarin tidak terulang.

Ketika aku memasuki kelas, mataku langsung mencari gadis dengan rambut sebahu kemarin, ya, aku ingin duduk dengannya, mungkin dia adalah seatmate yang lebih baik dari Alvian.

Dan bicara soal teman belajar, mungkin aku bisa memperdalam materi lebih baik dengannya, tidak ada yang menjamin bahwa pelajaran di sekolah ini tidak sulit.

Kursinya tepat berada di kolom kedua baris tengah, bersebrangan dengan tempat dudukku kemarin, di sana terlihat Caroline yang tengah melambai-lambaikan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menunjuk-nunjuk mejanya.

Aku pun langsung duduk di sampingnya, sepertinya kemarin tidak ada yang duduk dengannya, aku tidak terlalu memperhatikan keadaan kemarin pagi.

"Hai," ucapnya seraya memamerkan gigi putihnya, "apa kabar?"

"Baik," balasku sembari meletakkan tas pada kursi besi itu lalu duduk dengan punggung menyentuh tas, "kamu?"

"Baik juga," jawabnya meski tidak sedang memperhatikan aku melainkan sibuk merogoh-rogoh isi tasnya, "ngomong-ngomong, mau ku ajak berkeliling sekolah nanti waktu istirahat?"

Caroline adalah murid lama, kelas sekolah dasar juga berada di gedung ini, memperkenalkan lingkungan sekolahnya akan sangat membantuku jika ingin pergi kemana saja tanpa harus bertanya-tanya lagi.

"Oke." balasku menerima ajakannya.

Aku datang cukup awal tadi, dua puluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai, dan Caroline banyak bertukar cerita denganku, lebih tepatnya hanya dia yang bercerita sedangkan aku duduk diam mendengarkannya.

Caroline mempunyai seorang kakak laki-laki, namanya Kai, yang saat ini sudah menduduki bangku SMA 1, jadi tidak heran mengapa dia tahu cukup banyak tentang tingkatan SMP ini.

Murid SMP dan SMA harus memilih minimal satu klub, dan setiap orang maksimal menjadi anggota tiga klub, dan aku bahkan tidak berniat menjadi anggota dari klub apapun.

Banyak acara-acara tahunan yang dirayakan sekolah ini, acara tersebut ada yang hanya untuk sekolah, ada juga yang terbuka untuk umum, begitulah yang dijelaskan Caroline.

Ditengah penjelasan Caroline, aku menolehkan pandanganku ke pintu masuk kelas begitu terdengar langkah kaki seseorang, sontak Caroline menghentikan perkataannya.

Laki-laki dengan manik coklat hazelnya, Alvian, baru saja memasuki kelas seraya menatapku.

Ia memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, tatapannya penuh kebingungan, mengingatkanku pada Alvin tukang melamun itu.

Ia pergi setelah menampilkan gigi putihnya padaku, lalu kembali duduk di tempatnya kemarin, yang pastinya ia menyadari kalau aku sudah pindah tempat duduk.

"Kamu sudah kenalan dengan dia?" Caroline mengalihkan topik pembicaraan menjadi Alvian.

"Ya, begitulah," jawabku, kalau sudah mengetahui namanya, berarti aku sudah berkenalan dengannya bukan?

"Dia terlihat keren, ya kan?" ucap Caroline sembari terkikik-kikik, menatap Alvian yang bangku sebelahnya sudah diduduki seorang laki-laki berkacamata yang aku tidak tahu namanya.

Aku tidak melihat sedikitpun sisi keren dari Alvian, malahan senyumannya terlihat agak aneh, dan juga ia terus mengingatkan ku pada Alvin, mahkluk imajinasiku.

"Entahlah." Aku yang sedaritadi melihat Alvian pun kembali menatap Caroline.

Suara bel tanda pelajaran pertama telah berbunyi memenuhi seluruh gedung sekolah.

Murid-murid yang tadi masih diluar, menikmati udara luar kini mulai memasuki kelas.

Menurut jadwal pelajaran yang diberikan kemarin, jam pelajaran pertama pada hari selasa itu Matematika.

Dua jam pelajaran matematika, buku paketnya baru akan dibagikan hari ini, entah tebal atau tidak.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Saat ini, aku sedang mengelilingi sekolah, dipandu oleh Caroline, dan kami baru saja mengelilingi lantai satu.

Luas gedung ini bukan main, bayangkan saja, ada dua belas kelas dalam satu lantai, belum lagi ruangan-ruangan lain, dan jumlah lantai gedung sekolah ini, ada tujuh.

Ruang kelas SMP kelas 1 dan ruang kelas SMP kelas 2 terletak di lantai tiga sedangkan ruang kelas SMP kelas 3 dan aula sekolah terletak di lantai empat.

Kelas IPA semua tingkatan SMA terletak di lantai lima, dan Kelas IPS semua tingkatan SMA terletak di lantai enam, dari penjelasan Caroline yang sering keliling sekolah itu.

Di lantai satu, terdapat kantor guru SD, papan pengumuman, Ruang BK dan juga ruang kelas SD 1, 2 dan 3, masing-masing tingkatan kelas terdiri dari lima ruang kelas, itu bukanlah jumlah yang sedikit.

Ya, satu kelas hanya bisa menampung maksimal enam belas orang, meski begitu tapi ukuran satu kelas itu luas, jadi memakan banyak tempat.

Terdapat juga lapangan sekolah yang sangat luas, ya, jumlah murid disini sangatlah banyak, untung saja sesi istirahat dibagi menjadi tiga, seperti kata Caroline, jam istirahat SD, SMP dan SMA dibuat tidak sama.

"Dua jam pelajaran matematika, lumayan buat olahraga otak." Caroline melontarkan tawa kecil sembari memegang pundakku, otomatis aku langsung menjauhkan tangannya.

"Um, maaf, aku tidak suka dipegang." Aku akhirnya berbicara terang-terangan padanya.

"Maaf." Ia mengelus-elus tengkuknya yang tidak gatal itu seraya tersenyum malu.

"Hm, tidak apa-apa."

"Ngomong-ngomong, bagaimana pelajaran tadi?" tanya Caroline seraya melirik kanan-kiri, memperhatikan keadaan sekitar.

"Maksudnya?" tanyaku kembali.

"Um, sulit tidak untukmu?" balasnya sembari menatap arlojinya.

"Lumayan sulit." Sebenarnya aku sudah mempelajari materi ini saat liburan sekolah, jadi aku tidak merasa kesulitan tapi aku tidak ingin dikira menganggap remeh pelajaran sekolah ini.

"Oh," jawab Caroline menyunggingkan senyuman, "menurutku itu tidak terlalu sulit, kalau sudah mendekati ujian harian, mau belajar bersama?"

Aku hanya mengangguk pelan sebagai balasannya.

"Ngomong-ngomong, disana ada lift lho, kalau kamu sudah lelah, bisa naik pakai lift," ujarnya seraya menunjuk-nunjuk lift yang terletak di ujung koridor, bersebelahan dengan tangga.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa jalan." Kaki ku sudah terlatih sejak tahun lalu, sejak kehilangan orang tuaku, aku jadi sering berjalan kaki sendiri kemana-mana.

Kami melanjutkan perjalanan kami mengelilingi sekolah, dan Caroline tidak berhenti menjelaskan apa saja yang terdapat di setiap lantai, terlalu banyak ruangan sampai aku tidak begitu hapal.

"Kamu ingin masuk ke klub apa?" tanyanya disaat kami sudah berada di lantai lima, dimana ruangan SMA kelas IPA berada.

"Aku tidak tahu." Kalau saja hal ini tidak wajib, aku tidak akan ambil pusing memikirkan hal itu.

"Benar-benar tidak terpikir satu pun?" tanyanya lagi.

"Tidak."

"Ohh," balasnya lalu ia menghembuskan napas, "aku penasaran apa yang akan dipilih teman-teman sekelas kita."

Aku tidak membalas ucapannya, netraku menatap pintu-pintu yang terlihat sama, cat warna biru, dan garis disudutnya di cat dengan warna putih. Terdapat juga kaca tembus pandang pada pintu itu sehingga kita bisa mengintip keadaan di dalam.

Pintu-pintunya terlihat benar-benar sama, hanya tulisan yang ditempel pada bagian atas pintulah yang membedakannya.

Aku harap, aku tidak salah masuk kelas nanti.

"Ngomong-ngomong, kamu suka tanaman ya?" ujar Caroline saat melihat netraku terus mengamati tanaman-tanaman yang ditaruh dalam pot dan diletakkan di sepanjang balkon.

"Lumayan." Aku menyukai bunga, dulu ibu senang membeli bunga mawar dan meletakkannya di seluruh vas yang ada di rumah.

Kata ibu, bunga mawar yang berwarna merah muda itu melambangkan kebahagiaan dan keharmonisan, namun sayang, makna bunga itu tidak sejalan dengan takdir.

"Ada klub pecinta alam lho," ucap Caroline dengan nada senang, entah kenapa dia ingin sekali mencarikan aku klub.

"Um, nanti aku pikirkan." Meski aku memang tidak mau, tidak sopan bila aku berkata tidak mau, lagipula dia juga tidak mengajakku, hanya memberitahuku.

Kami sudah sampai di lantai tujuh, dan waktu istirahat masih tersisa lima belas menit, waktu yang cukup lama untuk berkeliling.

Waktu istirahat selama tiga puluh menit diberikan setiap dua jam pelajaran, dan aku tipe yang mudah kenyang jadi mengunyah beberapa biskuit saja sudah membuatku kenyang cukup lama.

Di lantai tujuh itu, ada sebuah ruangan, didalamnya terlihat sebuah kolam renang yang sangat luas, airnya begitu jernih hingga aku dapat melihat keramik putih di dasarnya dengan jelas.

"Kami sudah punya pelajaran berenang sejak SD kelas 6," kata Caroline dengan manik masih menatap kolam renang itu, "main air lumayan seru lho."

Aku memang tidak terlalu suka berenang, mungkin memang karena aku juga kurang suka olahraga.

Kecuali bulu tangkis, aku lumayan suka dan lumayan handal bermain bulu tangkis, karena dulu ayah--- ah, kenapa aku selalu teringat memori lama yang masih indah.

Kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan, terlalu menyakitkan untuk diingat.

"Tara? Tara?" panggil Caroline yang membuyarkan lamunanku.

"Ya?" 

"Kenapa menatap air kolam renang? Apa ada sesuatu?" Netranya kini juga ikut menatap kolam renang itu.

"Tidak ada." Kini aku menaikkan kepalaku, menatap langit-langit berwarna biru pucat itu yang dipenuhi tiga atau empat lampu yang menyala.

"Jangan melamun terus." Caroline tersenyum memandangku lalu pupilnya bergerak ke kiri dan kanan, seakan-akan sedang mengawasi keadaan sekitar. "Di sini sepi, ya."

Memangnya siapa yang akan mengunjungi tempat belajar saat jam istirahat begini.

"Ayo kembali ke kelas," ujar Caroline yang hampir saja memegang pergelangan tanganku kemudian teringat ucapanku tadi dan mengurungkan niatnya.

Sepertinya acara berkeliling sudah berakhir.

Kami akhirnya berjalan, ralat, kami turun menggunakan lift hingga sampai ke kelas kami, 7A.

Bel tanda istirahat berakhir pun terdengat amat nyaring, entah ada berapa banyak speaker yang di letakkan dalam satu lantai.

Ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi, hampir semua murid berhamburan keluar, dan ada yang masih berada di kelas seraya merapikan buku-bukunya

Saat aku baru saja menarik tali ranselku, terdengar suara bisikan dari bangku belakang, kolom ketiga, baris paling kiri

Kalau saja tidak terdengar namaku, aku tidak akan fokus pada percakapan mereka.

"Itu anak baru yang namanya Tara, dia kelihatan aneh," ucap gadis berambut pendek dengan mata tertuju padaku, ya, aku melihat mereka sekilas melalui ekor mataku.

"Iya, kemarin, tubuhnya gemetaran tiba-tiba, dia sakit ya?" balas gadis lainnya.

"Ah, dengar-dengar, dia pindah ke sini karena beasiswa, mungkin saja dia sebenarnya miskin tapi otaknya encer jadi bisa masuk sekolah ini."

"Hei, kau tahu, anak itu berkenal dengan Caroline, mentang-mentang Caroline anak pengusaha, mungkin saja Tara--"

Saat hendak berjalan melewati mejaku dengan cepat, aku tak sengaja menyenggolnya dan menimbulkan suara yang cukup keras.

Kedua gadis di belakang tadi langsung terdiam, mungkin mereka mengira kalau aku mendengar mereka dan berusaha mendiamkan mereka.

"Sst, sudah, suaramu kebesaran, makanya dia dengar."

"Ah, dia sudah emosi."

Aku hanya ingin melewati meja itu, aku tidak mengira pemikiran mereka tertuju pada emosiku.

Caroline yang tadi masih menyimpan bukunya pun menatapku yang sedang terpatung diam, membiarkan rasa sakit di bagian pinggang ini mereda sebentar.

Mataku menatap kedua gadis itu, lalu kembali berjalan melewati pintu kelas.

Samar-samar, terdengar suara Caroline yang hendak memanggilku namun dihentikan oleh mereka.

"Caroline, ayo kita turun bersama," kata mereka hampir bersamaan, itu yang ku dengar terakhir kali sebelum melewati kelasku.

。☆✼★━━━━━★✼☆。

Mendadak dalam benakku terlintas nama Alvin, bagaimana kabarnya?

Kadang kala, aku berpikir dia yang akan menjadi teman bicaraku satu-satunya, karena dia adalah diriku, imajinasiku.

Ya, Caroline itu memang juga sekarang menjadi temanku, mungkin, aku tidak ingin hanya satu pihak yang mengakui pertemanan ini.

Aku juga nantinya perlu memikirkan klub yang akan aku pilih, mungkin aku akan memilih yang anggotanya paling sedikit.

Aku melempar tubuhku ke kasur empukku, menyambar salah satu novel yang belum selesai kubaca, menyetel musik klasik, dan kini kata-kata dalam novel itu kubaca dalam hati.

Waktu berlalu dengan cepat, ketika aku asik membaca novel sembari memakan kukis, terdengar suara yang amat familiar dari lantai satu.

"Bibi pulang," seru bibi dari lantai bawah, suaranya memang cukup keras, bahkan aku yang sedang berada di kamarku di lantai dua saja bisa mendengarnya dengan keadaan pintu tertutup.

Suara bibi terdengar cukup lemas, aku tahu, dia sangat kelelahan.

Aku langsung turun dan mendatanginya, tidak sopan menghiraukan panggilan orang tua.

"Tara sudah makan belum?" Seperti biasa, bibi menampilkan senyumannya yang membuat pipinya menutupi sedikit matanya.

"Belum." Kukis yang kumakan itu untuk makan siang, bukan makan malam.

"Bibi masak untuk makan malam, ya?" Netra bibi melirik ke arah jam yang jarum pendeknya telah menunjuk angka delapan.

"Tidak perlu, aku makan roti gandum saja, masih tersisa beberapa." 

"Tara, nanti kamu tidak keny-" ucap bibi yang tiba-tiba terpotong oleh ucapanku. "Sudahlah, bi. Istirahat dulu."

Entah kenapa kini ia menundukkan kepala, apa ucapanku terlalu kasar?

"Bibi tahu, kamu pasti merasa berat hidup dengan penghasilan bibi yang pas-pasan," kata Bibi yang kini sedang mengelap piring-piring yang baru selesai dicuci.

Aku benci ketika bibi mengungkit-ungkit hal itu, tentang penghasilannya.

"Bukan begitu tap-" Dan kini bibi yang memotong ucapanku. "Maafkan bibi."

Aku memutar bola mataku, lalu menghembuskan napas dan melanjutkan perkataanku, "Aku tidak peduli, mau berapapun penghasilan bibi, yang penting bibi tidak kecapekan."

"Sudah bi, biar aku saja yang kerjakan." Kini aku berkata seperti itu dengan volume yang lumayan kencang pada bibi yang masih sibuk mengurusi piring-piring basah itu.

Bibi tidak menjawabku, dan setelah ia meletakkan piring yang ia pegang, ia langsung duduk di sofa yang ada di ruang tengah dan kini tersisa aku yang berada di dapur, mengelap piring-piring itu hingga selesai.

"Bibi mau makan?" panggilku dari dapur pada Bibi yang sudah ada di ruang tengah.

"Bibi?" panggilku sekali lagi lantaran tidak ada jawaban.

Kakiku berjalan mendekati sofa biru muda itu, dan aku dapat mendengar suara napas yang pelan dan beraturan.

Ah, bibi sudah tertidur.

Netraku terus saja menatap sofa yang menghadap membelakangiku dari meja makan, memperhatikan sosok wanita yang menggantikan ibu seraya menikmati roti itu sebagai makan malam diatas meja makan.

Andai insiden kecelakaan paman dan Derren, anaknya tidak terjadi, dia mungkin tidak akan semenderita ini.

Ditambah lagi, insiden kebakaran yang membuatnya harus menanggungku sebagai beban hidupnya.

Dan aku tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah itu.

TBC~

22 Mei 2020

Lemony's note

HAII~

Masih membosankan? Iya maaf, soalnya konfliknya belum muncul :v (ya, walaupun kalau udh sampai di konflik, lemon ngk jamin kalau ngk membosankan)

Aku merasa sangat bersyukur karena masih ada yang mau baca cerita ini meski membosankan, entah sudah berapa kali aku bilang begitu~

Karena aku merasa kata-kata saya ambigu banget jadi ini...

Aku bikin denah kelas, ya kira-kira beginilah denah setiap kelas.

Jadi:
Kotak merah: tempat duduk Alvian sama Tara pas hari senin.
Kotak ungu: tempat duduk Caroline sama Tara sekarang.
Kotak hijau: tempat cewek-cewek itu ngibahin Tara :V

Aku sadar kalau memoriam ngk bisa update seminggu sekali, iya, aku tipe orang yang kalau nulis lambat T^T

Jadi mungkin 10 hari sekali :3

SEKALI LAGI, MAKASIH BANYAK ATAS KOMEN DAN VOTENYA, JUGA MATANYA!!😭💖

With love,

Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro