Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✧・゚:*Forty Second Memory*:・゚✧

  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。
Kamu tidak nyata; anehnya, aku akan merasa kosong bila kehilanganmu.
  。☆✼★━━━━━━━★✼☆。

Aku melihat Alvin, kali ini benar-benar Alvin. Mimpi kesepuluh, aku masih setia menghitungnya. Aneh saja, aku baru sangat teringat dengannya tadi sore dan dia langsung muncul pada mimpi malam ini.

Mataku menatap datar Alvin. Alvian juga menampilkan wajah yang sama tadi sore. Dan sampai detik ini, aku tidak tahu hubungan mereka berdua, mimpi macam apa ini. Semuanya abu-abu, tidak jelas, dan selama ini aku hanya menyimpulkan kalau Alvin adalah imajinasiku.

Ya, sampai detik ini juga.

Aku tidak lagi asing dengan pemandangan bulan purnama yang menyinari taman, juga dengan Alvin yang selalu menatap kosong ke arah tanah yang dipenuhi rumput liar.

Benakku bertanya-tanya, apa yang akan dibicarakan Alvin kali ini? Dia sering bercerita denganku bukan? Kurasa Alvin adalah manusia satu-satunya yang benar-benar menceritakan beban hatinya padaku, menitikkan air mata, lantas menerima pelukanku.

Ralat, dia hanya imajinasiku, aku kadang menganggapnya seperti manusia, benar-benar seorang teman yang bisa aku gandeng tangannya di dunia nyata.

"Kamu belum pulang?" Alvin bersuara pelan.

Lagi-lagi pertanyaan yang sangat tidak nyambung. Ah, memang tidak ada percakapan sebelumnya yang membuat kalimat yang barusan dia utarakan terasa nyambung, tapi bukannya aneh bertanya demikian.

Memangnya aku akan pulang ke mana? Ke dunia nyata?

Aku tidak tahu harus membalas apa jadi aku hanya menggelengkan kepala.

"Aku tidak ingin pulang." Kalimat itu lagi. Alvin sering mengatakannya, tidak ingin pulang, membenci orang tuanya.

Setiap dia membicarakan orang tuanya, aku selalu teringat Ayah dan juga Ibu, dan di saat itu juga aku ingin menangis lagi. Entah sudah berapa kali memori lama itu menjatuhkan air mata dari pelupukku, aku sudah kehilangan hitungan.

Hidupku membaik, atau mungkin tidak. Aku sendiri juga tidak tahu. Bibi kembali sehat, bahkan membuka usaha kecil. Alyssa tidak ada lagi untuk mengangguku.

Tapi ....

Alvian, Caroline ... rasanya ada yang salah dari mereka. Ah, apakah aku boleh menilai seperti itu di saat aku sendiri juga sedang berendam dalam kesakitan?

Orang yang sakit tidak akan bisa mengobati orang sakit bukan? Entahlah, aku juga tidak tahu

"Kalau begitu, tetaplah di sini," balasku tanpa memandangnya.

Taman ini sering dikuasai keheningan, tapi aku senang. Rasanya ada sebuah ketenangan yang mampu membuatku lupa sejenak dengan masalahku.

Aku melirik Alvin sesekali, kembali teringat dengan Alvian. Anak itu menguasai pikiranku dari tadi malam setelah aku pulang diantarnya. Hujan belum reda saat itu, dan Bibi juga bertemu dengannya dan dia masih sempat bercanda tadi.

Dia kembali bersikap seperti biasa seolah-olah yang tadi tidak terjado. Alvian bahkan bercerita soal Meow--yang tidak terlihat hari ini--di dalam chat. Dan aku hanya mengikuti alur pembicaraan tanpa bertanya apa yang sedang terjadi padanya atau sekedar bertanya apakah dia baik-baik saja; tidak, aku tidak melakukannya.

Ini baru pertama kali bukan? Kuharap dia hanya sedang bad mood waktu itu.

"Udaranya dingin." Alvin menatap langit yang dihiasi oleh titik-titik putih.

"Iya." Kali ini aku merasakannya, angin dingin yang menerpa kulitku.

Percakapan berhenti setelah itu. Alvin menatap kosong ke bawah, aku melamun sembari meliriknya sesekali. Kenapa suasananya diam begini, bukannya Alvin sering mengutarakan isi hatinya?

"Berbekas." Alvin bergumam pelan. Aku langsung memalingkan kepalaku ke arahnya.

"Apanya?" Dahiku mengernyit.

"Luka." Alvin tengah menggenakan kaos biasa, dia menarik turun leher baju hingga aku bisa melihat bagian dadanya sedikit.

Segores luka pada dadanya. Aku pernah melihatnya, Alvin yang menangis seraya menggigit kukunya, bajunya yang sedikit robek, luka bekas cambukan, itu 'kan?

Aku terdiam, menatap bekas luka itu, lalu mengembuskan napas pelan. Aku tidak tahu kenapa Alvin harus mengalami semua ini, siksaan ini.

Kadang aku bertanya-tanya, kenapa wajah Alvian yang terlihat di mimpiku? Kenapa bukan Caroline atau orang lain yang aku temui selama ini?

Bertanya seribu kali juga tidak ada jawabannya. Entah kenapa yang ini selalu menjadi misteri. Apa ini memang ada kaitannya dengan Alvian?

Awalnya aku tidak terlalu mengaitkan mereka berdua, tapi sifat Alvian tadi siang membuatku merasa sedikit ... khawatir. Dia semakin terlihat seperti Alvin.

"Maaf, aku minta maaf atas semua yang terjadi padamu." Ucapanku barusan tidak membuat Alvin menatapku, masih setia menilik tanah seraya memainkan jarinya.

Alvin terdiam tidak lagi membalas. Aku juga tidak tahu harus berbicara apa lagi. Kalau aku bertanya lebih dalam, Alvin akan sakit hati bukan?

Diam adalah pilihan terbaik; untuk saat ini.

Awalnya aku bosan berada di sini, tapi lama kelamaan perasaan itu terganti dengan rasa ingin berada di sini. Aneh, masalahku yang paling membuatku menderita telah selesai, tapi menetap di taman ini tetap menjadi pelarian terbaik.

Aneh, ya, setiap aku merasa senang, akan ada masalah lain yang muncul. Saat Bibi sembuh, kenapa ada hal buruk yang terjadi? Meski ini bukan tentangku, tapi ini tentang mereka berdua yang terlihat berubah.

"Tara." Suara itu memanggil.

"Ya?"

Dia kembali diam, hening lagi. Aku menunggu Alvin untuk melanjutkan kalimatnya.

Aku menyadari satu hal kecil. Alvian tidak pernah memanggilku dengan 'kamu', dia selalu memanggilku 'Tara', sedangkan Alvin menggunakan kata 'kamu'.

"Bagaimana kalau kita tidak bisa bertemu lagi?"

Kalimat yang barusan meluncur keluar dari mulut laki-laki bermata cokelat hazel membuatku tersentak. Ada nyeri yang terasa dalam dadaku.

Bagaimana kalau kita tidak bisa bertemu lagi? Itu hanya angan-angannya 'kan?

Bagaimana? Aku bahkan tidak mau memikirkannya. Masalahku sudah selesai ... tapi aku akan merasa kosong, aku belum menemukan orang seperti Alvin, orang yang membuatku merasa dipercayai.

Aku tidak mau membayangkannya, aku tidak ingin.

"Aku tidak mau." Aku mengatup rahangku erat-erat sesusai mengatakan hal itu, tangan kananku mengepal, berusaha menahan rasa sakit yang membelai.

Alvin diam. Dia menggoyangkan kakinya ke depan dan ke belakang hingga menimbulkan suara rumput yang bergesekan dengan sepatunya.

"Aku tidak ingin itu terjadi." Alvin berucap demikian.

"Aku juga." Aku membalasnya dengan pendek.

Aku menatap Alvin diam-diam, dia juga tengah mengepalkan tangannya, kulihat buku jarinya sudah memerah. Dia juga tidak ingin ini terjadi bukan?

Dia hanya bertanya bagaimana jika hal itu terjadi, tapi entah kenapa aku menganggap hal itu terjadi.

Sepuluh kali, baru sepuluh kali aku bertemunya, dan aku ingin bersamanya terus. Aneh 'kan? Aku bahkan tidak bisa merasa senyaman ini saat sudah bertemu Alvian hampir setiap hari--dulunya.

Aku tidak suka suasana ini, aku tidak suka membayangkan perpisahan. Perpisahan itu menyakitkan, meninggalkan kenangan buruk yang akan terus menggerus hati.

Imajinasi ini, apakah aku bisa mengendalikannya? Selama aku ingin Alvin muncul, maka ia akan terus muncul 'kan? Ini mimpiku 'kan? Seharusnya aku bisa mengaturnya 'kan?

Wajah Alvin memerah, matanya sembab seperti tengah menahan tangisan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

"Kamu ... kenapa?"

"Besok, aku akan pergi, aku tidak bisa lagi datang ke taman ini."

TBC~

15 Maret 2021

Lemony's note

Ini chapter terpendek Memoriam, cuma 1k kata, dan ini yang paling gantung, in my opinion, kuharap kalian juga merasa begitu. Kemarin full soal Alvian, sekarang full soal Alvin.

Aku cukup sedih pas nulis ini meski scene ini tidak ada sedih-sedihnya, mungkin masih terbawa emosi setelah selesai baca Dandelion Repose di Webtoon, webtoon-nya ngaduk emosi sekali (╥﹏╥)

Dann karena aku lagi rajin, Memoriam jadi lumayan cepat update, dua hari sekali. Thanks to challenge dari NPC, aku jadi lumayan bisa nulis banyak 😭✨

Ide ini muncul pada saat Maret tahun lalu dan aku langsung eksekusi pas April tanpa plotting yang jelas, iya, Lemon yang dulu cari mati banget dan sekarang lihatlah plot hole yang bejibun ini /ditimpuk pakai gulungan koran/

Ayo, Mon, tamatkan Memoriam pas bulan April, biar bisa re-write nanti /menyemangati diri sendiri/

Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai sini, satu komen, mata, atau pun vote sangat berharga bagiku.

With love,
Lemonychee 🍋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro